7.15.2009

NEGARA ISLAM YANG BUKAN ILUSI (2)


(2). PROBLEM METODOLOGI
Sanggahan atas buku Ilusi Negara Islam

Selain buku ini mengandung problem mendasar tentang masalah definisi, yang lebih membahayakan adalah bahwa buku ini mengandung problem metodologi, padahal seperti yang diklaim oleh penyusunnya buku ini digarap oleh para begawan-begawan ekademisi yang sudah malang melintang dalam dunia penelitian.

Diantara problem metodologi yang ada dalam buku ini adalah:
1- Menaruh beragam kelompok dalam satu keranjang

Kelemahan paling mencolok dalam sisi metodologi dalam buku ini adalah manakala para penyusunnya menaruh ketiga kelompok (wahabi, ikhwan muslimin, dan hizbuttahrir) dan beragam kelompok lainnya dalam satu kerangjang, ketanjang itu adalah "Kelompok Garis Keras". Padahal masing-masing memiliki karasteristik yang berbeda satu sama lain. Kelemahan metologi yang parah ini, secara lugas turut dikritisi oleh Sapto Waluyo sebagai berikut:

"Kelemahan mendasar dari buku ini, gagal mendefinisikan "Gerakan Islam Transnasional" dan mengapa sejumlah organisasi yang berbeda social origin-nya bisa dikategorikan "kaki tangan"-nya di Indonesia ?. Dengan semangat gebyah-uyah, penulis dan periset buku menyamakan kategori sosial: paham keagamaan (Wahabisme), gerakan pembaharuan (Ikhwanul Muslimin), organisasi massa (Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Front Pembela Islam, Majelis Mujahidin Indonesia, Hizbut Tahrir Indonesia) dan partai politik (PKS dan PBB). Bahkan, lebih dahsyat lagi semua gejala sosial itu disatukotakkan dengan gerakan bawah tanah hasil rekayasa intelijen, Jemaah Islamiyah (JI). Mereka semua dijadikan satu kategori "Islam garis keras" (hardliners), yang menganut absolutisme pemahaman agama dan membenarkan penggunaan cara kekerasan terhadap kelompok yang berbeda keyakinan"
.

"Definisi operasional dan metodologi yang kabur itu menunjukkan bahwa penulis/periset tidak bisa membedakan (different), sebagai misal perbandingan: sapi dengan kerbau, meski masih satu keluarga (mamalia) dalam dunia fauna. Apalagi memisahkan (disparate) sapi dengan ular atau buaya yang berbeda famili (reptilia buas). Tiap kelompok sosial (komunitas relijius, organisasi sosial, asosiasi profesi, atau partai politik) memiliki karakter masing-masing, tak bisa disamakan begitu saja, kecuali dapat dibuktikan memiliki ikatan ideologis dan struktural-organisa sional. Siapa yang bisa membuktikan bahwa gerakan Ikhwan memiliki cabang di Indonesia? Mungkin Imam Besar Ikhwanul Muslimin Indonesia, Habib Husein al-Habsyi yang bisa menjawabnya. Yang sudah pasti, DDII, FPI, dan MMI tidak menjadi onderbouw organisasi manapun. Mungkin hanya HTI yang secara terang menyebut afiliasi dengan organisasi sejenis di tingkat dunia. Sudah pasti pula, semua organisasi yang disebut tadi sama sekali tak ada kaitannya dengan JI yang dikategorikan organisasi teroris lintas Negara". (Propaganda anti "Islam Garis Keras"; Kritik untuk Buku "Ilusi Negara Islam", Sapto Waluyo)

Ternyata sebab keterjebakan para penyusun buku ini kedalam kesalahan fatal ini –menurut Sapto Waluyo-, disebabkan oleh sikap membeo dan tidak kritis terhadap pandangan indonesianis Sadanand Dhume.

"Simpulan sembrono itu ternyata berasal dari pernyataan mantan wartawan Far Eastern Economic Review yang mengaku-aku sebagai pengamat gerakan Islam, Sadanand Dhume. "Hanya ada pemikiran kecil yang membedakan PKS dengan JI. Seperti JI, manifesto pendirian PKS adalah untuk memperjuangkan Khilafah Islamiyah. Seperti JI, PKS menyimpan rahasia sebagai prinsip pengorganisasiannya, yang dilaksanakan dengan sistem sel yang keduanya pinjam dari Ikhwanul Muslimin… Bedanya, JI bersifat revolusioner, sementara PKS bersifat evolusioner. Dengan bom-bom bunuh dirinya, JI menempatkan diri melawan pemerintah, tapi JI tidak mungkin menang. Sebaliknya, PKS menggunakan posisinya di parlemen dan jaringan kadernya yang terus menjalar untuk memperjuangkan tujuan yang sama selangkah demi selangkah, dan suara demi suara… Akhirnya, bangsa Indonesia sendiri yang akan memutuskan masa depannya akan sama dengan Negara-negara Asia Tenggara lainnya, atau ikut gerakan yang berorientasi ke masa lalu dengan jubah fundamentalisme keagamaan. PKS terus berjalan. Seberapa jauh ia berhasil akan mempengaruhi masa depan Indonesia." (2009: 27, sebagaimana dikutip dari FEER, Mei 2007).

2- Tidak merujuk ke First Source Reference
Kenehan lain dari dari metodologi yang dijadikan pijakan oleh penyusun buku ini, adalah seringkali bahkan hampir mayoritas referensi tidak merujuk ke sumber pertama, contoh berikut adalah sebagian bukti dari kebenarakan klaim kami:

1. Ketika buku ini berbicara tentang wahabiyah misalnya, tidak merefer ke buku-buku Muhammad bin Abdul wahab langsung, malah merujuk kepada para penentangnya seperti Abdullah al-Qashimi, dalam bukunya al-tsaura al-wahabiyyah (hal. 65). Itupun tidak dikritisi secara memadai, Ini jelas menyalahi kode etik orisinilitas penelitian. Sehingga dapat kita simpulkan bahwa para peneliti buku ini tidak hendak mencari kebenaran melalui buku ini, akan tetapi ingin menghantam lawannya sejak awal penelitian itu dibuat. Metode seperti ini dikenal dengan al-hadmu lil hadmi, (menghancurkan untuk tujuan penghancuran) dan bertentangan dengan metode ilmiah yang objektif, yaitu al-hadmu lil bina' (penghancuran untuk tujuan membangun).

2. Ketika buku ini membahas tentang Ikhwanul Muslimin dan PKS, tidak pernah merujuk ke dukumen resmi yang dikeluarkan oleh Ikhwan maupun PKS, bahkan untuk informasi memadai tentang PKS dan Ikhwan Muslimin, penyusun buku ini malah menganjurkan kepada pembacanya untuk merefer ke Haedar Nasir dalam (Manifestasi Gerakan tarbiyah;) (hal. 79). Semua itu dilakukan berdasarkan sebuah prasangka bahwa PKS memiliki hiden agenda yang tidak dikeluarkan ke publik.

Tentu saja metode seperti ini bisa merusak semua bangunan keilmuan yang objektif, karena dengan alasan yang diada-adakan, atau dengan alasan terdapat hiden agenda, semua orang bisa membuat klaim-klaim tidak bertanggung jawab terhadap lawan polemik dan politiknya.

Yang semestinya dilakukan oleh para penyusun buku ini adalah, merujuk semua informasi tentang ikhwan ke buku-buku asli yang dikarang oleh Hasan al-Banna, atau dokumen resmi yang dikeluarkan oleh Ikhwan, serta merujuk iformasi yang memadai tentang PKS ke dokumen resmi yang dikeluarkan oleh PKS, atau kepada hasil penelitian riil dilapangan, yang diungkap apa adanya, sebelum masuknya penafsiran dan analisa peneliti. Metode seperti ini tentu akan lebih obyektif karena terhindar dari bias analisa peneliti yang subyektif.

3- Ta'mim (generalisasi) berbicara tentang gerakan keras untuk digunakan menghantam seluruh gerakan islam (transnasional)

Buku ini juga sangat sering menggunakan metode ta'mim (generalisasi) secara serampangan, dengan cara berbicara tentang sebuah kasus kekerasan yang dilakukan oleh anggota kelompok tertentu, atau pengkafiran kelompok atau oknum dari kelompok tertentu, lalu dengan mengeneralisasikan kasus ini tidak saja ke seluruh anggota kelompok tapi juga ke-kelompok-kelompok lain.

(Dalam beberapa tahun terakhir sejak kemunculannya, kelompok-kelompok garis keras telah berhasil mengubah wajah Islam Indonesia mulai menjadi agresif, beringas, intoleran, dan penuh kebencian. Padahal, selama ini Islam Indonesia dikenal lembut, toleran dan penuh kedamaian (majalah internasional newsweek pernah menyebut Islam Indonesia sebagai "Islam with a smiling face") (Ilusi Negara Islam, 2009, hal. 20)

(Karena kelompok-kelompok garis keras menganggap setiap muslim lain yang berbeda dari mereka sebagai kurang Islami, atau bahkan kafir dan murtad, maka mereka melakukan infiltrasi ke masjid-masjid, lembaga-lembaga pendidikan, instansi-instansi pemerintahan maupun swasta, dan ormas-ormas Islam moderat, terutama Muhammadiyah dan NU, untuk mengubahnya menjadi keras dan kaku juga. Mereka mengklaim memperjuangkan dan membela Islam, padahal yang dibela dan diperjuangkan adalah pemahaman yang sempit dalam bingkai ideologis dan platform politik mereka, bukan Islam itu sendiri. Mereka berusaha keras menguasai Muhammadiyah dan Nu karena keduanya merupakan ormas Islam yang kuat dan terbanyak pengikutnya. Selain itu, kelompok-kelompok ini menganggap Muhammadiah dan Nu sebagai penghalang utama pencapaian agenda poltiik mereke, karena keduanya sudah lama memperjuangkan substansi nilai-nilai Islam, bukan formalisasi dan bentuk negara maupun penerapan syariat sebagai hukum positif) (Ilusi Negara Islam, 2009, hal. 22)

(Masjid Muhammadiyah di desa kecil Sendang Ayu –yang dulunya damai dan tenang- menjadi ribut karena dimasuki PKS yang mebawa isu-isu politik ke dalam masjid, gemar mengkafirkan orang lain, dan menghujat kelompok lain, termasuk Muhammadiyah sendiri. Prof. Munit kemudian memberi penjelasan kepada masyarakat tentang cara Muhammadiyah mengatasi perbedaan pendapat, dan karena itu masyarakat itdak lagi membiarkan orang PKS memberi khotbah di masjid mereka. Dia lalu menuliskan keprihatinannya dalam Suara Muhammadiyah. Artikel ini menyulut diskusi serius tentang infiltrasi garis keras di lingkungan Muhammadiyah yang sudah terjadi di banyak tempat, dengan cara-cara yang halus maupun kasar hingga pemaksaan) (Ilusi Negara Islam, 2009, hal. 23)

Tiga poin dan kode etik penting dalam penelitian diatas sudah mampu merontokkan kredibelitas sebuah penelitian, untuk kemudian menilai apakah penelitian tersebut bermutu atau tidak sehingga harus disimpan di tong sampah.

NEGARA ISLAM YANG BUKAN ILUSI (1)


(1). PROBLEM DEFINISI
Sanggahan atas buku Ilusi Negara Islam

Akhir-akhir ini, umat Islam di Indonesia dikejutkan oleh terbitnya sebuah buku yang merupakan pertama dalam sejarah umat Islam di Indonesia semenjak pertama kali Islam masuk Nusantara sekitar abad 12 Miladi( ). Sebuah buku yang belum ada tandingannya hingga oleh karangan para orientalis sekalipun dalam upaya menfitnah, menghasut, mengadu domba dan memecah belah umat Islam di Indonesia.

Buku ini menjadi penting karena diberi pengantar oleh seorang profesor akademisi dan kiyai besar, masing-masing mantan Ketua Umum sebuah Organisasi Masyarakat terbesar kedua dan pertama di Indonesia, serta ditutup dengan tulisan akhir (epilog) dari seorang kiyai spritualis karismatik, yang baru-baru ini mendapat gelar doktor honoris kausa, dan merupakan tokoh penting dilingkungan Nahdhiyyin.

Buku yang penulis maksud, dan tentu sudah diketahui oleh para pembaca sekalian dan sudah maklum bersama adalah Ilusi Negara Islam; Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia.

Buku ini menyoroti perkembangan tiga gerakan yang oleh penyusunnya disebut sebagai gerakan transnasional, yaitu: Gerakan Wahabi, Ikhwan Muslimin dan Hizbuttahrir, serta dengan gamblang mengungkap kegelisahan para penulis dan penelitinya akan laju dan pengaruh tiga gerakan tersebut yang mulai meluas di Indonesia.

Tulisan ini mencoba mereview buku yang kontroversial tersebut lalu menyangga beberapa pemikiran mendasar yang dilontarkan di dalamnya secara objektif dan terperinci, dalam poin-poin berikut( ).
1. Probelm Definisi
2. Problem Metodologi
3. Problem Konten
4. Negara yang mereka impikan

(1). Poblem Definisi

Buku ini mendefinikan gerakan garis keras ke dalam dua level; individu dan organisasi. Individu garis keras didefinisikan ke dalam delapan kreteria sbb:

"(1) orang yang menganut pemutlakan atau absolutisme pemahaman agama; (2) bersikap tidak toleran terhadap pandangan dan keyakinan yang berbeda; (3) berperilaku atau menyetujui perilaku dan/atau mendorong orang lain atau pemerintah berperilaku memaksakan pandangannya sendiri kepada orang lain; (4) memusuhi dan membenci orang lain karena berbeda pandangan; (5) mendukung pelarangan oleh pemerintah dan/atau pihak lain atas keberadaan pemahaman dan keyakinan agama yang berbeda; (6) membenarkan kekerasan terhadap orang lain yang berbeda pemahaman dan keyakinan tersebut; (7) menolak dasar negara pancasila sebagai landasan hidup bersama bangsa Indonesia; (8) dan atau menginginkan adanya Dasar Negara Islam, bentuk Negara Islam, ataupun khilafah Islamiyah"

Sementara organisasi garis keras didefinisikan ke dalam kriteria sebagai berikut:
((1) kelompok yang merupakan himpunan individu-individu dengan karakteristik yang disebutkan di atas, (2) ditambah dengan visi dan misi organisasi yang menunjukkan orientasi tidak toleran terhadap perbedaan, baik semua karakter ini ditunjukkan secara terbuka maupun tersembunyi)

Di sisi lain buku ini mendifinisikan Islam moderat ke dalam lima kriteria, berikut:
1) individu yang menerima dan menghargai pandangan dan keyakinan yang berbeda sebagai fitrah; (2) tidak mau memaksakan kebenaran yang diyakininya kepada orang lain, baik secara langsung atau melalui pemerintah; (3) menolak cara-cara kekerasan atas nama agama dalam bentuk apa pun; (4) menolak berbagai bentuk pelarangan untuk menganut pendangan keyakinan yang berbeda sebagai bentuk kebebasan beragama yang dijamin oleh konstitusi negara kita; (5) menerima dasar negara pancasila sebagai landasan hidup bersama dan bentuk negara kesatuan republik indonesia (NKRI) sebagai konsesus final dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang melindungi perbedaan dan keramaman yang ada di tanah air)

Sementara organisasi moderat didefinisikan sebagai:
(1) kelompok yang memiliki karakteristik seperti yang tercermin dalam karakteristik individu moderat, (2) ditambah dengan visi dan misi organisasi yang menerima dasar negara pancasila sebagai landasan hidup bersama bangsa indonesia dan bentuk negara kesatuan republik indoneesi (NKRI)) sebagai konsesus final dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. (Hal. 47-49)

Pertanyaan yang masih menggelanyut di benak banyak pembaca adalah: "Dari mana kriteria tentang Individu dan organisasi Garis keras dan moderat dibuat ?", Bukankah mengherankan, buku sepenting ini –karena akan meletakkan 3 kelompok dalam posisi akan mengancam masyarakat bahkan NKRI- tidak menyebutkan dari mana referensi kriteria-kriteria mereka dibuat.

Ternyata jawabannya tidak sulit, karena ternyata delapan kriteria diatas tidak keluar dari kriteria hasil penelitian tim yang dibentuk oleh Rand Corporation, yang diterbitkan dalam sebuah judul buku "Building Moderate Muslim Networks( ).
Untuk mengkomparasikan antara dua kriteria mari kita mencoba melihat kriteria versi "Building Moderate Muslim Networks" di bawah ini.

Untuk mengklasifikasikan kelompok yang akan menjadi target, hasil laporan meletakkan 11 pertanyaan sebagai tolak ukur dan standar. Sebelas kreteria yang diformat dalam sebuah pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut.

[APPLICATION OF CRITERIA

Therefore, in determining whether a group or movement meets this characterization of moderation, a reasonably complete picture of its worldview is needed. This picture can emerge from the answers given to the following questions:

1. Does the group (or individual) support or condone violence? if it does not support or condone violence now, has it in the past ?
• Apakah kelompok atau individu tersebut menerima kekerasan atau melakukannya? Jika tidak menerimanya sekarang atau mendukung kekerasan saat ini , apakah telah melakukannya pada masa yang lalu ?
2. Does it support democracy? and if so, does it define democracy broadly in terms of individual rights ?
• Apakah kelompok tersebut mendukung (menganut) paham demokrasi ? jika memang demikian, apakah demokrasi yang mereka anut telah sesuai dengan pemahaman yang luas dan memiliki keterkaitan dengan hak-hak individu ?
3. Does it support internationally recognized human rights?
• Apakah mereka mendukung hak asasi manusia seperti yang telah disepakati secara internasional.
4. Does it make any exception (e.g. regarding freedom of religion)?
• Apakah ada pengecualian dalam hal ini (seperti: yang berkaitan dengan kebebasan beragama)
5. Does it believe that changing religions is an individual right?
• Apakah kelompok ini menganut paham bahwa konversi agama merupakan hak individu ?
6. Does it believe the state should enforce the criminal-law component of Shari' a?
• Apakah mereka menganut paham bahwa Negara wajib menjalankan syariat Islam dalam hal hukum kriminalitas ?
7. Does it believe the state should enforce the civil-law component of shari'a? Or does it believe there should be non-shari 'a options for those who prefer civil-law matters to be adjudicated under a secular legal system?
• Apakah mereka menganut paham bahwa Negara wajib menerapkan syariat yang berkaitan dngan perundang-undangan sipil ? dan apakah mereka menganut paham bahwa diperlukan adanya alternative yang tidak bersandarkan kepada syariah bagi yang menginginkan untuk kembali kepada undang-undang sipil dalam bingkai undang-undang secular ?
8. Does it believe that members of religious minorities should be entitled to the same rights as Muslims?
• Apakah mereka menganut paham bahwa minoritas wajib mendapatkan hak yang sama sama dengan hak-hak yang diperoleh oleh orang muslim ?
9. Does it believe that a member of a religious minority could hold high political office in a Muslim majority country?
• Apakah mereka menganut paham bahwa dimungkinkan bagi salah satu anggota minoritas untuk menduduki posisi (jabatan politik) yang tinggi dalam pemerintahan dalam masyarakat yang mayoritas beragama Muslim ?
10. Does it believe that members of religious minorities are entitled to build and run institution of their faith (churches and synagogues) in Muslim majority countries?
• Apakah mereka menganut paham bahwa para minoritas berhak membangun tempat ibadah seperti (gereja atau sinagog), di Negara-negara yang mayoritas penduduknya muslim ?
11. Does it accept a legal system based on nonsectarian legal principles?]
• Apakah mereka menerima undang-undang yang dibangun diatas prinsip-prinsip syariah non sectarian ( ).

Jelas, buku ilusi menjadikan poin kekerasan dan penerapan syariah, sebagai kriteria utama dalam upaya mengklasifikasikan gerakan garis keras, dan poin-poin tersebut secara tegas disebut dalam kriteria "Building Moderate Muslim Networks". Sehingga dapat disimpulkan: Jika penulis buku Ilusi Negara Islam mengaku bahwa mereka telah mengadakan penelitian selama dua tahun, itu artinya penelitian tersebut dimulai pada tahun 2007, tahun dimana buku Building Moderate Muslim Networks diterbitkan, yang dengan demikian penelitian Ilusi Negara Islam tak lain merupakan realisasi dari rekomendasi tersebut.

Ini berkaitan dengan sumber (referensi) definisi garis keras dan moderat, adapun tentang poin-poin dalam kriteria definisi gerakan keras dan moderat akan kita bahas sebagai berikut:

Kriteria individu garis keras dari nomor satu hingga nomor enam, merupakan kriteria umum yang dapat diterima, masalah yang perlu dicermati adalah, apakah ktiteria-kiteria tersebut tepat jika diterapkan pada ketiga kelompok yang dianggap oleh penyusun buku tersebut sebagai "garis keras". Mari kita cermati masalah ini, dengan seksama.

Pertama: Hal yang dapat dinilai gegabah dan tidak metodologis adalah ketika penyusun buku ini menaruh tiga kelompok yaitu, Wahabi, Ikhwan muslimin, dan Hizbuttahrir dalam satu keranjang sebagai kelompok garis keras, tanpa dilakukan pemilahan secara ilmiah. Padahal ketiga kelompok tersebut memiliki karasteristik yang berbeda satu sama lain, lebih dari itu apa dan siapa yang mereka maksudkan dari gerakan wahabi, apakah yang mereka maksud adalah gerakan salafi, jika bernar, gerakan salafi sendiri terbagi kedalam beberapa faksi( ): Ada faksi Salafi Tradisional (Salafiyyah Taqlidiyyah), Ada faksi salafi jihadi (Salafiyah Jihadiyah) yang mengambil jihad sebagai sarana dalam melakukan dakwah dan perubahan, faksi inipun di Indonesia terdiri dari berbagai faksi( ), Ada faksi Salafi Reformasi atau Pergerakan (Salafiyah Ishlahiyah atau Harakiyah), sehingga menjadi sangat gegabah dan tidak ilmiah sama sekali tatkala buku ini meletakkan tiga kelompok dengan berbagai faksinya dalam satu keranjang yang sangat mengerikan yaitu "kelompok garis keras".

Lebih aneh lagi, dengan menyitir pendapat Sadanand Dume, sang editor menandaskan bahwa PKS lebih berbahaya dari JI, bagai pancasila, UUD 45, dan NKRI( ).

Kedua: dalam kriteria pertama: "(1) Orang yang menganut pemutlakan atau absolutisme pemahaman agama; Apa yang dimaksud dengan pemutlakan atau absolutisme pemahaman agama ?. disini penulis tidak menemukan penjelasan secara rinci dan mendalam.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, (absolut=mutlak, sementara absolutisme; bentuk pemerintahan dengan semua kekuasaan terletak di tangan penguasa) (KBBI, edisi, III, hal. 3).

Absulutisme dalam pemahaman agama dapat didefinisikan sebagai; sebuah keyakinan bahwa dirinya/kelompoknya adalah satu-satunya pemegang resmi pemahanan keagamaan yang dianggap mutlak benar dan sah, karenanya harus diambil, yang secara otomatis menganggap pemahaman orang lain sebagai pemahaman yang mutlak salah, karenanya harus ditinggalkan dan diperangi.

Jika definisi diatas disepakati, yang menjadi masalah kemudian adalah bahwa buku Ilusi Negara Islam ini juga tidak memberikan satu dalil empirispun yang menyatakan bahwa ketiga kelompok –yang dianggap sebagai gerakan keras itu-, termasuk kelompok yang memenuhi kriteria sebagai kelompok yang menganut absolutisme pemahaman agama; baik berupa tulisan maupun perbuatan.

Dalam realitanya, kelompok yang menganut paham absolutisme pemahaman agama memiliki ciri, mudah menvonis kafir, bid'ah, sesat, musyrik jahiliyah dan sejenisnya terhadap pihak yang berbeda pendapat dengannya tanpa dalil dan burhan, tapi sekali lagi, buku yang –konon- disusun oleh para akademisi dan sarjana itu, tidak memberikan pembuktian secara nyata masuknya ketiga kelompok yang menjadi objek pemhasannya ke dalam penganut absolutisme pemahaman keagamaan.

Sebaliknya, justru dengan mudah kita dapat menemukan praktek absolutisme pemahaman agama ini dalam buku Ilusi Negara Islam ini, berikut beberapa dalil empirik yang membuktikan kebenaran klaim ini:

Pertama: Penyusun buku ini selalu menggambarkan ketiga kelompok tersebut sebagai garis keras, sekaligus mengklaim sebagai pemahaman yang bertentangan dengan Islam, tradisi budaya dan corak keberagamaan bangsa Indonesia, serta telah menodai kehormatan dan kemuliyaan Islam:

(Menyadarkan para elit dan masyarakat bahwa paham dan ideologi garis keras yang dibawa oleh gerakan Islam transnasional dari Timur Tengah dan disebarkan oleh kaki tangannya di Indonesia bertentangan dengan Islam serta tradisi, budaya dan corak keberagamaan bangsa Indonesia yang sejak lama bersifat santun, toleran dan moderat). (hal. 229)

(Alasan melawan gerakan garis keras adalah: a. untuk mengembalikan kemuliaan dan kehormatan islam yang telah mereka nodai dan sekaligus untuk menyelamatkan NKRI dan pancasila. b. mengembalikan keluhuran ajaran islam sebagai rahmatan lil alamin, dan ini merupakan salah satu kunci untuk membangun perdamaian dunia). (Gusdur, musuh dalam selimut).

Terkadang digambarkan sebagai para penganut ideologi totalitarian-sentralistik dengan pemahaman dan pengamalan agama yang terbatas dan dangkal, namun sok ingin mewakili Allah:

(Mereka menganut ideologi totalistarian-sentralistik yang menjadikan agama sebagai justifikasi teologis bagi ambisi politiknya. Sedangkan agenda utama mereka adalah untuk menjadi wakil Allah. Dengan segala keterbatasan dan kedangkalan pemahaman dan pengamalannya atas ajaran islam, mereka mereasa berhak mewakili-Nya.) (hal.223)

Lebih dari itu, sang editor dalam pengantarnya tanpa malu dan ragu-ragu meletakkan lawan polemik dan politiknya dalam sebuah judul besar "Musuh Dalam Selimut".

Padahal jelas, sebagaimana yang mereka percayai dan yakini bahwa pemahaman keagamaan mereka, merupakan salah satu versi dari versi-versi pemahaman yang berkembang di Indonesia, dengan demikian tidak dibenarkan bagi siapapun untuk meng-klaim bahwa pemahaman pihak lain sebagai pehamaman yang bertentangan dengan Islam, tradisi, budaya dan corak keberagamaan bangsa Indonesia, karena klaim-klam tersebut akan berhadapan vis a vis dengan pertanyaan-pertanyaan berikut: "Bertentangan dengan pemahaman yang mana ?, tradisi yang mana ?, dan budaya serta corak keberagamaan bangsa Indonesia yang mana?". Tentunya pertentangan tersebut terjadi dengan pemahaman keagamaan yang mereka fahami. Nah Berdasarkan definisi absolutisme diatas, bahwa berpegang teguh kepada salah satu versi pemahaman keagamaan, dan menganggap itu yang paling benar, sehingga implikasinya, menyatakan bahwa versi pemahaman pihak lain menjadi tidak sah, bertentangan dengan Islam, menodai kemuliaan Islam, pemahaman yang dangkal, sok mewakili Tuhan dan seterusnya, adalah pengejawantahan yang sesungguhnya dari bentuk absolutisme.

Maka tidak mengherankan jika, paradigma ini kemudian membawa mereka kepada keterjebakan kedalam sikap tidak toleran, menebarkan permusuhan dan kebencian kepada orang lain, yang berbeda pandangan, sebagai mana yang mereka sebut dalam kriteria nomor 2 dan 4( ) :

Misalnya, Dengan yakin sang editor mengobarkan semangat perlawanan terhadap gerakan yang ia yakini telah menodai kehormatan Islam tersebut seraya berkata:

(Alasan melawan gerakan garis keras adalah: a. untuk mengembalikan kemuliaan dan kehormatan islam yang telah mereka nodai dan sekaligus untuk menyelamatkan NKRI dan pancasila. b. mengembalikan keluhuran ajaran islam sebagai rahmatan lil alamin, dan ini merupakan salah satu kunci untuk membangun perdamaian dunia). (Gusdur, musuh dalam selimut).

Dalam tujuan studi ini juga disebutkan, bahwa hasil studi ini diharapkan bisa menjadi batu loncatan bagi gerakan perlawanan terhadap agenda gerakan Islam transnasional di Indonesa bahkan seluruh dunia:

(Sementara secara praksis, hasil studi ini diharapkan bisa menjadi batu loncatan bagi gerakan perlawanan terhadap agenda gerakan Islam transnasional di Indonesia dan seluruh dunia, memobilisasi para pemimpin dan umat Islam yan belum terkontaminasi ideologi gerakan garis keras untuk secara sadar melawan penyebaran ideologi mereka) (hal. 47).

Paradigma Absolutisme penyusun buku Ilusi Negara Islam ini, akhirnya terjerembab juga kedalam lubang kriteria ke lima dan ke tiga yang mereka buat sendiri( ).

Pada halaman 229 buku ini disebutkan sebagai berikut:

(Menyadarkan para elit dan masyarakat bahwa paham dan ideologi garis keras yang dibawa oleh gerakan Islam transnasional dari Timur Tengah dan disebarkan oleh kaki tangannya di Indonesia bertentangan dengan Islam serta tradisi, budaya dan corak keberagamaan bangsa Indonesia yang sejak lama bersifat santun, toleran dan moderat). (hal. 229)

Karena tujuan dari gerakan penyadaran para elit dan masyarakat adalah supaya mereka yakin bahwa paham –yang mereka kategorikan sebagai ideologi garis keras- benar-benar bertentangan dengan tradisi, budaya dan corak keberagamaan bangsa Indonesia, yang selanjutnya pemahaman ini membawa kepada perlawanan yang nantinya berakhir dengan pelarangan, dan ini adalah bentuk paling riil dari sikap memaksakan pandangannya sendiri kepada orang lain.

Disamping itu, ketiga gerakan yang dikategorikan sebagai gerakan keras tersebut dalam buku ini selalu digambarkan sebagai gerakan para mafia yang memiliki ambisi kekuasaan dan olehkarenanya digambarkan sebagai gerakan yang akan menjadikan semua pihak yang mengganggu kelancaran tercapainya misi ini (dalam hal ini terutama NU dan Muhammadiyah) sebagai musuh:

(untuk saat ini, mereka masih bisa bersatu karena merasa menghadapi musuh bersama, yakni umat Islam moderat yang menolak formalisasi agama dan lebih menekankan spiritualitas dan keberagamaan substantif. Kelak, jika kelompok moderat telah berhasil dikuasai, mereka akan bertikai diantara mereka sendiri untuk merebut kekuasaan mutlak di tanah air kita) (Hal. 225)

Sehingga lengkap sudahlah perangkat untuk mengadu domba umat Islam di Indonesia; satu sisi, "Kelompok Garis Keras" digambarkan sebagai mafia yang akan membumi hanguskan semua musuhnya (dalam hal ini terutama NU dan Muhammadiyah), di sisi lain digambarkan sebagai bahaya laten yang akan mengancam ormas moderat bahkan keutuhan bangsa, sehingga harus ditumpas dan diperangi.
_________________________

(1) Tentang masuknya Islam ke Nusantara masih menjadi perdebatan diantara para sejarawan Indonesia, dan belum menemukan kata sepakat dalam hal ini.
(2) Tentu dengan memohon pertolongan dari Allah swt. Agar diberi taufik serta kekuatan untuk dapat menyelesaikan cocatan ringan ini sebagai bagian dari tanggung jawab dan beban moral sebagai Thalibul ilmi yang kebetulan sedang mendalami masalah siyasah syar'iyyah.
(3) Dua tahun lalu, Rand Corporation mengeluarkan sebuah laporan hasil penelitian tepatnya pada akhir bulan Maret 2007 (Rabiul Awwal 1428), dengan judul: ([Building Moderate Muslim Networks, RAND Center For Middle East Public Policy, March 2007, California, USA) MEMBANGUN JARINGAN MUSLIM MODERAT.
Laporan ini merupakan kelanjutan dari serial penelitian yang telah digarap oleh Pusat Pemikiran dan Penelitian terkemuka dan berpengaruh ini, dengan tujuan menemukan strategi baru guna menghadapi Dunia Islam, pasca peristiwa 11 September.
Yang baru dari laporan tahun 2007 ini adalah bahwa laporan ini memberikan beberapa rekomendasi serta Draft program yang bersifat aplikatif kepada pemerintah Amerika agar dapat berlajar dan mengambil pengalaman dari kemenangan Amerika dalam perang dingin, terutama keberhasilan pemerintah Amerika dalam menekan laju pertumbungan pemikiran Komunisme. Pengalaman berharga ini sangat penting digunakan dalam menghadapi pertumbuhan gerakan Islam Modern.
Kajian ini digarap oleh sebuah tim yang terdiri dari para ahli/pakar di Amerika yang saat ini bekerja di pusat penelitian tersebut, yang diantaranya adalah: Angel Rabasa, peneliti akademis yang dulu pernah menjabat posisi penting di kementrian luar negeri dan kementrian pertahanan Amerika. Angel Mendapat gelar doktoralnya dari Universitas Harvard Amerika, selain bahasa Inggris, ia menguasi empat bahasa lain, yaitu Perancis, Italia, Yunani dan Spanyol. Ia telah menulis beberapa buku serta kajian seputar Dunia Islam. Turut membantu dalam dalam menyiapkan laporan ini, peniliti terkemuka Sheriel Binard, yang turut membantu menyeiapkan hasil kajian sebelumnya yang populer pada tahun 2005 seputar Islam demokrasi Sipil. Sheriel adalah salah satu anggota tim Rand Corporation untuk dunia Arab (Qatar), dan dikenal memiliki pandangan yang negatif terhadap Islam.
Penelitian ini memakan waktu 3 tahun. Dan dalam rangka menyiapkan laporan itu tim ini telah melakukan berbagai kunjungan dan interview dengan para pemikir dan tokoh terkemuka baik di Amerika, Eropa, maupun dunia Islam. Dan inilah yang menjadikan hasil laporan ini benar-benar istemewa.
Laporan hasil penelitian yang terdiri dari 217 halaman ini, dibagi ke dalam Mukaddimah, dan 9 pasal, serta kesimpulan. Kajian ini berusaha memindahkan tabiat konflik pemikiran dari Islam Vs Barat, menjadi pertentangan antara dunia barat Vs dunia Muslim seperti yang pernah terjadi pada masa perang dingin, antara pasukan timur Vs pasukan barat.
Laporan hasil penelitian ini juga menekannkan bahwa perang yang sesungguhnya adalah perang pemikiran disamping perang militer atau masalah keamanan, dan bahwa untuk memenangkan pertempuran melawan teroris tidak akan mungkin terjadi hanya dengan memenangkan pertempuran militer saja, tapi yang lebih penting dari itu adalah bagaimana pemikiran Islam –yang disebut sebagai pemikiran ekstrem (garis keras)- dapat dikalahkan.

LATAR BELAKANG PEMIKIRAN DAN TUJUAN LAPORAN
Laporan hasil penelitian ini menyatakan bahwa terdapat perang pemikiran antara barat dan dunia Islam, dan dalam perang pemikiran ini diperlukan untuk mengambil pelajaran dari pengalaman masa lalu, diantara pengalaman terpenting untuk diambil pelajaran adalah pengalaman perang pemikiran melawan aliran sosialisme/komunisme selama perang dingin. Untuk itu laporan ini merekomendasikan kepada pemerintah Amerika agar memanfaatkan pengalaman tersebut serta mencari sebab-sebab kesuksesannya, apa saja yang terulang dan dapat dimanfaatkan kembali, baik dalam sarana, planing, maupun program dalam rangka memanage perang melawan gerakan Islam.
Laporan ini juga membuat komparasi antara perang pemikiran melawan komonisme dan perang yang terjadi saat ini melawan dunia Islam. Dalam masalah ini laporan ini mengkhususkan sat fasal tersendiri sebagai penelitian. Laporan ini juga berpendapat akan pentingnya merebut penafsiran dari tangan gerakan Islam, serta melakukan koreksi terhadap penafsiran tersebut, sehingga berjalan sesai dengan kondisi dunia saat ini, serta selaras dengan undang-undang internasional dalam bidang demokrasi dan hak-hak manusia serta masalah gender.
Laporan ini juga memberikan stressing terhadap pentingnya mewujudkan definisi yang jelas terhadap terminologi Islam Moderat, disesuaikan dan diselaraskan dengan apa yang dikehendaki oleh barat. Kemudian definisi ini dijadikan sarana dan alat untuk menentukan siapa saja yang dianggap Moderat di dunia Islam, dan membedakannya dengan orang-orang yang mengaku sebagai Orang yang moderat yang tidak sesuai dengan definisi Amerika dan Barat.
Laporan ini juga menegaskan bahwa redefinisi termenologi moderat merupakan faktor yang sangat penting untuk mendukung kepentingan politik Amerika. Oleh karena itu diharapkan Amerika terus mendukung individu dan lembaga yang masuk dalam daftar pengertian Moderat sesuai dengan penafsiran Amerika, dan yang diajukan dalam laporan hasil penelitian ini.
Laporan ini juga merekomendasikan agar pemerintah Amerika memperhatikan masalah pembuatan dan dukungan terhadap jaringan sekularisme dan liberarisme serta modernisme yang memunuhi syarat moderat sebagaimana yang difahami oleh Amerika, serta menggunakan jaringan tersebut untuk menghadapi gerakan Islam, yang dipandang oleh laporan ini tidak boleh dijalin kerjasama dan dukungan dalam bentuk apapun, walaupun sebagian kelompok tersebut mengaku sebagai kelompok yang moderat, yang mengajak kepada terciptanya hubungan yang harmonis serta dialog, serta meninggalkan kekerasan.
Laporan ini menganjurkan agar tidak terjadin adanya kerjasama dengan kelompok gerakan Islam manapun, dan dalam membangun jaringan aliran moderat ini hendaknya fokus dan stressing pada aliran sekuler, liberal dan modernis saja. Laporan ini menempatkan upaya redefinisi dan reinterpretasi makna moderat sebagai hasil terpenting.
Diakhir laporan ini, dikemukakan beberapa pemikiran dan usulan seputar upaya optimalisasi jaringan Muslim Moderat serta mendukungnya secara internasional agar dapat memerankan fungsi dan tugasnya dalam membatasi gerak aliran dan gerakan Islam serta mereduksi bahayanya.
(4) Building Moderate Muslim Networks, RAND Center For Middle East Public Policy, March 2007, California, USA, pp. 60.
(5) Tahawwulat as-salafiyah al-muashirah baina al-ishlahiyah wal ihyaiyyah, Dr. Rafiq Habib, www.Islamonline.com (04-05-2009)
Secara terperenci Dr. Rafiq Habib, memberikan penjelasan tentang ketiga faksi Salafi tersebut sbb:
السلفية الجهادية: وهي تقوم على التغيير بالقوة، سواء في مواجهة الأنظمة الحاكمة أو في مواجهة القوى الغربية المهيمنة، أو في مواجهة الاحتلال العسكري.
السلفية التقليدية: وهي تمثل الفكر السلفي وتنشره بين الناس، وتهتم ببناء الفرد والمجتمع والأمة، وتعمل من خلال الدعوة والتربية، وتؤجل كل ما له علاقة بالسياسية، ومواجهة العدو الخارجي، وتعمل على تحصين المجتمعات الإسلامية ضد الغزو الثقافي، وتميل إلى الحيطة والحذر؛ لذا تتشدد من أجل حماية الهوية الدينية والحضارية، وهي تمثل جوهر فكرة السلفية، والتي توجد لدى مختلف الاتجاهات. كما أنها تعمل من خلال هدنة بينها وبين الأنظمة الحاكمة، وتنادي بطاعة ولي الأمر، ولكنها في الوقت نفسه تدعو لدولة إسلامية تختلف عن الدولة القائمة، وتدين ضمنا كل نظم الحكم، وإن لم تسمح بالخروج عليها.
السلفية الإصلاحية: وهي تمثل التوجهات التي قررت خوض غمار العمل السياسي، وقبلت بالديمقراطية كآلية لتحقيق الشورى، وتحقيق ولاية الأمة على الحاكم، وحقها في اختياره ومحاسبته. وهذا الاتجاه يطور من أفكاره بالقدر الذي يحتاجه تفاعله العملي المباشر مع الشأن العام، ويحاول طرح صيغ عملية للتعامل مع الشأن السياسي والشأن الاجتماعي العام.

(6) Gerakan Salafi Modern Di Indonesia, Sebuah Upaya Membedah Akar Pertumbuhan Dan Ide-Ide Substansialnya, Muhammad Ikhsan, (Universitas Indonesia-Program Pascasarjana, Program Studi Kajian Timur Tengah Dan Islam, Dosen Pengampu: Dr. Muhammad Luthfi Zuhdi, MA, Jakarta, 2006)
(7) "Hanya ada pemikiran kecil yang membedakan PKS dari JI. Seperti JI, manifesto pendirian PKS adalah untuk memperjuankan Khilafah Islamiyah. Seperti JI, PKS menyimpan rahasia sebagai prinsip pengorganisasiannya, yang dilaksanakan dengan sistem sel yang keduanya pinjam dari Ikhwanul Muslimin ... Bedanya, JI bersifat revolusioner sementara PKS bersifat evolusioner. Dengan bom-bom bunuh dirinya, JI menempatkan diri melawan pemerintah, tapi JI tidak mungkin menang. Sebaliknya, PKS menggunakan posisinya di parlemen dan jaringan kadernya yang terus menjalar untuk memerjuangkan tujuan yang sama selangkah demi selangkah dan suara demi suara ... Akhirnya, bangsa Indonesia sendiri yang akan memutuskan apakah masa depannya kan sma dengan negara-negara Asia Tenggara yang lain, atau ikut gerakan yang berorientasi ke masa lalu dengan busana jubah fundamentalisme keaamaan. PKS terus berjalan seberapa jauh ia berhasil akan menentukan masa depan Indonesia" (Hal. 27).
(8) Kriteria nomor (2) Bersikap tidak toleran terhadap pandangan dan keyakinan yang berbeda; (4) memusuhi dan membenci orang lain karena berbeda pandangan;
(9) Kriteria nomor (5) Mendukung pelarangan oleh pemerintah dan/atau pihak lain atas keberadaan pemahaman dan keyakinan agama yang berbeda; (3) berperilaku atau menyetujui perilaku dan/atau mendorong orang lain atau pemerintah berperilaku memaksakan pandangannya sendiri kepada orang lain;

PEACE-BUILDING (2)


Film documenter yang berjudul "al-Imam and Pastor" (Sang Imam dan Pastor") dan berdurasi 39 menit ini ingin menandaskan:

Pertama: Bahwa, cinta kasih dan kasih sayang merupakan ajaran utama dan inti dari ajaran Agama (baik dalam Islam maupun dalam Kristen. Dalam Islam ajaran yang bernuansa keras hanya ada dalam dua hal: Pertama, Jihad dalam mempertahankan hak, negeri, dan untuk menegakkan keadilan dan menumbangkan kedzaliman yang menjadi penyebab kerusakan dalam masyarakat, kedua dalam hal penerapan hudud (sangsi hukum pidana) (hukum qishas bagi pembunuh, potong tangan bagi pencuri, rajam bagi pezina bersuami atau beristri, hirabah bagi pembuat kerusakan besar dalam masyarakat, dan cambuk bagi pelaku zina yang masih gadis atau lajang). Dalam penerapan sangsi hukum pidana ini bahkan tidak diperkenankan secara berlebihan menggunakan emosi sehingga mengakibatkan adanya belas kasihan yang menyebabkan penghapusan sangsi datau pemberian keringanan. Karena penerapan sangsi hukum pidana secara konsisten akan membawa kepada ketentraman dan berjalannya hidup bermasyarakat secara teratur. Demikian pula jihad, yang merupakan salah satu instrument untuk menjaga keseimbangan alam semesta sebaga hukum power of balance bagi tindak kedzaliman. Kaidah ini di dalam al-quran di kenal dengan kaidah sunnatuttadafu. Seperti yang disebutkan dalam al-Quran:

"Sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah Telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid- masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa, (Al-Hajj: 40)

"Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian umat manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam. (al-Baqarah: 251)

Selain dua tempat diatas, ajaran Islam menghendaki agar hubungan antar individu dan kelompok di masyarakat di penuhi dengan suasana kasih sayang, hormat menghormati, toleransi dan saling tolong menolong dalam kebaikan dan kebenaran, bukan tolong menolong dalam hal kejelekan dan permusuhan.

Masalahnya, sebagai akibat reaksi atas kedzaliman yang dialami oleh Umat Islam di berbagai belahan dunia, muncul penafsiran "ekstrem" tentang makna jihad, dengan meluaskan maknanya, jangkaunya serta sasarannya. Dengan berlandaskan beberapa ayat al-Quran seperti (at-taubah: 36)

"Dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan Ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa".

Bagi mereka, cukup peperangan negara barat telah mencukupi syarat bagi umat Islam untuk mengobarkan peperangan secara terbuka dan meluas, tanpa pilih kasih dan pandang bulu.

Padahal ayat ini harus difahami dalam konteksnya dan dalam kerangka bagian dari ayat-ayat lainya yang tidak bisa dipisah satu sama lain. Ibnu Katsir berkomentar tentang ayat ini:

وأما قوله تعالى (وقاتلوا المشركين كافة كما يقاتلونكم كافة) فيحتمل أنه منقطع عما قبله وأنه مستأنف ويكون من باب التهييج والتحضيض أي كما يجتمعون لحربكم إذا حاربوكم فاجتمعوا أنتم أيضا لهم إذا حاربتموهم وقاتلتموهم بنظير ما يفعلون ويحتمل أنه إذن للمؤمنين بقتال المشركين في الشهر الحرام إذا كانت البداءة منهم كما قال تعالى (الشهر الحرام بالشهر الحرام والحرمات قصاص) وقال تعالى (ولا تقاتلوهم عند المسجد الحرام حتى يقاتلوكم فيه فإن قاتلوكم فاقتلوهم) الآية هكذا الجواب عن حصار رسول الله صلى الله عليه وسلم أهل الطائف واستصحابه الحصار إلى أن دخل الشهر الحرام فإنه من تتمة قتال هوازن وأحلافها من ثقيف فإنهم هم الذين ابتدءوا القتال وجمعوا الرجال ودعوا إلى الحرب والنزال فعندما قصدهم رسول الله صلى الله عليه وسلم كما تقدم فلما تحصنوا بالطائف ذهب إليهم لينزلهم من حصونهم فنالوا من المسلمين وقتلوا جماعة واستمر الحصار بالمجانيق وغيرها قريبا من أربعين يوما وكان ابتدؤه في شهر حلال ودخل الشهر الحرام فاستمر فيه أياما ثم قفل عنهم لأنه يغتفر في الدوام مالايغتفر في الابتداء وهذا أمر مقرر وله نظائر كثيرة والله أعلم ولنذكر الأحاديث الواردة في ذلك وقد حررنا ذلك في السيرة والله أعلم.

Sebab lain, yang melatarbelakangi timbulnya bertikaian dalam masyarakat selain masalah penafsiran teks-teks keagamaan adalah pertentang kepentingan pragmatisme, ketimpangan dan keadilan social, keserakahan serta ketamakan untuk menguasai orang lain atau hak milik orang lain.

Kedua: Bahwa keberagaman (pluralitas) yang ada dalam sebuah masyarakat akan menjadi sumber kekayaan dan pengayaan, bila dapat dikelola dengan bak, dan menjadi sumber pertikaian seperti yang terjadi di daerah konflik karena tidak mampu dikelola dengan baik.

Ketiga: kunci dari perdamaian adalah ajakan untuk hidup berdampingan secara damai (at-ta'ayusy as-silmi), bukan peleburan secara total menjadi satu (al-indimaj), karena pada kenyataannya tidak mungkin sebuah entitas dipaksakan untuk menjadi yang lain, demikian pula sebuah kepercayaan agama, madzhab dan kerangka berfikir yang mendasar, tidak mugnkin dapat dipaksakan kepada pemeluknya atau penganutnya agar ditinggalkan demi untuk menganut yang lain. Barangkali proses peleburan bisa saja terjadi dalam sebuah masarakat tapi itu tidak mungkin terjadi kecuali dalam kurun waktu yang cukup lama.

Dan salah satu dari upaya hidup berdampingan secara damai adalah membudayakan tradisi "permohonan maaf" dari yang berbuat dhalim kepada yang didzalimi, disisi lain membudayakan tradisi "memberikan maaf", kepada pihak yang dengan jujur telah mengakui kesalahannya.

Budaya ini sangat penting artinya bagi berlanjutnya kehidupan secara damai, karena hidup ini tidak mungkin berjalan secara monoton adan lancer terus menerus, terkadang mesti ada gelombang yang akan mengguncang masyarakat (kesalah fahaman, kekeliruhan baik disengaja maupun tidak, dst), budaya minta maaf dan memaafkan ini akan menjadi antisipasi dan penawar dalam kondisi yang tidak diharapkan tersebut.

Keempat: agar seorang individu atau kelompok dapat hidup berdampingan secara damai, harus diciptakan satu payung untuk bernaung bersama, payung bersama yang paling memadai adalah citizenships atau "al-muwathanah" atau kewarga negaraan (semua elemen harus merasa hidup bersama sebagai warga negara). Sebagai warganegara semua elemen masyarakat dan entitas di dalamnya memiliki hak dan kwajiban yang sama, mereka duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi. Namun demikian kecuali hak-hak yang mendasar (sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan) hak dan kwajiban tidak mungkin didapat secara sama dan merata, supaya kaidah reward dan punishment dapat diterapkan.

Agar tidak terjadi konflik yang dipicu oleh factor-faktor yang telah disebut diatas, disini perlu diletakkan sebuah role of the game (aturan main), yang diwujudkan dalam system pemerintahan, undang-undang dasar dan undang-undang lainnya, serta keputusan pemerintah.

Dalam memilih system pemerintahan, dan meletakkan undang-undang harus dicari sebuah system yang memenuhi standar sistematika (sitematis), berkeadilan sosial, kebebasan dan mampu menandatangkan kesejahteraan bagi warga Negara secara bersama dan merata, Melalui sebuah mekanisme musyawarah mufakat. System dan undang-undang ini dapat diambil dari mana saja, termasuk dari basis tradisi, budaya nasional maupun local, bahkan ajaran dan syariah agama-agama. Selama dapat memenuhi standar diatas, tidak perlu ada sensitifitas dari masing-masing kelompok dalam pengambilan referensi role of the game tersebut.

Dari titik tolak ini Dr. Saifuddin Abd. Fatah (dalam komentarnya) memandang bahwa tidak ada kontradiksi antara muwathanah dan syariah apalagi dalam lingkungan masyarakat yang mayoritas Muslim. Selama umat Islam mampu mengetengahkan syariah dan penafsirannya secara ilmiah sebagai basis nilai yang dapat merealisasikan makna keadilan, ketentraman dan kesejahteraan dalam masyarakat kepada umat lainnya.

Contoh: Penafsiran dan pemahaman klasik yang menyatakan bahwa istri harus mendapatkan izin suami tatkala menuntut khulu', beberapa waktu teraljor di Mesir mulai ditinjau ulang, karena dinilai tidak lagi dapat merealisasikan keadilan bagi kedua belah fihak secara balance (seimbang), akhir dari kajian tersebut membawa kepada kesepakatan dihapuskannya undung-undang yang mengharuskan istri mendapat izin dari suami saat menuntut khulu'. Upaya penafsiran ulang seperti ini sah-sah saja serta tidak menjadi masalah selama masih dalam koredor mutaghayyirat, dan untuk merealisasikan keadilan yang juga merupakan bagian dari maqoshid syariah itu sendiri.

Jadi pada intinya, syariah selalu memuat dan merealisasikan nilai keadilan, sementara bagian syariah yang bukan provan (tsawabit) penafsirannya masih terus bisa disesuaikan dengan kondisi dan sejauh mana dapat merealisasikan keadilan, sesuai dengan zaman dan tuntutannya. Untuk itu Jika dalam beberapa kesempatan syariah dimunculkan oleh beberapa pihak ke permukaan sebagai dua komponen yang kontradiksi –menurut Dr. Saifuddin Abd. Fatah- itu lebih karena isu tersebut mushtana'ah (dibuat-buat) dan mufta'alah (disulut-sulut dan dikipas-kipasi) oleh kelompok tertentu, agar terjadi kondisi caos dan ketidak setabilan di tengah masyarakat. Dalam kondisi seperti itu kelompok ini ingin memancing di air keruh guna meraup keuntungan pragmatis sebesar-besarnya.

Contoh kasus di Mesir, walaupun secara resmi negara ini berdasarkan Islam, tapi tidak menganggap warga kristen coptic sebagai warga kelas dua, mereka bisa mendapatkan pendidikan, sarana-prasarana, pekerjaan yang sama dengn warga muslim, selain itu warga coptic tidak merasa risih ketika sebagian dari mereka menggunakan hukum waris yang ada dalam islam. Masalah-masalah diatas menjadi problem manakala ada sekelompok yang terus menerus mengobarkan sikap kecurigaan dan perasaan tertindas dengan mengambarkan warga Coptic sebagai warga kelas dua di mesir.

Kelima: harus secara terus menerus dikampanyekan internalisasi budaya dialog, dan kesiapan untuk menerima dan hidup berdampingan dengan orang lain yang berbeda secara etnik, budaya, agama dan keyakinan, dst. Menghidupkan budaya saling percara trust Serta menghilangkan budaya saling curiga-mencurigai.

Hal ini juga menuntut munculnya para penggagas dan penggerak di bidang ini (dialog) dan berkumpulnya mereka dalam sebuah lembaga. Mereka inilah yang nantinya diharapkan menjadi motor bagai proses taayusy silmi (hidup berdampingan secara damai) tersebut, serta diharapkan menjadi mediasi bagi berbagai komponen dan entitas tersebut, mana kala terjadi pertikaian dan konflik di tengah masyarakat, seperti apa yang telah dilakukan oleh sang Imam dan pastor tersebut.

Hal lain yang nantinya menjadi garapan lembaga ini diantaranya adalah turut membudayakan dalam membangun komunikasi efektif yang efektif dalam berbagai level: antar individu, antar anggota keluarga, dan antar keluarga, antar anggota masyarakat, antar suku dan etnik, antar jenis kelamin, antar kelompok profesi, antar penganut agama, antar penganut madzhab dalam agama, antar lintas generasi dan seterusnya. Yang dengan demikian gap-gap dalam masyarakat yang seringkali dipicu oleh beberapa faktor penting seperti: Perbedaan dalam Emosi atau perasaan, perebutan Sumber Daya dan kepentingan pragmatis, ambisi politik, serta beberapa perbedaan dalam nilai-nilai/doktrin ajaran agama/madzhab dapat tereduksi secara natural dan berlahan, demi tercapainya peradaban tinggi yang dipenuhi dengan sikap toleransi, cinta kasih, keadilan, damai, sejahtera, jauh dari konflik, pertikaian, serta peperangan yang memusnahkan manusia dan alam semesta.

Namun sebagai manusia terkadang wajar sebagian merasa pesimis terhadap fenomema yang terjadi, dimana kesadaran dan upaya mulia, untuk menciptakan perdamaian seperti diatas, harus menghadapi realita pahit, dimana bangunan masyarakat indonesia yang masih dianggap rawan konflik itu justru disulut oleh sebagian kelompok yang terus mengobarkan rasa permusuhan, mengadu domba dan kebencian serta kesaling curigaan diantara anak bangsa, seperti yang dilakukan oleh para penyusun buku Ilusi Negara Islam; Ekspansi gerakan Transnasional di Indonesia" wala haula wala quwwata illa billahil aliyyi al-adhim.

Tapi sebagai genasi muda yang akan mewarisi bumi pertiwi ini, selayaknya terus tidak boleh menyerah seraya tetap menjadikan fenomena kecil ini hanya batu kerikil kecil yang menjadi bagian dari tatangan masa depan. Wallahu a'la wa a'lam.

6.11.2009

NEGARA ISLAM YANG BUKAN ILUSI (1)


NEGARA ISLAM YANG BUKAN ILUSI
Sanggahan atas buku Ilusi Negara Islam

Akhir-akhir ini, umat Islam di Indonesia di kejutkan oleh terbitnya sebuah buku yang merupakan pertama dalam sejarah umat Islam di Indonesia semenjak pertama kali Islam masuk Nusantara sekitar abad 12 Miladi(1). Sebuah buku yang belum ada tandingannya hingga oleh karangan para orientalis sekalipun dalam upaya menfitnah, menghasut, mengadu domba dan memecah belah umat Islam di Indonesia.

Buku ini menjadi penting karena diberi pengantar oleh seorang profesor akademisi dan kiyai besar, masing-masing mantan Ketua Umum sebuah Organisasi Masyarakat terbesar kedua dan pertama di Indonesia, serta ditutup dengan tulisan akhir (epilog) dari seorang kiyai spritualis karismatik, yang baru-baru ini mendapat gelar doktor honoris kausa, dan merupakan tokoh penting dilingkungan Nahdhiyyin.

Buku yang penulis maksud, dan tentu sudah diketahui oleh para pembaca sekalian dan sudah maklum bersama adalah Ilusi Negara Islam; Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia.

Buku ini menyoroti perkembangan tiga gerakan yang oleh penyusunnya disebut sebagai gerakan transnasional, yaitu: Gerakan Wahabi, Ikhwan Muslimin dan Hizbuttahrir, serta dengan gamblang mengungkap kegelisahan para penulis dan penelitinya akan laju dan pengaruh tiga gerakan tersebut yang mulai meluas di Indonesia.

Tulisan ini mencoba mereview buku yang kontroversial tersebut lalu menyangga beberapa pemikiran mendasar yang dilontarkan di dalamnya secara objektif dan terperinci, dalam poin-poin berikut(2).

A. Definisi Gerakan garis keras dan moderat

Buku ini mendefinikan gerakan garis keras ke dalam dua level; individu dan organisasi. Individu garis keras didefinisikan ke dalam delapan kreteria sbb: "(1. orang yang menganut pemutlakan atau absolutisme pemahaman agama; 2. bersikap tidak toleran terhadap pandangan dan keyakinan yang berbeda; 3. berperilaku atau menyetujui perilaku dan/atau mendorong orang lain atau pemerintah berperilaku memaksakan pandangannya sendiri kepada orang lain; 4. memusuhi dan membenci orang lain karena berbeda pandangan; 5. mendukung pelarangan oleh pemerintah dan/atau pihak lain atas keberadaan pemahaman dan keyakinan agama yang berbeda; 6. membenarkan kekerasan terhadap orang lain yang berbeda pemahaman dan keyakinan tersebut; 7. menolak dasar negara pancasila sebagai landasan hidup bersama bangsa Indonesia; 8. dan atau menginginkan adanya Dasar Negara Islam, bentuk Negara Islam, ataupun khilafah Islamiyah"

Sementara organisasi garis keras didefinisikan ke dalam kriteria sebagai berikut: ((1. kelompok yang merupakan himpunan individu-individu dengan karakteristik yang disebutkan di atas, 2. ditambah dengan visi dan misi organisasi yang menunjukkan orientasi tidak toleran terhadap perbedaan, baik semua karakter ini ditunjukkan secara terbuka maupun tersembunyi)

Di sisi lain buku ini mendifinisikan Islam moderat ke dalam lima kriteria, berikut:
1. individu yang menerima dan menghargai pandangan dan keyakinan yang berbeda sebagai fitrah; 2. tidak mau memaksakan kebenaran yang diyakininya kepada orang lain, baik secara langsung atau melalui pemerintah; 3. menolak cara-cara kekerasan atas nama agama dalam bentuk apa pun; 4. menolak berbagai bentuk pelarangan untuk menganut pendangan keyakinan yang berbeda sebagai bentuk kebebasan beragama yang dijamin oleh konstitusi negara kita; 5. menerima dasar negara pancasila sebagai landasan hidup bersama dan bentuk negara kesatuan republik indonesia (NKRI) sebagai konsesus final dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang melindungi perbedaan dan keramaman yang ada di tanah air)

Sementara organisasi moderat didefinisikan sebagai: 1. kelompok yang memiliki karakteristik seperti yang tercermin dalam karakteristik individu moderat, 2. ditambah dengan visi dan misi organisasi yang menerima dasar negara pancasila sebagai landasan hidup bersama bangsa indonesia dan bentuk negara kesatuan republik indoneesi (NKRI)) sebagai konsesus final dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. (hal. 47-49)

Pertanyaan yang masih menggelanyut di benak saya, dari mana kriteria tentang Individu dan organisasi Garis keras dan moderat dibuat ?, anehnya buku sepenting ini –karena akan meletakkan 3 kelompok dalam posisi akan mengancam masyarakat bawkan NKRI- tidak menyebutkan dari mana referensi kriteria-kriteria terutama kriteria terakhir didapat.

Jawabannya tidak sulit, ternyata delapan kriteria diatas tidak keluar dari kriteria hasil penelitian tim yang dibentuk oleh Rand Corporation, yang diterbitkan dalam sebuah judul buku "Building Moderate Muslim Networks(3).

Untuk mengkomparasikan antara dua criteria mari kita mencoba melihat kriteria versi "Building Moderate Muslim Networks" di bawah ini.

Untuk mengklasifikasikan kelompok yang akan menjadi target, hasil laporan meletakkan 11 pertanyaan sebagai tolak ukur dan standar. Sebelas kreteria yang diformat dalam sebuah pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut.

[APPLICATION OF CRITERIA

Therefore, in determining whether a group or movement meets this characterization of moderation, a reasonably complete picture of its worldview is needed. This picture can emerge from the answers given to the following questions:

1. Does the group (or individual) support or condone violence? if it does not support or condone violence now, has it in the past ?
• Apakah kelompok atau individu tersebut menerima kekerasan atau melakukannya? Jika tidak menerimanya sekarang atau mendukung kekerasan saat ini , dan apakah telah melakukannya pada masa yang lalu ?
2. Does it support democracy? and if so, does it define democracy broadly in terms of individual rights ?
• Apakah kelompok tersebut mendukung (menganut) paham demokrasi ? jika memang demikian, apakah demokrasi yang mereka anut telah sesuai dengan pemahaman yang luas dan memiliki keterkaitan dengan hak-hak individu ?
3. Does it support internationally recognized human rights?
• Apakah mereka mendukung hak asasi manusia seperti yang telah disepakati secara internasional.
4. Does it make any exception (e.g. regarding freedom of religion)?
• Apakah ada pengecualian dalam hal ini (seperti: yang berkaitan dengan kebebasan beragama)
5. Does it believe that changing religions is an individual right?
• Apakah kelompok ini menganut paham bahwa konversi agama merupakan hak individu ?
6. Does it believe the state should enforce the criminal-law component of Shari' a?
• Apakah mereka menganut paham bahwa Negara wajib menjalankan syariat Islam dalam hal hukum kriminalitas ?
7. Does it believe the state should enforce the civil-law component of shari'a? Or does it believe there should be non-shari 'a options for those who prefer civil-law matters to be adjudicated under a secular legal system?
• Apakah mereka menganut paham bahwa Negara wajib menerapkan syariat yang berkaitan dngan perundang-undangan sipil ? dan apakah mereka menganut paham bahwa diperlukan adanya alternative yang tidak bersandarkan kepada syariah bagi yang menginginkan untuk kembali kepada undang-undang sipil dalam bingkai undang-undang secular ?
8. Does it believe that members of religious minorities should be entitled to the same rights as Muslims?
• Apakah mereka menganut paham bahwa minoritas wajib mendapatkan hak yang sama sama dengan hak-hak yang diperoleh oleh orang muslim ?
9. Does it believe that a member of a religious minority could hold high political office in a Muslim majority country?
• Apakah mereka menganut paham bahwa dimungkinkan bagi salah satu anggota minoritas untuk menduduki posisi (jabatan politik) yang tinggi dalam pemerintahan dalam masyarakat yang mayoritas beragama Muslim ?
10. Does it believe that members of religious minorities are entitled to build and run institution of their faith (churches and synagogues) in Muslim majority countries?
• Apakah mereka menganut paham bahwa para minoritas berhak membangun tempat ibadah seperti (gereja atau sinagog), di Negara-negara yang mayoritas penduduknya muslim ?
11. Does it accept a legal system based on nonsectarian legal principles?]
• Apakah mereka menerima undang-undang yang dibangun diatas prinsip-prinsip syariah non sectarian (4).

Jelas, buku ilusi menjadikan poin kekerasan dan penerapan syariah, sebagai kriteria utama dalam upaya mengklasifikasikan gerakan garis keras, dan poin-poin tersebut secara tegas disebut dalam kriteria "Building Moderate Muslim Networks". Sehingga dapat disimpulkan: Jika penulis buku Ilusi Negara Islam mengaku bahwa mereka telah mengadakan penelitian selama dua tahun, itu artinya penelitian tersebut dimulai pada tahun 2007, tahun dimana buku Building Moderate Muslim Networks diterbitkan, yang dengan demikian penelitian Ilusi Negara Islam tak lain merupakan realisasi dari rekomendasi tersebut.

Ini berkaitan dengan sumber (referensi) definisi garis keras dan moderat, adapun tentang poin-poin dalam kriteria definisi gerakan keras dan moderat akan kita bahas sebagai berikut:

Kriteria individu garis keras dari nomor satu hingga nomor enam, merupakan kriteria umum yang dapat diterima, masalah yang perlu dicermati aalah, apakah ktiteria-kiteria tersebut tepat jika diterapkan pada ketiga kelompok yang dianggap oleh penyusun buku tersebut sebaai "garis keras". Mari kita cermati masalah ini, dengan seksama.

Pertama: Hal yang dapat dinilai gegabah dan tidak metodologis adalah ketika penyusun buku ini menaruh tiga kelompok yaitu, wahabi, ikhwan muslimin, dan Hizbuttahrir dalam satu keranjang sebagai kelompok garis keras, tanpa dilakukan pemilahan secara ilmiah. Padahal ketiga kelompok tersebut memiliki karasteristik yang berbeda satu sama lain, lebih dari itu apa dan siapa yang mereka maksudkan dari gerakan wahabi, apakah yang mereka maksud adalah gerakan salafi, jika bernar, gerakan salafi sendiri terbagi kedalam beberapa faksi, ada faksi salafi yang lebih fokus pada keilmuan dan tsaqafah serta dakwah, ada faksi salafi yang mengambil jihad sebagai sarana dalam melakukan dakwah dan perubahan, yang terakhirpun terdiri dari berbagai faksi, sehingga menjadi sangat gegabah dan tidak ilmiah sama sekali tatkala buku ini meletakkan tiga kelompok dengan berbagai faksinya dalam satu keranjang yang sangat mengerikan yaitu "kelompok garis keras".

Kedua: dalam kriteria pertama: "1. Orang yang menganut pemutlakan atau absolutisme pemahaman agama; Apa yang dimaksud dengan pemutlakan atau absolutisme pemahaman agama ?. disini penulis tidak menemukan penjelasan secara rinci dan mendalam.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, (absolut=mutlak, sementara absolutisme; bentuk pemerintahan dengan semua kekuasaan terletak di tangan penguasa) (KBBI, edisi, III, hal. 3).

Dari sini absulutisme pemahaman agama dapat didefinisikan sebagai; sebuah keyakinan bahwa dirinya/kelompoknya adalah satu-satunya pemegang resmi pemahanan keagamaan yang dianggap mutlak benar dan sah, karenanya harus diambil, yang secara otomatis menganggap pemahaman orang lain sebagai pemahaman yang mutlak salah, karenanya harus ditinggalkan.

Jika definisi diatas disepakati, yang menjadi masalah kemudian adalah bahwa buku Ilusi Negara Islam ini juga tidak memberikan satu dalil empirispun yang menyatakan bahwa ketiga kelompok –yang dianggap sebagai gerakan keras itu-, termasuk kelompok yang memenuhi kriteria sebagai kelompok yang menganut absolutisme pemahaman agama; baik berupa tulisan maupun perbuatan.

Dalam realitanya, kelompok yang menganut paham absolutisme pemahaman agama memiliki ciri, mudah menvonis kafir, bid'ah, sesat, musyrik jahiliyah dan sejenisnya terhadap pihak yang berbeda pendapat dengannya tanpa dalil dan burhan, tapi sekali lagi, buku yang –konon- disusun oleh para akademisi dan sarjana itu, tidak memberikan pembuktian secara nyata masuknya ketiga kelompok yang menjadi objek pemhasannya ke dalam penganut absolutisme pemahaman keagamaan.

Sebaliknya, justru dengan mudah kita dapat menemukan praktek absolutisme pemahaman agama ini dalam buku Ilusi Negara Islam ini, berikut beberapa dalil empirik yang membuktikan kebenaran klaim ini:

Pertama: Penyusun buku ini selalu menggambarkan ketiga kelompok tersebut sebagai garis keras, sekaligus mengklaim sebagai pemahaman yang bertentangan dengan Islam, tradisi budaya dan corak keberagamaan bangsa Indonesia, serta telah menodai kehormatan Islam:

(Menyadarkan para elit dan masyarakat bahwa paham dan ideologi garis keras yang dibawa oleh gerakan Islam transnasional dari Timur Tengah dan disebarkan oleh kaki tangannya di Indonesia bertentangan dengan Islam serta tradisi, budaya dan corak keberagamaan bangsa Indonesia yang sejak lama bersifat santun, toleran dan moderat). (hal. 229)

(Alasan melawan gerakan garis keras adalah: a. untuk mengembalikan kemuliaan dan kehormatan islam yang telah mereka nodai dan sekaligus untuk menyelamatkan NKRI dan pancasila. b. mengembalikan keluhuran ajaran islam sebagai rahmatan lil alamin, dan ini merupakan salah satu kunci untuk membangun perdamaian dunia). (Gusdur, musuh dalam selimut).

Terkadang digambarkan sebagai para penganut ideologi totalitarian-sentralistik dengan pemahaman dan pengamalan agama yang terbatas dan dangkal, namun sok ingin mewakili Allah:

(Mereka menganut ideologi totalistarian-sentralistik yang menjadikan agama sebagai justifikasi teologis bagi ambisi politiknya. Sedangkan agenda utama mereka adalah untuk menjadi wakil Allah. Dengan segala keterbatasan dan kedangkalan pemahaman dan pengamalannya atas ajaran islam, mereka mereasa berhak mewakili-Nya.) (hal.223)

Lebih dari itu, sang editor dalam pengantanya tanpa malu dan ragu-ragu meletakkan posisi lawan polemik dan politiknya dalam sebuah judul besar "Musuh Dalam Selimut".

Padahal jelas, sebagaimana yang mereka percayai bahwa pemahaman keagamaan mereka, merupakan salah satu dari pemahaman-pemahaman yang berkembang di Indonesia, dan tidak ada hak untuk mengklaim pemahaman lain sebagai pehamaman yang bertentangan dengan Islam, tradisi, budaya dan corak keberagamaan bangsa Indonesia, karena pertanyaannya: bertentangan dengan pemahaman yang mana, tradisi yang mana, dan budaya serta corak keberagamaan bangsa Indonesia yang mana?. Tentu dengan pemahaman mereka. Nah Berdasarkan definisi absolutisme diatas, Adakah hak bagi penyusun buku Ilusi Negara Islam ini untuk mengklaim pemahaman lainnya sebagai pemahaman yang keluar dari Islam. Bukankah sikap seperti ini justru merupakan salah satu bentuk dari absolutisme.

Maka tidak mengherankan jika, paradigma ini kemudian membawa mereka kepada keterjebakan kedalam sikap tidak toleran, menebarkan permusuhan dan kebencian kepada orang lain, yang berbeda pandangan, sebagai mana yang mereka sebut dalam kriteria nomor 2 dan 4 (5):

Dengan yakin sang editor mengobarkan semangat perlawanan terhadap gerakan yang ia yakini telah menodai kehormatan Islam tersebut seraya berkata:

(Alasan melawan gerakan garis keras adalah: a. untuk mengembalikan kemuliaan dan kehormatan islam yang telah mereka nodai dan sekaligus untuk menyelamatkan NKRI dan pancasila. b. mengembalikan keluhuran ajaran islam sebagai rahmatan lil alamin, dan ini merupakan salah satu kunci untuk membangun perdamaian dunia). (Gusdur, musuh dalam selimut).

Dalam tujuan studi ini juga disebutkan, bahwa hasil studi ini diharapkan bisa menjadi batu loncatan bagi gerakan perlawanan terhadap agenda gerakan Islam transnasional di Indonesa bahkan seluruh dunia:

(Sementara secara praksis, hasil studi ini diharapkan bisa menjadi batu loncatan bagi gerakan perlawanan terhadap agenda gerakan Islam transnasional di Indonesia dan seluruh dunia, memobilisasi para pemimpin dan umat Islam yan belum terkontaminasi ideologi gerakan garis keras untuk secara sadar melawan penyebaran ideologi mereka) (hal. 47).

Jika benar,


Paradigma Absolutisme penyusun buku Ilusi Negara Islam ini, akhirnya terjerembab juga kedalam lubang kriteria ke lima dan ke tiga yang mereka buat sendiri(6).

Pada halaman 229 buku ini disebutkan sebagai berikut: (Menyadarkan para elit dan masyarakat bahwa paham dan ideologi garis keras yang dibawa oleh gerakan Islam transnasional dari Timur Tengah dan disebarkan oleh kaki tangannya di Indonesia bertentangan dengan Islam serta tradisi, budaya dan corak keberagamaan bangsa Indonesia yang sejak lama bersifat santun, toleran dan moderat). (hal. 229)

Karena tujuan dari gerakan penyadaran para elit dan masyarakat adalah supaya mereka yakin bahwa paham –yang mereka kategorikan sebagai ideologi garis kera- benar-benar bertentangan dengan tradisi, budaya dan corak keberagamaan bangsa Indonesia, yang selanjutnya pemahaman ini membawa kepada perlawanan yang nantinya berakhir dengan pelarangan, dan ini adalah bentuk paling riil dari sikap memaksakan pandangannya sendiri kepada orang lain.

Disamping itu, ketiga gerakan yang dikategorikan sebagai gerakan keras tersebut dalam buku ini selalu digambarkan sebagai gerakan para mafia yang memiliki ambisi kekuasaan dan olehkarenanya digambarkan sebagai gerakan yang akan menjadikan semua pihak yang mengganggu kelancaran tercapainya misi ini (dalam hal ini terutama NU dan Muhammadiyah) sebagai musuh:

(untuk saat ini, mereka masih bisa bersatu karena merasa menghadapi musuh bersama, yakni umat Islam moderat yang menolak formalisasi agama dan lebih menekankan spiritualitas dan keberagamaan substantif. Kelak, jika kelompok moderat telah berhasil dikuasai, mereka akan bertikai diantara mereka sendiri untuk merebut kekuasaan mutlak di tanah air kita) (hal. 225)

Sehingga lengkap sudahlah perangkat untuk mengadu domba umat Islam di Indonesia; satu sisi, "Kelompok Garis Keras" digambarkan sebagai mafia yang akan membumi hanguskan semua musuhnya (dalam hal ini terutama NU dan Muhammadiyah), di sisi lain digambarkan sebagai bahaya laten yang akan mengancam ormas moderat bahkan keutuhan bangsa, sehingga harus ditumpas dan diperangi.
______________________

(1) Tentang masuknya Islam ke Nusantara masih menjadi perdebatan diantara para sejarawan Indonesia, dan belum menemukan kata sepakat dalam hal ini.
(2) Tentu dengan memohon pertolongan dari Allah swt. Agar diberi taufik serta kekuatan untuk dapat menyelesaikan cocatan ringan ini sebagai bagian dari tanggung jawab dan beban moral sebagai Thalibul ilmi yang kebetulan sedang mendalami masalah siyasah syar'iyyah.
(3) Dua tahun lalu, Rand Corporation mengeluarkan sebuah laporan hasil penelitian tepatnya pada akhir bulan Maret 2007 (Rabiul Awwal 1428), dengan judul: ([Building Moderate Muslim Networks, RAND Center For Middle East Public Policy, March 2007, California, USA) MEMBANGUN JARINGAN MUSLIM MODERAT.
Laporan ini merupakan kelanjutan dari serial penelitian yang telah digarap oleh Pusat Pemikiran terkemuka dan berpengaruh ini, dengan tujuan menemukan strategi baru guna menghadapi Dunia Islam, pasca peristiwa 11 September.
Yang baru dari laporan tahun 2007 ini adalah bahwa laporan ini memberikan beberapa rekomendasi serta Draft program yang bersifat aplikatif kepada pemerintah Amerika agar dapat berlajar dan mengambil pengalaman dari kemenangan Amerika dalam perang dingin, terutama keberhasilan pemerintah Amerika dalam menekan laju pertumbungan pemikiran Komunisme. Pengalaman berharga ini sangat penting digunakan dalam menghadapi pertumbuhan gerakan Islam Modern.
Kajian ini digarap oleh sebuah tim yang terdiri dari para ahli/pakar di Amerika yang saat ini bekerja di pusat penelitian tersebut, yang diantaranya adalah: Angel Rabasa, peneliti akademis yang dulu pernah menjabat posisi penting di kementrian luar negeri dan kementrian pertahanan Amerika. Angel Mendapat gelar doktoralnya dari Universitas Harvard Amerika, selain bahasa Inggris, ia menguasi empat bahasa lain, yaitu Perancis, Italia, Yunani dan Spanyol. Ia telah menulis beberapa buku serta kajian seputar Dunia Islam. Turut membantu dalam dalam menyiapkan laporan ini, peniliti terkemuka Sheriel Binard, yang turut membantu menyeiapkan hasil kajian sebelumnya yang populer pada tahun 2005 seputar Islam demokrasi Sipil. Sheriel adalah salah satu anggota tim Rand Corporation untuk dunia Arab (Qatar), dan dikenal memiliki pandangan yang negatif terhadap Islam.
Penelitian ini memakan waktu 3 tahun. Dan dalam rangka menyiapkan laporan itu tim ini telah melakukan berbagai kunjungan dan interview dengan para pemikir dan tokoh terkemuka baik di Amerika, Eropa, maupun dunia Islam. Dan inilah yang menjadikan hasil laporan ini benar-benar istemewa.
Laporan hasil penelitian yang terdiri dari 217 halaman ini, dibagi ke dalam Mukaddimah, dan 9 pasal, serta kesimpulan. Kajian ini berusaha memindahkan tabiat konflik pemikiran dari Islam Vs Barat, menjadi pertentangan antara dunia barat Vs dunia Muslim seperti yang pernah terjadi pada masa perang dingin, antara pasukan timur Vs pasukan barat.
Laporan hasil penelitian ini juga menekannkan bahwa perang yang sesungguhnya adalah perang pemikiran disamping perang militer atau masalah keamanan, dan bahwa untuk memenangkan pertempuran melawan teroris tidak akan mungkin terjadi hanya dengan memenangkan pertempuran militer saja, tapi yang lebih penting dari itu adalah bagaimana pemikiran Islam –yang disebut sebagai pemikiran ekstrem (garis keras)- dapat dikalahkan.
(4) Building Moderate Muslim Networks, RAND Center For Middle East Public Policy, March 2007, California, USA, pp. 60.
(5) Kriteria nomor (2) Bersikap tidak toleran terhadap pandangan dan keyakinan yang berbeda; (4) memusuhi dan membenci orang lain karena berbeda pandangan;
(6) Kriteria nomor (5) Mendukung pelarangan oleh pemerintah dan/atau pihak lain atas keberadaan pemahaman dan keyakinan agama yang berbeda; (3) berperilaku atau menyetujui perilaku dan/atau mendorong orang lain atau pemerintah berperilaku memaksakan pandangannya sendiri kepada orang lain;

PEACE-BUILDING (2)


PEACE-BUILDING

Film documenter yang berjudul "al-Imam and Pastor" (Sang Imam dan Pastor") dan berdurasi 39 menit ini ingin menandaskan:

Pertama: Bahwa, cinta kasih dan kasih sayang merupakan ajaran utama dan inti dari ajaran Agama (baik dalam Islam maupun dalam Kristen. Dalam Islam ajaran yang bernuansa keras hanya ada dalam dua hal: Pertama, Jihad dalam mempertahankan hak, negeri, dan untuk menegakkan keadilan dan menumbangkan kedzaliman yang menjadi penyebab kerusakan dalam masyarakat, kedua dalam hal penerapan hudud (sangsi hukum pidana) (hukum qishas bagi pembunuh, potong tangan bagi pencuri, rajam bagi pezina bersuami atau beristri, hirabah bagi pembuat kerusakan besar dalam masyarakat, dan cambuk bagi pelaku zina yang masih gadis atau lajang). Dalam penerapan sangsi hukum pidana ini bahkan tidak diperkenankan secara berlebihan menggunakan emosi sehingga mengakibatkan adanya belas kasihan yang menyebabkan penghapusan sangsi datau pemberian keringanan. Karena penerapan sangsi hukum pidana secara konsisten akan membawa kepada ketentraman dan berjalannya hidup bermasyarakat secara teratur. Demikian pula jihad, yang merupakan salah satu instrument untuk menjaga keseimbangan alam semesta sebaga hukum power of balance bagi tindak kedzaliman. Kaidah ini di dalam al-quran di kenal dengan kaidah sunnatuttadafu. Seperti yang disebutkan dalam al-Quran:

"Sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah Telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid- masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa, (Al-Hajj: 40)

"Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian umat manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam. (al-Baqarah: 251)

Selain dua tempat diatas, ajaran Islam menghendaki agar hubungan antar individu dan kelompok di masyarakat di penuhi dengan suasana kasih sayang, hormat menghormati, toleransi dan saling tolong menolong dalam kebaikan dan kebenaran, bukan tolong menolong dalam hal kejelekan dan permusuhan.

Masalahnya, sebagai akibat reaksi atas kedzaliman yang dialami oleh Umat Islam di berbagai belahan dunia, muncul penafsiran "ekstrem" tentang makna jihad, dengan meluaskan maknanya, jangkaunya serta sasarannya. Dengan berlandaskan beberapa ayat al-Quran seperti (at-taubah: 36)

"Dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan Ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa".

Bagi mereka, cukup peperangan negara barat telah mencukupi syarat bagi umat Islam untuk mengobarkan peperangan secara terbuka dan meluas, tanpa pilih kasih dan pandang bulu.

Padahal ayat ini harus difahami dalam konteksnya dan dalam kerangka bagian dari ayat-ayat lainya yang tidak bisa dipisah satu sama lain. Ibnu Katsir berkomentar tentang ayat ini:


وأما قوله تعالى ( وقاتلوا المشركين كافة كما يقاتلونكم كافة ) فيحتمل أنه منقطع عما قبله وأنه مستأنف ويكون من باب التهييج والتحضيض أي كما يجتمعون لحربكم إذا حاربوكم فاجتمعوا أنتم أيضا لهم إذا حاربتموهم وقاتلتموهم بنظير ما يفعلون ويحتمل أنه إذن للمؤمنين بقتال المشركين في الشهر الحرام إذا كانت البداءة منهم كما قال تعالى ( الشهر الحرام بالشهر الحرام والحرمات قصاص ) وقال تعالى ( ولا تقاتلوهم عند المسجد الحرام حتى يقاتلوكم فيه فإن قاتلوكم فاقتلوهم ) الآية هكذا الجواب عن حصار رسول الله صلى الله عليه وسلم أهل الطائف واستصحابه الحصار إلى أن دخل الشهر الحرام فإنه من تتمة قتال هوازن وأحلافها من ثقيف فإنهم هم الذين ابتدءوا القتال وجمعوا الرجال ودعوا إلى الحرب والنزال فعندما قصدهم رسول الله صلى الله عليه وسلم كما تقدم فلما تحصنوا بالطائف ذهب إليهم لينزلهم من حصونهم فنالوا من المسلمين وقتلوا جماعة واستمر الحصار بالمجانيق وغيرها قريبا من أربعين يوما وكان ابتدؤه في شهر حلال ودخل الشهر الحرام فاستمر فيه أياما ثم قفل عنهم لأنه يغتفر في الدوام مالايغتفر في الابتداء وهذا أمر مقرر وله نظائر كثيرة والله أعلم ولنذكر الأحاديث الواردة في ذلك وقد حررنا ذلك في السيرة والله أعلم.


Sebab lain, yang melatarbelakangi timbulnya bertikaian dalam masyarakat selain masalah penafsiran teks-teks keagamaan adalah pertentang kepentingan pragmatisme, ketimpangan dan keadilan social, keserakahan serta ketamakan untuk menguasai orang lain atau hak milik orang lain.

Kedua: Bahwa keberagaman (pluralitas) yang ada dalam sebuah masyarakat akan menjadi sumber kekayaan dan pengayaan, bila dapat dikelola dengan bak, dan menjadi sumber pertikaian seperti yang terjadi di daerah konflik karena tidak mampu dikelola dengan baik.

Ketiga: kunci dari perdamaian adalah ajakan untuk hidup berdampingan secara damai (at-ta'ayusy as-silmi), bukan peleburan secara total menjadi satu (al-indimaj), karena pada kenyataannya tidak mungkin sebuah entitas dipaksakan untuk menjadi yang lain, demikian pula sebuah kepercayaan agama, madzhab dan kerangka berfikir yang mendasar, tidak mugnkin dapat dipaksakan kepada pemeluknya atau penganutnya agar ditinggalkan demi untuk menganut yang lain. Barangkali proses peleburan bisa saja terjadi dalam sebuah masarakat tapi itu tidak mungkin terjadi kecuali dalam kurun waktu yang cukup lama.

Dan salah satu dari upaya hidup berdampingan secara damai adalah membudayakan tradisi "permohonan maaf" dari yang berbuat dhalim kepada yang didzalimi, disisi lain membudayakan tradisi "memberikan maaf", kepada pihak yang dengan jujur telah mengakui kesalahannya.

Budaya ini sangat penting artinya bagi berlanjutnya kehidupan secara damai, karena hidup ini tidak mungkin berjalan secara monoton adan lancer terus menerus, terkadang mesti ada gelombang yang akan mengguncang masyarakat (kesalah fahaman, kekeliruhan baik disengaja maupun tidak, dst), budaya minta maaf dan memaafkan ini akan menjadi antisipasi dan penawar dalam kondisi yang tidak diharapkan tersebut.

Keempat: agar seorang individu atau kelompok dapat hidup berdampingan secara damai, harus diciptakan satu payung untuk bernaung bersama, payung bersama yang paling memadai adalah citizenships atau "al-muwathanah" atau kewarga negaraan (semua elemen harus merasa hidup bersama sebagai warga negara). Sebagai warganegara semua elemen masyarakat dan entitas di dalamnya memiliki hak dan kwajiban yang sama, mereka duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi. Namun demikian kecuali hak-hak yang mendasar (sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan) hak dan kwajiban tidak mungkin didapat secara sama dan merata, supaya kaidah reward dan punishment dapat diterapkan.

Agar tidak terjadi konflik yang dipicu oleh factor-faktor yang telah disebut diatas, disini perlu diletakkan sebuah role of the game (aturan main), yang diwujudkan dalam system pemerintahan, undang-undang dasar dan undang-undang lainnya, serta keputusan pemerintah.

Dalam memilih system pemerintahan, dan meletakkan undang-undang harus dicari sebuah system yang memenuhi standar sistematika (sitematis), berkeadilan sosial, kebebasan dan mampu menandatangkan kesejahteraan bagi warga Negara secara bersama dan merata, Melalui sebuah mekanisme musyawarah mufakat. System dan undang-undang ini dapat diambil dari mana saja, termasuk dari basis tradisi, budaya nasional maupun local, bahkan ajaran dan syariah agama-agama. Selama dapat memenuhi standar diatas, tidak perlu ada sensitifitas dari masing-masing kelompok dalam pengambilan referensi role of the game tersebut.

Dari titik tolak ini Dr. Saifuddin Abd. Fatah (dalam komentarnya) memandang bahwa tidak ada kontradiksi antara muwathanah dan syariah apalagi dalam lingkungan masyarakat yang mayoritas Muslim. Selama umat Islam mampu mengetengahkan syariah dan penafsirannya secara ilmiah sebagai basis nilai yang dapat merealisasikan makna keadilan, ketentraman dan kesejahteraan dalam masyarakat kepada umat lainnya.

Contoh: Penafsiran dan pemahaman klasik yang menyatakan bahwa istri harus mendapatkan izin suami tatkala menuntut khulu', beberapa waktu teraljor di Mesir mulai ditinjau ulang, karena dinilai tidak lagi dapat merealisasikan keadilan bagi kedua belah fihak secara balance (seimbang), akhir dari kajian tersebut membawa kepada kesepakatan dihapuskannya undung-undang yang mengharuskan istri mendapat izin dari suami saat menuntut khulu'. Upaya penafsiran ulang seperti ini sah-sah saja serta tidak menjadi masalah selama masih dalam koredor mutaghayyirat, dan untuk merealisasikan keadilan yang juga merupakan bagian dari maqoshid syariah itu sendiri.

Jadi pada intinya, syariah selalu memuat dan merealisasikan nilai keadilan, sementara bagian syariah yang bukan provan (tsawabit) penafsirannya masih terus bisa disesuaikan dengan kondisi dan sejauh mana dapat merealisasikan keadilan, sesuai dengan zaman dan tuntutannya. Untuk itu Jika dalam beberapa kesempatan syariah dimunculkan oleh beberapa pihak ke permukaan sebagai dua komponen yang kontradiksi –menurut Dr. Saifuddin Abd. Fatah- itu lebih karena isu tersebut mushtana'ah (dibuat-buat) dan mufta'alah (disulut-sulut dan dikipas-kipasi) oleh kelompok tertentu, agar terjadi kondisi caos dan ketidak setabilan di tengah masyarakat. Dalam kondisi seperti itu kelompok ini ingin memancing di air keruh guna meraup keuntungan pragmatis sebesar-besarnya.

Contoh kasus di Mesir, walaupun secara resmi negara ini berdasarkan Islam, tapi tidak menganggap warga kristen coptic sebagai warga kelas dua, mereka bisa mendapatkan pendidikan, sarana-prasarana, pekerjaan yang sama dengn warga muslim, selain itu warga coptic tidak merasa risih ketika sebagian dari mereka menggunakan hukum waris yang ada dalam islam. Masalah-masalah diatas menjadi problem manakala ada sekelompok yang terus menerus mengobarkan sikap kecurigaan dan perasaan tertindas dengan mengambarkan warga Coptic sebagai warga kelas dua di mesir.

Kelima: harus secara terus menerus dikampanyekan internalisasi budaya dialog, dan kesiapan untuk menerima dan hidup berdampingan dengan orang lain yang berbeda secara etnik, budaya, agama dan keyakinan, dst. Menghidupkan budaya saling percara trust Serta menghilangkan budaya saling curiga-mencurigai.

Hal ini juga menuntut munculnya para penggagas dan penggerak di bidang ini (dialog) dan berkumpulnya mereka dalam sebuah lembaga. Mereka inilah yang nantinya diharapkan menjadi motor bagai proses taayusy silmi (hidup berdampingan secara damai) tersebut, serta diharapkan menjadi mediasi bagi berbagai komponen dan entitas tersebut, mana kala terjadi pertikaian dan konflik di tengah masyarakat, seperti apa yang telah dilakukan oleh sang Imam dan pastor tersebut.

Hal lain yang nantinya menjadi garapan lembaga ini diantaranya adalah turut membudayakan dalam membangun komunikasi efektif yang efektif dalam berbagai level: antar individu, antar anggota keluarga, dan antar keluarga, antar anggota masyarakat, antar suku dan etnik, antar jenis kelamin, antar kelompok profesi, antar penganut agama, antar penganut madzhab dalam agama, antar lintas generasi dan seterusnya. Yang dengan demikian gap-gap dalam masyarakat yang seringkali dipicu oleh beberapa faktor penting seperti: Perbedaan dalam Emosi atau perasaan, perebutan Sumber Daya dan kepentingan pragmatis, ambisi politik, serta beberapa perbedaan dalam nilai-nilai/doktrin ajaran agama/madzhab dapat tereduksi secara natural dan berlahan, demi tercapainya peradaban tinggi yang dipenuhi dengan sikap toleransi, cinta kasih, keadilan, damai, sejahtera, jauh dari konflik, pertikaian, serta peperangan yang memusnahkan manusia dan alam semesta.

Namun sebagai manusia terkadang wajar sebagian merasa pesimis terhadap fenomema yang terjadi, dimana kesadaran dan upaya mulia, untuk menciptakan perdamaian seperti diatas, harus menghadapi realita pahit, dimana bangunan masyarakat indonesia yang masih dianggap rawan konflik itu justru disulut oleh sebagian kelompok yang terus mengobarkan rasa permusuhan, mengadu domba dan kebencian serta kesaling curigaan diantara anak bangsa, seperti yang dilakukan oleh para penyusun buku Ilusi Negara Islam; Ekspansi gerakan Transnasional di Indonesia" wala haula wala quwwata illa billahil aliyyi al-adhim.

Tapi sebagai genasi muda yang akan mewarisi bumi pertiwi ini, selayaknya terus tidak boleh menyerah seraya tetap menjadikan fenomena kecil ini hanya batu kerikil kecil yang menjadi bagian dari tatangan masa depan. Wallahu a'la wa a'lam.

PEACE-BUILDING (1)


kemaren sore saya berkesempatan untuk pergi ke kulliyah iqtishad
wa al-ulum as-siyasiyah di Kairo University, untuk menyaksikan penayangan film
dukumenter tentang proses perdamaian antara masyarakat kresten dan muslim yang
terjadi di utara Negeria, setelah kedua belah kubu terjebak dalam pertikaian
antar agama yang mengenaskan.

upaya perdamaian ini dimotori oleh seorang syeikh bernama Imam Muhammad Ashafa
dan seorang Pastor bernama James Wuye.

film dokumenter yang berdurasi 39 menit itu mendapatkan perhatian dan apresiasi
yang cukup luar biasa dari berbagai kalangan, sehingga telah diterjemahkan ke
dalam 10 bahasa. ini pula yang mengantarkan kedua dalang perdamaian itu untuk
menjadi nominator penerima Hadiah Nobel (untuk perdamaian).

sang Imam dan sang pastor hingga kini telah diundang untuk menyampaikan orasinya
di berbagai negara Burundi, Harvard University, Bosnia, India dan Canada, dan
sekarang di Mesir. di sini mereka akan berbicara di Bibliotheca Alexandria
beberarapa hari yang akan datang dan kemaren di Universitas Kairo.

setelah acara penayangan film dokumenter, acara dilanjutkan dengan diskusi
panel dan komentar atas film, dari sang pelaku perdamaian (imam Muhammad ashafa
dan pastor james Wuye), yang kemudian di komentari oleh Dr. Ijlal Ra'fat (dir.
studi Mesir-Afrika di Univ. Kairo), lalu Dr. Hasan Wajih (Ustadz lughawiyyat
at-tafawudh ad-dauly wa rais qism allughah ingliziyah-univ. cairo) serta Dr.
Cornelis Holsmen (mudir markaz at-taqarub baina tsaqafat wat-tarjamah).

isi apa yang mereka sampaikan dan diskusi yang terjadi setelah itu cukup seru,
mudah-mudahan ada waktu luang untuk berbagi di sini.

2.15.2009

Benarkah Golput Bukan Ursusan Agama


BENARKAH GOLPUT BUKAN URUSAN AGAMA

Mukaddimah

Belakangan, isu tentang golput mencuat kembali, bermula dari ajakan Gusdur kepada kader PKB dan masyakat untuk memilih golput pada pemilu (2009) yang akan datang, karena merasa telah didzalimi oleh KPU.

Anjuran yang tergolong aneh ini, tentu saja mendapat reaksi dan respon dari berbagai kalangan, terutama dari para kader PKB Muhaimin, beberapa Ulama Jawa Timur, dan termasuk dari Dr. Hidayat Nur Wahid (Ketua MPR RI).

Para kader PKB Muhaimin dan beberapa ulama Jawa Timur menyatakan bahwa mengambil sikap Golput hukumnya haram. Sementara Dr. Hidayat Nur Wahid, turut melontarkan wacana agar MUI mengeluarkan fatwa yang mengharaman Golput. Demikian media banyak menyitir.

Pembicaraan Golput yang dikaitkan dengan masalah halal dan haram dianggap oleh sebagian kalangan telah melampaui teroterial basenya. Menurut mereka masalah Golput seharusnya tidak disangkut pautkan dengan masalah halal dan haram, karena tidak ada kaitannya dengan masalah agama.

Salah seorang peneliti LIPI, Moch Nurhasim, misalnya secara yakin menulis :

"Terlepas dari perdebatan hukum agama, saya memandang bahwa golput adalah suatu pilihan politik dan golput tidak ada urusannya dengan agama. Mengaitkan golput dengan agama hanyalah kerjaan elite politik yang gagap, waswas, dan bimbang karena mereka takut tidak memperoleh dukungan politik dari rakyat. Karena itu, golput menjadi sasaran ”fatwa” para penafsir agama. Ini merupakan bentuk politisasi agama menjelang Pemilu 2009." (Nurhasim, Golput bukan urusan agama, Media Indonesia)

Benarkan masalah Golput tidak ada kaitannya dengan urusan agama ? artikel ini mencoba menelusuri dan menjawab pertanyaan yang sedang diperbincangkan publik beberapa tempo lalu hingga kini.

Pengertian dan Faktor terjadinya Golput

Yang dimaksud dengan Golput (Golongan Putih) adalah sekelompok warga negara yang menolak memberikan suara dalam pemilihan umum sebagai tanda protes. (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi.3, hal.368).

Terdapat beberapa faktor mengapa sebagian warga negara melakukan protes melalui cara ini, namun utamanya dapat diklasifikasikan ke dalam dua faktor berikut:

Pertama: Menganggap pemilihan umum (pemilu) sebagai proses yang tidak islami, karena merupakan bagian dari produk sistem demokrasi barat yang tidak islami, yaitu sebuah sistem yang tidak dimaksudkan untuk menegakkan hukum Allah (syariat Islam).

Salah satu ulama' pendukung pendapat ini adalah Syeikh Abdurrahman as Suhaim, (anggota Markaz Da’wah dan Irsyad, Riyadh). Dalam konstek pembicaraan tentang diperbolehkan atau tidaknya seorang muslim mencalonkan dirinya menjadi anggota parlemen dalam sebuah negara yang tidak menerapkan hukum Islam, Syaikh as-Suhaim dengan gamblang berkata:

"Tidak boleh memasuki Majlis Parlemen dan sesungguhnya orang-orang yang memasuki majlis ini telah mengetahui secara yakin bahwa mereka tidaklah bisa merubah hukum yang berlaku sedikit pun! Permasalahan kita bukanlah permasalahan harta atau menegakkan had (hukum) terhadap seorang pencuri! Permasalahan kita adalah bagaimana berhukum dengan syariat Allah, menjadikan manusia menyembah Tuhan manusia. Cukuplah berdosa bagi orang yang memasuki majlis-majlis seperti ini, sesungguhnya ia telah diseru untuk menerima hukum Allah namun menolak, dan rela dengan—selain hukum Allah—adalah kufur terhadap Allah Yang Maha Besar.”

Beliau melanjutkan:”Yang jelas kemudharatan memasuki majlis ini adalah lebih besar dari pada manfaatnya, dosanya lebih besar dari pada menfaatnya! Dan kita memiliki kaidah bahwa “menghindari kerusakan lebih didahulukan dari pada mendapatkan manfaat.”

Jadi landasan utama yang menjadi pegangan syeikh as-Suhaim adalah bahwa :

1- Menjadi anggota parlemen dalam sebuah pemerintahan yang tidak menerapkan hukum Allah, seperti pemerintahan yang menerapkan sistem demokrasi, adalah dilarang, dan sekaligus berdosa.

Dan jika jalan yang mengantarkan seorang untuk menjadi anggota parlemen adalah pemilihan umum, maka secara otomatis, pemilu yang merupakan proses yang mengantarkan seseorang menuju kursi parlemen juga dilarang.

2- Melakukan perubahan dengan cara masuk menjadi anggota parlemen –menurut syeikh as-Suhaim- terbukti gagal, karena cara ini tidak mampu merubah hukum yang berlaku sedikitpun.

3- Dengan demikian madharat memasuki Majlis Parlemen (berhukum kepada selain hukum Allah) lebih besar dari manfaatnya, sehinnga harus ditinggalkan berdasarkan kaidah: "Menghindari kerusakan lebih didahulukan dari pada mendapatkan manfaat".

Pendapat ini juga dipegang oleh Dr. Muhammad Ahmad Ali Mufti dalam bukunya "Naqd al-Judzur al-Fikriyyah liddimokratiyah al-Gharbiyyah" (Majallah al-Bayan, 1423 H/2002 M). Sebagaimana dipegang pula oleh Hidzb Tahrir, dan mayoritas Gerakan Salafiyah dan gerakan-gerakan lain.

Pendapat diatas dapat dikritisi sebagai berikut:

1- Bahwa keikutsertaan para aktifis Islam dalam aktifitas politik dalam sebuah negara yang tidak berhukum kepada syariat Islam, tidak dimaksudkan untuk mengakui keabsahan dan kebenaran yang sedang terjadi, tapi justru ingin merubah apa yang sedang terjadai secara gradual dan berlahan agar sesuai dengan hukum Islam. Sehingga madzarat yang ditimbulkan karena masuknya para aktifis Islam –sebagaimana dikhawatirkan oleh syeikh suhaim- tidak terjadi disini. Ini berbeda dengan parpol-parpol nasionalis yang memang sejak awal tidak menjadikan Islam dan perjuangan penegakan syariat Islam sebagai pijakan dan dasar pergerakan mereka, bahkan mereka acap kali menentang upaya ke arah penerapan syariat tersebut.

2- Karena perubahan yang dirancang oleh para aktifis Islam bersifat gradual, maka prestasi yang dicapai oleh keikut sertaan aktifis Islam dalam gelanggang politik tidak bisa dinilai gagal sebagaimana diklaim oleh syeikh suhaim, karena orientasi keikut sertaan para aktifis Islam dalam politik ini tidak semata berfokus pada perubahan undang-undang dasar dan undang-undang lainnya agar sesuai dengan syariat Islam, namun dalam pandangan mereka justru masih banyak agenda perubahan lain yang mesti disiapkan sebelum proses menuju perubahan undang-undang itu sendiri secara total dan menyeluruh. Seperti bagaimana menyelamatkan lembaga parlemen itu sendiri dari tangan-tangan para oportunis agar lebih produktif dan efektif dengan meminimalisir keberadaan mereka dan pengaruh mereka, berapapun jumlah para aktifis di lembaga ini, juga memperjuangkan agar undang-undang berpihak kepada maslahat rakyat secara menyeluruh. dan seterusnya.

3- Walaupun demikian, tidak benar jika dikatakan bahwa para aktifis Islam tidak mampu merubah hukum yang berlaku sedikitpun; undang-undang tentang bank Islam, dan undang-undang anti pornografi merupakan contoh kecil keberhasilan tersebut. Semua itu terjadi dalam kondisi bahwa para aktifis Islam masih dikatagorikan minoritas, apalagi jika mereka sudah menjadi mayoritas.

Kedua: Protes melalui Golput ini dilakukan oleh mereka yang merasa kecewa dengan proses pemilu, karena siapapun yang berhasil terpilih melewati proses pemilu –menurut mereka- tidak memberikan perubahan apapun. Terkadang pemilu –menurut mereka- hanya dijadikan alat legitimasi bagi para elit politik untuk mendapatkan keuntungan pragmatis mereka.

Argumentasi para pendukung pendapat ini diungkap dengan gamblang oleh Moch. Nurhasim sebagai berikut:

"Golput menjadi hak bagi mereka yang tidak menggunakan politiknya karena rezim dinilai gagal memberikan calon-calon alternatif dan partai politik dianggap sebatas kepanjangan tangan dari rezim otoriter. Dalam ranah gerakan, kehadiran golput adalah sikap politik untuk melawan rezim dan para elite politik yang hanya memikirkan dirinya sendiri. Golput lahir dari suasana kekecewaan, frustrasi politik karena pemilu hanya menghadirkan sosok-sosok pemimpin yang korup dan perilaku politik yang mementingkan diri sendiri." (Moch Nurhasim (P2 Politik LIPI, Media Indonesia).

Setelah menjelaskan fenomena demokrasi yang biasa terjadi di beberapa negara yang menerapkan sistem demokrasi, Nurhasim menyimpulkan:

"Inilah fenomena demokrasi yang sedang kita hadapi. Ketika pemilik kedaulatan itu semakin cerdas, mereka menggunakan ”kedaulatannya” sebagai alat bargaining power.

Salah satu bentuknya yang paling mudah adalah tidak bersedia datang ke TPS untuk menggunakan suaranya. Mereka menyadari bahwa suara mereka berharga, tetapi dalam realitas sering diselewengkan sehingga tidak dapat berkontribusi dalam membenahi sistem politik nasional yang carut-marut." (Moch Nurhasim (P2 Politik LIPI, Media Indonesia).

Termasuk dalam kategori faktor kekecewaan ini mereka yang kecewa karena mengalami kekalahan dalam konflik internal partainya. Atau kecewa atas kebijakan-kebijakan para pemimpin partainya. Kekecewaan ini biasanya diwujudkan dengan satu dari dua hal: keluar dan membentuk partai baru, atau melakukan protes dengan mengambil sikap Golput.

Dua faktor inilah –menurut penulis- yang paling mendominasi penyebab terjadinya golput ditengah-tengah masyarakat, walaupun dimungkin masih terdapat banyak penyebab-penyebab lainnya.

Jawaban atas pendapat diatas adalah sebagai berikut:

1- Apa yang disebut oleh Moch. Nurhasim bahwa Golput digunakan sebagai alat untuk melawan rezim dan para elit politik yang hanya memikirkan diri sendiri, sosok pemimimpin yang korup, partai politik yang hanya merupakan perpanjangan dari rezim otoriter dan seterusnya dapat dibenarkan dalam kondisi seperti periode Orde Lama maupun Orde baru. Dalam kondisi seperti ini Golput terkadang menjadi alat perlawanan yang sangat efektif, namun tidak tepat untuk kondisi saat ini.

Kondisi Indonesia sejak reformasi hingga kini sama sekali tidak seperti yang digambarkan oleh para pendukung golput diatas. Saat ini rezim otoriter mutlak tidak lagi ada di Indonesia, partai juga bukan merupakan kepanjangan dari rezim otoritere, bahkan rezim saat ini berasal dari partai menengah, bukan partai besar. Sebanyak 34 partai yang saat ini akan ikut meramaikan pesta demokrasi di indonesia juga tidak semuanya hanya memikirkan kepentingan pribadi, atau hanya memikirkan kepentingan partai, dan masa bodoh terhadap kepentingan rakyat. Banyak partai reformis yang masih bisa ditaruh harapan kepada mereka.

Oleh karena itu, sikap Golput dalam kondisi Indonesia yang semakin membaik seperti ini, merupakan sikap kontraproduktif bagi perkembangan Indonesia ke depan.

2- Mungkin ada yang kecewa dan dikecewakan dengan partai pilihannya di masa lalu. Itu hak asasi yang harus dihormati. Namun membawa kekecewaan pribadi ke ranah publik, mengkapanyekan dan menganjurkan orang lain untuk itu, menurut penulis, merupakan sikap egoisme yang kurang dewasa dan kontraproduktif, serta dapat digolongkan kedalam penyesatan dan pengelabuhan opini kepada publik terutama masyakarat awam yang tidak memiliki perangkat pengetahuan yang cukup yang pada gilirannya akan membingunkan mereka.

Golput termasuk urusan agama

Ketika seorang telah menyatakan dirinya sebagai muslim, maka semua bentuk (af'al mukallaf) berupa urusan, gerak gerik dan ucapannya harus memiliki keterkaitan dengan Islam, dalam arti bahwa semuanya harus berada dalam koridor syariat yang telah diturunkan oleh Allah Swt. Allah berfirman:

59. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu (apapun), Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (An-Nisa': 59)

65. Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, Kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (An-Nisa': 65)

Jadi semua urusan dalam pandangan Islam adalah urusan agama, sekaligus memiliki hukum agama, yaitu salah satu dari lima hukum syariah: (Wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram). Itu dikarenakan bahwa Islam hadir untuk memenuhi dan menjawab semua lingkup kehidupan manusia.

89. (dan ingatlah) akan hari (ketika) kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. dan kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri. (an-Nahl: 89).

Ini tidak berarti bahwa segala perkembangan yang terjadi termaktub secara jelas dalam al-Quran ataupun Hadis, tapi memiliki arti bahwa Al-Quran telah memberikan petunjuk-petunjuk umum yang harus dijadikan panduan dan haluan dalam menentukan keputusan atau sikap serta hukum yang sedang berkembang.

Golput yang diartikan sebagai salah satu bentuk sikap penolakan dan perlawanan kondisi real politik yang ada, tentu saja tidak bisa dikeluarkan dari (afal al-mukallafin), untuk itu secara pasti memiliki hukum, yang disimpulkan oleh para mujtahidin yang kompeten. Sehingga menjadi janggal jika dikatakan bahwa golput bukan merupakan urusan agama.

Mengganggap golput bukan merupakan urusan agama, merupakan maintrem atau cara pandang sekuleristik, yang memisahkan urusan agama dengan urusan sosial-politik-ekonomi (dunia). Cara pandang sekuler adalah cara pandang yang melihat permasalahan secara pilah, dan pilih kasih. Sebagaimana dijelaskan oleh Allah sebagai berikut:

85. ... apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat. (al-Baqarah: 85)

Golput Antara Mubah, Sunnah , Wajib, Maktuh dan Haram

Untuk menjawab pertanyaan apakah seorang muslim boleh ikut serta dalam perpolitikan di negara yang tidak menerapkan hukum syariat atau tidak, para ulama' yang tergabung dalam "Majlis Fatwa dan Riset Eropa" mengeluarkan fatwa –sebagaimana dikutip oleh ust. Sigit Pramono, Lc. sebagai berikut:

  1. Pada asalnya disyariatkan keikut-sertaan politik di negara Eropa berada diantara boleh, sunnah atau bahkan wajib sebagaimana ditunjukan firman Allah swt

Artinya : “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat hebat siksanya” (QS. Al Maidah : 2.)

Hal ini dianggap sebagai tuntutan para warga negara.

  1. Keikutsertaan Politik ini berupa masuk dalam berbagai ormas, bergabung dengan partai, membentuk opini, ikut serta dalam pemilu dengan memberikan suara serta memilih para wakilnya.
  2. Diantara kriteria keikutsertaan politik adalah komitmen dengan akhlak islam seperti jujur, adil, setia, amanah, menghormati keberagaman dan perbedaan pendapat, siap bersaing dengan orang-orang yang menentang islam, tidak berlaku kasar.
  3. Diantara kriteria keikutsertaan politik adalah pemberian suara dalam pemilu dengan syarat komitmen dengan prinsip-prinsip syariah, akhlak dan perundang-undangan, seperti adanya kejelasan tujuan dalam membantu berbagai kemaslahatan masyarakat, jauh dari sifat licik atau curang dan membersihkan dirinya dari hawa nafsu pribadi.

Menrut Ust. Sigit Pramono, Meskipun keputusan Majlis Fatwa tersebut diperuntukan buat kaum muslimin di negara-negara Eropa namun pada hakekatnya kondisi negara-negara tersebut tidaklah berbeda dengan kebanyakan negara-negara muslim pada saat ini dalam hal tidak menerapkan hukum Allah swt.

Beberapa kriteria yang disebutkan didalam putusan-putusan tersebut menjadi bingkai didalam menentukan hukum dari keikut-sertaan politik seorang muslim, termasuk pemberian suara dalam pemilu, apakah boleh, sunnah atau wajib.

Hukum mana yang bisa diterapkan dalam permasalahan pemberian suara atau tidak (golput) dalam pemilu sangatlah dipengaruhi oleh tiga faktor :

  1. Kualitas dari pemilihan umumnya, seperti : secara umum pemilu yang diadakan tidak dipenuhi oleh kecurangan maupun kelicikan.
  2. Kualitas dari para calon anggota legislatifnya (khususnya yang muslim), yaitu :
    1. Komitmen dengan prinsip-prinsip syari’ah.
    2. Komitmen dengan prinsip-prinsip akhlak islam.
    3. Komitmen dengan prinsip-prinsip perundang-undangan yang membawa kepada kemaslahatan umat.
  1. Persyaratan pemilih dari tinjauan syari’ah, seperti ; memahami secara baik apa yang harus dilakukannya dan adil atau tepat dalam menilai menjatuhkan pilihannya.

Untuk itu setiap muslim sebelum menentukan apakah menggunakan hak pilihnya atau tidak (golput) hendaklah melihat ketiga faktor tersebut dari semua sisi, baik dari sisi syari’ah, realita politik dan prilaku di lapangan. Kemudian dia juga harus menghindari adanya faktor-faktor emosional terhadap orang yang akan dipilihnya, seperti : kesamaan etnis, daerah, profesi, atau balas jasa yang dapat merusak obyektifitas dalam memberikan penilaian.

Apabila seorang muslim dengan segala upaya yang dilakukannya tersebut melihat bahwa pemilu tersebut akan membawa kemaslahatan bagi umat, adanya keberpihakan undang-undang kepada kepentingan-kepentingan kaum muslimin baik aspek akidah, ibadah maupun amar ma’ruf nahi munkar, adanya keseriusan dalam komitmen dengan prinsip-prinsip islam dan nilai-nilai moral serta adanya upaya untuk menerapkan syari’at Allah walaupun secara bertahap maka setiap muslim harus menggunakan suaranya mendukung orang-orang yang siap berjuang untuk itu semua. Firman Allah swt :
”Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa” (QS. Al Maidah : 2)

Namun apabila dia melihat sebaliknya bahwa pemilu tersebut tidaklah banyak bermanfaat buat umat, mengabaikan hak-hak kaum muslimin, menghilangkan wala (loyalitas) kepada Allah dan rasul-Nya, tidak adanya keinginan menerapkan syariat Allah, tidak komitmen dengan prinsip-prinsip islam maupun nilai-nilai moral atau mempersulit kaum muslimin dalam menjalankan kewajiban-kewajibannya maka boleh bagi seorang muslim untuk tidak memberikan suaranya, sebagaimana firman Allah swt :

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil Jadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu Jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman.” (QS. Al Maidah : 57).

Dan juga firman-Nya,”dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah.” (QS. Al Maidah : 2).

Dan jika dia melihat bahwa pemilu berada diantara dua keadaan diatas maka dianjurkan baginya untuk memberikan suaranya kepada orang-orang yang dianggapnya paling dekat dengan islam, konsisten untuk menyuarakan kebenaran, tidak mudah runtuh loyalitas keislamannya, tidak menjual umat untuk kepentingan pribadi dan golongannya serta siap memperjuangkan penerapan nilai-nilai syari’ah walaupun jumlah mereka hanyalah segelintir saja, sebagaimana kaidah “Kemudharatan (bahaya) yang besar dapat dihilangkan dengan kemudharatan yang lebih ringan” atau “Apabila ada dua kemudharatan maka ambilah kemudharatan yang lebih ringan.” Juga firman Allah swt :
Artinya : “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa.” (QS. Al Maidah : 2)

Sekenario Pasca Kemenganan Golput

Sekarang mari kita membayangkan, apa yang kira-kira bakal terjadi jika arus Golput ini menguat di tengah-tengah masyarakat ?

1. Sampai saat ini pemilu merupakan satu intrumen yang masih dipercayai paling efektif, legal, aman dan berperadaban untuk memanage konflik yang ada di tengah-tengah masyarakat. Jika pergantian kepemimpinan secara damai (tadawaul as-silmi lissulthah) ini ditinggalkan, itu artinya bahwa pergantian kepemimpinan (Tadawul as-shultah) melalui al-kifah al-musallah (anaskis dan senjata) akan menjadi model, sehingga radikalisme akan menjadi tren. Itu artinya akan membawa masyarakat kepada kondisi chaos yang tidak dapat kita prediksikan ujung pangkalnya. Beberapa negara di Afrika hingga kini masih menderita akibat parade kudeta bersenjata yang terjadi tiada henti.

Untuk itu kekecewaan atas kekalahan dalam konflik internal partai ataupun kekecewaan yang diakibatkan oleh kekecewaan atas kebijakan-kebijakan pemimpin partainya, merupakan kondisi psikologi personal yang boleh menjadi pegangan tapi tidak selayaknya dibawa dan dikampanyekan ke publik, karena pada ujung-ujungnya akan menggiring masyarakat kedalam kondisi chaos ini.

2. Hal yang perlu diingat bahwa dalam kondisi apapun pemilu akan tetap berjalan, baik partisipasi masyarakat rendah maupun tinggi. Karena tingkat partisipasi ini tidak menjadi penentu dalam menilai sah atau tidaknya pemilu.

Jika para reformis minggir dari gelanggang politik, dan menjadikan golput sebagai pilihan, atau jika representasi para reformsi sangat kecil di parlemen, maka yang akan terjadi adalah:

a. kekosongan (atau melemahnya) panggung politik dari para reformis, wajah dunia perpolitikan kita akan kembali ke masa lalu, dimana hanya akan diisi atau didominasi oleh para oportunis, orang-orang yang hanya mencari keuntungan pribadi dan kelompok.

b. Baik ada para reformis di dalam majlis (parlemen) atau diluar, undang-undang akan tetap disahkan. Dengan demikian secara otomatis undang-undang tersebut tidak akan berpihak kepada kemaslahatan rakyat. Para opurtunis akan semakin berlenggang kangkung untuk dapat menentukan kebijakan dan bahkan dapat dengan mudah didikte oleh kepentingan luar, karena bagi mereka yang penting bukan maslahat rakyat, tapi bagaimana saku mereka dapat dipenuhi.

c. Terjadi ambigu, sebab kwajiban amar-makruf nahi mungkar tetap berlaku, Sehingga akan menjadi kontradiksi jika para reformis berada di luar gelanggang politik, tapi dalam satu waktu mendesak anggota parlemen untuk merumuskan dan mengesahkan undang-undang yang berbihak kepada rakyat atau yang mendukung kearah penerapan syariah. Bagaimana mereka mendesak orang lain untuk melakukan satu hal, dengan cara yang mereka sendiri tidak setujui ? sungguh, merupakan potret ambigu dan kontradiktif ....

Memang mustahil mendapatkan partai yang 100% bersih, dengan anggota dan aleg yang juga 100% bersih. Karena kita bukan malaikat. Tapi juga mustahil jika tidak ada sejumlah orang yang reformis dari 200 juta penduduk Indonesia. Juga mustahil jika 34 partai yang ada saat ini semuanya sampah, tidak berguna dan tidak ada yang bisa diandalkan, sehingga semuanya harus dibuang.

Pandangan yang menyatakan keharusan untuk golput seperti ini justru mencerminkan egoisme, pengkultusan diri, al-ghurur bira'yihi, tinggi hati, bahkan cerminan dari diktatorisme pendapat. Bagi mereka seakan-akan didunia ini dialah yang maha benar dan hebat. Bahkan terkadang Tuhanpun dikritikisi. Wallahu a'laa wa a'lam bissowab. Semoga Allah menghindarkan kita dari pemahaman yang melenceng.

Salam,

Chaled_ms