12.02.2008

MEMBACA LAPORAN RAND CORPORATION (4)


KRITERIA MODERAT VERSI RAND CORPORATION


Untuk mengukur Kriteria Moderat yang diinginkan oleh Hasil Laporan Rand Corporation, diletakkan 11 pertanyaan sebagai tolak ukur dan standarisasi pencapaian target.

Sebelas kreteria yang diformat dalam sebuah pertanyaan tersbut adalah sebagai berikut.


[APPLICATION OF CRITERIA


Therefore, in determining whether a group or movement meets this characterization of moderation, a reasonably complete picture of its worldview is needed. This picture can emerge from the answers given to the following questions:

1. Does the group (or individual) support or condone violence? if it does not support or condone violence now, has it in the past ?
هل يقبل الفرد أو الجماعة العنف أو يمارسه ؟ وإذا لم يتقبل أو يدعم العنف الآن فهل مارسه أو يقبله في الماضي ؟
Apakah kelompok atau individu tersebut menerima kekerasan atau melakukannya? Jika tidak menerimanya sekarang atau mendukung kekerasan saat ini , dan apakah telah melakukannya pada masa yang lalu ?

2. Does it support democracy? and if so, does it define democracy broadly in terms of individual rights ?
هل تؤيد الديمقراطية ؟ وإن كان كذلك ، فهل يتم تعريف الديمقراطية بمعناها الواسع من حيث ارتباطها بحقوق الأفراد ؟
Apakah kelompok tersebut mendukung (menganut) paham demokrasi ? jika memang demikian, apakah demokrasi yang mereka anut telah sesuai dengan pemahaman yang luas dan memiliki keterkaitan dengan hak-hak individu ?

3. Does it support internationally recognized human rights?
هل تؤيد حقوق الإنسان المتفق عليها دوليا ؟
Apakah mereka mendukung hak asasi manusia seperti yang telah disepakati secara internasional.

4. Does it make any exception (e.g. regarding freedom of religion)?
هل هناك أية استثناءات في ذلك (مثال: ما يتعلق بحرية الدين)
Apakah ada pengecualian dalam hal ini (seperti: yang berkaitan dengan kebebasan beragama)


5. Does it believe that changing religions is an individual right?
هل تؤمن بأن تبديل الأديان من الحقوق الفردية ؟
Apakah kelompok ini menganut paham bahwa converse agama merupakan hak individu ?

6. Does it believe the state should enforce the criminal-law component of Shari' a?
هل تؤمن بأن علي الدولة أن تفرض تطبيق الشريعة في الجزء الخاص بالتشريعات الجنائية ؟
Apakah mereka menganut paham bahwa Negara wajib menjalankan syariat Islam dalam hal hukum kriminalitas ?


7. Does it believe the state should enforce the civil-law component of shari'a? Or does it believe there should be non-shari 'a options for those who prefer civil-law matters to be adjudicated under a secular legal system?
هل تؤمن بأن علي الدولة أن تفرض تطبيق الشريعة في الجزء الخاص بالشتشريعات المدنية ؟ وهل تؤمن بوجوب وجود خيارات لا تستند للشريعة بالنسبة لمن يفضلون الرجوع إلي القوانين المدنية ضمن نظام تشريع علماني ؟
Apakah mereka menganut paham bahwa Negara wajib menerapkan syariat yang berkaitan dngan perundang-undangan sipil ? dan apakah mereka menganut paham bahwa diperlukan adanya alternative yang tidak bersandarkan kepada syariah bagi yang menginginkan untuk kembali kepada undang-undang sipil dalam bingkai undang-undang secular ?

8. Does it believe that members of religious minorities should be entitled to the same rights as Muslims?
هل تؤمن بوجوب أن يحصل أعضاء الأقليات الدينية علي نفس حقوق المسلمين ؟
Apakah mereka menganut paham bahwa minoritas wajib mendapatkan hak yang sama sama dengan hak-hak yang diperoleh oleh orang muslim ?

9. Does it believe that a member of a religious minority could hold high political office in a Muslim majority country?
هل تؤمن بإمكانية أن يتولي أحد الأفراد من الأقليات الدينية مناصب سياسية عليا في دولة ذات أغلبية مسلمة ؟
Apakah mereka menganut paham bahwa dimungkinkan bagi salah satu anggota minoritas untuk menduduki posisi (jabatan politik) yang tinggi dalam pemerintahan dalam masyarakat yang mayoritas beragama Muslim ?

10. Does it believe that members of religious minorities are entitled to build and run institution of their faith (churches and synagogues) in Muslim majority countries?
هل تؤمن بحق أعضاء الأقليات الدينية في بناء وإدارة دور العبادة الخاصة بدينهم (كنائس أو معابد يهودية) في دول ذات أغلبية مسلمة ؟
Apakah mereka menganut paham bahwa para minoritas berhak membangun tempat ibadah seperti (gereja atau sinagog), di Negara-negara yang mayoritas penduduknya muslim ?

11. Does it accept a legal system based on nonsectarian legal principles?]
هل يقبل بنظام تشريع يقوم علي مبادئ تشريعية غير مذهبية ؟
Apakah mereka menerima undang-undang yang dibangun diatas prinsip-prinsip syariah non sectarian.


[Building Moderate Muslim Networks, RAND Center For Middle East Public Policy, March 2007, California, USA, pp. 60]

KETIKA LANGIT DAN BUMI TERASA TAK BERJARAK LAGI


[Hari-hari ini, merupakan moment yang istemewa. Hari-hari yang sangat sepecial. Di hari-hari ini pintu langit terbuka lebar, pengampunan dan rahmat Allah terbentang luas. sehingga terasa jarak langit dan bumi semakin dekat].

Momen ini adalah momen sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah].
[berikut penjelasannya sebagaimana dirangkum oleh saudara dan ustadz kita Suhartono TB.]

"مَا مِنْ أَيَّامٍ العَمَلُ الصَّالِحُ فِيْهَا أَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ"
Tidak ada hari yang amal sholih didalamnya paling dicintai Allah kecuali pada hari-hari ini (yakni, 10 hari di awal bulan Dzulhijah)”[1]

Keutamaan Amal Sholih
Amal sholih itu memiliki dua asas. Suatu amal dikategorikan sebagai amal sholih jika memenuhi dua syarat pokok yaitu:
Pertama, syarat fisik, yaitu amal itu jelas sesuai dengan syariat.
Kedua, syarat batin, yaitu amal itu hanya ditujukan untuk ridlo Allah.

Jika kita mampu menerapkan dua syarat ini maka amal kita bisa dimasukkan dalam wilayah ibadah.

Ibadah secara garis besar mencakup dua aspek, yaitu:
Pertama, aspek lahir, yaitu ibadah yang nampak di mata dan digerakkan oleh fisik.
Kedua, aspek batin, yaitu ibadah yang tidak nampak di mata dan digerakkan oleh hati.

Ibadah yang paling afdhal adalah yang terpenuhinya dua syarat ini dan mencakup seluruh aspek ini. Tidak condong sebelah dan tidak meninggalkan satu aspek tertentu. Seimbang dan optimal di keseluruhan aspek.

Ibadah Paling Utama
Setelah kesemua aspek sudah terpenuhi lalu ada pertanyaan kritis, “ibadah apa yang paling afdhal? Yang paling utama? Sholatkah? Puasakah?”
Ibadah yang paling afdhal adalah amal yang lillahi ta’ala di setiap waktu sesuai dengan tuntutan waktu dan kondisi. Amal yang paling utama merupakan terjemahan dari tugas zaman. Cermin dari panggilan situasi dan kenyataan. Refleksi dari kebutuhan realita. Mereka yang unggul adalah mereka yang jeli dan cerdas memilih dan memilah amal sesuai dengan situasi dan tuntutan realita. Mereka itu disebut ahli ibadah yang mutlak. Penggiat ibadah yang luas dan menyeluruh.

Karena itu..
Ibadah paling afdhal di 10 hari awal Dzulhijah adalah amal sholih sebaik-baiknya dan sebanyak-banyaknya. Amal sholih yang dijiwai kesungguhan dan keseriusan. Bukan hanya sekedar menjalankan rutinitas. Bukan pula sekedar terlepas dari kewajiban. Bahkan Rasululloh secara khusus menyebut beberapa amal sholih meski bukan bermakna penyempitan ruang amal sholih yang sedemikian luas. Diantara amal-amal itu adalah puasa dan Qiyam (menghidupkan malam dengan ibadah), tahlil dan takbir, tasbih dan tahmid, jihad dan infak serta sedekah. Puncaknya adalah haji dan qurban.

Keutamaan Puasa dan Qiyam

"يَعْدِلُ صِيَامُ كـُلِّ يَوْمٍ مِنْهَا بـِصِيَامِ سَنَةٍ, وَ قِيَامُ كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْهَا بِقِيَامِ لَيْلَةِ اْلقَدْر"

“Satu hari Puasa di hari-hari ini seperti puasa satu tahun, satu malam qiyam di malam-malam ini seperti qiyam lailatul qodri ”[2]

Keutamaan Tahlil dan Takbir

"فَأَكْثِرُوْا فِيْهِنَّ مِنْ التَّهْلِيْلِ وَ التَّكْبِيْرِ وِ ذِكْرِ اللهِ ، وَ إِنَّ صِيَامَ يَوْمٍ مِنْهَا يِعْدِلُ بِصِيَامِ َسَنةٍ وَاْلعَمَلُ فِيْهِنَّ يُضَاعَفُ بِسَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ"

“Maka perbanyaklah tahlil, takbir dan dzikir. Sungguh, puasa di hari-hari ini menyamai puasa setahun dan amalan di hari-hari ini dilipatgandakan tujuh ratus kali lipat”[3]

Keutamaan Tasbih dan Tahmid

مَنْ قَالَ سُبْحَانَ اللهِ الْعَظِيْمِ وَ بِحَمْدِهِ غُرِسَتْ لَهُ شَجَرَةٌ فِى اْلجَنَّةِ " "
"Siapa yang mengucapkan 'Subhanallahi wa Bihamdihi' maka ditanamkan untuknya sebuah pohon di surga"[4]

Keutamaan Jihad

" مَثَـَلُ اْلمُجَاهِدِ فِى سَبِيْلِ اللهِ كَمَثَلِ الصَّائِمِ اْلقَائِمِ اْلقَانِتِ بِآيَاتِ اللهِ لاَ يَفْتُرُ مِنْ صَلاَةٍ وَ صِيَامٍ ، حَتَّى يَرْجِعَ اْلمُجَاهِدِيْنَ فِى سَبِيْلِ اللهِ "

"Orang yang berjihad di jalan Allah seperti seorang yang melaksanakan puasa, shalat dan beribadah dengan membaca ayat-ayat Allah dan tidak pernah putus dalam melaksanakannya, sampai pejuang tersebut kembali dari medan jihad"[5]

Keutamaan Infaq di jalan Allah

" مَنْ أَنْفَقَ نَفَقَةً فِى سَبِيْلِ اللهِ كُتِبَتْ لَهُ بِسَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ "

”Barang siapa yang berinfaq di jalan Allah maka dilipatgandakan pahalanya hingga tujuh ratus kali lipat"[6]

Pesan praktis dalam mensukseskan agenda besar Dzulhijah:
1.Pusatkan perhatian dan tanamkan azam (kemauan kuat) untuk selalu melihat rancangan mensukseskan amal ibadah di 10 hari awal bulan Dzulhijah
2. Jika Anda dianugerahi nikmat keluarga, maka usahakan mengajak dan mengikut sertakan anggota keluarga dalam mensukseskan agenda.
3. Jika Anda dikaruniai nikmat beberapa sahabat yang baik, maka bangunlah kesepakatan untuk saling mendorong dan mengingatkan pelaksanaan agenda ini.
4. Jangan malu menyebarkan agenda ini pada siapa pun yang Anda kenal dan Anda cintai (keluarga, tetangga, kerabat, teman, dan lingkungan, dll)
5. Mulailah mencoba khobiy`ah dan panjatkan terus doa agar Anda tidak termasuk mereka yang melalaikan agenda ini.


END NOTE
[1] Hadis Ibn Abbas yang diriwayatkan Bukhori,Tirmidzi, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Thabrani. Isnadnya baik (jayyid). Lengkap hadisnya, setelah dijelaskan Rasululloh keutamaan amal di 10 hari pada awal Dzulhijah, para sahabat bertanya: “apakah keutamaan amal ini melampaui jihad di jalan Allah?”, lalu jawab Rasululloh: “Bahkan jihad sekali pun kecuali seseorang yang beranjak dari rumahnya dengan diri dan hartanya kemudian tidak sedikit pun dari keduanya kembali”
[2] Hadis Abu Hurairah yang diriwayatkan Tirmidzi, Ibnu Majah, Baihaqi, dan Mundziriy
[3] Hadis Ibn Abbas yang diriwayatkan oleh Al-Mundziriy dalam kitab At-Targhib Wa At-Tarhib
[4] Hadis Jabir bin Abdillah yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, Nasa'I, Ibnu Hibban dan Hakim
[5] Hadis Abu Hurairah
[6] Hadis Harim binti Natik yang diriwayatkan oleh Nasa'I, Tirmizi, Ibnu Hibban dan Hakim

12.01.2008

JAMINAN KERUGIAN OLEH PIHAK KETIGA DALAM BANK ISLAM


Saya termasuk beruntung, hari Sabtu sore yang lalu (29 November 2008) masih sempat hadir dalam diskusi bulanan El-Muntada, yang bulan ini disampaikan oleh Ust. Oni Sahroni, MA, tentang "Dhaman al-Fariq ats-Tsalits fi Masharif al-Islamyah". Atau "Menanggung kerungian oleh fihak ketiga, dalam Bank Islam".

Setidaknya hasil dari diskusi kita itu dapat disimpulakan sebagai berikut
Sebagaimana dimaklumi bersama, bahwa salah satu buah dari gerakan Islam, adalah munculnya lembaga keuangan Islam, terutama dalam hal ini munculnya bank-bank Islam di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Tahun-demi tahun grafik menunjukkan adanya perkembangan bank Islam yang terus naik bahkan melesat dalam segi kuantitas. Namun demikian perkembangan yang terus meningkat dari segi kuantitas ini belum mampu diikuti oleh perkembangan kualitas. Hal itu disebabkan oleh beberapa hal:

Pertama: Dibeberapa Negara, bank Islam belum mampu bekerja secara maksimal karena belum memiliki payung hukum yang kuat.

Kedua: Karena belum ada payung hukum yang pasti, maka bank-bank Islam masih bekerja dan bergerak dalam atmoster undang-undang keuangan konvensional yaitu riba.

Ketiga: Pertumbungan dan perkembangan kuantitas bank-bank Islam yang signifikan tersebut belum diimbangi dengan perkembangan kuantitas kader, sehingga para pelaku bank-bank Islam masih banyak diisi oleh kader-kader yang dibesarkan dalam atmosfer bank konnvensional, yang dengan demikian secara otomatis cara berfikir mereka sangat dipengaruhi oleh atmoster tersebut.

Keempat: yang lebih penting dari itu, adalah bahwa masyarakat belum sepenuhnya memahami pentingnya berinteraksi dengan bank Islam. kebanyakan mereka masih belum siap untuk berubah haluan dari bank konvensional menuju bank Islam. Karena bank konvensional menjamin modal mereka, sehingga para pemodal pasti mendapatkan keuntungan, dan tidak terdapt resiko sema sekali, sementara dalam bank islam ada resiko kerugian.

Dari factor terakhir inilah, kemudian muncul permasalahan dalam bank Islam yaitu sulitnya bank-bank Islam mendapatkan para penabung atau penanam modal, karena moyoritas masyarakat masih dihantui oleh kerugian.

Nah, untuk memecahkan permasalah ini, muncullah terobosan ide baru yang dilontarkan oleh Dr. Mundzir al-Qoff. Dan telah diterapkan oleh bank Islam Yordania.
Ide tersebut menyatakan bahwa perlu dicari pihak ketiga yang bersedia menjamin para pemodal jika terjadi kerugian. Dalam arti lain, pihak ketiga ini bersedia memberikan janji untuk membayar jumlah kerugian yang dialami oleh pihak pemodal jika ternyata bank telah gagal menjalankan proyek investasinya.

Masalahnya adalah apa mungkin ada pihak yang bersedia menjamin kerugian tersebut. Ternyata jawabannya bukan saja mungkin tapi nyata, karena ternyata Lembaga Wakaf Yordania bersedia untuk menjadi pihak ketiga ini, dengan alasan untuk menyelamatkan dan menggairahkan bank Islam, sehingga masyarakat dapat menjalankan aktifitas ekonominya jauh dari riba.

Namun tidak berarti ide ini mulus tampa penentang. Banyak ulama' yang kurang setuju dengan hal ini. Alamasan yang mereka kemukakan diantaranya:

1- Dalam akad mudharabah, para pemodal menanggung resiko kerugian materi (uang) sementara para investor menanggung kerugian kerja. Para investor tidak boleh dibebani oleh kerugian materi lagi, karena jika ini terjadi maka ia akan menanggung kerugian ganda, dan ini tidak mencerminkan nilai keadilan yang sangat dijunjung tinggi oleh Islam.

2- Jadi jika pihak investor (pihak kedua) tidak wajib menanggung atau menjamin kerugian material, maka pihak ketiga lebih tidak wajib lagi.

3- Upaya ini akan menjadikan akad mudharabah yang sejatinya berbeda dengan akad pinjaman yang diterapkan di bank konvensional, karena terdapat di dalamnya resiko (al-Mukhotarah), dengan adanya pihak ketiga yang menjamin kerugian ini menjadi tidak ada bedanya dengan bank konvensional, sehingga harapan agar persepsi masyarakat bisa berubah dalam mensikapi harta dan riba menjadi tidak terjadi.

Namun para pendukung ide ini bukan tidak memiliki jawaban atas alasan-alasan yang menyatakan keberatan pihak penentang.

Bahwa posisi pihak ketiga hanyalah sebagai dermawan, dan akadnya hanya janji untuk menjamin jika terjadi kerugian. Tapi walaupun janji menurut madzhab maliki wajib ditunaikan.

Jaminan ini hanya diberikan hanya dalam kondisi dharurat, dan diambilkan dari dana-dana carity (tabarru'at).

Jaminan ini berlaku dalam kondisi tertentu, jika kondisi masyarakat dan perkembangan bank telah stabil dan membaik, maka konsep ini tidak akan diterapkan lagi. Jadi posisinya hanya untuk membantu memecahkan yang selama ini dihadapi oleh bank-bank Islam, sepaya dapat memerankan perannya dengan optimal.

Walaupun, ide tentang jaminan kerugian oleh pihak ketiga ini masih menjadi polemic antara ulama' , namun demikian terobosan ide perlu dihargai sebagai semangat untuk memperjuangkan nilai-nilai dan syariat Islam.

Inilah beberapa hasil terpenting dari diskusi bulanan Muntada untuk bulan November 2008. kita ucapkan terima kasih kepad presentator (Ust Oni Sahroni, MA) dan para peserta diskusi yang sempat hadir.

Kontribusi dan partisipasi kawan-kawan S2-S3, selalu dinantikan.

تطور الفكر السياسي الشيعي من النص إلي ولاية الفقيه


لم تكن فكرة الإمامة من البداية –عند الإمامية الاثنى عشرية- محددة المعالم ، كانت مفتوحة على التاريخ -مواكبة للظروف- فقها واعتقادا .
ففى البداية كانت عقيدتهم فى الإمامة نصا ووصية(
[i]) (خالف فى ذلك أهل السنة فى قولهم بالشورى)، والقول بعدم جواز خلو الأرض من قائم لله بالحجة([ii]) ، وهو إمام معصوم([iii]) كما أنه مشرع ومبلغ عن الله تعالى ، يتصف بالعلم اللدنى الإلهى ويوحى إليه من الله بالإلهام . فقد كان تصورهم عنهم يفوق ذلك الذى أثبته أهل السنة والجماعة للنبى r ، حتى ذهب بعض المناوئين للشيعة إلى الاعتبار بأن الامامة هى النبوة .
وقد أورد النوبختى قول إحدى فرقة من فرق الشيعة التي تري أن الإمامة من أجل الأمور بعد النبوة ، وفرض من أجل فرائض الله ، ولا يقوم بالفرائض ، ولا يقبل إلا بإمام عادل .
(...فمقام النبى صلى الله عليه وآله لايصلح من بعده إلا لمن هو كنفسه ، والإمامة من أجل الأمور بعد النبوة ، إذ هى فرض من أجل فرائض الله ، ولا يقوم بالفرائض، ولا يقبل إلا بإمام عادل)(
[iv]).
والبحرانى(
[v]) يعتبر الاقرار بالولاية من تمام الإسلام وشرط لاعتبار الاقرار بالنبوة نافعا ، وذلك لأن منزلة الاقرار بالولاية كمنزلة الاعتقاد بالتوحيد ، فالجحد عن الولاية كالجحد عن التوحيد :
(إن تمام الإسلام باعتقاد ولاية على عليه السلام ، ولا ينفع الاقرار بالنبوة مع جحد إمامة على كما لا ينفع الاقرار بالتوحيد من جحد بالنبوة)(
[vi]).
كما افترى على لسان الإمام على أن الاقرار بالنبوة لاينفع من غير الاقرار بولايته : (من لم يقر بولايتى لم ينفعه الاقرار بنبوة محمد صلى الله عليه وآله وسلم)(
[vii]).
أما شيخهم نعمة الله الجزائرى(
[viii]) ، فيرى أن الإمامة درجة فوق درجة النبوة ؛ حيث يقول : (الإمامة العامة التى هى فوق درجة النبوة والرسالة)([ix]).
إلا أن الفكرة تلك تزلزلت مع حدوث الغيـبة الصغرى ؛ فالفترة التى أعقبت موت الحسن العسكرى فى سامراء عام 260 هـ اتسمت بحيرة الشيعة وضياعهم ، فافترقت الشيعة –كما يقول النوبختى- إلى 14 فرقة(
[x]) ، فرقة واحدة فقط قالت بوجود خلف للإمام الحسن العسكرى وأن اسمه محمد وقد أخفاه والده خوفا من السلطة فستر أمره([xi]) .
اعتمد القائلون بهذه المقولة :
1. على أدلة عقلية بالدرجة الأولى ، ولكنها موجهة إلى الشيعة فقط ، لأن القضية قضية إنقاذ التشيع من الانهيار وليس نشره ؛
2. وعلى عدد من الأحاديث السنية التى تحدد عدد الخلفاء والأئمة بأنهم إثنا عشر ؛
3. وعلى المهدى وصفته أو عن ولادته وغيبته لدى فرق أخرى كالواقفية الذين قالوا بمهدية الكاظم ومن شابههم .
فقد ساعد هذا كله على استقرار فكرة المهدية عند الشيعة الاثنى عشرية ، وهى القول بعودة محمد بن الحسن العسكرى بعد فترة معينة ، مع أن الفكرة -فى الحقيقة- تتناقض مع فسلفة الإمامة التى تقول بعدم جواز خلو الأرض من قائم لله بالحجة ، ووجوب كونه معصوما ، والتعيين له فى كل مكان وزمان ، إلا أن هذه النظرية جعلوها حلا للخروج من هذا المأزق ؛ فالقول بالغيبة –فى رأيهم- يتضمن فيه التأييد لنظريتهم عن عدم خلو الأرض من قائم لله بالحجة .
استمرت الغيبة الصغرى من عام 260هـ إلى عام 329هـ وفى هذه الفترة العصيبة توصل منظروا الشيعة الإمامية إلى نظرية الوكلاء أو النواب عن الامام ، بمعنى أن هناك أشخاص معينين لهم صلة مباشرة بالإمام الغائب ، لا توثق الإمامية إلا أربعة وكلاء(
[xii]) مع الأخذ والرد ، فلإثبات النيابة اشترطوا أن يأتى مدعى النيابة بدليل أو معجزة أو كرامة تدل على اتصاله بالإمام فينقل منه الرسائل والتواقيع إلى المؤمنين به ويأخذون إليه الأموال([xiii]) .
وهكذا حتى توفى آخر النواب الأربعة على بن محمد السمرى عام 329هـ. ، وقد نقل عنه آخر توقيع عن المهدى فيه :
(بسم الله الرحمن الرحيم : يا علي بن محمد السمري أعظم الله أجر إخوانك فيك ، فإنك ميت ما بينك وبين ستة أيام فاجمع أمرك ولا توصى إلى فيقوم مقامك بعد وفاتك، فقد وقعت الغيبة التامة فلا ظهور ألا بعد إذن الله –تعالى ذكره- وذلك بعد طول الأمد وقسوة القلوب وامتلاء الأرض جورا وسيأتى لشيعتى من يدعى المشاهدة، ألا فمن ادعى المشاهدة قبل خروج السفيانى والصيحة فهو كذاب مفتر، ولا حول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم)(
[xiv]) .
فبهذا بدأت الغيبة الكبرى ودخلت الشيعة الاثنى عشربة رسميا فى غيبوبة الانتظار والتقية وذلك لقطع الطريق أمام مدعى النيابة فى جانب ، وفى جانب آخر الانسجام مع الأسس التى قامت عليها الامامة وهى عدم خلو الأرض من قائم لله بالحجة المعصوم .
من هنا كان منظروا ومتكلموا الإمامية الأوائل أجمعوا على وجوب الانتظار ومن أجله رفضوا الإجتهاد وردوا القياس ، واكتفوا بالاخبار والنقل ، وعلقوا وظائف الدولة الدينية الرئيسة مثل : جباية المال (خمس وزكاة) ، وإمضاء الجهاد ، والحدود ، والأمر بالمعروف والنهى عن المنكر ، وإقامة صلاة الجمعة ، وغيرها على وجوب وجود المعصوم أى المهدى المنتظر . فيسقط هؤلاء فقهاء الإمامية (مثل النعمانى و أيد ذلك ابن بابويه القمى -المعروف بالصدوق- والطوسى -المعروف بشيخ الطائفة) بالطبع بحثا عن أسس الدولة و إدارة الناس بوصفها حاجة ماسة وواقعية ، بل حذر وأغلق الأبواب الموصلة إلى السعى فى إقامة السلطة فى زمن الغيبة . هؤلاء الفقهاء هم المعروفون فى عرف الشيعة الإمامية بالخط الاخبارى .
إلا أن استطالة ظهور الإمام ، وتقدم الزمان ، و إلحاح الحاجة ، وكثرة النوازل قد دفع ببعض فقهاء الإمامية للسير قدما نحو فتح باب الإجتهاد وخرق أبواب فقهية كانت محكمة الإغلاق ، حتى تلك التى متوقفة على وجود الإمام المهدى كالجهاد والجمعة وإقامة الحدود وغيرها ، هؤلاء الفقهاء هم المعروفون فى أدبيات الشيعة الإمامية بالخط الأصولى . فبذلك تميزت الشيعة إلى هذه الفترة بخطين ومدرستين متميزتين هما الخط الإخبارى الذى رفض الإجتهاد والقياس والشروع فى إقامة الدولة وتعليق وظائفها على ظهور المهدى ، والخط الأصولى الذى تميز بالجرءة فى القول بفتح باب الإجتهاد .
ثم تطورت الحال أكثر من ذلك ، فإن الدواعى السابقة التى دفعت إلى القول بوجوب فتح الباب أمام الاجتهاد ، دفعت أيضا إلى ظهور القول بجواز النيـابة العامة للفقهاء فى عصر الغيبة الكبرى ، وألهم ذلك بالقول بجواز النيابة الخاصة فى عصر الغيبة الصغرى –كما تقدم الحديث من قبل- ، وإن كان هناك فرق جوهرى بينهما ؛ إذ النيابة فى الغيبة الصغرى تمت بإذن ونص من الإمام الغائب ، أما فى الغيبة الكبرى كانت عن طريق تفسير وتأويل نص الإمام . إلا أن المفكرين قد تنبؤوا باحتمال ظهرور الفكرة عن ولاية الفقيه كحتمية التطور التاريخي ، إذ أن ولاية غير الفقهاء –عند الشيعة- لن تخلوا من تعد على النظام الإمامى لتوقف شرعية كثير من الأمور على المعصوم و إذنه ، فلا يمكن النيابة عنهم إلا الفقهاء .
فقد اعتمد فقهاء الإمامية في ذلك علي بعض الأحاديث النبوية أبرزها التوقيع الصادر عن الإمام المهدي : (أما الحوادث الواقعة فارجعوا فيها إلي رواة حديثنا ، فإنهم حجتي علكم وأنا حجة الله)(
[xv]) ، ففيه دلالة علي المرجعية الدينية ببعديها الاجتماعي والفقهي . وحديث الإمام جعفر بن محمد الصادق المعروف بمقبولة عمر بن حنظلة : (من كان منكم ممن قد روي حديثنا ونظر في حلالنا وحرامنا عرف أحكامنا فليرضوا به حكما ، فإني قد جعلته عليكم حاكما)([xvi]) ، وفيه دلالة علي مرجعية شبه كاملة ، تفيد كما يذهب القائلون بولاية الفقيه العامة : القضاء وقيادة المجتمع والحكم . كذلك حديث الإمام الحسن بن علي العسكري : (وأما من كان من الفقهاء صائنا لهواه مطيعا لأمر مولاه فعلي العوام أن يقلدوه)([xvii]) . وهو دال علي مرجعية الافتاء .
فاعتمادا علي هذه الأحاديث وأمثالها بدأ فقهاء الإمامية من أنصار خط الأصولي يطرح فكرة (النيابة عن الأمام المهدي) لكن في مجالات جزئية لا مطلقة ؛ وذلك بدءا من محمد بن محمد بن النعمان الملقب المفيد (424هـ)(
[xviii]) (حيث طرح فكرة تفويض الأئمة للفقهاء في مجال الحدود ، ثم تلاه أبو الصلاح الحلبي (373-447هـ)([xix]) ؛ حيث طرح لأول مرة مصطلح وفكرة (النيابة عن الإمام المهدي) وذلك في مجال القضاء والحدود . ثم تلاه الحسن بن يوسف الحلي المعروف بالعلامة الحلي (648-726هـ)([xx]) ؛ حيث يعتبر أول من طرح فكرة النيابة العامة في مجال الزكاة ، وتلاه جعفر بن الحسن الحلي المعروف المحقق الحلي (602-676هـ)([xxi]) ؛ حيث يعتبر أول من طرح فكرة النيابة العامة في مجال صرف الخمس . أما شمس الدين محمد بن مكي العاملي الجزيني (732-786هـ) ([xxii]) . المعروف بالشهيد الأول ؛ فيعتبر أول من طرح فكرة النيابة العامة للفقهاء في مجال صلاة الجمعة([xxiii]) كما يعد أول من استخدم مصطلح (ولاية الفقيه) في أدبيات الشيعة الإمامية الاثني عشرية في كتابه الشهير (اللمعة الدمشقية) .
لكن تطورت النظرية بعد ذلك بشكل ملحوظ علي يد أحمد بن محمد مهدي النراقي (1264هـ)(
[xxiv])، حيث طرح لأول مرة فكرة (ولاية الفقيه المطلقة ) في الفكر الشيعي وأحدث في ذلك ثورة فكرية .
كما أن تلك الأحاديث وغيرها –حسب علي مؤمن- كانت كافية لفقهاء الشيعة للحفاظ علي وحدة النسيج الاجتماعي والسياسي لأتباع أهل البيت ووحدة كيان مدرسة الإمامية ووحدة قيادتها ، وما يترتب علي ذلك من ترابط وثيق بين القاعدة والقيادة ، والتي تجسدت –فيما بعد- في مفهوم (المرجعية الدينية)(
[xxv]) ، وذلك علي يد المحقق الحلي وعلماء مدرسة الحلة([xxvi]) .
وقد كان هذا الكيان نوعا من الحكومة أو الدولة ناقصة السيادة ، وبه كان يتلخص الفقه السياسي للشيعة الإمامية . ولم تكن الأحكام الخاصة بهذا الكيان مصنفة في باب فقهي مستقل ؛ لعدم شعور الفقهاء بالحاجة إليه ، أو الحيلولة دون تأليب الحكام عليكهم . واستمر هذا الحال قرونا طويلة ، كان فيها الفقهاء يتمتعون بوضع متميز في النظام الاجتماعي الشيعي ، يشكل مزيجا من القيادة الدينية والادارة الاجتماعية ، لكنهم لم يتصدوا لموقع السياسية ورئاسة الدولة ، حتي في ظل الدول التي كان حكامها ينتمون إلي مدرسة الإمامية(
[xxvii]) .
وهكذا تطورت هذه الفكرة منذ ظهورها علي شكل نظرية تنظيرية علي يد فقهاء الإمامية المجتهدين من أنصار خط الأصوليين ، حتى تعينت ظهورها علي حيز التطبيق وبشكل واقعي على يد الخمينى مع قيام جمهورية إيران الإسلامية عام 1979م. ، بعد نجاح ثورة عارمة أطاحت بموجبها محمد رضا بهلفي آخر مالك المملكة الوراثية القاجارية .
يبدو أن ظهور نظرية ولاية الفقيه علي حيز التطبيق قد فتح بابا اجتهاديا علي مصراعيه بين فقهاء الشيعة حول النظريات السياسية ، حيث ظهرت اجتهادات جديدة في هذا المجال إثر نجاح الثورة ، بلغ –كما أحصي الشيخ كديغر- علي أقل تقدير إلي أربع نظريات ، وهي :
نظرية (خلافة الأمة وإشراف المرجعية) والتي طرحت من قبل آية الله السيد محمد باقر الصدر، ونظرية (الولاية الانتخابية المقيدة للفقيه) والتي طرحها آية الله حسين المنتظري ، ونظرية (وكالة المالكين الشخصين للمشاع) والتي طرحت من قبل آية الله مهدي حائري ، ونظرية (الدولة الانتخابية الإسلامية) والتي طرحت من قبل محمد جواد مغنية والشيخ مهدي شمس الدين، وقد سمي الأخير نظريته المتميزة باسم (ولاية الأمة علي نفسها)(
[xxviii]) .
وهل هذه النظريات هي نهاية الاجتهادات في الفكر السياسي لدي الشيعة الإمامية المعاصرة ؟ يبدو أن الارهاصات للحركة الاجتهادية لدي الشيعة الإمامية عبر التاريخ سوف تنفي ذلك تماما في المستقبل القريب أو البعيد . والله أعلم .


([i]) (وقد استدلوا علي ذلك بأن ثبوت الحاكم المعصوم لا يتحقق معرفته إلا عن طريق الإخبار من الله تعالى، العالم بالسرائر والضمائر، وليس هناك طريق آخر غيره، إذ غير هذا الطريق أيضا مما يعارض قاعدة لطف الله على العباد. فترك هذا الأمر (أمر الخلافة أو الإمامة) بعد النبى r لمشورة الأمة، من غير الوصية والتعيين ولا الإشارة لهذا المنصب الخطير تعرض هذه الأمة إلى الهلاك. من هنا يجب النص من الله تعالى على لسان نبى مؤيد بالمعجزات، أو إظهار المعجزة الدالة على إمامته . (محمد باقر الشريعتى الأصفهانى، عقيدة الشيعة فى الإمامة، ص: 4-5)
ومن هنا كان سر اعتبارهم النص والوصية من ضرورة المذهب، و لا يقوم هذا المذهب إلا به . فقد أوردوا أخبارا كثيرة فى هذا المعنى، بل عقد بابا خاصا فى الكافى والبحار يسمى : (باب فى اتصال الوصية وذكر الأوصياء من لدن آدم عليه السلام إلى آخر الأمر). فى هذا المقام أخبار كثيرة أيضا ، منها :
(أن آدم عليه السلام سأل الله عز وجل أن يجعل له وصيا صالحا ، فأوحى الله إليه : إنى أكرمت الأنبياء بالنبوة ، ثم اخترت خلقى وجعلت خيارهم الأوصياء . ثم أوصى الله إليه : ياآدم أوص إلى شيت ، ... ثم قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ودفعها إلى البردة ، وأنا أدفعها إليك ياعلىّ ، وأنت تدفعها إلى وصيك ، ويدفعها وصيك إلى أوصيائك من ولدك واحدا بعد واحد ، حتى يدفعها إلى خير أهل الأرض بعدك . ولتكفرن بك الأمة ، ولتختلفن عليك اختلافا شديدا . الثابت عليك كالمقيم معى ، والشاذ عنك فى النار ، والنار مثوى للكافرين ... إلى آخر الكلام. (المرجع السابق، ص: 49-50).
([ii]) (ترى الشيعة أنه لامفر من الحجة (الولاية)، وأن الأرض لايمكن أن يخلو من الأئمة إما ظاهرا وإما خفيا، وذلك لأن عدم وجود الجحة فى الأرض ينافى لطف الله على العباد، ويسبب إلى هلاكهم. فقد أورد علماءهم هذا المعنى بعبارات مختلفة اللفظ، لكنها متخذة المعنى. منها -كما أورده الأصفهانى-:
(الإضطرار إلى الحجة، وأن الأرض لايخلو من حجة، ولولا الحجة لساخت الأرض بأهلها، حيث لم يهمل الله العباد، ولم يخلقهم عبثا، ولا بد أن يبين حجته على الخلق، لقاعدة اللفط، وليهلك من هلك عن بينة ويحيى من حى عن بينة. ولا جبر ليكون جورا فى سلطانه، ولاتفويض ليكون وهنا فى سلطانه، بل أمرهم ونهاهم بمقدار الطاقة، ولم يكلفهم فوق الطاقة، وهو أحد معانى "الأمر بين الأمرين". (محمد باقر الشريعتى الأصفهانى، عقيدة الشيعة فى الإمامة: ص 2-3)
وقال: (أنه قد ثبت بالدلالة القاطعة وجوب الإمامة فى كل زمان، لكونها لطفا فى فعل الواجبات، والامتناع من المقبوحات، فإنا نعلم ضرورة عند وجود الرئيس المهيب يكثر الصلاح من الناس ويقل الفساد، وعند عدمه يكثر الفساد ويقل الصلاح منهم، بل يجب ذلك عند ضعف أمره مع وجود غيبته) (المرحع السابق: ص 28)
ثم أيدوا أقوالهم واستدلوا بالآيات، كما استدلوا بالأخبار. من الآيات قوله تعالى: ﴿إنما أنت منذر ولكل قوم هاد﴾ (سورة الرعد: 7) ثم أورد تفسير الطبرسى لهذه الآية : (فيه أقوال .. الرابع : أن المراد بالهادى كل داع إلى الحق، وعلى هذا يكون هاد مبتدأ ولكل قوم خبره.
وقال المجلسى: على هذا الوجه الأخير تدل أخبار هذا الباب، وهى أظهر من الآية الكريمة بوجوه لا يخفى على أولى الألباب.
أما من الأخبار، فمنها : عن ابن أذينة –ويسمى بريد العجلى- قال : قلت لأبى جعفر-أو لأبى عبد الله كما فى النسخة-: (إنما أنت منذر ولكل قوم هاد) ؟ فقال المنذر رسول الله، وعلى الهادى، ولكل زمان إمام منا يهديهم إلى ما جاء به رسول الله صلى الله عليه وسلم.
وعن الأعمش عن الصادق عليه السلام عن أبيه عن على بن الحسين عليه السلام قال: نحن أئمة المسلمين، وحجج الله على العالمين وسادة المؤمنين، وقادة الغر المحجلين، وموالى المؤمنين. ونحن أمان لأهل الأرض، كما أن النجوم أمان لأهل السماء، ونحن الذين بنا يمسك الله السماء أن تقع على الأرض إلا بإذنه، وبنا يمسك الأرض أن تميد بأهلها، وبنا ينزل الغيث، وبنا ينشر الرحمة، ويخرج بركات الأرض، ولولا ما فى الأرض منا لساخت (أى خسفت بهم) (عقيدة الشيعة فى الإمامة: ص 2-3.)
([iii]) هذا الاضطرار لابد أن يُعَوَّلَ إلى معصوم مقطوع العصمة، وذلك -كما قال الأصفهانى -نقلا عن إعلام الورى-:
(لأن جهة الحاجة إلى هذا الرئيس هى ارتفاع العصمة عن الناس، وجواز فعل القبيح منهم، فإن كان هو غير معصوم وجب أن يكون محتاجا إلى رئيس آخر غيره، لأن علة الحاجة إليه قائمة فيه، والكلام فى رئيسه كالكلام فيه، فيؤدى إلى وجوب مالا نهاية له من الأئمة، أو الانتهاء إلى معصوم، وهو المطلوب الاجتماعي. ()
([iv]) النوبختى حسن بن موسى وسعد بن عبد الله القمى، كتاب فرق الشيعة، تحقيق د. عبد المنعم الخفنى، (القاهرة، دار الرشاد، الطبعة الأولى سنة 1992: ص 33
([v]) هو هاشم بن سليمان بن اسماعيل الحسينى البحرانى الكتكانى التوبلى: مفسر إمامى. نسبته إلى "توبلى" و "كتكان" من قرى البحرين، وقبره فى الأولى. وشهرته البحرانى، كما كتب هو عن نفسه فى نهاية "ايضاح المسترشدين-خ-" فى تراجم الراجعين إلى ولاية أمير المؤمنين. وله أيضا "البرهان فى تفسسير القرآن-ط" فى مجلدين، و "الدر النضيد فى فضائل الحسين الشهيد، وسلاسل الحديد" منتخب من شرح نهج البلاغة لابن الحديد، والانصاف فى النص على الأئمة الأشراف من آل عبد مناف-خ" و "تنبيه الأريب –خ" فى رجال التهذيب" و "ارشاد المسترشدين-خ" قال صاحب الروضات: وكتبه مجرد جمع وتأليف لم يتكلم فى شئ منها على ترجيح فى أقوال أو بحث أو اختيار مذهب ولا ادرى ان كان ذلك قصورا از تورعا. توفى سنة 1107هـ/1696م. (الأعلام: 8/66)
([vi]) هاشم بن سليمان البحرانى الكتكانى، البرهان فى تفسير القرآن، (الطهران، الطبعة الثانية، د.س)، (مقدمة ص 24).
([vii]) المرجع السابق: ص 24.
([viii]) هو نعمة الله بن عبد الله بن محمد بن حسين الحسينى الجزائرى: أديب، مدرس من فقهاء الإمامية. نسبته إلى جزائر البصرة. ولد فى قرية "الصباغية" من قراها، وقرأ بها ثم بشيراز فأصفهان. وعاد إلى الجزائر، وتوفى بقرية جايدر سنة 1112هـ/1701م. له كتب مها: زهرة الربيع-ط، والأنوار النعمانية فى معرفة نشأة الإنسانية-ط- فى جزءان، و مقصود الأنام فى شرح تهذيب الأحكام 12 مجلدا و مختصره غاية المرام، ونور الأنوار فى شرح كلام خبير الأخبار-خ، ومقامات النجاة-خ، و نور الأنوار فى شرح الصحيفة السجادية-ط، و فروق اللغة-ط. الأعلام: 8/39
([ix]) نعمة الله الجزائرى، زهر الربيع: ص 12.
([x]) النوبختي، فرق الشيعة، ص: 96، أو اقترقت الشيعة إلي 15 قرقة كما ذهب إلي ذلك القمي، في المقالات والفرق، ص: 102. أما المسعودي المتوفي عام 346هـ، قال أن الفرقة وصلت إلي 20 قرقة. (مروج الذهب، ص: 4/190)
([xi]) المفيد، الإرشاد في معرفة حجج الله علي العباد، تحقيق : مؤسسة آل بيت لتحقيق التراث، (دار المفيد للطباعة والنشر والتوزيع)، ص: 389.
([xii]) (هؤلاء السفراء الأربعة هم: أولهم: عثمان بن سعيد العمري، ثانيهم: (أبو جعفر) محمد بن عثمان بن سعيد العمري، وثاليهم: (أببو القاسم) الحسين بن روح، ورابعهم: (أبو الحسن) علي بن محمد السمري.
([xiii]) الطوسي، الغيبة، (طهران، دار الكتب الإسلامية، الطبعة الأولي، 1381هـ) ص: 237، 264-265 (هؤلاء السفراء الأربعة هم: أولهم: عثمان بن سعيد العمري، ثانيهم: (أبو جعفر) محمد بن عثمان بن سعيد العمري، وثاليهم: (أببو القاسم) الحسين بن روح، ورابعهم: (أبو الحسن) علي بن محمد السمري.
([xiv]) الطوسي، كتاب الغيبة، ص: 266.
([xv]) الصدوق، كمال الدين وتمام النعمة، صححه وعلق عليه علي أكبر الغفاري، (قم، مؤسسة النشر الاسلامي، التابعة لمجماعة المدرسين في قم)، ص: 484.
([xvi]) الكليني، أصول الكافي، (طهران، المكتبة الإسلامية، 1388هـ) ص: 1/86.
([xvii]) الطبرسي، الاحتجاج، (بيروت، مؤسسة الأعلمي، 1983) ص: 2/264
([xviii]) هو محمد بن محمد بن النعمان الملقب بالمفيد، يعرف بابن المعلم، محقق إمامي، انتهت رياسة الشيعة في وقته، نال –في زعمهم- شرف مكاتبة مهديهم المنتظر، وله قريب من مائتي مصنف، توفي عام 423هـ. قال الخطيب البغدادي: كان أحد أئمة الظلال، هلك به خلق من الناس إلي أن أراح الله المسلمين منه. وقال الذهبي: أكثر من الطعن علي السلف، وكانت له صولة في دولة عضد الدولة. (الأعلام، المرجع السابق، ص: 7/21؛ الحطيب البغدادي، تاريخ بغداد، ص: 3/163؛ والذهبي، ميزان الاعتدال، ص: 3/131).
([xix]) هو تقي بن نجم بن عبد الله، شيخ الإمامية، تلميذ الشريف المرتضي، وكان علامة في فقه أهل البيت، ومتكلما، مصنفا وله فتاوي تبعه عليها كبار الفقهاء. ولد سنة 374هـ، وقرأ علي الشريف المرتضي والشيخ الطوسي. من مؤلفاته: (تقريب المعارف)، و(العمدة)، و (المسألة الشافية)، و(المسألة الكافية شرح الدخيرة لللمرتضي، (شبه الملاحدة)، وغيرها. توفي في الرملة سنة 447هـ. (موسوعة طبقات الفقهاء، ص: 5/75-76)
([xx]) هو الحسن بن يوسف بن علي بن المطهر الأسدي، شيخ الإسلام عند الشيعة ، والمجتهد الإمامي الكبير، جمال الدين أبو منصور المعروف بالعلامة الحلي، وبآيات الله، وبابن المطهر. لازم الشيخ نصر الدين الطوسي، وانتهت إليه كما قال معاصره ابن داود الحلي رئاسة الإمامية إليه في المعقول والمنقول، كما أنه صاحب التحقيق والتدقيق، كثير التصانيف. ولد في سنة 648هـ. عده السيد الأمين في أعيان الشيعة أكثر من مائة كتاب، منها: (تذكرة الفقهاء)، (إرشاد الأذهان)، و(،هاية الإحكام في معرفة الأحكام)، و (مختلف الشيعة)، و(منتهي المطلب) وغيرها. وكان ابن تيمية من أكبر مناظريه من أهل السنة، حيث صنف كتابا في الرد عليه سماه (منهاج السنة). وتوفي عام 726هـ. (موسوعة طبقات الفقهاء، ص: 8/77-81).
([xxi]) هو جعفر بن الحسن بن يحيي بن الحسن بن سعيد الهذلي الحلي، المشهور بالمحقق الحلي، ولد في (602هـ) من أعاظم العلماء الإمامية فقها، وأصولا، وتحقيقا، وتصنيفا، ومعرفة بأقوال الفقهاء من الإمامية والسنة. من مؤلفاته (شرائع الإسلام في مسائل الحلال والحرام)، المختصر النافع في الفقه الإمامية)، (المعتبر في شرح المختصر)، (نكت النهاية)، و(المسلك في اصول الدين)، (المعارج في أصول الفقه). توفي عام 676هـ. (موسوعة طبقات الفقهاء، المرجع السابق، ص: 7/55-57).
([xxii]) هو محمد بن مكي العاملي، المجتهد الإمامي، ولد في جزين من قري جبل عامل بلبنان عام 734هـ، وكان علامة في الفقه، ومحيطا بدقائقه، عالما بالأصول محدثا، أديبا، شاعرا، ذا ذذهن سيال وعقلية متفتحة ونظر ثاقب. من مصنفاته (الدروس الشرعية في فقه الإمامية)، و(ذكري الشيعة في أحكام الشريعة)، و(البيان في الفقه)، و(الرسالة الألفية في فقه الصلاة)، و(الرسالة النفلية) و(غاية المراد في شرح الإشرشاد)، و(القواعد والفوائد)، و(تفسير الباقيات الصالحات)، لكن من من أشهر تصانيفه (اللمعة الدمشقية). توفي سنة 786هـ) (موسوعة طبقات الفقهاء، ص: 2/231-236).
([xxiii]) نطور الفكر السياسي الشيعي من الشوري إلي ولاية الفقيه، (بيروت، دار الجديد، الطبعة الأولي، 1998)، ص: 367-369،
([xxiv]) هو المولي أحمد بن مهدي بن أبي ذر الكاشاني النراقي. ولد في قرية نراق من قري كاشان، وتتلمذ علي والده المولي محمد مهدي وله الرواية عن الشيخ جعفر النجفي الفقيه، وتتلمذ علي يديه جمع من الأكابر كالشيخ الأعظم الأنصاري، وكان بحرا مؤاجا وأبيا شاعرا من كبراء الدين وعطماء المجتهدين، وكا له جامعية لأكثر العلوم خاصة الأصول والفه والرياضيات والنجوم. وله تصنيفات فائقة منها: شرحه علي "تجريد الأصول"، وشرحه علي "جامع السعادات" كتاب أبيه، وعوائد الأيام، ومفتاح الأحكام، وكتاب "المسند" في الفقه الاستدلالي، وله "رسالة فارسية في العبادات"، وكتاب "الرد علي الفادري النصراني سماه "سيف الأمة"، وله ديوان شعر كبير "الطاقديس". توفي في 1264هـ. في قرية نراق. (ميرزا محمد باقر الموسوي الخونساري، روضات الجنات، مؤسسة إسماعيليان، قم، ص: 1/95-99)
([xxv]) علي مؤمن، الفقه والسياسة تطور الفقه السياسي الاسلامي حتي ظهور النظريات الحديثة، (بيروت، دار الهادي، الطبعة الأولي، 2003) ص: 39.
([xxvi]) نطور الفكر السياسي الشيعي، المرجع السابق، ص: 369
([xxvii]) الفقه والسياسة، نفس المرجع السابق
([xxviii]) الشيخ محسن كديغر، نظرية الدولة في الفقه الشيعي (مع مقدمة نقدية) ترجمة الدكتور محمد سقير، (بيروت، دار الهادي، الطبعة الأولي، 2004) ص: 34-35

MENCERMATI SUMBER KEDUA DALAM WANACA SYI'AH


AL-SUNNAH AL-MUTHAHHARAH;
Mencermati Sumber Hukum Kedua dalam Wacana Pemikiran Syi’ah Imamiah al-Itsna al-asyariah.

Jika kita berbicara tentang sumber-sumber hukum, berarti kita akan berbicara tentang al-Qur’an, sunnah Nabawiah, Ijma’ dan Qiyas (bagi sunnah) atau akal (bagi Syi’ah). Pembahasan tentang sumber pertama, ketiga dan keempat dapat kita bicarakan pada pembahasan yang lain, kini kita akan menfokuskan kajian pada sumber kedua, karena pada sumber inilah akan terlihat jelas perbedaan mendasar antara Syi’ah dan Ahli Sunnah, ini akan menjadikan kajian kita dalam bab ini lebih hidup dan menarik.
Telah maklum bersama bahwa Hadits Nabawi merupakan sumber hukum kedua setelah al-Qur’an baik dalam perpektif Sunnah maupun Syi’ah, ada perbedaan mendasar disini antara sunnah dan syi’ah mengenai sumber dikeluarkannya hadits itu, bagi sunnah sumber ini hanya datang dari Nabi Muhammad Saw saja, sementara menurut syi’ah selain Rasul para Imam juga merupakan sumber hadits itu, karenanya definisi as-sunnah bagi mereka tidak saja mencakup : “perkataan, perbuatan, dan keputusan Rasulullah Saw, tapi telah meluas dan mencakup; “seluruh perbuatan, perkataan, dan keputusan para maksum yang dalam perspektif mereka masuk ke dalamnya (Nabi dan para Imam).
Kepercayaan ini muncul kerena bagi mereka, para Imam menduduki posisi sama dengan Rasul, hanya saja para Imam tidak mendapat wahyu seperti Rasul, mereka hanya mendapatkan ilham, walaupun sebagian mengatakan bahwa yang turun kepada para Imam tetap merupakan wahyu dan bukan ilham, walaupun itu tidak berarti harus membawa al-Qur’an baru.
Dalam wacana pemikiran SI, hadits –seperti halnya dalam sunnah- dibagi menjadi dua macam; Mutawatir dan Ahad, sementara Ahad terbagi kepada empat bagian; shohih, hasan, muwats-tsaq, dan dhoif.
Mutawatir, bagi mereka harus memenuhi syarat; “tidak adanya kemungkinan akal pendengar tercampur dengan syubhat taqlid yang menyebabkan hadits dan dalalahnya tertolak”([i]). Dengan syarat ini, Sayyid Dhiya’ ad-din, lalu berkesimpulan bahwa: “dengan jelas alasan-alasan para penentang kita (syi’ah) yang mengatakan bahwa tidak ada Nash bagi Amir Mu’minin (Ali Ra) untuk memangku Imamah tertolak dengan sendirinya([ii]). Dengan kata lain, jika ada seseorang yang mengatakan bahwa Rasul tidak mewasiatkan kepada Imam Ali untuk menduduki kursi Imamah sedang hadits ini sudah diriwayatkan dengan mutawatir, -maka dalam pandangan mereka- nada tuduhan harus diarahkan kepada pendengar bukan pada Hadits mutawatir itu.
Sedangkan shohih, bagi mereka adalah; “mâ ittashala sanaduhu ilâ al-maksum binaqlin al-adl al-Imâmi ‘an mitslihi fî jami’ al-thabaqôt haitsu takunu al-mutaddidah”([iii]) (yang sanadnya tersambung kepada Al-Maksum, dengan perantara penyambung (perawi) yang adil dari kalangan syi’ah Imamiah, dari yang semisalnya dalam semua tingkatan, sehingga menjadi beragam).
Dengan demikian untuk mencapai hadits shohih, syarat yang perlu dipenuhi adalah;
tersambungnya sanad kepada maksum tanpa ada keterputusan.
para perawinya berasal dari kalangan SI, dalam semua tingkatannya.
mempunyai sifat “ ’adalah” dan hafalan yang kuat.

Dari sini, kita dapat menilai bahwa pengaruh aqidah Imamiah dalam periwayatan hadits sangat kental, dimana saat mereka menganggap bahwa keimanan merupakan syarat mutlaq dalam diri perawi, yang secara otomatis selain pengikut SII, dalam pandangan mereka termasuk kafir atau setidaknya fasik([iv]).
Sedangkan Hasan, menurut mereka dalah: “Mâ ittashola sanaduhu ilâ al-maksûm bi imâmiyyin mamduh maqbulan, mu’taddan bihî, ghoiru mu’aradhin bi-dzammin, min ghoiri nas-shin ‘ala ‘adâlatihi, ma’a tahaqquqi dzalika fi jami’I marâtib ruwwati tharîqihi, au fi ba’dhihi”([v]).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa untuk mencaai derajat hadits Hasan harus memenuhi beberapa kreteria yang diantaranya;
tersambungnya sanad kepada al-maksum tanpa ada keterputusan, b. para perawi dalam semua tingkatannya adalah IMAMI/JA’FARI, c. termasuk yang dipuji dengan pujian yang layak dan wajar, tdiak terkena celaan yang tidak bisa diterima dan tidak wajar, d. tidak harus disyaratkan adanya ‘adalah pada setiap tingkatan perawi, tapi bisa pada sebagiannya saja.
pengaruh aqidah IMAMIYAH disini sangat terasa, yaitu tatkala mereka mensyaratkan seorang Imami bagi perawi dan diterimanya sebagian perawi dari kalangan SI walaupun tidak memiliki kapasitas ‘adalah dan hafalan yang kuat, sementara disini lain mereka menolak denganmentah-mentah seluruh perawi selain SI walaupun mencapai derajat keimanan dan ketaqwaan yang sangat hebat.
Al-muwats-tsaq, berarti “ma ittashola sanaduhu ila al-maksum biman nas-sho al-ash-hab ‘ala tautsiqihi, ma’a fasad ‘aqidatihi, bian kana ahad al-firaq al-mukholifah lil-imamah, wain kana min as-syi’ah, ma’a tahqiq dzalika fi jami’ ruwat thoriqihi au ba’dhuhum ma’a kauni al-baqin min rijal al-shohih” (miqbas al-Hidayah, hal. 35 dan dhiya’ al-Dirayah, hal 24-25).
Syarat muwats-tsaq –seperti termaktub diatas meliputi :
a)-Tersambungnya sanad kepada al-maksum, b)-Para perawinya bukan dari SI, tapi mendapatkan tautsiq (pengakuan/penguatan) dari ulama’ SI, c)- kualifikasi perawi semacam ini bukan pada seluruh tingkatannya, boleh jadi sebagiannya diriwayatkan oleh para perawi shohih, sehingga tidak dimasuki oleh kelemahan lain-lainnya lagi.
Pengaruh aqidah Imamiah disini sangat kental : a)- Muwats-tsaq ditaruh dalam urutan ketiga setelah shohih dan Hasan karena ada perawi selain dari kalangan SI, b)- Penguatan atau pengakuan tidak datang dari kalangan SI, oleh karena itu Dyia’uddin berkesimpulan : “bahwa pengakuan yang datang dari penentang tidak cukup, yang telah dikuatkan oleh mereka, lemah bagi kita. Standar dalam pengakuan adalah pengakuan sahabat-sahabat kita”. (Dhiya’ ad-dirayah).
Untuk mengetahui apa saja ciri-ciri yang dianggap oleh kalangan SI dapat mendatangkan pengakuan dari kalangan SI, al-Mamâqôni (ulama’ ilmu jarah dan ta’dil SI ternama) dengan gamblang menjelaskannya : “ciri-ciri selain kalangan SI yang mendapat pengakuan, dapat kita ketahui misalnya : “jika seorang Imam telah memilihnya untuk membawa atau menjadi saksi (tahammul syahadah au adaiha), dalam wasiat, atau wakaf, atau talaq, atau pengadilan, dan sejenisnya, atau seorang Imam telah mendo’akan rahmat baginya, atau meridlainya, atau mengutus seorang utusan kepada penentang atau selain penentangnya, atau seorang Imam tadi telah mempercayakan untuk mengurusi sesuatu wakaf atau wilayah misalnya, atau menjadikannya wakil, atau pembantu yang selalu menyertainya, atau penulisnya, atau diizinkan untuk mengeluarkan farwa atau keputusan atau untuk menjadi syiekh al-Ijazah, atau telah diberi kehormatan untuk melihat Imam ke 12, al-hujjah yang tengah di tunggu-tunggu, dan seterusnya … “ (lihat tankih al-maqol, abdullah al-Mamaqoni, matbaah al-murtadlawiyah, Najf, tahun 1352 H, hal 210-211 H). kualifikasi tautsiq (pengakuan) seperti dijelaskan diatas sebenarnya telah masuk ke dalam kreteria para perawi hadits Shohih, walaupun demikian ia tetap berada dalam urutan ketiga, tak lain karena pribadinya yang bukan kalangan SI.
Urutan terakhir dari hadits ahad adalah Dhoif, yaitu: “(ma la yajtami’u fihi syart ahad al-aqsam as-sabiqoh, bian isytamala ‘ala majruh bi al-fisq, wanahwihi, au ‘ala majhul al-hal, au ma duna dzalika kal-wadh-dha’) “yang tidak memenuhi syarat ketiga hadits ahad diatas, seperti jika terdapat di dalamnya perawi yang cacat disebabkan kefasikan, atau semisalnya atau perawi yang tidak diketahui kondisinya, atau yang lebih rendah dari itu semua, seperti para peletak hadits hadits palsu misalnya :. (miqbas al-Hidayah, hal 35, dan dhiya’ al-dirayah, hal 25).
Telah disinggung dimuka bahwa dalam pengkataqorian fasik, kalangan SI tidak saja beranggapan bahwa kefasikan ini berkaitan dengan pelanggaran terdapat perintah Allah, tapi menganggap mereka yang tidak beraqidah SI termasuk dalam kategori ini, bahkan sebagian –seperti yang telah disinggung dimuka- menganggapnya sebagai kafir, kecuali yang mendapat pengakuan dari kalangan SI, sepertiyang dijelaskan oleh Al-Mamaqoni dimuka. Inilah rahasia dibalik penolakan mereka hadits-hadits yang diriwayatkan oleh para Sahabat utama seperti Abu Bakar as-Shiddiq, Umar bin Khottab, Utsman, (ketiga khulafa’ ar-Rasyidah), para sahabat-sahabat utama, para tabi’in serta para fuqoha’ lainnya. Jika memang tidak meyakini Imamah sebagai aqidah bagi mereka.
Telah muncul memang gerakan yang dalam jarh dan ta’dil tidak lagi melihat sosok perowi dari sisi madzhab, tapi kualifikasi ‘adalah dan kekuatan hafalannya, namun demikian mereka masih belum mampu merubah sesuatu, rawasib itu masih terlalu kental dan mengakar.
Dari sini lalu, bisa disimpulkan bahwa kedua madrasah (khulafa’) dan (ahlu Bait) sebagaimana yang diistilahkan oleh para penulis SI kontemporer seperti Murtadha al-‘Askari –misalnya-, merupakan dua madrasah yang mempunyai dua sumber dan jalan yang berbeda, ini mengakibatkan perbedaan Hadits-hadits dari kedua belah fihak. Seperti jika dalam wacana ahli sunnah terkenal dengan kutub Sittah, dalam madrasah ahlu bait, (SI) dikenal dengan kutub al-Arba’ah (al-Kafi, karya al-Kulaini wafat th 329, Faqih man la yahdhuruhu al-Faqih, karya M. bin Babawe al-Kummi, lebih dikenal dengan al-Shoduq wafat tahun 381, Al-Tahdhib dan al-Istibshor, keduanya karya al-Thusi wafat tahun 460), yang jalan penerimaan dan kodifikasinya diterangkan oleh murtadha al-Askari dalam Ma’alim al-Madrasatain nya –sebagai tergambar dalam diagram di bawah ini :

مدرسة أهل البيت
Madrasah ahlu al-Bait
إملاء خاتم الأنبياء
Pendektean Nabi kepada Imam Ali Ra

جامعة الإمام على
Jami’ah Imam Ali Ra.

روايات الأئمة الإثنى عشر من أهل البيت
Riwayat kedua belas Imam.

الأصول والمدونات الحديثية الصغيرة
Asas dan Kodifikasi Hadits (kecil).
الكافى
Al-Kâfi
الفقيه التهذيب الاستبصار
Al-Istibshor At-Tahdhib Al-Faqîh


رسائل فقهاء مدرسة أهل البيت
Risalah para fuqoha Madrasah Ahlu Bait.

Al-Jarh wa Ta’dil.
Dari penjelasan diatas dapat digambarkan dengan jelas bahwa pola jarh dan ta’dil versi SI sangat dipengaruhi oleh aqidah Imamiah. Ini dapat kita lacak dari dua sisi : pertama : semua yang menjadikan Imamah sebagai aqidah –kecuali yang mendapatkan pengkuan kalangan SI- haditsnya di tolak, walaupun dari sudut kualifikasi ‘adalah dan kuatnya hafalan tidak diragukan. Disinipun Sahabat tidak saja ditolak haditsnya, tapi menjadi bahan perolokan, penghinaan serta penginjak-injakan martabat kedua : anggapan mereka kepada para Imam sebagai sosok yang maksum tidak lagi dipandang –dari sisi periwayatan hadits- sebagai perawi hadits yang tsiqoh, tapi dijadikan salah satu sumber-sumber tasyri’.
Ada lima buku rijal hadits ternama di kalangan SI, : Rijal al-Barqi, Rijal al-Kisy-syi, Rijal Al-Thusi, dan Fihrisnya, serta Rijal al-Najasyi. Kebanyakan para penulis buku rijal setelahnya –terutama al-Mamaqoni- dalam tankih al-Maqol fi Ilmi al-rijal, merupakan buku terpenting dan terbesar dalam ilmu rijal dalam SI, juga merujuk kepda lima buku diatas. oleh karenanya Al-Mamaqoni juga dikenal dengan sebutan al-‘Allamah at-tsani ayatullah, sedang al-‘Allamah al-Awwal disandang oleh Ibn al-Muthahhar al-hilli.

Berikut gambaran singkat jarh dan ta’dil yang mereka lakukan :
Ali bin Abi Tholib : Adalah Amir Mukmini alaihi afdholu as-sholat wa as-salam, kelebihan dan fadhilahnya tidak mungkin dapat dilukiskan dan dihitung olehmanusia, “Qul lau kana al-bahru midadan likalimati Rabbi lanafidza al-Bahru qobla an-tanfadza kalimatu Rabbi”. Diriwayatkan bahwa jika laut dijadikan tinta, pepohonan dijadikan pena serta dedaunan dijadikan kertas, jin dan manusia sebagai penulis, maka tak akan mampu mereka menghitung kelebihan dan kehebatannya. (tankih al-maqol, 2/264).
Muhammad bin Abu Bakar bin Abu Kuhafah : adalah orang besar punya manzilah yang tinggi, pendukung Imam Ali as, kecerdasannya datang dari ibunya Asma binti ‘Umais bukan datang dari bapaknya. Termasuk orang-orang cerdas dari golongan orang-orang cerdas, tapi dia dilahirkan dari keluarga yang jelek (bobrok). Dia membaiat amir Mukminin Ali untuk berlepas diri dari bapaknya dan dari kholifah kedua, seraya berkata kepadanya (Ali) : aku bersaksi bahwa anda adalah Imam yang wajib di taati dan sesungguhnya bapakku berada di Neraka ……
Abullah bin Amru bin Ash : dalampemikiran dan kemunafikannya seperti bapaknya. Demikian juga dalam kedustaan kepada Allah dan RasulNya. Dimana bersama Muawiyah sama-sama memberontak (kepada Imam Ali), dalam kasus Shiffin, ini sudah cukup untuk menjadikannya tertajrih (2/200).
Kholid binWalid : bersama Abu Bakar merancang untuk membunuh Ali as, lalu Abu Bakar menyesal karena takut terjadi fitnah, dia sering disebut sebagai pendang allah, padahal yang lebih tepat adalah sebutan pedang syetan, ia termasuk zindiq (murtad) yang kekufurannya lebih dari kekufuran iblis dalam memerangi Ahlu Bait. (1/394).
Jika demikian adanya tak terlalu salah –misalnya- jika Ust Muhibbudin al-Khotib berkesimpulan –seperti yang termaktub dalam judul bukunya : al-khututh al-Aridhah ……… bahwa SI merupakan agama tersendiri yang mempunyai pijakan danlandasan yang sangat berbeda dengan Ahlu Sunnah, sehingga iapun berkesimpulan bahwa keduanya sangat mustahil untuk diketemukan.
Wallahu a’lam bis-showab.[vi]
([i] )- Dhiya’ ad-dirayah, Sayyid shiya’ ad-din al-allamah, matba’ah al-hukm, Qom 1378 H, hal 23).
([ii] )- Ibid, hal 18.
([iii] )- Miqbas al-hidayah fi ilm al-dirayah, hal 33, Dhiya’ al-dirayah, hal 21.
([iv] )-(lihat Tahdhib al-wusul ila ilm ushul, Hasan bin Yusuf ‘Ali bin al-Mutahhar al-Hilli, Dar-khilafah, Taheran tahun 1308 H, hal 77-78).
([v] )- Miqbas Hidayah, hal 34, dan Dhiya’ add0rayahm hal 23.
[vi]

KEMBALI KE NEGERI ASAL


"Nenek moyang kita dulu dicipta dan menetap di surga, lalu diusisr karena kesalahan, tidakkah kita rindu untuk kembali ke negeri asal ?". (Imam al-Junaid)

Semua mahluk yang hidup di perantauan selalu merindukan kampung halaman. Rindu untuk kembali ke tanah kelahiran; tempat dulu dibersarkan. Rindu untuk kembali ke negeri asal, tak terkecuali ikan salmon seperti yang dikisahkan oleh cendikiawan Turki Harun Yahya.

Negeri asal kita adalah surga, karena di situlah dulu nenek moyang kita (Nabi Adam As), dicipta dan menetap. Setelah diusir karena kesalahan, Beliau dan anak cucunya melakukan pengembaraan dan hidup sebagai pelancong di Negeri ini, dengan mambawa rindu yang membara bagai sekam untuk kembali ke negeri asal.

Seperti halnya ikan salmon, upaya kembali ke negeri asal ini memang tidak mudah, penuh dengan tantangan dan rintangan, dilingkupi berbagai rayuan dan godaan, sehingga perjalanannya menjadi tidak menyenangkan, sebagaimana yang diisyaratkan oleh Baginda kita Nabi Muhammad Ssw, dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari sahabat Anas bin Malik, bahwa (Surga itu dilingkupi oleh hal-hal yang tidak menyenangkan, sementara neraka dilingkupi oleh hawa nafsu).

خُفَّتِ الجْنَةَّ ُبِالمْكَاَرِهِ وَخُفَّتِ النِّيْرَانُ بِالشَّهَوَاتِ (ملسم عن أنس بن مالك)

Oleh karena itu, perjalanan dan cita-cita besar ini membutuhkan tekad besar serta bekal yang memadai. Bekal utamanya adalah kebersihan jiwa dan kesucian hati, sebagaimana yang telah disinggung oleh Allah dalam surat: As-Syams: 9 sebagai berikut:

‰s% yxn=øùr& `tB $yg8©.y— ÇÒÈ
(Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu).

Jalan utama menuju kebersihan jiwa dan kesucian hati ini, adalah sebuah proses yang disebut oleh penulis buku yang ada di tangan pembaca dengan "Ibadah-ibadah hati".

Ibadah-ibadah zahir memang sangat penting dan menentukan bagi keselamatan manusia di dunia dan di akherat, namun demikian "ibadah-ibadah hati" lebih menentuka lagi, karena ibadah-ibadah zahir tersebut walau sudah terpenuhi syarat dan rukunnya secara sempurna, tetap tidak akan diterima oleh Allah jika tidak dibangun diatas ibadah hati yang benar dan sempurna. Sebagai contoh: shalat yang dilaksanakan dengan syarat dan rukun yang sempurna tidak akan diterima jika dilakukan tanpa keiikhlasan yang sempurna karena Allah.

Sebelas macam "Ibadah hati" yang dibahas penulis dalam buku ini, merupakan petunjuk teoritis dan praktis yang akan mengantarkan kepada kebersihan jiwa dan kebeningan hati, serta menjadi panduan dan peta petunjuk dalam perjalanan panjang kembali ke negeri asal (surga), karenanya layak dan penting untuk ditelaah, dijiwai dan direnungkan isinya, selanjunya dibumikan dalam kehidupan sehari-hari.

Sebagaimana ICMI Orsat Kairo sangat menaruh perhatian besar terhadap karya-karya ilmiah, dan problematika keummatan, juga sangat konsen terhadap permasalahan hati, yang juga merupakan akar dan kata kunci dari permasalahan bangsa kita saat ini, untuk itu dibentuklah dilingkungan Orsat Kairo sebuah sanggar yang secara intens mengkaji masalah Aqidah, Ibadah, dan akhlak, yang dinamakan Sanggar ABDIKA.

Buku ini adalah salah satu dari hasil karya ABDIKA untuk dihadiahkan kepada umat Islam, guna menjemput kebangkitan ulang Peradaban. Semoga bermanfaat dan selamat membaca !.