11.20.2008

SERIAL NASEHAT IBNU AL-JAUZI (1)






بين العادة والعبادة




قال أبو الفرج :(تأملت علي أكثر الناس عباداهم ، فإذا هي عادات . فأما أرباب اليقظة فعاداتهم عبادة حقيقية


فإن الغافل يقول : سبحان الله ، عادة . والمتيقظ لا يزال فكره في عجائب المخلوقات ، أو في عظمة الخالق


فيحركه الفكر في ذلك فيقول : سبحان الله . فكان هذا التسبيح ثمرة الفكر ، فهذا تسبيح المتيقظين


وما تزال أفكارهم تجول ، فتقع عباداتهم بالتسبيحات مححققة


وكذلك يتفكرون في قبائح ذنوب قد تقدمت ، فيوجب ذلك : الفكر وقلق القلب وندم النفس ، فيثمر ذلك أن يقول قائلهم : استغفرالله


فهذا هو التسبيح والاستغفار . فأما الغافلون فيقولون ذلك عادة . فشتان بين الفريقين
ANTAR IBADAH DAN ADAT
Abu Faraj Ibnu Jauzi berkata:
"Saya memperhatikan mayoritas ibadah yang dilaksanakan oleh banyak orang, ternyata telah berubah menjadi adat.
Adapun orang-orang yang dalam kondisi yaqdhah (telah sadar untuk berjalan menuju Allah), maka adat mereka itu telah berubah menjadi ibadah yang sebenarnya.
karena jika seorang yang lalai berkata Subhanallah, maka ia mengatakan itu sebagai adat saja. sementara mereka yang telah beradad dalam kondisi yaqdhah, pemikiran mereka terus menerus tertuju pada keajaiban makhluk Allah, atau keagungan pencipta, lalu pemikiran ini menggerakkannya untuk berkata "Subhanallah".
Maka tasbih yang keluar dari mulutnya itu adalah buah gerak pikirannya. inilah tasbihnya orang-orang yang telah mencapai periode yaqdhah.
Sementara pikiran mereka terus berputar-putar, sehingga ibadah mereka itu berada secara tepat dalam tasbih tersebut.
Demikian pula saat mereka memikirkan jeleknya dosa yang telah lalu. pemikiran ini kemudian melahirkan renungan, kegaulan hati, serta penyesalan, dan inilah yang kemudian mendorong mereka untuk berkata Astaghfirullah.
Inilah Tasbih dan Istighfar mereka, sementara orang-orang yang lalai mengatakan semua itu sebagai adat. alangkah jauhnya perbedaan antara keduanya.

DIKTATORISME DAN OTORITAS PENAFSIRAN


DIKTATORISME
DAN OTORITAS PENAFSIRAN

Kekuasaan memang selalu saja menggoda umat manusia sepanjang sejarah. Sehingga banyak orang yang berminpi dan beropsesi untuk menjadi penguasa. dan karena yang satu inilah korban banyak berjatuhan. Seorang sejarawan bidang sekte dan madzhab "Syahrustani" dalam Milal wa an-Nihalnya menguatkan asumsi ini. (Tidak pernah pedang dihunus dalam Islam sehebat hunusan yang disebabkan oleh masalah kekuasaan).

Namun permasalahannya sebenarnya bukan terletak pada kekuasaan itu sendiri, tetapi pada cara pandang terhadap kekuasaan itu, serta untuk apa kekuasaan itu digunakan.

Kekuasaan itu penting untuk menopang kebenaran dan menebarkan kebaikan serta menjadi sarana yang paling efektif untuk mengantarkan masyarakat kepada kedamaian, keadilan dan kesejahteraan. Dan karena itulah Allah mengabadikan sosok Dzulkarnain sebagai sosok yang layak untuk diberikan kepadanya kekuasaan:

(Sesungguhnya kami Telah memberi kekuasaan kepadanya di (muka) bumi, dan kami Telah memberikan kepadanya jalan (untuk mencapai) segala sesuatu).

Karena dalam Negeri Dzulkarnain keadilan benar-benar tertegakkan; para koruptor, perusak serta premanisme akan mendapatkan pannishment yang setimpal, sementara para penebar kebaikan mendapatkan posisi yang terhormat:

Berkata Dzulkarnain: "Adapun orang yang aniaya, Maka kami kelak akan mengazabnya, Kemudian dia kembalikan kepada Tuhannya, lalu Tuhan mengazabnya dengan azab yang tidak ada taranya.

Adapun orang-orang yang beriman dan beramal saleh, Maka baginya pahala yang terbaik sebagai balasan, dan akan kami titahkan kepadanya (perintah) yang mudah dari perintah-perintah kami".

Tatkala keadilan sudah mampu ditegakkan, maka terjadi optimalisasi potensi yang cukup luar biasa untuk membangun peradaban. Sebuah peradaan yang bermuara pada totalitas pengakuan dan penghambaan kepada Allah.

Dzulkarnain berkata: "Ini (dinding) adalah rahmat dari Tuhanku, Maka apabila sudah datang janji Tuhanku, dia akan menjadikannya hancur luluh; dan janji Tuhanku itu adalah benar".

Adapun para diktator mereka tumbuh dengan loginya sendiri. Para diktator adalah sosok yang berpusat pada egosentrisnya. Sosok yang berporos pada "Aku", bermula dari "Aku" dan berakhir pada "Aku". Dalam Negeri para diktator tidak ada pluralitas pendapat, karena semua pendapat akan berporos pada "Aku" penguasa. Dalam negeri ini tidak ada tempat bagi pendapat dan pendapat lain (ar-Ra'yu wa ar-Ra'yu al-Akhar), yang ada adalah pendapat tunggal.

"Hai kaumku, untukmulah kerajaan pada hari Ini dengan berkuasa di muka bumi. siapakah yang akan menolong kita dari azab Allah jika azab itu menimpa kita!" Fir'aun berkata: "Aku tidak mengemukakan kepadamu, melainkan apa yang Aku pandang baik; dan Aku tiada menunjukkan kepadamu selain jalan yang benar".

Tidak hanya memaksakan satu pandangan, lebih dari itu sang diktator berusaha memaksakan penafsiran, dan klaim-klaim kebenaran, klaim-klaim kesucian, klaim-klaim kebaikan terhadap dirinya.

Dengan kekuasaannya itu sang diktator dia dengan serta merte membuat definisi dan penafsiran yang tidak mengikuti standar dan refensi yang otoritatif. Standar kebenaran definisi dan penafsiran yang mereka buat adalah kembali ke "Aku" tadi. Lalu dengan definisi dan penafsiran itu, secara otomatis akan menempatkan dirinya sebagai pihak yang benar dan pihak yang tidak setuju dengannya sebagai pihak yang sesat dan keliru. Dalam masalah ini Al-Quran telah memberikan gambaran yang begitu gamblang.

Dan Berkata Fir'aun (kepada pembesar-pembesarnya): "Biarkanlah Aku membunuh Musa dan hendaklah ia memohon kepada Tuhannya, Karena Sesungguhnya Aku khawatir dia akan menukar agamamu atau menimbulkan kerusakan di muka bumi".

Dengan standar ini menghasilkan sebuah kesimpulan: Bahwa Musa as beserta pengikutnya adalah para pengacau, para penyebar fitnah, para pengkhianat negara yang akan menyebabkan negera dalam resesi.

Dan secara sistemik para diktator ini akan menggunakan semua media yang ada untuk mencegah menguatnya pengaruh lawannya, sementara pihak yang pertama kali menjadi target sosialisasi adalah segmen masyarakat yang masih memiliki hubungan secara stuktural dengannya, (para pegawai pemerintah) karena masih dalam kendalinya.

Ternyata psikologi ini tidak saja melekat pada diri para diktator, tapi melekat pula pada pemikiran dan prilaku para status quo. Segmen masyarakat yang menginginkan kemapanan selalu membuat penafsiran dan klaim-klaim kebenaran yang standarnya kembali berporos pada diri mereka "Aku".

Maka tidak lain jawaban kaumnya melainkan mengatakan: "Usirlah Luth beserta keluarganya dari negerimu; Karena Sesungguhnya mereka itu orang-orang yang (menda'wakan dirinya) bersih".

Sebagai segmen masyarakat yang masih berkuasa dan berpengaruh, para status qou akan berusaha untuk memegang otoritas penafsiran lalu memaksakannya dengan semina-mena melalui media: bahwa merekalah orang-orang yang suci, yang lurus, yang mendapat hidayat, yang tercerahkan yang paling logis, dan seterusnya, sementara lawan poltitiknya ditempatkan dalam kondisi tertuduh, sehingga keberadaannya menjadi tidak legitemed (tidak legal) di masyarakat. Ketidak legalan ini secara otomatis akan terus mengerem lajunya pengaruh lawan politiknya di tengah-tengah masyarakat.

Ternyata sejarah mengulangi dirinya. Di Rusia saat lenin berkuasa, ia menamakan lawan politiknya sebagai "Kulaq" yang harus ditumpas. Di Zaman Penjajahan di Negeri kita dulu, para pejuang kemerdekaan disebut sebagai "Para Pemberontak" dan "ekstremis", di Zaman Orde Baru para da'i, guru, dan siapa saja yang berseberangan dengan penguasa di sebut "suversip". dan negera-negara yang tidak mau tunduk kepada Amirika saat ini disebut "Poros Kejahatan". Sementara para pejuang kemerdekaan, kelompok-kelompok dan gerakan Islam yang terus menerus berusaha membangun peradaban Islam selalu disebut sebagai "Teroris" yang masuk dalam daftar hitam Amerika Serikat untuk dibumi hanguskan.

Menguatnya hegemoni dan otoritas para diktator ini sungguh sangat membahayakan bagi perkembangan masyarakat. Karena hanya boleh ada satu pendapat, maka pendapat lainnya akan terpendam atau akan dipendam. Karena hanya boleh ada satu warna, maka warna-warna lain akan dimatikan. Sehingga kehidupan menjadi monoton, kreatifitas mati, dan kebaikan tidak menyebar, sementara aroma ketakutan menebar dimana-mana. Negeri yang dipimpin oleh sang diktator dikenal dengan negeri kematian. Dan yang paling menyedihkan adalah kondisi orang-orang yang menuai rizki dari kondisi ini, kelak diakherat.

Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikan dalam neraka, mereka berkata: "Alangkah baiknya, Andaikata kami taat kepada Allah dan taat (pula) kepada Rasul".
Dan mereka berkata;:"Ya Tuhan kami, Sesungguhnya kami Telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar).
Ya Tuhan kami, timpakanlah kepada mereka azab dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar".

Oleh karena itu, Al-Quran mengajarkan kita untuk melakukan perlawanan kepada para diktator ini. Tidak tanggung tanggung, usaha ini dikategorikan sebagai jihad tertinggi. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dari Abi Sa'id al-Khudri, Rasulullah Bersabda:

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ مِنْ أَعْظَمِ الْجِهَادِ كَلِمَةَ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ

Sesugguhnya jihad yang paling besar adalah kalimat keadilan yang dilontarkan dihadapan para diktator.





11.19.2008

الإسلام والغرب صراع أم مصالحة



الإسـلام والغـرب
صراع أم مصالحة ؟
بقلم محمد خالد مصلح
المقدمة
دائما, الافــراط والتفريط يمثلان أبشع وأشنع داء يصيب بهما أمتنا الإسلامية فى الماضى واليوم وسيكون كذلك فى أيامنا المستقبلة. ففى الماضى البعيد أفرط الخوارج فى نظرية مرتكبى الكبائر وسقطوا فى هوة الغلو فى التكفير, كما أفرطت المعتزلة فى استخدام العقل فى النظر إلى قضية عقدية وغيرها من القضايا حتى أوجبت على الله ما لا يليق بقدسيـته وعظمته وجلاله. والأبعد من ذلك أفرطت غلاة الشيعة فى تقديس الإمام على كرم الله وجهه واعتبروه نبـيا بل إلها وهو عنهم برىء. أما الفئــة التى فرقوا بين الصـلاة والزكاة فى عهد الصديق فقد فرطوا فى تلبيية تعاليم الاسلام حتى سقطوا فى هوة الارتداد, وهى ما يماثلها الفئة التى نسميها اليوم "بالعلمانيين".
كل من هؤلاء وأولاء لايزالون يقفون حجرا أمام مسير حضارتنا نحو الازدهار. وربما ذلك هو السر فى أن جعلنا الله تعالى تبارك وتعالى أمـة وسـطا وأمرنا بهـا, حيث قال: "وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا.... "
[1]؛ وسط بين الروح والمادة, بين الوحى والعقل, بين الدنيا والآخرة و وسط بين المثالية والواقعية, وسط فى العقيدة والعبادة والأحكام والعقوبات، وسط فى كل شىء لا إفراط ولا تفريط.
ففى ضوء هذه الوسطيه السمحه، تحاول هذه الكتابـه التجسير بين هـذا التفريط وذك الافراط فى فهم العلاقة بين الاسلام و الغرب, خصوصا بعد أن يبلغ الغرب ذروة التقدم المادى والتكنولوجى فى عصرنا هذا، وبلغ المسلمون فى غاية العجز عن أداء رســالتهم الحقيقية.
ففى هذا المضمار بالذات كانت الأمة منقسمة إلى اتجاهين متقابلين:
(أ)- إتجاه يذهب إلى أن تقدم الأمة الإسلامية مرهون بالتفاتها إلى الغرب واتباع خطواته ومناهجه حذو النعل بنعل. يقول الدكتور طــه حسين؛ والذى يعد إمام المتغـربين والمقلدين للغرب فى كتابـه "مستقبل الثقافة فى مصر":
"إن السبـيل واضحة مستقيمة ليس فيها عوج ولا التواء , وهى واحدة فذة ليس لها تعدد, وهى أن نسير سيرة الأوربيين و نسلك طريقهم لنكون لهم أنداد, ولنكون لهم شركاء فى الحضارة خيرها وشرها, حلوها ومرها , ما يحب منها وما يكره, ما يحمد منها وما يعاب"
[2].
ويقول سلامة موسى فى كتابه "اليوم والغـد" قائلا:
"إذا كانت الرابطة الشرقية سخافة, لأنها تقوم على أصل كاذب, فإن الرابطة الدينية وقاحة, فإننا أبناء القرن العشرين أكبر من أن نعتمد على الدين جامعة تربطنا, ونحن فى حاجة إلى ثقافـة جديدة أبعد ما تكون على الاديان ......."
[3]. ثم يقول:
"وكلما ازدادت خبرة وتجربة و ثقافة توضحت أمامى أعراض: يجب علينا أن نخرج من آسيا وأن نلحق بأوربا , فإنى كلما زادت معرفتى بالشرق زادت كراهيتى له, وشعورى بأنه غريب عنى, وكلما زادت معرفتى بأوربا زادت حبى لها وتعلقى بها , وزاد شعورى بأنها منى وأنا منها, ووهذا هو مذهبى الذى أعمل له طول حياتى سرا وجهرا, فأنا كافر بالشرق مؤمن بالغرب"
[4].

(ب)- أما الاتجاه الثانى: فهم الذين فروا هاربا بمجرد أن سمعوا اسم الغـرب يتلى؛ فالغرب وحده أسباب هذا الشقاء وعلة هذه الأمراض المصابة على جسم الأمّـة حاضرا وماضيا, وغلوا فى العدوان وكأنه دم يسرى فى عروق أجسامهم وتغلغل فيها ثم أصبحت طبيعـة خاصة لاتنفك عن ذاتيته رموا كل اللوم على الآخرين وفى النهاية نسوا النقد الذاتى.
تلك هى حالة أمتنا الإسلامية فى فهم العلاقة بين الاسلام و الغرب. إذا كان الأمر كذلك فنحن إزاء سؤال يطرح نفسه، الميتـبادر فى الذهن: "ما هو موقف الإسلام من الغرب فيما ينبغى أن يكون إذن ؟" هذا ما يريد الكاتب معالجتـه فى هذه الكتابة المتواضعة بمشيئة الله.

ماذا نعنى بالغرب؟
ولكى ننصف القول, ما أحوجنا إلى استعراض مفهوم لفظ الغرب، وطبيعته، وموقفه من الإسلام، وسمات حضارته، وآثار هذه الحضارة الإيجابيـة والسلبية للحياة الإنسانية.
أما لفظ الغرب فنعنى به: ذلك المعسكر الذى يشمل كل من الدين المسيحى المحرف واليهود المحرف والمشركين والملحدين, وبما تولد هذه الإيدولوجيات من الأنظمة فى أيامنا هذا مثل اللبرالية والرأسمالية والاشتراكية والصهيونية... الخ، وبها تولد الحضارة المادية النـزعة التى تغزو عالمنا المعاصرة
[5].
فقد بين لنا القرآن الكريم طبيعة العلاقة بين ذلك المعسكر والإسلام؛ وهى طبيعة العدوان المستمر منذ ظهور الإسلام إلى أن يرث الله الأرض ومن عليها. فلنصغى قول الله تعالى: "وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ"
[6]. وقال: "وَلا يَزَالُونَ يُقَاتِلُونَكُمْ حَتَّى يَرُدُّوكُمْ عَنْ دِينِكُمْ إِنْ اسْتَطَاعُوا"[7]. وقال أيضا: " وَدَّ كَثِيرٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّونَكُمْ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِكُمْ كُفَّارًا حَسَدًا مِنْ عِنْدِ أَنفُسِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ الْحَقّ ُ"[8]. وقال تعالى: "وَدَّتْ طَائِفَةٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يُضِلُّونَكُمْ وَمَا يُضِلُّونَ إِلا أَنْفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُونَ"[9]، " يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ لا يَأْلُونَكُمْ خَبَالا وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتْ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمْ الآيَاتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ"[10].
فهو كما يقول الأستاذ محمد قطب فى كتابه "الصراع بين الفكر الغربى والفكرالإسلامى"، إذن، صراع قديم قدم الإسلام، ووسائل هذا الصراع أيضا قديم كما أن أهدافه قديم أيضا. ولقد بدأ حربهم منذ أول قيام الدولة الإسلامية فى المدينة، والتاريخ يتضمن وقائع هذه الحروب الهائلة التى شنها اليهود من ناحية, والمشركون من ناحية أخرى, ثم النصارى من ناحية ثالثة؛ بمجرد أن أحست الدولة الرومانية بمولد الدولة الجديدة فى الجزيرة العربيـة واستواءها على قدميها؛
أما اليهود فبالكيد والخبث ونشر الأراجيف والشائعات ومحاولة تشكيك المؤمنين فى صدق الوحى وصدق رسولهم الأمين صلى الله عليه وسلم وإثارة الفتن بينهم, وتأريث الخزازات القديمة النائمة وتأليب المشركين عليهم وتشجيعهم على غزوهم واستمالة المنافقين وضعاف الإيمان إلى جانبهم لاستخدامهم فى تفريق الصف ونشر الفتنة والتخاذل فيه, كما حاولوا قتل الرسول أكثر من مرة.
أما النصارى, فقد جهزوا الغزو على الدولة الناشئة والقضاء عليها قبل أن يثبت أقدامها وتنطلق للانفساح فى الأرض، ولما فشلوا عادوا يكرون مرة أخرى فى الحروب الصليبية, ولا يزال هذه النـزعة مغروسة فى أعماق قلوبهم إلى أيامنا المعاصر. يقول كانتول سميث Cantwel Smith المستشرق الكندى المعاصر فى كتابه "الإسلام فى التاريخ المعاصر" "Islamic Modern History" أن أوروبا لا تستطيع أن تنسى الفزع الذى ظلت تزاوله خمسة قرون متوالية , والإسلام يغزوها من المشرق والغرب والجنوب ويقطع فى كل يوم جزءا من أجزاء الأمراطورية الرومانية ويكاد يستولى على العاصمة ذاتها, ذلك الفزع الذى لا يدانيه شىء ولا حتى فزع أوروبا من استيلاء الشيوعية على تشيكوسلوفاكيا عام 1948م"
[11].

وإذا كانت هذه هى طبيعة موقفهم نحو الإسلام، فما هى سمات حضارتهم التى تغزو العالم الأجمع اليوم؟. يقول عنها الدكتور يوسف القرضاوى فى كتابه "الإسلام حضارة الغد"
[12]: إن الحضارة الغربية المعاصرة تقوم على الركائز الفكرية ممتدة الجذور إلى عهد اليونان والرمان وهى تتسم بسمات أهمها:

السمة الأولى هى الغبش فى معرفة الألوهية
فهى ليست رؤية صافية تقدر الله حق قدره, وإنما هى رؤية غائمـة مضطربة تحيط بها الاوهام والجهالات, بل الحق أن الغرب كما يظهر من تاريخه لم يعرف الله جل شأنه معرفة صحيحة, ولم يهتد إلى الايمان الصحيح لخالق الكون ومدبره, لم يعرف حقيقة الألوهية الكاملة, العالمة , القادرة , المريدة, البارة, الرحيم, ذلك لأنه لم يعرف النبوة الهادية والوحى المعصوم معرفة مباشرة فيما علمنا من التاريخ حتى الفلاسفة الكبار لم تكن تصورهم تصورا صحيحا؛ فالإله الذى صوره أرسطو إله مسكين, لأنه لا يحل ولا يربط
الكون, فالاشد منه إله أفلوطين الحديث, فإن إلهه لا يتأمل فى شء حتى نفسه.

أما السمة الثانية هى النزعة المادية.
ونعنى بها, تلك النزعة التى تؤمن بالمادة وحدها وتفسر بها الكون والمعرفة والسلوك وتنكر الغيبيات وكل ما وراء الحسى فهى لاتؤمن بالله وبالإله الخالق لهذا الكون ولا بالوحى ولا با الروح الخالدة ولا بعالم غيبى ولا يقيم المثالية فوق المنافع واللذات إلى ضرة لأن كل هذه الاشياء لا يشهد لها الحسى ولا تهدى إليها الملاحظه والتجربة؛ فالفكر الغربى مادى يحتقر الوحيات ...., حسى لا لايحفل بالمعنويات ......, واقعى لايؤمن بالمثالية.

أما السمة الثالثة هى النزعة العلمانية.
وهى ثمار الخصيصتين السابقتين ولوازمهما, وهى تلك النزعة التى تفصل بين الدين والدولة أو بعبارة أخرى فصل بين الدين والحياة الاجتماعية؛ فالدين فى نظر الغرب علاقة بين الإنسان وربه محلها ضميره الذى بين جنبيه, فإذا خرج الضمير, فلا يجوز له أن يتجاوز جدران المعبد أو الكنيسة‎, وليس من شأنه أن يوجه الحياة بالتشريع وإلزام فرض تعاليمه وإحكامه على المؤسسات التى تحكم المجتمع وتدير دفته من تعاليم وتربية وثقافة وإعلام وإدارة واقتصاد وسياسة و تشريع.

السمة الرابعة هى نزعة الصراع
إن حضارة الغرب تقوم على الصراع، لحمها وسداها الصراع, لا تعرف السلام ولا الطمأنينة ولا الحب. وهو صراع متغلغل فى كل النواحى, متنوع الأشكال، متعدد المجالات, متباين الأسلحة والأساليب, إنه صراع بين الإنسان ونفسه وصراع بين الإنسان ووالاله؛ فالإنسان فى الحضارة الغربية فى صراع مع أخيه الإنسان وهو صراع يأخذ صورا شتى؛ فهو صراع بين الأفراد من أجل منافعهم الفردية المتباينة وهى صراع بين الطبقات والجماعات وخصوصا مع استئثار كل جماعة بالمنافع لأنفسها, وجورها على غيرها واحتقارها لما سواها وهو صراع بين الأمم و الأجناس وخصوصا مع حدة الشعور القومى ونزعة الاستعلاء عند كل أمة ولا يزال ترى أثره فى العلاقة بين البيض والسود وهى صراع بين المؤسسات كالصراع بين الكنيسة الذى انتهى إلى ما عرف عندنا باسم العلمانية".
وفى هذا يقول الدكتور محمد عمارة قائلا: "بل لقد رأى الغرب –ولا يزال يرى- أن الصراع والصدام هو الخيار الرئيسى فى تحقيق هذه الواحدية الحضارية ... وذلك بسبب الصبغة الصراعية الغربية، والتى أفصحت عنها- ثم بررت لها النظريات الرئيسية التى صيغت فلسفة الأنوار الوضعية الأوربية وفكر الحداثة الغربية وثقافتها .."
[13].


والسمة الخامسة هى الاستعلاء على الآخرين والأنانية.
وهى نزعة التى تسرى وتتحكم فى عقول الغربيين كافة فهم يعتقدون أنهم أفضل من غيرهم عنصرا و أنقى دماءا, وأنهم خلقوا ليقودوا و يسود ويحكموا وأن الآخرين خلقوا ليكونا مسودين ومحكومين لهم, هكذا بالفطرة والخلقة.
ولهذا نجد الأوربيين يعتقدون أن أوربا أم الدنيا وأن التاريخ منها وإليها يعود فقد رأينا الاستعلاء العام لدى الاوربيين عامة ينتقل إلى أقطار منها خاصة، كل يزعم أنه الأنقى سلالة والأزكى عنصرا كما صنع "هتلر" Hitler, ورفع شعار "المانيا فوق الجميع" ورفع (موسولينى) "إيطاليا فوق الجميع", ورفع البريطانيون شعار "سودى يا بريطانيا واحكمى" فشأن هؤلاء شأن بنى إسرائيـل الذين يزعمون أنهم بجنسهم شعب الله المختار.
يقول الدكتور محمد عمارة: "فالنزعة المركزية لصيقة بالنموذج الحضارى الغربى، منذ العصر الرومانى، الذى رأى أصحابه أن الإنسان هو الرومانى الحر وحده، ومن عداه برابرة، وأن ما تتدين به الرومان هو الدين الوحيد، وما عداه واجب الاستئصال ... وهذه النزعة المركزية الاستئصالية، هى التى جعلت حتى مفهوم الإنسان فى الحضارة الغربية هو الانسان الغربى وحده! ... ثم جعلت هذا الانسان الغربى –فى عصر الاستعمار- يمارس استئصال الآخر... "
[14].
هذه هى أبرز السمات المميزة لحضارة الغرب, فمع ذلك فقد تركت هذه الحضارة الآثار الإيجابية التى لا يجحدها أى منصف فى الحياة الإنسانية.
لقد استطاعت هذه الحضارة أن تمنح الإنسان قدرات وامكانات لم يمنحها أحد قبله, وما كان يحلم بها فى نوم أو يجول بها خياله فى يقظة, وأن توفر له بذلك وسائل وأدوات وأشياء لم تكن تتهيأ للملوك وسلاطين الدنيا من قبل بواسطة تقدم العلوم الرياضية والطبيعية و تطبيقاتها التكنولوجيا.
لقد اختصرت الحضارة للانسان المسافات وقربت لهم المكان حتى أصبحت الدنيا قرية كبرى تصغر و تصغر حتى أشبه بحارة أو زقاق. إنه الآن عصر الحاسوب الذى بات يقوم بعمليات معقدة هائلة كان الإنسان يقضى فيها سنين وسنين, وهو الآن ينهيها ويظهر نتائجها فى لحاظات, بل يقوم بأشياء ماكانت لتدور بفكرالإنسان لأنها أكبر من طاقاته المعتادة. بل وقد دخل الحياة العلمية الإسلامية, فدخل فى علوم القرآن والحديث وفى اللغة وعلومها وآدابها وغيرها.
ومميزات هذه الحضارة أنها لا تقف جامدة, إنها تنتقل من طور إلى طور، كما أعطت الإنسان الحوافز التى تدفعه إلى الابتكار والانتاج, وصنعت له المناخ النفسى والعقلى الذى يشجع على المضى, وهيأت له الادارة الحسنة التى تساعد على اتقان عمله فتكافئ المحسن, وتعاقب المقصر والمنحرف؛ كما هيأت له مجتمعا ترعى فيه حرية الإنسان الفردى وحقوقه الفطرية, وتصان فيه حرماته فى مواجهة ظلم الحكام وحكم الظلمة وبهذا شعر الإنسان بكرامته وقيمته, وتحرر من الخوف والذل, فأنتج وأحسن وأفاد.
ولقد استطاعت الإنسان فى ظل هذه الحضارة أن يحصل على دساتير تحدد حقوق كل من الحاكم والمحكوم وواجباته و أن يلزم به أهل الحكم و السلطان, وأن تجد من الضمانات ما يكفل استمرار ذلك " الديموقراطية"
[15].

هذه هى الجوانب الطيبة فى الحضارة الغربية, وكلها تتعلق بالوسائل والأدوات والآليات التى يستخدمها الإنسان وهى مع ذلك سلاح ذو حدين يمكن أن يستعمل فى الخير وأن تستعمل فى الشر, كتقارب العلم مثلا, ليس خيرا محضا بل ربما جلب وراءه شرا كثيرا, ولذلك بات العالم يخاف من الآثار المدمرة للبث المباشر مع ما نجدها فيه من الخيرات التى لا تنكر.

لكن اعتمادا على واقع هذه الحضارة فى ديارها الأم, كما تصوره التقارير والأرقام والمشاهدات لمسنا -إلى جوار آثارها الإيجابية- آثارا سلبية, مابرحت البشرية تعانى ويلاتها وتذوق مر ثمراتها. ومن هذه الآثار السلبية نذكرها بالإيجز كما يلى:
الانحلال الأخلاقى، والتفسخ العائلى. ومن أبرز هذه الظاهرة: رجال بعيشون عالة على زوجاتهم المطلقة، وظهور الأمهات للإيجار، والإعراض عن فكرة الزواج أصلا، والأسرة الوحيدة الجنسى، والأسرة الوحيدة التكوين.
ومنها القلق النفسى, ومن أبرز هذه الظاهرة: الساخطون فى هوليود، وظهور حركات التمرد على الحضارة المادية، واكتناب بحياة العزلة، انتحار المراهقين.
ومنها: الاضطراب العقلى، ومنها: الجريمة والخوف
[16].

فلنصغ إذن إلى ما قاله "أرنولد توينبى" محذرا لأجياله من الأخطار التى تكمن وراء هذه الحضارة المادية الصاخبة:
"إن المشاكل التى أحدقت بالحضارة الأخرى وقضت عليها قد وصلت إلى ذروتها فى العالم الذى نعيش فيه وصار مجتمعنا الغربى متورطا فى كثير من الأخطاء والكوارث التى قضت على حضارات كثيرة بعد تاريخها من بدايته إلى نهايته بمثابة كتاب مفتوح"
[17].
هذا وبدراسة طبيعة الفكر الغربى، وسماتها الحضارية ثم آثارها الإيجابية فى الحياة الإنسانية، وآثارها السلبية للحياة البشرية, يمكننا تحديد كيفية التعامل مع الغرب فى نقط وخطوط عريضة، أهمها:
1. إن الاتجاه الأول الذى يدعونا ويحثنا على تقليد الغرب واتباعه شره وخيره, مره وحلوه, اتجاه غير مقبول, لما يولد من ذلك فقدان الهوية, وضياع الشخصية الإسلامية وتكريس للعقيدة, وهو اتجاه الذى انتهجه "منهزموا النفس" أمام تقدم الحضارة الغربية المادية.
ولقد أخطؤوا عندما يظنون أن الاقتداء بالغرب وإعراض كل ما كان عربيا وإسلاميا هو سبب النهوض وعلة التقدم الوحيدة للعالم الإسلامى. وبلاد تركيا خير شاهد على ما قلناه. يقول الدكتور التهامى نقرة:
"ولقد أبان الواقع عن أخطاء أتاتورك وتصوراته التائهة حين استقر فى ذهنه باطلا: أن الإسلام هو الذى أقعد تركيا عن بلوغ نهضة أوربا ......".
وأبسط ما يقال في مناقشة هذا الرأى هو قول الدكتور التهامى:
"هل الحضارة الغربية المعاصرة مثالية رائدة مكتملة العناصر فى كل شىء وليس لنا من النماذج سواها, حتى نعيشها بمحاسنها ومساويها ؟ أهو التشبه بالامم الغالبة فى عادتها ومظاهر عيشها وإن كان يصطدم بأصول الدين والأخلاق والتقاليد عندنا, فنسلك مسالكهم حتى فى أوقات لهوهم و فراغهم؟
[18].

2. أما الاتجاه الثانى وهوالذى يحرمنا الاتصال بالغرب مطلقا, فلعل هؤلاء نسوا أن الإسلام يحثنا على اقتباس الحكمة والتقاتها من أى وعاء خرجت, وهى ضالة المؤمن أنى وجدها وهو أحق الناس بها, و أن الرسول صلى الله عليه وسلم قد أمر زيد بن ثابت أن يتعلم اللغة العبرانية, وهو المصطفى أيضا الذى أمرنا أن نطلب العلم ولو بالصين.
وينبهنا الدكتور توفيق الشاوى عن موقف هؤلاء قائلا:
"ولا ننسى أن ننبه بعض الإسلاميين ذوى العقول الجامدة الذين يدافعون عن التخلف ويصفونه بأنه إسلام, ولاحول ولا قوة الا بالله"
[19].

فبذلك ينبغى أن يكون موقفنا كما يقول الدكتور عمارة "وحقيقة نحن نحارب فى جبهتين, جبهة التغريب والاستلاب الحضارى والهيمنة الغربية, وجبهة الجمود, فإذا جاءنا النقد من هذين الفريقين, فنحن على الوسطية الإسلامية وعلى المنهاج الوسطى السليم"
[20].

ومن هذا المنطلق , حرصنا على تحديد تلك الخطوط العريضة لهذا الموقف الوسطى فى أبجديات التالية:
أولا: أن يكون نظر المسلم للغرب, نظرة الشفقة والرحمة المهداة؛ التى لا تقبل الخذلان والذلة, وهي نظرة الطبيب إلى المرضى أو نظرة الداعى إلى العاصى الحريص على هدايته وإعادته إلى الرشد, لا نظرة البغض والتعصب, وإن كان لابد من ذلك فليكن لله ولابتغاء مرضاته, وأن يكون شعاره دائما "اللهم اهد قومى فإنهم لا يعلمون", وأن يكون هتافهم "بل أرجو أن يخرج الله عز وجل من أصلابهم من يعبد الله عز وجل وحده لا شريك به شيئا"
[21].

ثانيا: إن إعداد القوة الذى أمرنا الله به فى كل مجال واجب للمسلمين, من ضمن هذا الاعداد هو الاستفادة من الغرب بما يفيد الإسلام والمسلمين فى دنياهم وأخراهم, مع إبقاء الرووح المعنوية الربانية، والقيم الخلقية الإسلمية فى قلوبهم، واجتناب ما يكون سببا لدمار الشخصية الإسلامية وحضارته؛ فقد علمنا التاريخ أن جل العلماء المسلمين الذين نبغوا فى الرياضية، أو الفلق، أو الفيزياء، أو العلوم الطبيعية والصناعة، كان الجانب الروحى فيهم قويا منيعا, وكانوا يتعمقون فى فهم حكمة الخالق وأفعال الطبيعة, فلم يكونوا ماديين أم حسيين أو ملاحدة, لأن الصورة التى قدمها القرآن الكريم للإنسان يرتبط فيها كيانه الروحى, قال تعالى " هُوَ أَنشَأَكُمْ مِنْ الْأَرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا فَاسْتَغْفِرُوهُ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ إِنَّ رَبِّي قَرِيبٌ مُجِيبٌ"
[22].وقال تعالى: " فَإِذَا سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيهِ مِنْ رُوحِي فَقَعُوا لَهُ سَاجِدِينَ"[23].
يقول ابن رشد فى كتابه فصل المقال: "... وأن من نهى عن النظر فيها من كان أهلا للنظر فيها –وهو الذى جمع أمرين: أحدهما: ذكاء الفطرة. والثانى: العدالة ا لشرعية، والفضيلة العلمية والخلقية فقد صد الناس عن الباب الذى دعا الشرع منه الناس..."
[24].
هذا جعل ابن رشد ذكاء الفطرة والعدالة الشرعية والفضيلة الخلقية شرطين أساسيين لدراسة الحكمة، وهذا يعنى أنه لا يجوز فصل القيم عن العلم فى الاسلام.

ثالثا: على المسلم أن يتغذى أولا من المبادىء قبل أن يغترف من المصادر الغربية, يقول الدكتور التهامى فى ذلك: "على شبابنا قبل أن يتمثل مكاسب الغرب وثقافته أن ينطلق من نواة أصيلة تضرب بجذورها فى الحركة العلمية الإسلامية فى تراثنا الأصيلة وأن يتغذى أولا من مبادىء قبل أن يغترف من المصادر الأجنبية ويتفتح على الأفكار والعلوم والتقنية الحديثة ضمانا للنمو والتطور والأصالة. فإن شجرة لا ترفع همتها إلا إذا ضربت بجذورها عميقا فى الأرض, وكذلك الاستنساخ الصرف لثقافة أجنبية يؤدى إلى مظهر مزيف سرعان ما يذبل"
[25].

رابعا: ويمكن تنفيذ الخطة السابقة عن طريق إرسال البعثة التعليمية المكثفة مع مراعات قوة شخصية المبعوثين, وأن يكون ذلك تحت إشراف الهيئآت الإسلامية المختصة.

خامسا: وفى المقابل، أن يكون إرسال بعثات الدعوية إلى الغرب, واحدا من أهم الأولويات فى العمل الإسلامى، وذلك لترشيد الصحوة الإسلامية من جديد فى الغرب ولإضاءة ذلك الظلام الدامس المادي الشاذ؛ ذلك الظلام الذى أشقى جل البشرية أجمع.

سادسا: أن يوقن المسلمون بأن من ضمن إيمانه بسنن الله فى الكون هو: أن النصر والقوة بيدهم ما داموا يأخذون أسبابها، وأن الحضارة الغربية مهما كانت قوةها فمصيرها إلى الزوال, وأن العاقبة دائما للمتقين مهما كان الطريق طويلا وشــــــاقا.


تتمـة
وإذا كان واقع المسلمين مؤلما, فلا بد لهم من أن يوصدوا النوافذ التى تعصف الريح السموم, وأن يخططوا الثورة البيضاء ضد الانهزامية والانحلالية, والركود, والجمود، واليأس. ثم البحث عن أساليب جديدة فى إطار الفكر الإسلامى المتفتح والمحرر من الخرافات ورواسب عهود الانحطاط, ومن المفاهيم الظرفية المسيطرة على عشاق الحضارة الغربية, وأخذ الدرس من أسلافنا لإحياء الشخصية المسلمة وانبعاث الفكر الإسلامى العريق، والتفادى من الوقوع فى أى تبعية.
فتعالوا معا نزرع الامل يا الاجيال ... !، فليكن البدء , إصـــلاح أنفسنا.
وآخر دعوانا عن الحمد لله رب العالمين.

الهوامش
[1] سورة البقرة: 143
[2] طه حسين, مستقبل الثقافة فى مصر: م 1 ص 45؛ نقلا عن الدكتور عمارة في "فكر التنوير بين العلمانيين و الإسلاميين", دار الوفاء و دار الصحوة, ص:39
[3] سلامة موسى, اليوم والغد, ص: 187، 188 و200؛ نقلا عن الدكتور محمد عمارة في "فكر التنوير" ص:53-54
[4] نفس المرجع.
[5] أحمد فون دنفر, التحاديات الثقافية المعاصرة التى تواجه الأمة الإسلامية، فى: "الإسلام والحضارة ودور الشباب المسلم", الندوة العالمية للشباب الإسلامى, ص:70
[6] سورة البقرة : 120
[7] سورة البقرة : 217
[8] البقرة : 109
[9] آل عمران :69
[10] آل عمران :118
[11] محمد قطب, الصراع بين الفكرى الغربي والفكرى الإسلامى, طبعة مكتبة السنة القاهرة، ص: 3 ومابعدها
[12] الدكتور يوسف القرضاوى, الإسلام حضارة الغد, مكتبة وهبة، القاهرة، ص: 13-25 (بشئ من التصرف)
[13] محمد عمارة، مستقبلنا بين العالمية الإسلامية والعولمة الغربية، مجلة المسلم المعاصر، العدد 104 السنة السادسة والعشرون، محرم-ربيع الأول 1423هـ، ص 8.
[14] المرجع السابق، ص 7، 9.
[15] الإسلام حضارة الغد، المرجع السابق ( بالتلخيص وبعض التصرف من ص: 29-31)
[16] المرجع السابق ص: 31-32
[17] أرنولد توينبى, الحضارة فى الميزان, (ت) محمود أمين شريف، مكتبة حلبي، القاهرة، ص: 16. (نقلا عن الدكتور التهامى نقرة فى "الإسلام و موقفنا من حضارة العصرى"، فى "الإسلام والحضارة ودور السباب المسلم", ص:146)
[18] المرجع السابق, ص: 146
[19] فكر التنوير بين العلمانيين و الإسلاميين, المرجع السابق، ص: 58
[20] المرجع السابق، ص: 71
[21] المباركفورى , الرجيق المختوم, دار القيمة، القاهرة، ص: 115
[22] هود: 61
[23] الحجر: 29
[24] ابن رشد، فصل المقال فيما بين الحكمة والشريعة من ا لاتصال، دراسة وتحقيق: الدكتور محمد عمارة، دار المعارف، القاهرة، ص: 18، 19
[25] التهامى نقرة، المرجع السابق، ص: 157

SERIAL PARA PIONER UMAT (1)

ABU HANIFAH AL-NU'MAN
[mencusuar Ilmu pengetahuan dan Fikih ternama]

Pendahuluan
Diantara sikap toleransi agama kita –Islam yang lurus- adalah bahwa standar kemulian dan ketakwaan bukan terletak pada garis keturunan, negeri asal atau pangkatnya, tetapi pada kualitas ketaqwaan, rasa takut kepada Allah, serta pelaksanaan terhadap ajaran-ajarannya. "Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu”. (Al-Hujarat; 13), "wahai Fatimah; putri Muhammad, berbuatlah kamu, karena sesungguhnya aku tidak dapat menyelematkanmu kelak dihadapan Allah".
Atas dasar ketakwaan dan amal saleh inilah Allah menganugerahkan kepada hambanya ilmu pengetahuan, serta memberinya kepercayaan untuk menjaga agama dan Qur'an Nya –sesuai yang Ia kehendaki-. Untuk itu Ia mememilih diantara hamba Nya seorang pioner, diberikan kepada mereka Ilmu pengetahuan serta Taufiq, sehingga mereka tampil sebagai teladan serta obor penerang yang akan menyinari jalan hidup kita, menggugah kesadaran kita dengan baik terhadap seluruh ajaran-ajaran agama.
Mereka; para ulama' agung itu, menjelaskan hal-hal yang belum kita ketahui tentang ajaran agama, memberikan penyelesaian terhadap problematika besar yang terjadi di masyarakat. Dengan gamblang mereka menjelaskan kepada kita masalah-masalah aqidah, ibadah, perintah-perintah yang seharusnya diikuti, larang-larangan yang semestinya ditinggalkan, serta batasan-batasan yang telah diletakkan oleh Allah. Dengan demikian mayoritas umat mengikuti apa yang diajarkan dan difatwakan mereka.
Diantara pioner umat yang akan kita bicarakan secara rinci dalam pembahasan kita kali ini adalah Imam Abu Hanifah.
Imam Abu Hanifah merupakan ulama' paling tahu tentang masalah-masalah agama, menguasai masalah-masalah kehidupan, serta berwawasan luas tentang sejarah umat-umat sebelum dan semasanya. Disamping itu Ia merupakan teladan bagi para ulama' dan tokoh yang datang setelahnya.
Semoga Allah memberikan kepadanya sebaik-baik ganjaran atas jasa yang ia berikan kepada umat.

Kelahiran dan nasab
Ia bernama Abu Hanifah an-Nu'man bin Tsabit bin an-nu'man bin al-Marziban, dilahirkan di Kufah tahun 80 H., di Kufah-Iraq ini pula ia tumbuh dan dibesarkan, serta menghabiskan sebagian besar kehidupannya. Kota Kufah saat itu merupakan kota besar, penuh dengan para ulama' dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan; bidang fiqh, hadits, filsafat, aqidah dalam berbagai aliran yang beragam serta cabang-cabang ilmu lainnya. Abu Hanifah kecil sering mendampingi ayahnya berdagang kain sutra, yang kelak iapun melanjutkan profesi bapaknya itu. Namun demikian tidak seperti layaknya para pedagang lainnya, ada sesuatu yang berbeda dari diri Abu Hanifah, yaitu kebisaaan pergi ke Masjid Kufah. Karena kecerdasannya yang gemilang ia mampu menghafal al-Qur'an serta ratusan bahkan ribuan hadits, yang saat itu merupakan ciri khas orang-orang beragama. Hobi utamanya adalah memperbanyak membaca al-Qur'an, sehingga para perawi secara berlebihan menyebutkan bahwa ia terbisaa mengkhatamkan al-Qu'ran sebanyak enam puluh kali di bulan Ramadhan. Perkataan mereka ini sebenarnya tidak hanya usapan jempol, namun didasarkan atas kwalitas keberagamaan dan perhatiannya yang cukup besar terhadap ilmu agama yang saat itu telah menjadi buah bibir.
Sebagai layaknya putra seorang pedagang, Abu Hanifahpun kemudian berprofesi sebagai pedagang seperti bapaknya. Ia mendapatkan banyak keuntungan dari profesi ini, di sisi lain ia memiliki wawasan yang sangat luas, terpancar diwajahnya tanda-tanda kecerdasan yang luar bisaa, serta hafalan yang sangat kuat, ini dapat diamati oleh siapapun saat menyaksikannya sedang berdialoq atau berdebat dengan lawannya, dan dapat dipastikan bahwa mereka pasti terkagum-kagum.
Beberapa ulama' dapat menangkap fenomena ini, sehingga mereka menganjurkannya untuk pergi berguru kepada para ulama' sebagaimana ia pergi ke pasar tiap hari.
Di masa Abu Hanifah menuntut ilmu, Iraq; termasuk di dalamnya kota Kufah, disibukkan oleh tiga halaqah keilmuan:
Pertama : Halaqah yang membahas pokok-pokok aqidah
Kedua : Halaqah yang membahas tentang hadits Rasulullah Saw, methode dan proses pengumpulannya dari berbagai negara, serta pembahasan tentang para perawi dan kemungkinan diterima atau tidaknya pribadi dan riwayat mereka.
Ketiga : Halaqah yang membahas masalah fikih dari al-Qur'an dan as-Sunnah, termasuk membahas fatwa untuk menjawab masalah-masalah baru yang muncul saat itu, yang belum pernah muncul sebelumnya. Masalah-masalah seperti ini tentu saja sangat membutuhkan para ulama' yang mengajarkan dan memahamkan mereka, berlandaskan al-Qur'an dan as-sunnah serta ijtihad para ulama' sebelumnya.
Abu Hanifah berkenalan/berinteraksi dengan beragam disiplin ilmu seperti ini dengan menggunakan kecerdasannya yang sangat gemilang, pemikiran yang luas serta akal yang sangat tercerahkan. Ia melibatkan diri dalam dialoq tentang ilmu kalam, tauhid dan methafisika. Menghadiri kajian hadits dan periwayatannya, sehingga ia mempunyai andil yang besar dalam bidang ini.
Setelah Abu Hanifah menjelajahi bidang-bidang keilmuan lainnya secara mendalam, ia memilih bidang fikih sebagai kosentrasi kajian. Ia mulai mempelajari beragam permasalahan fikih dengan cara berguru kepada salah satu syaikh ternama di kota Kufah, ia terus menimba ilmu darinya hingga rampung. Sementara kota Kufah saat itu menjadi tempat domisili bagi ulama' fikih Iraq.
Menurut Abu Hanifat, seorang penuntut ilmu fikih seharusnya berguru kepada berbagai syaikh, tinggal dilingkungan mereka, namun secara terus menerus ia harus menemani seorang faqih ternama, sehingga ia bisa menimba ilmu secara tuntas termasuk masalah-masalah yang pelik dan rumit. Dalam hal ini Abu Hanifah berkata: "Aku berada di dalam pusat ilmu dan fikih, maka aku pergauli pakarnya, dan aku selalu menemani seorang faqih diantara mereka".

Syaikh (Guru) Abu Hanifah
Dalam mempelajari fikih, Abu Hanifah memilih seorang syaikh. Yang merupakan syaikh paling ternama di kota Kufah bahkan di seluruh Irak. Pertama kali ia datang kepada syaikhnya, terlihat sang syaikh belum siap untuk menyampaikan pelajaran.
Abu Hanifah segera menyapanya: Assalamu'alaikum wahai syaikh Hammad !.
Sang syaikh segera menjawab salamnya, lalu memintanya untuk duduk, tidak lama setelah itu, ia kelihatan telah terlibat dalam pembicaran dengannya. Setelah berdialoq, sang faqih Hammad berkata: katakan terlebih dahulu padaku, siapa namamu?
Abu Hanifah :"Nama saya Abu Hanifah an-nukman"
Syaikh:"Apa ada keperluan tertentu ?"
Abu Hanifah:"Benar ya syaikh, saya ingin belajar fikih kepada anda".
Syaikh:"Dengan senang hati wahai Abu Hanifah, engkau bisa belajar kepadaku tiga masalah fikih tiap hari.
Abu Hanifah sangat antusias dalam menghadiri dan menyertai gurunya, hanya saja ia terkenal sebagai murid yang banyak bertanya dan berdebat, serta bersikeras dalam mempertahankan pendapatnya, terkadang menjadikan syaikh kesal kepadanya, namun karena kecintaannya kepada sang murid –yang merupakan buah dari kecerdasannya- ia selalu mencari tahu tentang kondisi perkembangannya. Dari informasi yang diperoleh, akhirnya sang syaikh tahu bahwa ia selalu bangun malam, menghidupkannya dengan shalat dan tilawah al-Qu'an. Karena banyaknya informasi yang ia dengar maka syaikh menamakannya: al-watad.
Selama 18 tahun penuh, Abu Hanifah menimba ilmu dari gurunya; syaikh Hammad bin Abi Sulaiman, saat itu ia masih berusia 22 tahun. Karena telah dianggap cukup, ia mencari waktu yang tepat untuk bisa mandiri, namun anehnya setiap kali ia mencoba lepas dari gurunya, di waktu yang sama ia merasakan bahwa ia masih membutuhkannya.
Sampai akhirnya datang kabar buruk dari Bashrah untuk gurunya Syaikh Hammad, seorang keluarga dekat gurunya telah wafat, sementara ia menjadi salah satu ahli warisnya. Ketika ia memutuskan untuk pergi ke Bashrah ia meminta Abu Hanifah untuk menggantikan posisinya sebagai pengajar, pemberi fatwa dan pengarah dialoq. Syaikh melihat bahwa Abu Hanifah sangat layak untuk menduduki posisi ini. Begitu ia mengantikan posisi gurunya, segera diberondong (di hujani) oleh pertanyaan-pertanyaan dalam jumlah yang sangat banyak, sebagian belum pernah ia dengar sebelumnya, maka sebagian ia jawab dan sebagian lain ia tangguhkan. Ketika syaikh datang dari Bashrah ia segera mengajukan pertanyaan-pertanyaan tersebut -yang tidak kurang dari 60 pertanyaan-; 40 diantaranya sama dengan jawaban Abu Hanifah, dan berbeda pendapat dalam 20 jawaban. Dari peristiwa ini ia merasa bahwa masih banyak kekurangan yang ia rasakan, maka ia memutuskan untuk menunggu sang guru di halaqah ilmu, sehingga ia dapat mengoreksikan kepadanya ilmu yang telah ia dapatkan, serta menpelajari permasalahan yang belum ia ketahui.
Dalam (pengembaraannya) pelancongannya ke daerah sekitar kota Kufah, ia sering ditanya tentang banyak permasalahan, namun ia belum merasa tenang (yakin) untuk menjawabnya, maka ia memutuskan untuk menunda kepergiannya.
Ketika umurnya menginjak 40 tahun, dimana kapabelitas untuk mandiri telah sempurna, di sisi lain gurunya syaikh Hammad telah wafat, maka ia segera menduduki posisi gurunya, disini ia menampakkan kemampuan yang luar bisaa dalam menyampaikan pengajaran dan fatwa.
Perlu diketahui bahwa Abu Hanifah tidak hanya mengambil ilmu dari gurunya; Syaikh Hammad saja, tetapi mengambil dari banyak ulama' selama dalam perjalannya ke Baitullah al-Haram Makkah dan Madinah, ia mengkaji berbagai masalah dengan mereka, mengambil ilmu dari mereka, diantara ulama'-ulama' tersebut adalah: al-Imam Malik bin Anas, ketika ia bertemu dan banyak mendiskusikan banyak permasalahan dengan Imam Malik, beliau sangat kagum kepadanya.
Ia juga telah bertemu dengan Zaid bin Ali bin Zainal Abidin, dan Ja'far al-shadiq, dan beberapa ulama' lainnya yang mempunyai konsen besar terhadap masalah fikih dan Hadits.

Konsep fikih Abu Hanifah
Abu Hanifah bisa disebut sebagai ulama' pertama penulis ilmu fikih. Para ulama' dan fuqaha' yang datang setelahnya mengikuti methode dan cara yang ia gariskan, sebab para sahabat dan tabi'in belum menulis kajian fikih dalam bab per bab, atau dalam buku yang tersusun secara sistematis, mereka hanya mengandalkan kekuatan pemahaman mereka. Setelah Abu Hanifah muncul, ia melihat bahwa kajian fikih tersebar dimana-mana, sementara mayoritas umat sibuk untuk mempelajari disiplin ilmu lain, seperti: tafsir, al-hadits dan periwayatannya. Dilain sisi telah kedunia Islam ilmu-ilmu dari luar, seperti filsafat dengan segala jenisnya; filsafat persia maupun yunani, ia takut fikih akan dilupakan atau dimasuki oleh kajian-kajian luar yang bukan bagian dari fikih, ini sesuai dengan dengan hadits Rasulullah Saw: "sesungguhnya ketika Allah ingin menarik ilmu, tidak menarik dengan begitu saja dari manusia, namun dengan cara mewafatkan ulama'……" (H.R. al-Bukhari; 1/36), Muslim, Bab Ilmu no: 13).
Untuk itu Abu Hanifah mulai menulis fikih dan menyusunnya dalam bab-bab yang sistematis, methode ini kemudian diikuti oleh para ulama' yang datang setelahnya, mereka kemudian menulis buku mereka dengan sistematis.
Dalam buku yang ia diktekan kepada para muridnya dan telah ia koreksi, Abu Hanifah memulai tulisannya dengan pembahasan taharah, terutama bab air, wudhu' lalu tentang mandi, dan tayammum. Setelah itu ia pindah kepada pembahasan shalat; syarat sahnya, dan macam-macamnya baik wajib maupun sunnat; seperti shalat janazah, lalu pindah ke pembahasan zakat, dan jenisnya, lalu puasa, kemudian haji. Setelah ini pindah ke pembahasan mu'amalat, hudud (hukum pidana), dan di tutup dengan pembahasan warisan.
Sampai sekarang belum ditemukan satu buku yang langsung ditulis oleh Abu Hanifah, adapun yang dimaksud dengan buku-buku karangan beliau adalah apa yang ditulis oleh murid-muridnya lalu mereka membacakannya di hadapan Abu Hanifah, lalu ia memberikan catatan dan pengarahan serta persetujuan. Bisaanya ketika ia menyampaikan pelajaran para murid menulisnya, lalu mereka menunjukkan hasil tulisan mereka kepadanya, jika ia menyetujui maka mereka segera mencatat dan menasabkan tulisan tersebut kepadanya. Dengan cara inilah madzhab Abu Hanifah di tulis, Abu Yusuf yang merupakan murid kesayangan Abu Hanifah mempunyai andil besar dalam perumusan konsep madzhab fikih Abu Hanifah secara menyeluruh.
Al-Imam Abu Hanifah an-nu'man merupakan ulama' besar yang hafal banyak hadits Rasulullah Saw, ia mengambil hadits dari tabi'in yang ia temui, sementara para tabi'in telah mengambil dari para sahabat sebelum mereka. Dari hadits-hadits yang ia kumpulkan, memungkinkan baginya untuk mengambil intisari permaslahan fikih, dengan demikian ia merupakan ulama' pertama yang mengambil intisari hukum dari hadits. Beberapa ulama seperti: Ibnu Mu'in, Ibnu al-madani, dan Yazid bin Harun, mengakui kualitas hafalan dan wawasannya tetang hadits, karenanya seringkali memujinya.
Ibnu Yunus berkata tentang Abu Hanifah: "sebaik-baik orang adalah Abu Hanifah; ia banyak menghafal menghafal hadits, di setiap hadits yang ia hafal selalu disertai pemahaman, sangat ketat dalam meneliti hadits".
Abu Yusuf berkata: "Abu Hanifah lebih tahu tentang hadits daripada saya, ia sangat menguasai kelemahan-kelemahan yang ada dalam hadits ... maka dalam bidang ini ia dapat diterima".
Para perawi meriwayatkan banyak hadits dari Abu Hanifah, dan mengumpulkannya dalam satu musnad (buku), yang kemudian dinisbatkan kepadanya, sehingga dinamakan musnad Abu Hanifah. Buku ini disusun sesuai dengan sistematika penulisan fikih.
Dalam menyusun masalah-masalah fikih, Beberapa sahabat Abu Hanifah menggunakan metode tersebut, salah satunya adalah Al-hafidz Abu Muhammad al-Haritsi, ia punya perhatian besar terhadap hadits-hadits Abu Hanifah, lalu mengumpulkannya dalam satu jilid buku, yang di klasifikasikan sesuai dengan nama syaikh Abu Hanifah. Metode ini kemudian diikuti oleh Abi al-Hasan bin al-Mudhafar dalam "musnad Abu Hanifahnya".

Kecerdasan Abu Hanifah
Abu hanifah merupakan simbol kepintaran dan kecerdasan, jika dihadapkan kepadanya pertanyaan-pertanyaan yang sulit, serta ibarat yang rumit difahami, ia mampu menjawabnya dengan jawaban yang memuaskan penanya dan pendengar, lantas memujinya. ia yakin bahwa Allah telah menganugerahkan kepadanya kemampuan yang luar bisaa, serta wawasan keilmuan yang bisa menjadikannya istimewa dibanding banyak orang. Dengan modal itu ia mampu keluar dari keterplesetan, selamat dari mara bahaya, serta menjaga kedudukannya yang agung, menempatkannya dalam posisi dihormati oleh semua orang yang mengenalnya dan menghargainya, maka mereka menempatkannya dalam posisi yang layak.
Beberapa kisah bisa menjadi bukti sesimpulan kita diatas.
Muhammad bin Muqatil berkata: "Seorang laik-laki tak tak dikenal datang menemui Abu Hanifah, untuk menguji kekuatan pemahaman dan kecerdasannya, seraya berujar: "Hai Abu Hanifah!", Abu Hanifah menjawab: "labbaik wahai saudaraku".
Laki-laki itu berkata: "apa pendapatmu tentang seorang laki-laki, yang tidak mengharapkan sorga, tidak takut neraka, tidak takut Allah Saw, memakan bangkai, shalat tanpa ruku' dan sujud, ia menjadi saksi atas apa-apa yang tidak ia lihat, membenci kebenaran, senang terhadap fitnah, lari dari rahmah, serta mempercayai Yahudi dan Nasrani?".
Abu Hanifah: "Hai fulan, engkau bertanya tentang masalah ini, apa engkau tahu jawabannya?"
Laki-laki: tidak, saya tidak tahu.
Abu Hanifah berkata kepada sahabat-sahabatnya: "apa pendapatmu tentang orang ini?".
Sahabat Abu Hanifah: "ia dalah sejelek-jelek manusia, sifat-sifat yang ia sebutkan telah cukup untuk mensifatinya demikian". Abu Hanifah tersenyum dengan jawaban ini, lalu berkata: "orang itu benar-benar termasuk Waliyullah, insya Allah". Lalu berkata kepada lak-laki itu: "jika saya memberitahukan kepadamu bahwa anda adalah waliyullah Swt, apa engkau mau untuk mencegah lisannmu dari perkataan yang jelek?". Laki-laki itu berkata: "baik, saya akan menahan lidahku untuk tidak menyakiti orang lain dengan lidahku ini". Abu Hanifah lalu berkata: adapun perkataanmu: "bahwa ia tidak mengharapkan sorga, dan tidak takut kepada neraka, itu karena ia mengharapkan pemilik sorga serta takut kepada pemilik neraka. Adapun perkataanmu: bahwa ia tidak takut kepada Allah, itu karena ia tidak takut bahwa Allah akan berbuat tidak adil kepadanya, sebagaimana dinyatakan oleh Allah: "sesungguhnya Tuhanmu tidak akan berbuat dzalim sedikitpun kepada hambanya". (Fussilat: 46). Adapun perkataanmu bahwa ia makan bangkai, itu karena ia makan ikan. Adapun perkataanmu bahwa ia shalat tanpa ruku' dan sujud, itu artinya ia mengucapkan shalawat kepada Nabi Saw, atau shalat janazah. Perkataanmu bahwa ia bersaksi terhadap apa yang ia tidak lihat, itu artinya ia bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad itu Hamba dan RasulNya. Adapun perkataanmu bahwa ia membenci kebenaran (al-haq), itu artinya ia membenci kematian, karena kematian merupakan kebenaran (al-haq), ia juga mencintai keabadian sehingga ia bisa mentaati Allah Swt, sebagai mana yang difirmankan: "Telah datang sakarat maut dengan kebenaran (al-haq)" (Qaf: 19). Adapun perkataanmu bahwa bahwa ia menyukai fitnah, itu artinya ia mencintai harta dan anak, sebagaimana yang difirmankan oleh Allah: "sesungguhnya harta dan anak-anak kamu merupakan fitnah". (Taghabun: 15). Adapun perkataanmu bahwa ia lari dari rahmat, maksudnya adalah lari dari hujan (yang merupakan gerimis dan rahmat). Perkataanmu bahwa ia mempercayai yahudi dan nasrani, maksudnya adalah sebagaimana yang difirmankan oleh Allah (orang-orang Yahudi berkata bahwa orang-orang nasrani itu tidak ada artinya apa-apa, orang orang nasranipun berkata bahwa orang-orang yahudi itu tidak ada artinya".
Laki-laki itu kemudian berdiri, lalu mencium kening Abu Hanifah, seraya berkata: "aku bersaksi bahwa apa yang engkau ucapkan itu adalah benar".

Ilustrasi tetang adanya Allah
Terkadang Abu Hanifah memberikan ilustrasi-ilustrasi (permisalah) jika ia melihat hal itu dibutuhkan oleh pendengar. Banyak contoh nyata tentang hal ini:
Di zaman Abu Hanifah banyak muncul kelompok-kelompok ateis, suatu hari ia pergi menemui mereka yang sedang berkumpul, seraya berkata: "Wahai saudaraku, aku melihat sebuah kapal yang dipenuhi sesak oleh penumpang (laki-laki atau perempuan) dan barang, perahu itu berjalan dengan tenang ditengah deburan ombak yang menggunung dan tiupan angin yang kencang, anehnya kapal tersebut berjalan tanpa nahkoda, yang mengendalikannya". Salah seorang diantara mereka menjawab: "Apa kisah itu masuk akal?". Sementara orang kedua berkata: "Kisah itu jelas, tidak mungkin bisa diterima oleh akal". Orang ketigapun berkata: "Bagaimana anda bisa mengatakan bahwa ada sebuah kapal bisa berjalan diatas lautan dengan tenang tanpa nahkoda?". Abu Hanifah menjawa: "Ya Subhanallah, jika sekiranya, tidak mungkin ada sebuah kapal yang berjalan diatas lautan dengan tenang tanpa nahkoda, lalu bagaimana mungkin dunia dengan segala keberagaman, perkerjaan dan masalah yang selalu berubah-ubah, ujung yang sangat luas, serta sisi yang sangat berbeda, bisa terwujud tanpa pencipta dan penjaga ?.
"Allahlah satu-satunya pencipta dunia ini beserta seluruh isinya, Dia berkuasa atas segala sesuatu, mengetahui apa yang ada di dalamnya secara detail, Dia Maha tinggi (Agung) dan Mampu mencipta segalanya (Dia (Allah) tidak serupa dengan apapun, dan Dia Maha mendengar lagi Maha melihat)". (As-Syura: 11).

Bakti kepada Ibunda
Abu Hanifah sangat mencitai ibunda, ia selalu taat dan berbakti kepadanya, serta tidak pernah sedikitpun menolak seluruh perintahnya, walaupun yang diperintahkan itu sangat berat dan tidak mudah dikerjakan. Ia berpendapat bahwa ketaatannya kepada idunda, merupakan bagian dari ketaatan kepada Allah.
Suatu hari ibunda Abu Hanifah bersumpah, lalu sang Ibu menemui anaknya untuk menanyakan perihal sumpah tersebut sekaligus ingin meminta fatwa kepada anaknya; apakah sumpah tersebut harus dilaksanakan atau tidak?, dan apakah ia harus membayar kafarat yamin atau tidak?, maka tatkala ibunda datang kepada anaknya, dan Abu Hanifah telah menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, ibunda tidak puas dengan jawaban itu. Bahkan bersikeras untuk menanyakan masalah ini kepada seorang waidz (seorang yang berprofesi sebagai penceramah). Abu Hanifah dengan senang hati mengantarkan ibunda ke rumah waidz dan menanyakan perihal masalah diatas.
Sang waidz lalu berkata: "apa pantas saya memberikan fatwa sementara Faqih Kufah dan ulama'nya ada di sini bersamamu?".
Abu Hanifah juga membawa ibunya setiap malam ramadlan ke Dar Umar bin Dzar, sekitar tiga mil dari rumahnya, untuk menunaikan shalat tarawih, mendengarkan pelajaran dan ceramah, serta untuk bermunajat kepada Allah Swt.
Setiap kali mendapatkan ujian karena dakwah, dan disiksa karenanya, Ia selalu berkata: "Wallahi, bukan pukulan cambuk yang menyakitkanku, namun cucuran air mata ibundaku yang membuat hatiku terluka"

Teladan dalam bertetangga
Abu Hanifah juga sangat baik dalam bertetangga, dalam hal ini ia selalu menteladani Rasulullah Saw dalam berinteaksi dengan tetangga-tetangga beliau; seperti memperlakukan mereka dengan baik, dan selalu memaafkan mereka yang berbuat jelak kepadanya.
Salah seorang tetangga Abu Hanifah adalah peminum khamar, selalu menyanyi dengan suara keras di tengah malam, sehingga mengganggu kenyamanan masyarakat dalam beristirahat. Diantara bait-bait syair yang banyak ia nyanyikan tatkala mabuk adalah sebagai berikut:
"Mereka telah menelantarkanku, pemuda mana yang mereka terlantarkan
Untuk sebuah hari yang dipenuhi kebencian dan untuk menambal kekosongan
Sepertinya aku tidak bisa menjadi perantara
Sementara nisbatku tidak kepada keluarga Umar.
Karena seringnya ia melantunkan dua bait diatas, Abu Hanifah menjadi sangat hafal. Suatu hari polisi negara menangkapnya tatkala ia mabuk, lalu memasukkan dalam penjara, tiba-tiba saja Abu Hanifah kehilangan suara tengah malam itu, lalu ia mencari tahu tentang tetangganya itu: "apa kabar tetangga kita? Kok saya tidak lagi mendengar suaranya?". Di jawab: "ia ditangkap polisi negara". Abu Hanifah berkata: "mari kita pergi ke kantor polisi, untuk membebaskannya.". lalu Abu Hanifah mendatangi majlis gubernur, tatkala ia melihat kedatangan Abu Hanifah, sang amir segera menyambut tangan Abu Hanifah lalu mempersilahkan duduk di dekatnya, lalu berkata: "tanpaknya ada keperluan penting yang mendorong al-Imam untuk datang kemari?". Abu Hanifah menjawab: "Aku datang untuk seorang tetangga yang dipenjara, ia ditangkap oleh polisi tadi malam, aku meminta kepada anda untuk membebaskannya, dan aku yang akan membayar denda yang dikenakan kepadanya". Sang amir berkata: "segera aku bebaskan, Tapi katakan kepadaku wahai imam, apa tidak ada orang lain yang bisa anda utus kemari, sehingga anda harus datang sendiri kemari, untuk aku penuhi hak dan permintaan anda?".
Abu Hanifah lantas mengucapkan terima kasih kepada amir, lalu mengandeng tangan tetangganya seraya berkata: "apakah kami menelantarkanmu hai anak muda?".
"tidak tuan", jawab anak itu. "mulai sekarang anda tidak akan melihatku lagi berbuat sesuatu yang menyebabkan anda terganggu". Lalu Abu Hanifah mengeluarkan uang sebanyak 10 dinar, dan memberikannya kepada tetangga itu, seraya berkata: "pergunakan ini untuk mengganti kerugianmu selama kamu berada di perjara, kapan saja kamu membutuhkan, utus kepada kami, kami –al hamdulillah- akan membantumu".
Laki-laki itu langsung berdiri, sembari masuk rumah ia mengecup kening Abu Hanifah. Karena jasa Abu Hanifah inilah mulai saat itu sang tetangga bertaubat dan kembali kepada Allah, serta tidak pernah mabuk.

Kelembutan kepada murid
Ternyata Abu Hanifah juga sangat mencintai murid-muridnya, berlemah lembut, membantu mereka sejauh yang ia mampu, sampai-sampai dalam seminggu beliau menyediakan satu hari khusus yaitu hari jum’at untuk mereka. Pada hari itu beliau selalu mengumpulkan mereka, memasak makanan untuk mereka, serta melayani mereka hanya karena ingin mendapatkan ridla Allah ta’ala semata.
Beliau sering begadang untuk menyelesaikan urusan mereka, mengunjungi yang sakit, membantu yang fakir, serta memberikan kepada mereka santunan dengan penuh derma.
Jika beliau mendapatkan hadiah dari siapapun, segera dibagikan kepada para murid-muridnya, tetangga serta para sahabat.
Suatu hari ia mendapatkan hadiah sebanyak 1000 pasang sepatu dari seorang yang bermaksud menyambung tali silaturrahmi dengannya, ternyata ia membagikan kembali seluruh sepatu tersebut kepada orang yang ia kenal, sehingga tidak tersisa satupun untuknya dan anak-anaknya.
Dua hari setelah kajian itu, terlihat Abu Hanifah pergi membelikan sepatu untuk anaknya. Dengan penuh keheranan salah seorang berkata kepadanya: “mengapa tidak anda sisikan –dari hadiah itu- untuk anak anda?”. Abu Hanifah menjawab: “madzhabku adalah membagikan hadiah kepada teman-temanku, jika aku menghadiahkan kepada salah satu diantara mereka, maka aku harus menghadiahkan kepada seluruhnya, karena teman-teman mereka merupakan saudaraku juga, saudara-saudaraku adalah teman-teman dekatku, maka aku tidak mau menyendiri tanpa mereka, bahkan semestinya aku memberikan bagianku kepada mereka.
Diriwayatkan bahwa salah satu dari muridnya terkena musibah yang menghabiskan seluruh hartanya, sehingga tidak tersisa lagi sesuatu apapun dirumahnya untuk dimakan dan dijual. Ia keluar kesana kemari untuk mencari pinjaman namun tidak berhasil mendapatkannya. Ketika jam pelajaran telah tiba, ia pergi untuk menghadiri pelajaran. Disaat Abu Hanifah menyampaikan pelajaran ia memperhatikan murid yang bersangkutan. Dari gelagatnya ia mengetahui kepedihan yang sedang meninpanya.
Tatkala pelajaran usai, ia kembali kerumah membawa seluruh kesedihan yang menggelanyut dipundak dan dadanya. Kesedihannya semakin diperparah oleh kondisi anak-anaknya yang berusaha untuk tidur dalam kondisi lapar yang tak tertahankan lagi. Menjelang tengah malam, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu; siapa ? Tanya tuan rumah. “Aku datang untuk menyampaikan amanat, sebagai hadiah untuk anda dan orang-orang yang bersama anda, aku letakkan didepan pintu”, sahut pengetuk di balik pintu, seraya bergegas meninggalkan rumah itu tanpa jejak. Setelah tuan rumah membuka pintu, ia mendapati sekantong uang sebanyak 15.000 dirham, serta secarik kertas tertuliskan: “uang ini berasal dari Abu Hanifah, di dapat dari jalan yang halal, dengan harapan dapat dipergunakan untuk menutupi kebutuhanmu dan orang-orang yang menjadi tanggunganmu”.
Inilah gambaran sesungguhnya dari akhlak Islam yang dianjurkan dan diwasiatkan kepada umat Islam, sehingga mereka menjadi bagunan yang menguatkan satu sama lain.

Teladan dalam bisnis
Dalam membagi waktu antara ilmu dan bisnis, ternyata Abu Hanifah melakukannya dengan sangat proporsional. Walaupun ia mempunyai kolega dalam bisnis yang dikelola dengan menggunakan sistem syarikah yaitu Hafsh bin Abdu al-Rahman, namun demikian ia sering kali harus turun ke lapangan untuk mengontrol perkembangan bisnisnya.
Abu Hanifah telah memberikan teladan bagaimana seharusnya menjadi seorang pedagang, ia juga telah menjelaskan bahwa kejujuran merupakan barang dagangan para pedagang yang utama. Sekaligus menjadi sarana untuk mendapatkan yang halal, jauh dari sifat oportunis, dan keuntungan yang haram.
Suatu hari Abu Hanifah didatangi oleh seorang perempuan yang menawarkan kain sutra. Apakah anda berkenan membelinya? Kata perempuan itu. Berapa harganya? Tanya Abu Hanifah. 100 dirham, jawab perempuan itu. Pakaian seperti ini bisa dijual lebih tinggi dari 100 dirham, sela Abu Hanifah. Perempuan itu akhirnya menambah 100 dirham lagi, sehingga menjadi 200 dirham. Namun anehnya Abu Hanifah berkata bahwa harga barang itu masih layak untuk dinaikkan lagi. Akhirnya perempuan itu menambah hingga 400 dirham. Namun sekali lagi Abu Hanifah berkata: masih ada harga yang lebih baik dari itu. Anda pasti menghinaku; jawab perempuan itu. Cobalah anda mencari seorang yang ahli dalam menaksir harga barang ini, saya tidak ingi mendhalimi anda, jawab Abu Hanifah. Akhirnya perenpuan itu mendatangkan seorang ahli menaksir harga barang, Abu Hanifah segera memintanya untuk menaksir harga barang yang ditawarkan oleh perempuan sehingga ia tidak mendlaliminya. Penaksir itu kemudian menaksir barang tersebut dengan harga 500 dirham. Akhirnya Abu Hanifah membelinya.
Ada contoh lain yang menunjukkan kejujurannya dalam berbisnis; suatu hari datang seorang perempuan lain kepada Abu Hanifah seraya berkata: “saya sedang dalam kondisi susah, maka saya mengharap anda tidak mengambil laba dari barang ini, jika anda berkenan juallah pakaian ini dengan harga pokok (beli)”. Ambillah barang ini dengan harga 4 dirham, jawab Abu Hanifah. Anda bilang apa?, apa anda sedang menghina saya?, saya ini telah tua mengapa anda menghinaku?. (Wallahi) Demi Allah saya tidak menghina anda wahai ibu, anda bilang juallah pakaian ini dengan harga pokok kan dan jangan mengambil laba?, saya telah menjalankan apa yang anda pinta. Saya membeli dua pakaian, yang satu saya jual dengan harga dengan harga pokok yaitu 4 dirham, sementara sisanya yaitu baju ini, saya harus menjualnya dengan harga 4 dirham pula.
Terlihat wajah ibu itu sangat berseri-seri, ia lalu mendo’akan Abu Hanifah agar mendapatkan keuntungan yang melimpah serta barakah dari Allah.
Ketia Abu Hanifah ingin kembali pulang, ia berpesan kepada koleganya (Hafsh) bahwa pakaian ini ada cacatnya, maka jika engkau menjualnya, sebutkan cacat itu kepada pembeli, tetapi Hafs lupa menyebutkan cacat dalam pakaian tersebut, ketika Abu Hanifah datang ke toko ia menanyakan perihal pakaian yang cacat tersebut. Kebetulan saya telah memjualnya, namun saya lupa menyebutkan cacatnya; kata Hafs. Apa yang diperbuat oleh Abu Hanifah?.
Ia mensedakahkan seluruh harga pakaian tersebut (hanya karena mengharapkan ridha Allah), dan takut memakan harta yang mengandung syubhat haram.

Akhlak Abu Hanifah
Abu Hanifah tidak hanya menjadi Imam dalam bidang keilmuan dan fikih saja, namun ia juga Imam dalam akhlaknya.
Al-Jauhari meriwayatkan (menceritakan): “tatkala aku bersama Amir al-mukminin Harun ar-Rasyid, Abu Yusuf murid dari Abu Hanifah masuk, maka Rasyid berkata: “wahai Abu Yusuf tolong ceritakan kepadaku, tentang Akhlak Abu Hanifah !”. Abu Yusuf kemudian berkata: sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman: “Tiada suatu ucapanpun yang diucapkan melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir. (QS. (Qaaf) 50:18), masuk dalam ayat ini seluruh lisan setiap pembicara. Manurut kami Abu Hanifah merupakan orang yang sangat gigih dalam membela hurumat Allah Swt, jika di datangi, sangat wara’, tidak berbicara –tentang masalah agama- kecuali berdasarkan ilmu, sangat suka jika Allah dita’ati, dan tidak di langgar, menjauhkan ahli dunia dalam pekerjaannya, selalu diam, terus menerus berfikir, punya wawasan yang sangat luas, serta tidak banyak bicara, jika ditanya tentang satu masalah maka ia merupakan ilmu yang sedang berbicara, menjawab sesuai yang ia dengar, jika tidak ia mengkiaskan dengan kebenaran dengan menjaga dirinya dan agamanya, sangat dermawan dalam ilmu dan harta, sangat mandiri dan bergantung kepada diri sendiri, tidak tama, jauh dari perbuatan ghibah, dan tidak menyebutkan seseorang kecuali kebaikannya.
Rasyid berkata: “Ini merupakan akhlak para shalihin yang sebenarnya”.
Ibnu Imran al-Mushili berkata: “Di dalam diri Abu Hanifah terdapat sepuluh sifat, jika salah satunya ada pada seseorang, pasti ia akan menjadi tokoh di tengah kaumnya yaitu: wara’, jujur, fikih, mengikuti (melayani) kemauan masyarakat, menjaga harga diri, selalu mengerjakan hal-hal yang bermanfaat, selalu diam, selalu berkata benar, membantu yang sedang kesusahan; baik teman maupun lawan”.

Pujian para ulama’
Banyak sekali pujian para ulama’ terhadap Abu Hanifah. Diantaranya seperti yang diriwatkan oleh Imam Syafi’I: suatu hari dikatakan kepada Imam Malik: “apakah anda telah bertemu dengan Abu Hanifah?”. Imam Malik menjawab: “sudah …… Subhanallah, aku belum melihat sosok seperti dia, Wallahi, jika Abu Hanifah berpendapat (berkata) bahwa ustuwanah ini terbuat dari emas, pasti dia akan mengetengahkan kiyas atas kebenaran perkataannya itu”
Diriwayatkan dari Imam Syafi’I bahwa beliau berkata: “barang siapa ingin memperdalam fikih, maka ia menjadi anah asuh bagi Abu Hanifah, Abu Hanifah merupakan orang yang diberi taufik oleh Allah dalam bidang fikih”. Beliau juga berkata: “barangsiapa yang belum melihat buku-buku Abu Hanifah maka, ia belum memperdalam ilmu, juga belum belajar fikih”.
Imam Ahmad bin Hambal juga becerita tentang Abu Hanifah: “Subhanallah … ia berada dalam posisi; keilmuan, wara’, dan zuhud, mementingkan akhirat, yang tidak dilihat oleh seorangpun”.
Ibnu Sirin juga berkata: “ketika saya mendatangi Safyan Tsauri, ia berkata: “Anda datang dari mana?”. “Dari Abu Hanifah, jawabku”. “Anda telah datang dari seorang paling faqih se dunia”.
Bisyr juga berkata: “saya pergi haji bersama Abu Hanifah dan Sufyan Tsauri; -Sufyan merupakan orang yang paling tahu tentang hadits Rasulullah Saw, serta mempunyai kedudukan yang besar-, setiap kali mereka berdua turun di suatu tempat, orang-orang berkumpul di sekeliling mereka, Sufyan selalu mempersilahkan (memperkenalkan) Abu Hanifah, ia juga selalu berjalan di belakangnya, apabila di Tanya tentang satu masalah sementara Abu Hanifah ada di situ, ia tidak segera menjawab hingga Abu Hanifalah yang menjawabnya”.
Adapun Ibnu Juraij, dia berkata: “Aku telah mendengar bahwa al-nu’man; –faqih kota Kufah- orang yang paling wara’, menjaga agamanya dan ilmunya, tidak mengedepankan pecinta dunia atas pecinta akherat, saya berkeyakinan bahwa dalam bidang keilmuan dia akan memiliki prestasi yang menakjubkan”. Selain itu Ibnu Juraij juga sangat cinta kepada Abu Hanifah, dan sering menyebut-nyebutnya.
Yahya bin Mu’in berkata: “Saya memakai bacaan Hamzah, sementara dalam fikih, memakai fikih Abu Hanifah, atas dasar ini aku bisa mengejar manusia. Sementara fuqoha’ ada empat: Abu Hanifah, Sufyan, Malik, dan al-Auza’i.
Ketika ditanya: “apakah Sufyan telah berbicara tentang Abu Hanifah?, dia menjawab: “benar, Abu Hanifah merupakan orang yang dapat dipercaya, jujur dalam bidang hadits dan fikih, terjamin dalam masalah agama Allah, Ta’ala,
Pujian terhadap kredibelitas keilmuan dan kepribadiannya datang dari banyak tokoh, semuanya sepakat atas penilaian tersebut.
Perlu kita sebutkan juga di sini pendapat ulama’ yang hidup semasa dengan Abu Haifah; yaitu al-Fudhail bin ‘Iyadh, yang sangat terkenal dengan kewara’annya. Ia berkata: “Abu Hanifah merupakan pribadi faqih yang terkenal dengan kefaqihannya, kekayaannya cukup luas, terkenal dengan kebaikan terhadap setiap orang yang mengganggunya, sangat sabar dalam menuntut ilmu; baik siang maupun malam, selalu diam, sedikit berbicara hingga datang kepadanya masalah-masalah halal dan haram, sangat cermat dalam menunjukkan kebenaran, selalu lari dari harta penguasa”.
Ja’far bin al-Rabi’ berkata: “saya tinggal bersama Abu Hanifah selama lima tahun, saya tidak melihat orang yang lebih pendiam darinya, apabila ditanya tentang masalah-masalah fikih ia sangat terbuka, mengalir bagaikan lembah, terdengar suara yang lantang”.
Malih bin Waki’; orang yang hidup semasa dengannya juga berkata: “Abu Hanifah itu merupakan pribadi yang besar amanatnya, Wallahi di dalam hatinya –Wallahi- sesuatu yang sangat besar dan agung, dia mendahulukan ridha Tuhannya dari segala sesuatu, bila diancam dengan pedang karena membala agama Allah, ia akan tetap tabah bertahan, Semoga dia mendapat rahmat, ridha sebagaimana orang-orang baik, karena ia merupakan bagian dari mereka.

Wasiat emas
Abu Hanifah memiliki murid bernama Yusuf bin Khalid as-Simani, ketika merasa cukup dalam menuntut ilmu kepada Abu Hanifah, ia bermaksud kembali ke al-Basrah. Abu Hanifah berkata kepadanya: “Jangan kembali dahulu sebelum aku membekali kamu dengan wasiat yang akan kamu butuhkan dalam berinteraksi dengan masyarakat, (tingkatan ulama’), membina pribadi dan memanege masyarakat, (riyadhah al-khasah wa al-ulama’), (watafaqqadu amri al-amah), sehingga jika kamu keluar dengan ilmu yang kamu miliki, kamu membawa alat yang sesuai dengan ilmu tersebut, kamu menimbangnya dan tidak mencelanya”. Berikut ini wasiat emas sebagai pembekalan tersebut, para ulama’ menamakannya “Wasiat emas”.
“Jika kamu salah dalam berinteraksi dengan masyarakat, mereka akan menjadi musuhmu, sekalipun mereka bapak dan ibumu, tapi jika kamu berinteraksi dengan baik sekalipun mereka bukan kerabatmu akan menjadi bapak dan ibumu.
Jika kamu telah masuk Al-Basrah, orang akan menjemput, mengunjungi serta mengetahui dengan persis hak-hak kamu, maka posisikan tiap-tiap individu sesuai dengan kedudukan mereka, hormatilah orang-orang terhomat, muliakan para ulama’, hormati orang-orang tua, bersahabatlah dengan (latif ma’a al-ahdats), dekatilah orang-orang bawah (awam), pergauilah orang-orang baik, jangan menghina siapapun, dan jangan membuka rahasia kamu kepada siapapun, jangan mempercayai siapapun sebelum mengujinya, jangan menerima hadiah, sebaiknya kamu mengikuti kemauan masyarakat, sabar, baik budi pekerti, lapang dada, berpenampilan baik, perbanyak memakai minyak wangi, berlemah lembut, tidak banyak mencela sehingga sulit untuk berbuat adil, peliharalah shalatmu, shadakahkan makananmu, karena orang bakhil tidak akan bisa dijadikan pemimpin, kunjungi orang yang mengunjungi kamu, berbuatlah baik terhadap orang yang berbuat baik bahkan terhadap orang yang berlaku jelek padamu, carilah ilmu, beramar makruf, tinggalkan seluruh orang yang menyakitimu, jenguklah sendiri temanmu yang sakit, cerilah tahu tentang temanmu yang lama tidak kamu jumpai, terhadap kawan yang tidak mau tahu tentang kamu jangan sampai kamu tidak mau tahu tentang dia, sambunglah silaturrahmi terhadap orang yang memutuskannya, hormati siapapun yang datang kepadamu, ucapkan selamat kepada kawanmu yang sedang memdapatkan kebahagiaan, ikutlah berbela sungkawa terhadap yang sedang ditimpa musibah, dan terhadap yang tertimpa musibah kamu ikut merasakan sakit bersamanya.
Siapapun yang mendorongmu untuk bangkit maka bangkitlah bersamanya, dan siapa saja yang meminta pertolonganmu tolonglah, tunjukkan empatimu terhadap masyarakat sebisa yang kamu mampu, tebarkan salam, jika kamu bertemu dengan dengan mereka dalam tempat yang berbeda, atau dalam satu masjid, lalu dilontarkan masalah dan ternyata apa yang disampaikan itu berbeda dengan pendapatmu, jangan berkomentar, tapi jika kamu ditanya lalu kamu mendiskripsikan apa yang diketahui mereka lalu kamu berpendapat selain itu, dengan mengatakan masalah ini begini, dengan alasan begini, jika mereka mendengarkan apa yang kamu sampaikan itu mereka akan segera menilai kedudukan dan kredebilitasmu.
Perlakukan manusia sebagaimana engkau memperlakukan diri sendiri, ridhalah seperti kamu ridha terhadap dirimu sendiri, mintalah pertolongan kepada dirimu dengan menjaganya dan mengontrol kondisinya, janganlah membebani manusia sesuatu apa yang tidak mereka bebankan kepadamu, kedepankan niat baik kepada mereka, pakailah kejujuran, buanglah kecongkakan jauh-jauh, jangan sekali-kali kamu berkhinat walaupun mereka mengkhianati kamu, pegang teguhlah kesetiaan dan taqwa, Allah akan selalu bersamamu”.

Penolakan sebagai Hakim
Khalifah Abu Ja’far al-mansur –dari dinasti Abbasiah-, berkata kapada menterinya: “Aku sedang membutuhkan seorang hamim yang bisa menegakkan keadilan di negara kita ini, dengan kualifikasi dia tidak takut kepada siapapun dalam menegakkan kebenaran, paling memahami Al-Quran dan Sunnah Rasulullah Sallahu ‘alaihi wa sallam. Menurutmu siapa yang layak menduduki posisi ini?”.
Menteri: “sejauh pengetahuan saya, ulama’ paling tepat untuk menduduki posisi ini adalah Abu Hanifah an-Nu’man, betapa bahagianya kita jika ia menerima tawaran sebagai hakim ini !”.
Khalifah: “apa mungkin seseorang bisa menolak jika kita yang memintanya?”
Menteri: “Sejauh yang kami tahu, dia tidak pernah tunduk kepada perkataan siapapun, tanpaknya dia tidak suka untuk menduduki posisi sebagai hakim, maka utuslah seseorang utusan mudah-mudahan hatinya terbuka, dan menerima tawaran ini”.
Khalifah kemudian mengutus seorang utusan memintanya untuk menghadap seraya menawarkan posisi sebagai hakim. Abu Hanifah menjawab: “Aku akan istikharah terlebih dahulu, shalat dua rekaat meminta pertimbangan kepada Allah, jika hatiku dibuka maka akan aku terima, jika tidak maka masih banyak fukaha’ lain yang bisa dipilih salah satu diantara mereka oleh Amir al-Mukminin.
Waktupun berjalan, ternyata Abu Hanifah belum juga menghadap khalifah, maka ia mengutus seorang utusan memintanya menghadap, Abu Hanifah segera pergi menghadap, sementara ia telah bertekad untuk tidak menerima tawaran sebagai hakim, karena dia tahu bahwa posisi ini tidak mudah, sementara seorang hakim biasanya seringkali melampaui batas dalam menghukumi sesuatu. Bahkan terkadang seorang khalifah meminta kepadanya satu hal, maka apa peduli dia dengan jabatan seperti ini?. Apalagi setelah dia beristikharah dengan melakukan shalat dua rekaat, sementara hatinya belum tenteram untuk menerima jabatan tersebut.
Abu Hanifah kemudian pergi menghadap khalifah, ketika menghadap, dia telah bertekad untuk menolak jabatan yang ditawarkan kepadanya.
Ternyata khalifah tidak menyerah begitu saja, ia bersumpah agar Abu Hanifah menerima jabatan sebagai hakim yang ditawarkan, akan tetapi dengan segala keberanian Abu Hanifah menolaknya, seraya berkata kepada khalifah: “Wahai Amir Mukminin, sesungguhnya aku tidak pantas untuk menduduki jabatan sebagai hakim”.
Khalifah: “engkau dusta”.
Abu Hanifah: “sekiranya anda telah menghukumi saya sebagai pembohong, maka sesungguhngnya para pembohong tidak layak untuk menduduki jabatan sebagai hakim, dan sebaiknya anda jangan mengangkat diantara rakyat anda yang tidak memenuhi kualifikasi untuk menduduki jabatan yang strategis seperti ini. Wahai Amir mukminin, takutlah kepada Allah, dan janganlah anda delegasikan amanat anda kecuali kepada mereka yang takut kepada Allah, jika saya tidak dapat mendapat jaminan keredhaan, bagaimana saya akan mendapatkan jaminan terhindar dari murka”.
Khalifah lalu memerintahkan untuk mencambuknya seratus cambukan, lalu menjebloskan dalam penjara.
Selang beberapa hari, khalifah mendapatkan teguran dari seorang kerabatnya: “Wahai amirul mukminin … dia merupakan faqih Irak bahkan faqih masyarakat timur secara keseluruhan, sesungguhnya anda telah mencambuk diri anda dengan seratus ribu pukulan pedang”.
Maka khalifah segera memerintahkan untuk membayar 30.000 dirham kepada Abu Hanifah sebagai ganti atas yang dideritanya, lelu mengeluarkannya dari penjara, serta mengembalikan kerumahnya.
Ternyata setelah harta tersebut di taruh dihadapannya, ia menolaknya. Maka khalifah memerintahkan untuk menjebloskan kembali ke penjara. Hanya saja sebegian menteri mengusulkan agar Abu Hanifah segera dikeluarkan dari penjara, dan cukup dengan penjara rumah, serta melarangnya untuk duduk bersama masyarakat atau keluar dari rumah.

Kepergian Al-Imam
Semenjak Abu Hanifah masih dalam tawanan rumah, kehidupannya tidak berlanjut lama, selang beberapa hari, dia diserang penyakit, semakin hari semakin bertambah, ini merupakan tanda bahwa akhir kehidupannya tanpaknya semakin dekat. Pada Saat usianya telah menginjak 70 tahun, ruhnya yang suci dipanggil Oleh Allah. Berita kematiannya lalu segera menyebar, ketika Al-Mansur mendengar berita itu, dia berkata: “man ya`dzuruni minka hayyan wa maitan” Siapa yang bisa memaafkanku .
Salah seorang ulama’ Kufah berkata: “Cahaya keilmuan telah dimatikan dari kota Kufah, sungguh mereka tidak pernah melihat ulama’ sekaliber dia selamanya”.
Yang lain berkata: “Kini mufti dan faqih Irak telah pergi”.
Jasad Abu Hanifah dikeluarkan dipanggul diatas diatas punggung kelima muridnya, hingga sampai ke tempat pemandian, lalu dimandikan oleh Al-Hasan bin Imarah (Hakim), sementara Al-Harawi (al-alim) yang mengguyurkan air ke tubuhnya, setelah proses pemandian selesai al-Hasan bin Imarah berkata: “Semoga engkau dirahmati oleh Allah, engkau belum berbuka selama tiga puluh tahun, belum pernah tidur dimalam hari semenjak empat puluh tahun, engkau paling faqih diantara kita, paling abid (banyak beribadah), paling zuhud, paling banyak mengumpulkan sifat-sifat kebaikan diantara kita, sementara sekarang engkau dikubur, yang artinya engkau dikubur kepada kebaikan dan sunnah, dengan demikian engkau akan menjadikan orang setelahmu payah”.
Dari penduduk Baghdad saja berkumpul jumlah yang tidak terhitung lagi kecuali oleh pencipta mereka, seakan-akan mereka dipanggil dengan kematiannya. Dia dishalatkan oleh jumlah yang sangat banyak sekali lebih dari 50.000 orang. Dalam enam kali putaran yang ditutup dengan shalat anaknya Hammad, karena ia tidak memiliki anak selain Hammad. Tidak bisa dikebumikan kecuali setelah ashar karena sesak, dan banyaknya tangis.
Abu Hanifah telah mewasiatkan agar jasadnya dikebumikan di kuburan al-khairazan; karena merupakan kuburan yang baik bukan tanah ghasab (curian), diantara syair yang dibuat untuk kematiannya adalah karya salah seorang muridnya sebagai berikut:
Kini fikih telah pergi, sementara fikih tidak engkau miliki
Maka takutlah kepada Allah, dengan menjadi penganti
Nukman telah meninggal, lalu siapa
Yang akan menghidupkan malam jika telah
Semoga Allah merahmati dan meridhainya.

11.16.2008

SIKAP QARDLAWI TERHADAP SYIAH


بيان القرضاوي حول موقفه من الشيعة

"بسم الله الرحمن الرحيم
بيان للناس
حول موقفي من الشيعة وما قالته وكالة أنباء مهر الإيرانية
والرد على الشيخين فضل الله والتسخيري
بقلم - يوسف القرضاوي
رئيس الاتحاد العالمي لعلماء المسلمين

شنَّت وكالة أنباء (مهر) الإيرانية شبه الرسمية في 13 من رمضان 1429هـ الموافق 13 سبتمبر 2008م، هجوما عنيفا

على شخصي، تجاوزت فيه كلَّ حدٍّ، وأسفَّت إسفافا بالغا لا يليق بها، بسبب ما نشرته صحيفة (المصري اليوم) من حوار معي تطرَّق إلى الشيعة ومذهبهم، قلتُ فيه: أنا لا أكفرهم، كما فعل بعض الغلاة، وأرى أنهم مسلمون، ولكنهم مبتدعون. كما حذَّرت من أمرين خطيرين يقع فيهما كثير من الشيعة، أولهما: سبُّ الصحابة، والآخر: غزو المجتمع السني بنشر المذهب الشيعي فيه. ولا سيما أن لديهم ثروة ضخمة يرصدون منها الملايين بل البلايين، وكوادر مدرَّبة على نشر المذهب، وليس لدى السنة أيَّ حصانة ثقافية ضدَّ هذا الغزو. فنحن علماء السنة لم نسلِّحهم بأيِّ ثقافة واقية، لأننا نهرب عادة من الكلام في هذه القضايا، مع وعينا بها، خوفا من إثارة الفتنة، وسعيا إلى وحدة الأمة.
هذا الكلام أثار الوكالة، فجنَّ جنونها، وخرجت عن رشدها، وطفقت تقذفني بحجارتها عن يمين وشمال.
وقد علَّق على موقفي العلامة آية الله محمد حسين فضل الله، فقال كلاما غريبا دهشتُ له، واستغربتُ أن يصدر من مثله.
كما علَّق آية الله محمد علي تسخيري، نائبي في رئاسة الاتحاد العالمي لعلماء المسلمين، وقال كلاما أعجب من كلام فضل الله.
موقفي من الشيعة ومذهبهم:
وأودُّ هنا قبل أن أردَّ على ما قاله هؤلاء جميعا، أن أبيِّن موقفي من قضية الشيعة الإمامية ومذهبهم ومواقفهم، متحرِّيا الحق، ومبتغيا وجه الله، مؤمنا بأن الله أخذ الميثاق على العلماء ليبيِّنن للناس الحقَّ ولا يكتمونه. وقد بينته من قبل في كتابي (مبادئ في الحوار والتقريب بين المذاهب والفرق الإسلامية)، وأصله بحث قدمته لمؤتمر التقريب الذي عُقد في (مملكة البحرين). وما أقوله اليوم تأكيد له.
أولا:
أنا أؤمن أولا بوحدة الأمة الإسلامية بكلِّ فِرَقها وطوائفها ومذاهبها، فهي تؤمن بكتاب واحد، وبرسول واحد، وتتَّجه إلى قِبلة واحدة. وما بين فِرَقها من خلاف لا يُخرِج فرقة منها عن كونها جزءا من الأمة، والحديث الذي يُعتمد عليه في تقسيم الفرق يجعل الجميع من الأمة، "ستفترق أمتي ...". إلا مَن انشقَّ من هذه الفرق عن الإسلام تماما، وبصورة قطعية.
ثانيا:
هناك فرقة واحدة من الفرق الثلاث والسبعين التي جاء بها الحديث هي وحدها (الناجية)، وكلُّ الفرق هالكة أو ضالة، وكلُّ فرقة تعتقد في نفسها أنها هي الناجية، والباقي على ضلال. ونحن أهل السنة نوقن بأننا وحدنا الفرقة الناجية، وكلُّ الفرق الأخرى وقعت في البدع والضلالات، وعلى هذا الأساس قلتُ عن الشيعة: إنهم مبتدعون لا كفارا، وهذا مُجمَع عليه بين أهل السنة، ولو لم أقل هذا لكنتُ متناقضا، لأن الحقَّ لا يتعدَّد، والحمد لله، فحوالي تسعة أعشار الأمة الإسلامية من أهل السنة، ومن حقهم أن يقولوا عنا ما يعتقدون فينا.
ثالثا:
إن موقفي هذا هو موقف كلِّ عالم سنيٍّ معتدل بالنسبة إلى الشيعة الإمامية الاثنا عشرية، أما غير المعتدلين فهم يصرِّحون بتكفيرهم؛ لموقفهم من القرآن، ومن السنة، ومن الصحابة، ومن تقديس الأئمة، والقول بعصمتهم، وأنهم يعلمون من الغيب ما لا يعلمه الأنبياء. وقد رددت على الذين كفروهم، في كتابي (مبادئ في الحوار والتقريب).
ولكني أخالفهم في أصل مذهبهم وأرى أنه غير صحيح، وهو: أن النبي صلى الله عليه وسلم أوصى لعلي بالخلافة من بعده، وأن الصحابة كتموا هذا، وخانوا رسولهم، وجحدوا عليا حقَّه، وأنهم تآمروا جميعا على ذلك. والعجب أن عليًّا لم يعلن ذلك على الملأ ويقاتل عن حقِّه. بل بايع أبا بكر وعمر وعثمان، وكان لهم معينا ومشيرا. فكيف لم يواجههم بالحقيقة؟ وكيف لم يجاهر بحقه؟ وكيف تنازل ابنه الحسن عن خلافته المنصوص عليها لمعاوية؟ وكيف يمدحه النبي صلى الله عليه وسلم بفعله ذلك، وأن الله أصلح به بين فئتين عظيمتين من المسلمين؟
وللشيعة بدع عملية مثل: تجديد مأساة الحسين كل عام بلطم الوجوه، وضرب الصدور إلى حدِّ سفك الدم، وقد مضى على المصيبة أكثر من ثلاثة عشر قرنا؟ ولماذا لم يعمل ذلك في قتل والده، وهو أفضل منه؟
ومن ذلك الشركيات عند المزارات والمقابر التي دُفن فيها آل البيت، والاستعانة بهم ودعاؤهم من دون الله. وهو ما قد يوجد لدى بعض أهل السنة، ولكن علماءهم ينكرون عليهم ويشددون النكير.
من أجل ذلك نصفهم بالابتداع، ولا نحكم عليهم بالكفر البواح، أو الكفر الأكبر، المُخرِج من الملَّة.
وأنا من الذين يقاومون موجة التكفير من قديم، وقد نشرتُ رسالتي (ظاهرة الغلو في التكفير)، مشدِّدا النكير على هذا الغلو، ونؤكِّد أن كلَّ مَن نطق بالشهادتين والتزم بمقتضاهما: دخل في الإسلام بيقين، ولا يخرج منه إلا بيقين. أي بما يقطع بأنه كفر لا شك فيه.
رابعا:
أن الاختلاف في فروع الدين، ومسائل العمل، وأحكام العبادات والمعاملات، لا حرج فيه، وأصول الدين هنا تسع الجميع، وما بيننا وبين الشيعة من الخلاف هنا ليس أكبر مما بين المذاهب السنية بعضها وبعض. ولهذا نقلوا عن شيخنا الشيخ شلتوت شيخ الأزهر رحمه الله: أنه أفتى بجواز التعبُّد بالمذهب الجعفري؛ لأن التعبُّد يتعلَّق بالفروع والأحكام العملية، وما يخالفوننا فيه في الصلاة والصيام وغيرهما يمكن تحمُّله والتسامح فيه.
خامسا:
أن ما قلتُه لصحيفة (المصري اليوم) هو ما قلتُه بكلِّ صراحة وأكَّدتُه بكلِّ قوَّة، في كلِّ مؤتمرات التقريب التي حضرتُها: في الرباط، وفي البحرين، وفي دمشق، وفي الدوحة، وسمعه مني علماء الشيعة، وعلقوا عليه، وصارحتُ به آيات الله حينما زرتُ إيران منذ نحو عشر سنوات: أن هناك خطوطا حمراء يجب أن ترعى ولا تتجاوز، منها: سب الصحابة، ومنها: نشر المذهب في البلاد السنية الخالصة. وقد وافقني علماء الشيعة جميعا على ذلك.
سادسا:
إنني رغم تحفُّظي على موقف الشيعة من اختراق المجتمعات السنية، وقفتُ مع إيران بقوَّة في حقِّها في امتلاك الطاقة النووية السلمية، وأنكرتُ بشدَّة التهديدات الأمريكية لها، وقلتُ: إننا سنقف ضد أمريكا إذا اعتدت على إيران، وإن إيران جزء من دار الإسلام، لا يجوز التفريط فيها، وشريعتنا توجب علينا أن ندافع عنها إذا دخلها أو هدَّدها أجنبي. وقد نوَّهَتْ بموقفي كلُّ أجهزة الإعلام الإيرانية، واتصل بي عدد من المسئولين شاكرين ومقدِّرين. وأنا لم أقف هذا الموقف مجاملة، ولكني قلتُ ما يجب أن يقوله المسلم في نصرة أخيه المسلم.
الرد على وكالة أنباء (مهر) الإيرانية:
1. زعمت وكالة الأنباء: أني أردِّد ما يقوله حاخامات اليهود، وأني أتحدَّث نيابة عنهم، وقالت: إن كلامي يصبُّ في مصلحة الصهاينة والحاخامات! وجهلت الوكالة التائهة ما أعلنه اليهود أنفسهم أن أخطر الناس عليهم في قضية فلسطين هم علماء الدين، وأن أخطر علماء الدين هو القرضاوي! وطالما حرَّضوا عليَّ، وعلى اغتيالي، وما زال اللوبي الصهيوني في كلِّ مكان يقف ضدِّي، ويؤلِّب علي الحكومات المختلفة، لتمنعني من دخول أرضها، فلا غرو أن مُنعت من أمريكا وبريطانيا وعدد من البلاد الأوربية؛ لأني عدو إسرائيل، ومفتي العمليات الاستشهادية.
إنني أحارب اليهود والصهاينة منذ الخامسة عشرة من عمري، أي من حوالي سبعين سنة، قبل أن يُولد هؤلاء الذين يهاجمونني. ولقد انتسبت منذ شبابي المبكِّر إلى جماعة يعتبرها الصهاينة العدو الأول لهم، هي جماعة الإخوان المسلمين التي قدَّمت الشهداء، ولا زالت من أجل فلسطين.
أما الماسونية فكتاباتي ضدَّها في غاية الوضوح، ولا سيما فتواي عن (الماسونية) في كتابي (فتاوى معاصرة).
2. وزعمت الوكالة: أن المذهب الشيعي يلقى تجاوبا لدى الشباب العربي الذي بهره انتصار حزب الله على اليهود في لبنان، وكذلك الشعوب المسلمة الواقعة تحت الظلم والاضطهاد، واعتبرت الوكالة ذلك معجزة من معجزات آل البيت؛ لأن الشعوب وجدت ضالَّتها في هذا المذهب حيث قدَّم الشيعة نموذجا رائعا للحكم الإسلامي، لم يكن متوافرا بعد حكم النبي صلى الله عليه وسلم، وحكم الإمام علي رضي الله عنه.
وهذا الكلام مردود عليها، فالفرد الإيراني كغيره في بلادنا الإسلامية، لم يطعم من جوع، ولم يأمن من خوف. ولا سيما أهل السنة الذين لا يزالوان يعانون التضييق عليهم. وكلام الوكالة فيه طعن في عهد أبي بكر وعمر، وقد قدَّما نموذجا رائعا للحكم العادل والشورى، بخلاف حكم علي الذي شُغل بالحروب الداخلية، ولم يتمكَّن من تحقيق منهجه في العدالة والتنمية، كما كان يحب.
3. المهم أن الوكالة اعترفت بتنامي المد الشيعي الذي اعتبرته (معجزة) لآل البيت! وهو ردٌّ على الشيخ فضل الله والتسخيري وغيرهما الذين ينكرون ذلك.
4. زعمت الوكالة أني لم أتحدَّث عن بطولات أبناء الشيعة في جنوب لبنان (2006م). وهو زعم كاذب أو جاهل، فقد ناصرت حزب الله، ودافعت عنه، ورددت على فتوى العالم السعودي الكبير الشيخ بن جبرين، في حلقة كاملة من حلقات برنامجي (الشريعة والحياة) في قناة الجزيرة، وقد نُقلت الحلقة من القاهرة حيث كنتُ في الإجازة.
5. تحدَّثت الوكالة بشماتة عن هزائم العرب، ولا سيما هزيمة 1967م، وعن حكام العرب، وجنرالات العرب، وكأني مسئول عنهم! وقد قاومتُ استبداد الحكام وطغيانهم، ودخلتُ من أجل ذلك السجون والمعتقلات، وحوكمتُ أمام المحاكم العسكرية، وحُرمتُ من الوظائف الحكومية، وأنا أول دفعتي.
ونسيت الوكالة أن مصر دخلت أربع حروب من أجل فلسطين، وأنها في إحداها قد حقَّقت نصرا معروفا على دولة الصهاينة، برغم ما كان يساندها من المدد الأمريكي. وذلك في حرب العاشر من رمضان سنة 1393هـ (6 أكتوبر 1973م)، وكذلك بطولات الإخوة في فلسطين في حماس والجهاد وكتائب الأقصى وغيرهم.
6. أسوأ ما انحدرت إليه الوكالة: زعمها أني أتحدَّث بلغة تتَّسم بالنفاق والدجل، وهو إسفاف يليق بمَن صدر عنه، وقد قال شاعرنا العربي:
وحسبكمو هذا التفاوت بيننا
وكل إناء بالذي فيه ينضح!
والذين عرفوني بالمعاشرة أو بقراءة تاريخي، عرفوني منذ مقتبل شبابي شاهرا سيف الحقِّ في وجه كلِّ باطل، وأني لم أنافق ملكا ولا رئيسا ولا أميرا، وأني أقول الحقَّ ولا أخاف في الله لومة لائم. ولو كنتُ أبيع في سوق النفاق، لنافقتُ إيران التي تقدر أن تُعطي الملايين، والتي تشتري ولاء الكثيرين بمالها، ولكني لا أُشترى بكنوز الأرض، فقد اشتراني الله سبحانه وبعتُ له. وقد اقترحوا علي منذ سنوات أن يعطوني جائزة لبعض علماء السنة، فاعتذرت إليهم.
وقالت الوكالة الكاذبة المزيِّفة: كان الأحرى بالشيخ القرضاوي أن يتحدَّث عن خطر المدِّ الصهيوني، الذي أوشك أن يقترب من بيت القرضاوي نفسه، حيث إن أبناءه الذين يقطنون في أحياء لندن، انصهروا تماما بالثقافة الأنجلوسكسونية، وابتعدوا عن الثقافة الإسلامية!
ولا أدري كيف يجترئ هؤلاء الناس على الكذب الصُراح، فليس أحد من أولادي يسكن في لندن، بل يعملون بالتدريس في جامعة قطر، أو في سفارة قطر بالقاهرة، ومن بناتي ثلاث حصلن على الدكتوراه من إنجلترا، وكلهن في قطر منذ سنين. وهن متمسكات بثقافتهن الإسلامية، وهُويَّتهن الإسلامية، إلا إذا كانت الوكالة تعتبر تخصُّصاتهن العلمية خروجا عن الدين، وعن الثقافة الإسلامية.
أما خطر المد الصهيوني فلستُ في حاجه إلى أن أتعلَّمه من السيد حسن زاده -خبير الشئون الدولية بالوكالة- فمنذ الخامسة عشرة من عمري، وأنا أقاوم هذا الخطر بشعري ونثري، وخطبي وكتبي، ولي كتابان في ذلك هما: (درس النكبة الثانية)، و(القدس قضية كل مسلم). غير فتاوى ومحاضرات وخطب شتَّى.
ولو فتح الراديو يوم الجمعة في الأيام التي أخطب فيها، واستمع إلى فضائية قطر، لعرف حقيقة موقفي من المدِّ الصهيوني. فلستُ ممن يزايد عليه في هذا المجال.
موقف الشيخ فضل الله:
1. عقَّب آية الله الشيخ محمد حسين فضل الله على حديثي في صحيفة (المصري اليوم) تعقيبا استغربتُ أن يصدر من مثله، وأنا اعتبره من العلماء المعتدلين في الشيعة، وليس بيني وبينه إلا المودة، فقد كان أول ما قاله: إنني لم أسمع عن الشيخ القرضاوي أيَّ موقف ضدَّ التبشير (المسيحي) الذي يراد منه إخراج المسلمين عن دينهم... وهذا عجيب حقًّا، فموقفي ضد (التنصير) الذي يسمُّونه التبشير واضح للخاص والعام، في كتبي وخطبي ومحاضراتي ومواقفي، وقد طفتُ كثيرا من البلاد الإسلامية بعد مؤتمر كلورادو 1978م، الذي اجتمع لتنصير العالم الإسلامي، ورصد لذلك ألف مليون دولار، وانتهيتُ إلى السعي لإنشاء الهيئة الخيرية الإسلامية العالمية في الكويت. الذي كان الهدف الأول منها: المقاومة العملية للموجة التنصيرية المسعورة الطامعة في تنصير الأمة الإسلامية.
وكلُّ الناس يعرفون أني واقف بالمرصاد لكلِّ مَن يتطاول على مقدسات الإسلام: الرسول والقرآن والسنة الشريفة. وقد كان موقفي في أزمة الرسوم المسيئة معروفا على مستوى العالم، وموقفي في الردِّ على البابا، بأكثر من وجه، ومنه كتابي (البابا والإسلام).
2. ويقول الشيخ فضل الله أيضا: لم نسمع من القرضاوي أيَّ حديث عن اختراق العلمانيين أو الملحدين للواقع الإسلامي.
وأنا أقول: يا عجبا! لقد وقفتُ للعلمانيين والملحدين في كتبي ومحاضراتي وخطبي وهي منشورة ومشهورة، مثل:
· الإسلام والعلمانية وجها لوجه.
· التطرف العلماني في مواجهة الإسلام.
· بيِّنات الحل الإسلامي وشبهات العلمانيين والمتغربين.
· الدين والسياسة.
· من فقه الدولة في الإسلام.
وغيرها من الكتب التي شرَّقت وغرَّبت، وتُرجمت إلى عدد من اللغات.
وقد شاركتُ في مناظرات مع العلمانيين، أظهر الله فيها حجَّة الإسلاميين، وتهافت خصومهم. وظهرت في أشرطة سمعها الكثيرون في أنحاء العالم.
3. أنكر الشيخ فضل الله اعتباري الشيعة (مبتدعة). ونسي الشيخ أني قلت هذا في مواجهة مَن يقول: إنهم كفَّار. ونحن أهل السنة نقول عن سائر الفرق الإسلامية: إنهم مبتدعون، ولكن بدعة غير مكفِّرة. وهذا مقتضى أن الفرقة الناجية فرقة واحدة، وسائر الفرق وقعت في البدع والضلالات بنِسَب متفاوتة.
والشيعة عندهم بدع نظرية وبدع عملية. من البدع النظرية: القول بالوصية لعلي، وعصمة الأئمة والمبالغة في تعظيمهم، وإضفاء القداسة عليهم، وأن السنة عندهم ليست سنة محمد، بل سنَّته وسنة المعصومين من بعده.
ومن البدع العملية: تجديد مأساة الحسين كلَّ عام، وما يحدث عند مزارات آل البيت من شركيات، وزيادة الشهادة الثالثة في الأذان وغيرها.
وما ذكره عن تحريف الشيعة للقرآن، فأنا ممَّن يؤمنون بأن الأكثرية الساحقة من الشيعة لا يعرفون قرآنا غير قرآننا، وأن هذا المصحف الذي يطبع في إيران هو نفسه الذي يطبع في المدينة، وفي القاهرة، وأنه هو الذي يفسِّره علماؤهم، ويحتجُّ به فقهاؤهم، ويستدلُّ به متكلموهم، ويحفظه صبيانهم.
وهذا ما ذكرتُه في أكثر من كتاب من كتبي. كل ما قلتُه: إن بعضا من الشيعة ترى أن هذا القرآن ناقص، وأن المهدي حين يخرج سيأتي بالقرآن الكامل، وأن هناك مَن ألَّف كتابا في ذلك مثل كتاب (فصل الخطاب) وأن أكثرية الشيعة تنكر ذلك، ولكنها لا تكفره كما نفعل نحن أهل السنة، وهذا هو الفرق بيننا وبينهم.
4. سأل الشيخ فضل الله في حواره: ما رأيي فيما يصدره بعض السنة الآن من كتب تكفِّر الشيعة، وتعتبرهم مشركين ومرتدين؟
وأنا أجيبه: إني أرفض ذلك، ولا أرضى أن أكفِّر أحدا من أهل القبلة إلا بأمر قطعي يخرجه من دائرة الإسلام. أما كلُّ ما يحتمل التأويل، فالأصل إبقاء المسلم على إسلامه، وإحسان الظنِّ به، وتفسير أيِّ شك لصالحه.
5. أنكر الشيخ ما ذكرتُه من الغزو الشيعي للمجتمعات السنية، وذكر أنه أرسل إليَّ مع بعض الأصدقاء أن أعطيه إحصائية عما يحدث في البلاد التي تتعرَّض للاختراق الشيعي كمصر والجزائر وسوريا، وغير ذلك. وأنا أقول: إن أحدا لم يبلغني بذلك.
على أن هذا الطلب ليس جديًّا، فهذه الأمور تتمُّ في الخفاء، ولا يُعلن عنها، ولاسيما في المجتمعات السنية الخالصة، مثل مصر والسودان وتونس والجزائر وغيرها. وما الضرورة إلى هذه الإحصائيات، وأمامنا من الشواهد ما يكفي؟!
وأعتقد أنه قد كفاني الرد على الشيخ ما أعلنته وكالة أنباء (مهر) الإيرانية من انتشار المذهب الشيعي في البلاد العربية والإسلامية، واعتبارها ذلك من معجزات آل البيت.
مع الشيخ تسخيري:
أما صديقنا الشيخ تسخيري، فقد كان تعليقه أعجب! وهو يعرفني جيدا، منذ نحو ربع قرن أو يزيد. وقد اخترتُه نائبا لي في الاتحاد العالمي، ونلتقي باستمرار في مجلس الأمناء، والمكتب التنفيذي، غير اللقاءات في المؤتمرات والمجمع الفقهي.
1. فقد اعتبر الشيخ تصريحاتي مثيرة للفتنة، وأنها ناجمة عن ضغوط الجماعات التكفيرية والمتطرِّفة التي تقدِّم معلومات مفتراة، فأقع تحت تأثيرها! ونسي الشيخ تسخيري: أني لم أكن في يوم ما مثيرا للفتنة، بل داعيا للوحدة والألفة، كما أني وقفتُ ضد هذه الجماعات المتطرفة، وحذَّرت من خطرها، وألَّفتُ الكتب، وألقيتُ الخطب والمحاضرات، وكتبتُ المقالات في الدعوة إلى الوسطية والاعتدال. بل أصبحت بين الدعاة والمفكرين والفقهاء رمزا للوسطية.
وكتبي في ترشيد الصحوة الإسلامية معروفة ومنشورة ومترجمة إلى اللغات الإسلامية والعالمية.
2. ويقول التسخيري: إن القرضاوي يشبِّه التبليغ الشيعي بالتبشير، في حين أن الكلمة تستخدم فقط في التبليغ المسيحي.
وأقول: إنني استخدمت نفس التعبير الذي استخدمه الإمام محمد مهدي شمس الدين رحمه الله، وقد كنتُ استخدم عبارة (نشر المذهب).
أما التبشير المسيحي فأنا أسمِّيه باسمه الحقيقي، وهو التنصير. على أنه لا مشاحَّة في الاصطلاح.
وكأن الشيخ يؤيِّد التبليغ الشيعي في البلاد السنية، ولكن لا يسمِّيه تبشيرا. وأنا أرفضه بأيِّ اسم كان؛ لأن العبرة بالمسميات والمضامين، لا بالأسماء والعناوين.
3. وأكد تسخيري أن القرضاوي من خلال هذه الممارسات لا يعمل من أجل انسجام الأمة الإسلامية ومصالحها، وأن هذا يتنافى مع أهداف الاتحاد العالمي لعلماء المسلمين، الذي بذل فيه جهودا واسعة لتأسيسه، للقضاء على التعصُّب والتفرقة، والقيام بالدعوة إلى الاعتدال، حسبما جاء في الميثاق الإسلامي للاتحاد.
والشيخ التسخيري لا يغيب عنه: أني عشتُ حياتي كلَّها أدعو إلى توحيد الأمة الإسلامية، فإن لم يمكن توحيدها فعلى الأقل تأكيد التضامن فيما بينها، وأني أيَّدت دعوة التقريب، وشهدت مؤتمراتها، وقدَّمت إليها بحوثا مهمَّة.
ولكن هذا لا يعني أن أرى الخطر أمام عيني وأغضُّ الطرف عنه، مجاملة لهذا وإرضاء لذلك، فوالله ما أبيع ديني بملك المشرق والمغرب.
وأنا في كلِّ المؤتمرات التقريبية التي شاركتُ فيها حذَّرت بقوة ووضوح من محاولة تصدير المذهب في البلاد الخالصة للمذهب الآخر.
ويذكر التسخيري أني عندما زرتُ إيران، قلتُ لهم: ماذا ستكسبون من محاولة نشر المذهب في البلاد السنية؟ مائة أو مائتين، أو ألفا أو ألفين، أو أكثر أو أقل. لكنكم بعد ذلك حين يكتشف الشعب الأمر، سيعاديكم عن بكرة أبيه، ويقف ضدكم. وهذا ما لا نحب أن يحدث. وهنا قال الشيخ تسخيري: صدقتَ. وأيَّد كلامي بما حدث لمكتبهم في الخرطوم. قال: وقد كانت صلتنا بالقيادة السودانية بعد ثورة الإنقاذ جيدة، وسمحت لنا بفتح مكاتب هناك.
ولكن مدير المكتب رأى أن يوزِّع كتابا عنوانه (ثم اهتديتُ) يهاجم المذهب السني، ويدعو إلى المذهب الشيعي، فما كان من حكومة السودان إلا أن أغلقت هذه المكاتب وردَّت موظفيها إلى طهران.
4. وعلَّق التسخيري على قولي للصحيفة المصرية: إن الشيعة مسلمون، ولكنهم مبتدعون. فقال: إن القرضاوي اتهم مرة أخرى الشيعة بتحريف القرآن، في حين أن هذا خطأ فاحش... وهو يعلم أن علماء الشيعة في مختلف العصور أكَّدوا على عدم تحريف القرآن.
وأنا أعترف أن صحيفة (المصري اليوم) لم تنقل كلامي هنا حرفيًّا، بل تصرَّفت فيه، فلم يكن قولها دقيقا ومستوعبا، كما جاء في جوابي الأصلي. ومع هذا، فإن الصحيفة لم تنقل عني: أن الشيعة جميعا يؤمنون بتحريف القرآن، ولكنها قالت: كثير منهم يقول: إن القرآن الموجود كلام الله، ولكن ينقصه بعض الأشياء، مثل سورة الولاية اهـ.
ومن هؤلاء العالم الشيعي المعروف، أحد كبار علماء النجف، وهو الحاج ميرزا حسين محمد تقي النوري الطبرسي، الذي ألَّف - وهو في النجف - كتابه المعروف (فصل الخطاب في إثبات تحريف كتاب رب الأرباب). وقيمة الكتاب في جمعه لمئات النصوص من مصادر الشيعية وكتبهم المعتمدة، ومن أقوال علمائهم ومجتهديهم في مختلف الأزمنة، وهي تقرِّر أن القرآن قد زِيد فيه ونقص منه.
وقد أحدث كتابه ضجَّة عند ظهوره في إيران، وردَّ عليه الكثيرون، وردَّ عليهم هو بكتاب آخر، يدفع فيه الشبهات التي أُثيرت حول كتابه.
وقد سجَّلت رأيي كتابة عن موقف الشيعة من القرآن في بحثي الذي قدَّمته لمؤتمر التقريب في مملكة البحرين، ونشرتُه في رسالة سمَّيتها (مبادئ في الحوار والتقريب بين المذاهب والفرق الإسلامية)، جعلتُها من رسائل ترشيد الصحوة، التي تنشرها مكتبة وهبة في مصر، ومؤسسة الرسالة في لبنان. وفيها رددتُ على الذين يتَّهمون الشيعة بالقول بتحريف القرآن، وبهذا يحقُّ أن نحكم بكفرهم. فكتبتُ في الردِّ على هؤلاء:
(فقد بيَّنا أن الشيعة جميعا يؤمنون بأن ما بين دفتي المصحف كلام الله المحفوظ المعجز الملزم للأمة، ولهذا يحفظون هذا القرآن، ويتعبَّدون بتلاوته، ويحتجُّون به في مسائل العقيدة، وفروع الأحكام، وهذا مُجمع عليه عندهم. ولم نجد مصحفا يخالف مصحفنا، والمصحف الذي يطبع في إيران هو نفسه الذي يطبع في مصر والسعودية، وأما دعوى أن هناك أجزاء ناقصة من القرآن، فليسوا متَّفقين عليها، بل يُنكرها محقِّقوهم. على أن هذه الزيادات المزعومة، لا يترتَّب عليها أمر عملي).
وقد نقلتُ من أقوال الشيعة المعتدلين - التي نقلها عنهم بعض علماء السنة - ما يؤكِّد حفظ القرآن من كل زيادة أو نقصان، ومن هذا ما نقله الشيخ رحمة الله الكيرانوي الهندي في كتابه الشهير (إظهار الحق):
‌أ- (قال الشيخ الصدوق أبو جعفر محمد بن علي بن بابويه، الذي هو من أعظم علماء الإمامية الاثنا عشرية في رسالته الاعتقادية: (اعتقادنا في القرآن: أن القرآن الذي أنزل الله على نبيه هو ما بين الدفتين، وهو ما في أيدي الناس، ليس بأكثر من ذلك، ومبلغ سوره عند الناس مائة وأربع عشرة سورة، وعندنا الضحى وألم نشرح سورة واحدة، ولإيلاف وألم تر كيف سورة واحدة، ومن نسب إلينا أنا نقول: إنه أكثر من ذلك فهو كاذب) انتهى.
‌ب- وفي تفسير (مجمع البيان) الذي هو تفسير معتبر عند الشيعة: (ذكر السيد الأجل المرتضى، علم الهدى ذو المجد، أبو القاسم علي بن الحسين الموسوي: أن القرآن كان على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم مجموعا مؤلَّفا على ما هو الآن، واستدلَّ على ذلك بأن القرآن كان يدرس ويحفظ جميعه في ذلك الزمان حتى إن جماعة من الصحابة، كعبد الله بن مسعود وأبي بن كعب وغيرهما ختموا القرآن على النبي صلى الله عليه وسلم عدة ختمات، وكلُّ ذلك بأدنى تأمُّل يدلُّ على أنه كان مجموعا مرتَّبا غير منشور ولا مبثوث، وذكر أن مَن خالف من الإمامية والحشوية لا يعتدُّ بخلافهم، فإن الخلاف مضاف إلى قوم من أصحاب الحديث نقلوا أخبارا ضعيفة ظنُّوا صحَّتها، لا يُرجع بمثلها عن المعلوم المقطوع على صحَّته) انتهى.
‌ج- وقال السيد المرتضى أيضا: (إن العلم بصحَّة القرآن كالعلم بالبلدان والحوادث الكبار، والوقائع العظام المشهورة، وأشعار العرب المسطورة، فإن العناية اشتدَّت، والدواعي توفَّرت على نقله، وبلغت حدًّا لم تبلغ إليه فيما ذكرناه؛ لأن القرآن معجزة النبوة، ومأخذ العلوم الشرعية والأحكام الدينية، وعلماء المسلمين قد بلغوا في حفظه وعنايته الغاية، حتى عرفوا كلَّ شيء فيه، من إعرابه وقراءته وحروفه وآياته، فكيف يجوز أن يكون مغيَّرًا أو منقوصا مع العناية الصادقة والضبط الشديد؟) انتهى.
‌د- وقال القاضي نور الله الشوستري، الذي هو من علمائهم المشهورين، في كتابه المسمَّى بمصائب النواصب: (ما نُسب إليه الشيعة الإمامية بوقوع التغير في القرآن ليس مما قال به جمهور الإمامية، إنما قال به شرذمة قليلة منهم لا اعتداد بهم فيما بينهم) انتهى.
‌ه- وقال الملا صادق في شرح الكليني: (يظهر القرآن بهذا الترتيب -المعروف الآن- عند ظهور الإمام الثاني عشر ويشهر به) انتهى.
فظهر أن المذهب المحقَّق عند علماء الفرقة الإمامية الاثنا عشرية: أن القرآن الذي أنزله الله على نبيه هو ما بين الدفتين، وهو ما في أيدي الناس، ليس بأكثر من ذلك، وأنه كان مجموعا مؤلَّفا في عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم، وحفظه ونقله ألوف من الصحابة. وجماعة من الصحابة، كعبد الله بن مسعود وأُبي ابن كعب وغيرهما، ختموا القرآن على النبي صلى الله عليه وسلم عدة ختمات، ويظهر القرآن ويشهر بهذا الترتيب عند ظهور الإمام الثاني عشر رضي الله عنه، والشرذمة القليلة التي قالت بوقوع التغير، فقولهم مردود، ولا اعتداد بهم فيما بينهم، وبعض الأخبار الضعيفة التي رُويت في مذهبهم لا يرجع بمثلها عن المعلوم المقطوع على صحَّته، وهو حقٌّ، لأن خبر الواحد إذا اقتضى علما، ولم يوجد في الأدلَّة القاطعة ما يدلُّ عليه وجب ردُّه، وعلى ما صرح ابن المطهر الحلي في كتابه المسمى بـ(مبادئ الوصول إلى علم الأصول)، وقد قال الله تعالى: {إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ} [الحجر:9]، في (تفسير الصراط المستقيم) الذي هو تفسير معتبر عند علماء الشيعة: (أي: إنا لحافظون له من التحريف والتبديل والزيادة والنقصان) انتهى.
هذا ما ذكرته في كتابي (مبادئ في الحوار والتقريب) وهو يبين حقيقة موقفي من القرآن عند الشيعة، وهو معلوم عند علمائهم. فلا يجوز تصيد كلمة من هنا أو هناك، لاتخاذها ذريعة للهجوم علي.
أما ما قلته من محاولات الغزو الشيعي للمجتمعات السنية، فأنا مصر عليه، ولا بد من التصدي له، وإلا خنا الأمانة، وفرطنا في حق الأمة علينا، وتحذيري من هذا الغزو، هو تبصير للأمة بالمخاطر التي تتهدَّدها نتيجة لهذا التهوُّر، وهو حماية لها من الفتنة التي يُخشى أن يتطاير شررها، وتندلع نارها، فتأكل الأخضر واليابس. والعاقل مَن يتفادى الشرَّ قبل وقوعه.
والله من وراء القصد، وهو الهادي إلى سواء السبيل.
الفقير إليه تعالى