7.15.2009

NEGARA ISLAM YANG BUKAN ILUSI (2)


(2). PROBLEM METODOLOGI
Sanggahan atas buku Ilusi Negara Islam

Selain buku ini mengandung problem mendasar tentang masalah definisi, yang lebih membahayakan adalah bahwa buku ini mengandung problem metodologi, padahal seperti yang diklaim oleh penyusunnya buku ini digarap oleh para begawan-begawan ekademisi yang sudah malang melintang dalam dunia penelitian.

Diantara problem metodologi yang ada dalam buku ini adalah:
1- Menaruh beragam kelompok dalam satu keranjang

Kelemahan paling mencolok dalam sisi metodologi dalam buku ini adalah manakala para penyusunnya menaruh ketiga kelompok (wahabi, ikhwan muslimin, dan hizbuttahrir) dan beragam kelompok lainnya dalam satu kerangjang, ketanjang itu adalah "Kelompok Garis Keras". Padahal masing-masing memiliki karasteristik yang berbeda satu sama lain. Kelemahan metologi yang parah ini, secara lugas turut dikritisi oleh Sapto Waluyo sebagai berikut:

"Kelemahan mendasar dari buku ini, gagal mendefinisikan "Gerakan Islam Transnasional" dan mengapa sejumlah organisasi yang berbeda social origin-nya bisa dikategorikan "kaki tangan"-nya di Indonesia ?. Dengan semangat gebyah-uyah, penulis dan periset buku menyamakan kategori sosial: paham keagamaan (Wahabisme), gerakan pembaharuan (Ikhwanul Muslimin), organisasi massa (Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Front Pembela Islam, Majelis Mujahidin Indonesia, Hizbut Tahrir Indonesia) dan partai politik (PKS dan PBB). Bahkan, lebih dahsyat lagi semua gejala sosial itu disatukotakkan dengan gerakan bawah tanah hasil rekayasa intelijen, Jemaah Islamiyah (JI). Mereka semua dijadikan satu kategori "Islam garis keras" (hardliners), yang menganut absolutisme pemahaman agama dan membenarkan penggunaan cara kekerasan terhadap kelompok yang berbeda keyakinan"
.

"Definisi operasional dan metodologi yang kabur itu menunjukkan bahwa penulis/periset tidak bisa membedakan (different), sebagai misal perbandingan: sapi dengan kerbau, meski masih satu keluarga (mamalia) dalam dunia fauna. Apalagi memisahkan (disparate) sapi dengan ular atau buaya yang berbeda famili (reptilia buas). Tiap kelompok sosial (komunitas relijius, organisasi sosial, asosiasi profesi, atau partai politik) memiliki karakter masing-masing, tak bisa disamakan begitu saja, kecuali dapat dibuktikan memiliki ikatan ideologis dan struktural-organisa sional. Siapa yang bisa membuktikan bahwa gerakan Ikhwan memiliki cabang di Indonesia? Mungkin Imam Besar Ikhwanul Muslimin Indonesia, Habib Husein al-Habsyi yang bisa menjawabnya. Yang sudah pasti, DDII, FPI, dan MMI tidak menjadi onderbouw organisasi manapun. Mungkin hanya HTI yang secara terang menyebut afiliasi dengan organisasi sejenis di tingkat dunia. Sudah pasti pula, semua organisasi yang disebut tadi sama sekali tak ada kaitannya dengan JI yang dikategorikan organisasi teroris lintas Negara". (Propaganda anti "Islam Garis Keras"; Kritik untuk Buku "Ilusi Negara Islam", Sapto Waluyo)

Ternyata sebab keterjebakan para penyusun buku ini kedalam kesalahan fatal ini –menurut Sapto Waluyo-, disebabkan oleh sikap membeo dan tidak kritis terhadap pandangan indonesianis Sadanand Dhume.

"Simpulan sembrono itu ternyata berasal dari pernyataan mantan wartawan Far Eastern Economic Review yang mengaku-aku sebagai pengamat gerakan Islam, Sadanand Dhume. "Hanya ada pemikiran kecil yang membedakan PKS dengan JI. Seperti JI, manifesto pendirian PKS adalah untuk memperjuangkan Khilafah Islamiyah. Seperti JI, PKS menyimpan rahasia sebagai prinsip pengorganisasiannya, yang dilaksanakan dengan sistem sel yang keduanya pinjam dari Ikhwanul Muslimin… Bedanya, JI bersifat revolusioner, sementara PKS bersifat evolusioner. Dengan bom-bom bunuh dirinya, JI menempatkan diri melawan pemerintah, tapi JI tidak mungkin menang. Sebaliknya, PKS menggunakan posisinya di parlemen dan jaringan kadernya yang terus menjalar untuk memperjuangkan tujuan yang sama selangkah demi selangkah, dan suara demi suara… Akhirnya, bangsa Indonesia sendiri yang akan memutuskan masa depannya akan sama dengan Negara-negara Asia Tenggara lainnya, atau ikut gerakan yang berorientasi ke masa lalu dengan jubah fundamentalisme keagamaan. PKS terus berjalan. Seberapa jauh ia berhasil akan mempengaruhi masa depan Indonesia." (2009: 27, sebagaimana dikutip dari FEER, Mei 2007).

2- Tidak merujuk ke First Source Reference
Kenehan lain dari dari metodologi yang dijadikan pijakan oleh penyusun buku ini, adalah seringkali bahkan hampir mayoritas referensi tidak merujuk ke sumber pertama, contoh berikut adalah sebagian bukti dari kebenarakan klaim kami:

1. Ketika buku ini berbicara tentang wahabiyah misalnya, tidak merefer ke buku-buku Muhammad bin Abdul wahab langsung, malah merujuk kepada para penentangnya seperti Abdullah al-Qashimi, dalam bukunya al-tsaura al-wahabiyyah (hal. 65). Itupun tidak dikritisi secara memadai, Ini jelas menyalahi kode etik orisinilitas penelitian. Sehingga dapat kita simpulkan bahwa para peneliti buku ini tidak hendak mencari kebenaran melalui buku ini, akan tetapi ingin menghantam lawannya sejak awal penelitian itu dibuat. Metode seperti ini dikenal dengan al-hadmu lil hadmi, (menghancurkan untuk tujuan penghancuran) dan bertentangan dengan metode ilmiah yang objektif, yaitu al-hadmu lil bina' (penghancuran untuk tujuan membangun).

2. Ketika buku ini membahas tentang Ikhwanul Muslimin dan PKS, tidak pernah merujuk ke dukumen resmi yang dikeluarkan oleh Ikhwan maupun PKS, bahkan untuk informasi memadai tentang PKS dan Ikhwan Muslimin, penyusun buku ini malah menganjurkan kepada pembacanya untuk merefer ke Haedar Nasir dalam (Manifestasi Gerakan tarbiyah;) (hal. 79). Semua itu dilakukan berdasarkan sebuah prasangka bahwa PKS memiliki hiden agenda yang tidak dikeluarkan ke publik.

Tentu saja metode seperti ini bisa merusak semua bangunan keilmuan yang objektif, karena dengan alasan yang diada-adakan, atau dengan alasan terdapat hiden agenda, semua orang bisa membuat klaim-klaim tidak bertanggung jawab terhadap lawan polemik dan politiknya.

Yang semestinya dilakukan oleh para penyusun buku ini adalah, merujuk semua informasi tentang ikhwan ke buku-buku asli yang dikarang oleh Hasan al-Banna, atau dokumen resmi yang dikeluarkan oleh Ikhwan, serta merujuk iformasi yang memadai tentang PKS ke dokumen resmi yang dikeluarkan oleh PKS, atau kepada hasil penelitian riil dilapangan, yang diungkap apa adanya, sebelum masuknya penafsiran dan analisa peneliti. Metode seperti ini tentu akan lebih obyektif karena terhindar dari bias analisa peneliti yang subyektif.

3- Ta'mim (generalisasi) berbicara tentang gerakan keras untuk digunakan menghantam seluruh gerakan islam (transnasional)

Buku ini juga sangat sering menggunakan metode ta'mim (generalisasi) secara serampangan, dengan cara berbicara tentang sebuah kasus kekerasan yang dilakukan oleh anggota kelompok tertentu, atau pengkafiran kelompok atau oknum dari kelompok tertentu, lalu dengan mengeneralisasikan kasus ini tidak saja ke seluruh anggota kelompok tapi juga ke-kelompok-kelompok lain.

(Dalam beberapa tahun terakhir sejak kemunculannya, kelompok-kelompok garis keras telah berhasil mengubah wajah Islam Indonesia mulai menjadi agresif, beringas, intoleran, dan penuh kebencian. Padahal, selama ini Islam Indonesia dikenal lembut, toleran dan penuh kedamaian (majalah internasional newsweek pernah menyebut Islam Indonesia sebagai "Islam with a smiling face") (Ilusi Negara Islam, 2009, hal. 20)

(Karena kelompok-kelompok garis keras menganggap setiap muslim lain yang berbeda dari mereka sebagai kurang Islami, atau bahkan kafir dan murtad, maka mereka melakukan infiltrasi ke masjid-masjid, lembaga-lembaga pendidikan, instansi-instansi pemerintahan maupun swasta, dan ormas-ormas Islam moderat, terutama Muhammadiyah dan NU, untuk mengubahnya menjadi keras dan kaku juga. Mereka mengklaim memperjuangkan dan membela Islam, padahal yang dibela dan diperjuangkan adalah pemahaman yang sempit dalam bingkai ideologis dan platform politik mereka, bukan Islam itu sendiri. Mereka berusaha keras menguasai Muhammadiyah dan Nu karena keduanya merupakan ormas Islam yang kuat dan terbanyak pengikutnya. Selain itu, kelompok-kelompok ini menganggap Muhammadiah dan Nu sebagai penghalang utama pencapaian agenda poltiik mereke, karena keduanya sudah lama memperjuangkan substansi nilai-nilai Islam, bukan formalisasi dan bentuk negara maupun penerapan syariat sebagai hukum positif) (Ilusi Negara Islam, 2009, hal. 22)

(Masjid Muhammadiyah di desa kecil Sendang Ayu –yang dulunya damai dan tenang- menjadi ribut karena dimasuki PKS yang mebawa isu-isu politik ke dalam masjid, gemar mengkafirkan orang lain, dan menghujat kelompok lain, termasuk Muhammadiyah sendiri. Prof. Munit kemudian memberi penjelasan kepada masyarakat tentang cara Muhammadiyah mengatasi perbedaan pendapat, dan karena itu masyarakat itdak lagi membiarkan orang PKS memberi khotbah di masjid mereka. Dia lalu menuliskan keprihatinannya dalam Suara Muhammadiyah. Artikel ini menyulut diskusi serius tentang infiltrasi garis keras di lingkungan Muhammadiyah yang sudah terjadi di banyak tempat, dengan cara-cara yang halus maupun kasar hingga pemaksaan) (Ilusi Negara Islam, 2009, hal. 23)

Tiga poin dan kode etik penting dalam penelitian diatas sudah mampu merontokkan kredibelitas sebuah penelitian, untuk kemudian menilai apakah penelitian tersebut bermutu atau tidak sehingga harus disimpan di tong sampah.