11.20.2008

DIKTATORISME DAN OTORITAS PENAFSIRAN


DIKTATORISME
DAN OTORITAS PENAFSIRAN

Kekuasaan memang selalu saja menggoda umat manusia sepanjang sejarah. Sehingga banyak orang yang berminpi dan beropsesi untuk menjadi penguasa. dan karena yang satu inilah korban banyak berjatuhan. Seorang sejarawan bidang sekte dan madzhab "Syahrustani" dalam Milal wa an-Nihalnya menguatkan asumsi ini. (Tidak pernah pedang dihunus dalam Islam sehebat hunusan yang disebabkan oleh masalah kekuasaan).

Namun permasalahannya sebenarnya bukan terletak pada kekuasaan itu sendiri, tetapi pada cara pandang terhadap kekuasaan itu, serta untuk apa kekuasaan itu digunakan.

Kekuasaan itu penting untuk menopang kebenaran dan menebarkan kebaikan serta menjadi sarana yang paling efektif untuk mengantarkan masyarakat kepada kedamaian, keadilan dan kesejahteraan. Dan karena itulah Allah mengabadikan sosok Dzulkarnain sebagai sosok yang layak untuk diberikan kepadanya kekuasaan:

(Sesungguhnya kami Telah memberi kekuasaan kepadanya di (muka) bumi, dan kami Telah memberikan kepadanya jalan (untuk mencapai) segala sesuatu).

Karena dalam Negeri Dzulkarnain keadilan benar-benar tertegakkan; para koruptor, perusak serta premanisme akan mendapatkan pannishment yang setimpal, sementara para penebar kebaikan mendapatkan posisi yang terhormat:

Berkata Dzulkarnain: "Adapun orang yang aniaya, Maka kami kelak akan mengazabnya, Kemudian dia kembalikan kepada Tuhannya, lalu Tuhan mengazabnya dengan azab yang tidak ada taranya.

Adapun orang-orang yang beriman dan beramal saleh, Maka baginya pahala yang terbaik sebagai balasan, dan akan kami titahkan kepadanya (perintah) yang mudah dari perintah-perintah kami".

Tatkala keadilan sudah mampu ditegakkan, maka terjadi optimalisasi potensi yang cukup luar biasa untuk membangun peradaban. Sebuah peradaan yang bermuara pada totalitas pengakuan dan penghambaan kepada Allah.

Dzulkarnain berkata: "Ini (dinding) adalah rahmat dari Tuhanku, Maka apabila sudah datang janji Tuhanku, dia akan menjadikannya hancur luluh; dan janji Tuhanku itu adalah benar".

Adapun para diktator mereka tumbuh dengan loginya sendiri. Para diktator adalah sosok yang berpusat pada egosentrisnya. Sosok yang berporos pada "Aku", bermula dari "Aku" dan berakhir pada "Aku". Dalam Negeri para diktator tidak ada pluralitas pendapat, karena semua pendapat akan berporos pada "Aku" penguasa. Dalam negeri ini tidak ada tempat bagi pendapat dan pendapat lain (ar-Ra'yu wa ar-Ra'yu al-Akhar), yang ada adalah pendapat tunggal.

"Hai kaumku, untukmulah kerajaan pada hari Ini dengan berkuasa di muka bumi. siapakah yang akan menolong kita dari azab Allah jika azab itu menimpa kita!" Fir'aun berkata: "Aku tidak mengemukakan kepadamu, melainkan apa yang Aku pandang baik; dan Aku tiada menunjukkan kepadamu selain jalan yang benar".

Tidak hanya memaksakan satu pandangan, lebih dari itu sang diktator berusaha memaksakan penafsiran, dan klaim-klaim kebenaran, klaim-klaim kesucian, klaim-klaim kebaikan terhadap dirinya.

Dengan kekuasaannya itu sang diktator dia dengan serta merte membuat definisi dan penafsiran yang tidak mengikuti standar dan refensi yang otoritatif. Standar kebenaran definisi dan penafsiran yang mereka buat adalah kembali ke "Aku" tadi. Lalu dengan definisi dan penafsiran itu, secara otomatis akan menempatkan dirinya sebagai pihak yang benar dan pihak yang tidak setuju dengannya sebagai pihak yang sesat dan keliru. Dalam masalah ini Al-Quran telah memberikan gambaran yang begitu gamblang.

Dan Berkata Fir'aun (kepada pembesar-pembesarnya): "Biarkanlah Aku membunuh Musa dan hendaklah ia memohon kepada Tuhannya, Karena Sesungguhnya Aku khawatir dia akan menukar agamamu atau menimbulkan kerusakan di muka bumi".

Dengan standar ini menghasilkan sebuah kesimpulan: Bahwa Musa as beserta pengikutnya adalah para pengacau, para penyebar fitnah, para pengkhianat negara yang akan menyebabkan negera dalam resesi.

Dan secara sistemik para diktator ini akan menggunakan semua media yang ada untuk mencegah menguatnya pengaruh lawannya, sementara pihak yang pertama kali menjadi target sosialisasi adalah segmen masyarakat yang masih memiliki hubungan secara stuktural dengannya, (para pegawai pemerintah) karena masih dalam kendalinya.

Ternyata psikologi ini tidak saja melekat pada diri para diktator, tapi melekat pula pada pemikiran dan prilaku para status quo. Segmen masyarakat yang menginginkan kemapanan selalu membuat penafsiran dan klaim-klaim kebenaran yang standarnya kembali berporos pada diri mereka "Aku".

Maka tidak lain jawaban kaumnya melainkan mengatakan: "Usirlah Luth beserta keluarganya dari negerimu; Karena Sesungguhnya mereka itu orang-orang yang (menda'wakan dirinya) bersih".

Sebagai segmen masyarakat yang masih berkuasa dan berpengaruh, para status qou akan berusaha untuk memegang otoritas penafsiran lalu memaksakannya dengan semina-mena melalui media: bahwa merekalah orang-orang yang suci, yang lurus, yang mendapat hidayat, yang tercerahkan yang paling logis, dan seterusnya, sementara lawan poltitiknya ditempatkan dalam kondisi tertuduh, sehingga keberadaannya menjadi tidak legitemed (tidak legal) di masyarakat. Ketidak legalan ini secara otomatis akan terus mengerem lajunya pengaruh lawan politiknya di tengah-tengah masyarakat.

Ternyata sejarah mengulangi dirinya. Di Rusia saat lenin berkuasa, ia menamakan lawan politiknya sebagai "Kulaq" yang harus ditumpas. Di Zaman Penjajahan di Negeri kita dulu, para pejuang kemerdekaan disebut sebagai "Para Pemberontak" dan "ekstremis", di Zaman Orde Baru para da'i, guru, dan siapa saja yang berseberangan dengan penguasa di sebut "suversip". dan negera-negara yang tidak mau tunduk kepada Amirika saat ini disebut "Poros Kejahatan". Sementara para pejuang kemerdekaan, kelompok-kelompok dan gerakan Islam yang terus menerus berusaha membangun peradaban Islam selalu disebut sebagai "Teroris" yang masuk dalam daftar hitam Amerika Serikat untuk dibumi hanguskan.

Menguatnya hegemoni dan otoritas para diktator ini sungguh sangat membahayakan bagi perkembangan masyarakat. Karena hanya boleh ada satu pendapat, maka pendapat lainnya akan terpendam atau akan dipendam. Karena hanya boleh ada satu warna, maka warna-warna lain akan dimatikan. Sehingga kehidupan menjadi monoton, kreatifitas mati, dan kebaikan tidak menyebar, sementara aroma ketakutan menebar dimana-mana. Negeri yang dipimpin oleh sang diktator dikenal dengan negeri kematian. Dan yang paling menyedihkan adalah kondisi orang-orang yang menuai rizki dari kondisi ini, kelak diakherat.

Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikan dalam neraka, mereka berkata: "Alangkah baiknya, Andaikata kami taat kepada Allah dan taat (pula) kepada Rasul".
Dan mereka berkata;:"Ya Tuhan kami, Sesungguhnya kami Telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar).
Ya Tuhan kami, timpakanlah kepada mereka azab dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar".

Oleh karena itu, Al-Quran mengajarkan kita untuk melakukan perlawanan kepada para diktator ini. Tidak tanggung tanggung, usaha ini dikategorikan sebagai jihad tertinggi. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dari Abi Sa'id al-Khudri, Rasulullah Bersabda:

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ مِنْ أَعْظَمِ الْجِهَادِ كَلِمَةَ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ

Sesugguhnya jihad yang paling besar adalah kalimat keadilan yang dilontarkan dihadapan para diktator.





No comments: