2.15.2009

Benarkah Golput Bukan Ursusan Agama


BENARKAH GOLPUT BUKAN URUSAN AGAMA

Mukaddimah

Belakangan, isu tentang golput mencuat kembali, bermula dari ajakan Gusdur kepada kader PKB dan masyakat untuk memilih golput pada pemilu (2009) yang akan datang, karena merasa telah didzalimi oleh KPU.

Anjuran yang tergolong aneh ini, tentu saja mendapat reaksi dan respon dari berbagai kalangan, terutama dari para kader PKB Muhaimin, beberapa Ulama Jawa Timur, dan termasuk dari Dr. Hidayat Nur Wahid (Ketua MPR RI).

Para kader PKB Muhaimin dan beberapa ulama Jawa Timur menyatakan bahwa mengambil sikap Golput hukumnya haram. Sementara Dr. Hidayat Nur Wahid, turut melontarkan wacana agar MUI mengeluarkan fatwa yang mengharaman Golput. Demikian media banyak menyitir.

Pembicaraan Golput yang dikaitkan dengan masalah halal dan haram dianggap oleh sebagian kalangan telah melampaui teroterial basenya. Menurut mereka masalah Golput seharusnya tidak disangkut pautkan dengan masalah halal dan haram, karena tidak ada kaitannya dengan masalah agama.

Salah seorang peneliti LIPI, Moch Nurhasim, misalnya secara yakin menulis :

"Terlepas dari perdebatan hukum agama, saya memandang bahwa golput adalah suatu pilihan politik dan golput tidak ada urusannya dengan agama. Mengaitkan golput dengan agama hanyalah kerjaan elite politik yang gagap, waswas, dan bimbang karena mereka takut tidak memperoleh dukungan politik dari rakyat. Karena itu, golput menjadi sasaran ”fatwa” para penafsir agama. Ini merupakan bentuk politisasi agama menjelang Pemilu 2009." (Nurhasim, Golput bukan urusan agama, Media Indonesia)

Benarkan masalah Golput tidak ada kaitannya dengan urusan agama ? artikel ini mencoba menelusuri dan menjawab pertanyaan yang sedang diperbincangkan publik beberapa tempo lalu hingga kini.

Pengertian dan Faktor terjadinya Golput

Yang dimaksud dengan Golput (Golongan Putih) adalah sekelompok warga negara yang menolak memberikan suara dalam pemilihan umum sebagai tanda protes. (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi.3, hal.368).

Terdapat beberapa faktor mengapa sebagian warga negara melakukan protes melalui cara ini, namun utamanya dapat diklasifikasikan ke dalam dua faktor berikut:

Pertama: Menganggap pemilihan umum (pemilu) sebagai proses yang tidak islami, karena merupakan bagian dari produk sistem demokrasi barat yang tidak islami, yaitu sebuah sistem yang tidak dimaksudkan untuk menegakkan hukum Allah (syariat Islam).

Salah satu ulama' pendukung pendapat ini adalah Syeikh Abdurrahman as Suhaim, (anggota Markaz Da’wah dan Irsyad, Riyadh). Dalam konstek pembicaraan tentang diperbolehkan atau tidaknya seorang muslim mencalonkan dirinya menjadi anggota parlemen dalam sebuah negara yang tidak menerapkan hukum Islam, Syaikh as-Suhaim dengan gamblang berkata:

"Tidak boleh memasuki Majlis Parlemen dan sesungguhnya orang-orang yang memasuki majlis ini telah mengetahui secara yakin bahwa mereka tidaklah bisa merubah hukum yang berlaku sedikit pun! Permasalahan kita bukanlah permasalahan harta atau menegakkan had (hukum) terhadap seorang pencuri! Permasalahan kita adalah bagaimana berhukum dengan syariat Allah, menjadikan manusia menyembah Tuhan manusia. Cukuplah berdosa bagi orang yang memasuki majlis-majlis seperti ini, sesungguhnya ia telah diseru untuk menerima hukum Allah namun menolak, dan rela dengan—selain hukum Allah—adalah kufur terhadap Allah Yang Maha Besar.”

Beliau melanjutkan:”Yang jelas kemudharatan memasuki majlis ini adalah lebih besar dari pada manfaatnya, dosanya lebih besar dari pada menfaatnya! Dan kita memiliki kaidah bahwa “menghindari kerusakan lebih didahulukan dari pada mendapatkan manfaat.”

Jadi landasan utama yang menjadi pegangan syeikh as-Suhaim adalah bahwa :

1- Menjadi anggota parlemen dalam sebuah pemerintahan yang tidak menerapkan hukum Allah, seperti pemerintahan yang menerapkan sistem demokrasi, adalah dilarang, dan sekaligus berdosa.

Dan jika jalan yang mengantarkan seorang untuk menjadi anggota parlemen adalah pemilihan umum, maka secara otomatis, pemilu yang merupakan proses yang mengantarkan seseorang menuju kursi parlemen juga dilarang.

2- Melakukan perubahan dengan cara masuk menjadi anggota parlemen –menurut syeikh as-Suhaim- terbukti gagal, karena cara ini tidak mampu merubah hukum yang berlaku sedikitpun.

3- Dengan demikian madharat memasuki Majlis Parlemen (berhukum kepada selain hukum Allah) lebih besar dari manfaatnya, sehinnga harus ditinggalkan berdasarkan kaidah: "Menghindari kerusakan lebih didahulukan dari pada mendapatkan manfaat".

Pendapat ini juga dipegang oleh Dr. Muhammad Ahmad Ali Mufti dalam bukunya "Naqd al-Judzur al-Fikriyyah liddimokratiyah al-Gharbiyyah" (Majallah al-Bayan, 1423 H/2002 M). Sebagaimana dipegang pula oleh Hidzb Tahrir, dan mayoritas Gerakan Salafiyah dan gerakan-gerakan lain.

Pendapat diatas dapat dikritisi sebagai berikut:

1- Bahwa keikutsertaan para aktifis Islam dalam aktifitas politik dalam sebuah negara yang tidak berhukum kepada syariat Islam, tidak dimaksudkan untuk mengakui keabsahan dan kebenaran yang sedang terjadi, tapi justru ingin merubah apa yang sedang terjadai secara gradual dan berlahan agar sesuai dengan hukum Islam. Sehingga madzarat yang ditimbulkan karena masuknya para aktifis Islam –sebagaimana dikhawatirkan oleh syeikh suhaim- tidak terjadi disini. Ini berbeda dengan parpol-parpol nasionalis yang memang sejak awal tidak menjadikan Islam dan perjuangan penegakan syariat Islam sebagai pijakan dan dasar pergerakan mereka, bahkan mereka acap kali menentang upaya ke arah penerapan syariat tersebut.

2- Karena perubahan yang dirancang oleh para aktifis Islam bersifat gradual, maka prestasi yang dicapai oleh keikut sertaan aktifis Islam dalam gelanggang politik tidak bisa dinilai gagal sebagaimana diklaim oleh syeikh suhaim, karena orientasi keikut sertaan para aktifis Islam dalam politik ini tidak semata berfokus pada perubahan undang-undang dasar dan undang-undang lainnya agar sesuai dengan syariat Islam, namun dalam pandangan mereka justru masih banyak agenda perubahan lain yang mesti disiapkan sebelum proses menuju perubahan undang-undang itu sendiri secara total dan menyeluruh. Seperti bagaimana menyelamatkan lembaga parlemen itu sendiri dari tangan-tangan para oportunis agar lebih produktif dan efektif dengan meminimalisir keberadaan mereka dan pengaruh mereka, berapapun jumlah para aktifis di lembaga ini, juga memperjuangkan agar undang-undang berpihak kepada maslahat rakyat secara menyeluruh. dan seterusnya.

3- Walaupun demikian, tidak benar jika dikatakan bahwa para aktifis Islam tidak mampu merubah hukum yang berlaku sedikitpun; undang-undang tentang bank Islam, dan undang-undang anti pornografi merupakan contoh kecil keberhasilan tersebut. Semua itu terjadi dalam kondisi bahwa para aktifis Islam masih dikatagorikan minoritas, apalagi jika mereka sudah menjadi mayoritas.

Kedua: Protes melalui Golput ini dilakukan oleh mereka yang merasa kecewa dengan proses pemilu, karena siapapun yang berhasil terpilih melewati proses pemilu –menurut mereka- tidak memberikan perubahan apapun. Terkadang pemilu –menurut mereka- hanya dijadikan alat legitimasi bagi para elit politik untuk mendapatkan keuntungan pragmatis mereka.

Argumentasi para pendukung pendapat ini diungkap dengan gamblang oleh Moch. Nurhasim sebagai berikut:

"Golput menjadi hak bagi mereka yang tidak menggunakan politiknya karena rezim dinilai gagal memberikan calon-calon alternatif dan partai politik dianggap sebatas kepanjangan tangan dari rezim otoriter. Dalam ranah gerakan, kehadiran golput adalah sikap politik untuk melawan rezim dan para elite politik yang hanya memikirkan dirinya sendiri. Golput lahir dari suasana kekecewaan, frustrasi politik karena pemilu hanya menghadirkan sosok-sosok pemimpin yang korup dan perilaku politik yang mementingkan diri sendiri." (Moch Nurhasim (P2 Politik LIPI, Media Indonesia).

Setelah menjelaskan fenomena demokrasi yang biasa terjadi di beberapa negara yang menerapkan sistem demokrasi, Nurhasim menyimpulkan:

"Inilah fenomena demokrasi yang sedang kita hadapi. Ketika pemilik kedaulatan itu semakin cerdas, mereka menggunakan ”kedaulatannya” sebagai alat bargaining power.

Salah satu bentuknya yang paling mudah adalah tidak bersedia datang ke TPS untuk menggunakan suaranya. Mereka menyadari bahwa suara mereka berharga, tetapi dalam realitas sering diselewengkan sehingga tidak dapat berkontribusi dalam membenahi sistem politik nasional yang carut-marut." (Moch Nurhasim (P2 Politik LIPI, Media Indonesia).

Termasuk dalam kategori faktor kekecewaan ini mereka yang kecewa karena mengalami kekalahan dalam konflik internal partainya. Atau kecewa atas kebijakan-kebijakan para pemimpin partainya. Kekecewaan ini biasanya diwujudkan dengan satu dari dua hal: keluar dan membentuk partai baru, atau melakukan protes dengan mengambil sikap Golput.

Dua faktor inilah –menurut penulis- yang paling mendominasi penyebab terjadinya golput ditengah-tengah masyarakat, walaupun dimungkin masih terdapat banyak penyebab-penyebab lainnya.

Jawaban atas pendapat diatas adalah sebagai berikut:

1- Apa yang disebut oleh Moch. Nurhasim bahwa Golput digunakan sebagai alat untuk melawan rezim dan para elit politik yang hanya memikirkan diri sendiri, sosok pemimimpin yang korup, partai politik yang hanya merupakan perpanjangan dari rezim otoriter dan seterusnya dapat dibenarkan dalam kondisi seperti periode Orde Lama maupun Orde baru. Dalam kondisi seperti ini Golput terkadang menjadi alat perlawanan yang sangat efektif, namun tidak tepat untuk kondisi saat ini.

Kondisi Indonesia sejak reformasi hingga kini sama sekali tidak seperti yang digambarkan oleh para pendukung golput diatas. Saat ini rezim otoriter mutlak tidak lagi ada di Indonesia, partai juga bukan merupakan kepanjangan dari rezim otoritere, bahkan rezim saat ini berasal dari partai menengah, bukan partai besar. Sebanyak 34 partai yang saat ini akan ikut meramaikan pesta demokrasi di indonesia juga tidak semuanya hanya memikirkan kepentingan pribadi, atau hanya memikirkan kepentingan partai, dan masa bodoh terhadap kepentingan rakyat. Banyak partai reformis yang masih bisa ditaruh harapan kepada mereka.

Oleh karena itu, sikap Golput dalam kondisi Indonesia yang semakin membaik seperti ini, merupakan sikap kontraproduktif bagi perkembangan Indonesia ke depan.

2- Mungkin ada yang kecewa dan dikecewakan dengan partai pilihannya di masa lalu. Itu hak asasi yang harus dihormati. Namun membawa kekecewaan pribadi ke ranah publik, mengkapanyekan dan menganjurkan orang lain untuk itu, menurut penulis, merupakan sikap egoisme yang kurang dewasa dan kontraproduktif, serta dapat digolongkan kedalam penyesatan dan pengelabuhan opini kepada publik terutama masyakarat awam yang tidak memiliki perangkat pengetahuan yang cukup yang pada gilirannya akan membingunkan mereka.

Golput termasuk urusan agama

Ketika seorang telah menyatakan dirinya sebagai muslim, maka semua bentuk (af'al mukallaf) berupa urusan, gerak gerik dan ucapannya harus memiliki keterkaitan dengan Islam, dalam arti bahwa semuanya harus berada dalam koridor syariat yang telah diturunkan oleh Allah Swt. Allah berfirman:

59. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu (apapun), Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (An-Nisa': 59)

65. Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, Kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (An-Nisa': 65)

Jadi semua urusan dalam pandangan Islam adalah urusan agama, sekaligus memiliki hukum agama, yaitu salah satu dari lima hukum syariah: (Wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram). Itu dikarenakan bahwa Islam hadir untuk memenuhi dan menjawab semua lingkup kehidupan manusia.

89. (dan ingatlah) akan hari (ketika) kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. dan kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri. (an-Nahl: 89).

Ini tidak berarti bahwa segala perkembangan yang terjadi termaktub secara jelas dalam al-Quran ataupun Hadis, tapi memiliki arti bahwa Al-Quran telah memberikan petunjuk-petunjuk umum yang harus dijadikan panduan dan haluan dalam menentukan keputusan atau sikap serta hukum yang sedang berkembang.

Golput yang diartikan sebagai salah satu bentuk sikap penolakan dan perlawanan kondisi real politik yang ada, tentu saja tidak bisa dikeluarkan dari (afal al-mukallafin), untuk itu secara pasti memiliki hukum, yang disimpulkan oleh para mujtahidin yang kompeten. Sehingga menjadi janggal jika dikatakan bahwa golput bukan merupakan urusan agama.

Mengganggap golput bukan merupakan urusan agama, merupakan maintrem atau cara pandang sekuleristik, yang memisahkan urusan agama dengan urusan sosial-politik-ekonomi (dunia). Cara pandang sekuler adalah cara pandang yang melihat permasalahan secara pilah, dan pilih kasih. Sebagaimana dijelaskan oleh Allah sebagai berikut:

85. ... apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat. (al-Baqarah: 85)

Golput Antara Mubah, Sunnah , Wajib, Maktuh dan Haram

Untuk menjawab pertanyaan apakah seorang muslim boleh ikut serta dalam perpolitikan di negara yang tidak menerapkan hukum syariat atau tidak, para ulama' yang tergabung dalam "Majlis Fatwa dan Riset Eropa" mengeluarkan fatwa –sebagaimana dikutip oleh ust. Sigit Pramono, Lc. sebagai berikut:

  1. Pada asalnya disyariatkan keikut-sertaan politik di negara Eropa berada diantara boleh, sunnah atau bahkan wajib sebagaimana ditunjukan firman Allah swt

Artinya : “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat hebat siksanya” (QS. Al Maidah : 2.)

Hal ini dianggap sebagai tuntutan para warga negara.

  1. Keikutsertaan Politik ini berupa masuk dalam berbagai ormas, bergabung dengan partai, membentuk opini, ikut serta dalam pemilu dengan memberikan suara serta memilih para wakilnya.
  2. Diantara kriteria keikutsertaan politik adalah komitmen dengan akhlak islam seperti jujur, adil, setia, amanah, menghormati keberagaman dan perbedaan pendapat, siap bersaing dengan orang-orang yang menentang islam, tidak berlaku kasar.
  3. Diantara kriteria keikutsertaan politik adalah pemberian suara dalam pemilu dengan syarat komitmen dengan prinsip-prinsip syariah, akhlak dan perundang-undangan, seperti adanya kejelasan tujuan dalam membantu berbagai kemaslahatan masyarakat, jauh dari sifat licik atau curang dan membersihkan dirinya dari hawa nafsu pribadi.

Menrut Ust. Sigit Pramono, Meskipun keputusan Majlis Fatwa tersebut diperuntukan buat kaum muslimin di negara-negara Eropa namun pada hakekatnya kondisi negara-negara tersebut tidaklah berbeda dengan kebanyakan negara-negara muslim pada saat ini dalam hal tidak menerapkan hukum Allah swt.

Beberapa kriteria yang disebutkan didalam putusan-putusan tersebut menjadi bingkai didalam menentukan hukum dari keikut-sertaan politik seorang muslim, termasuk pemberian suara dalam pemilu, apakah boleh, sunnah atau wajib.

Hukum mana yang bisa diterapkan dalam permasalahan pemberian suara atau tidak (golput) dalam pemilu sangatlah dipengaruhi oleh tiga faktor :

  1. Kualitas dari pemilihan umumnya, seperti : secara umum pemilu yang diadakan tidak dipenuhi oleh kecurangan maupun kelicikan.
  2. Kualitas dari para calon anggota legislatifnya (khususnya yang muslim), yaitu :
    1. Komitmen dengan prinsip-prinsip syari’ah.
    2. Komitmen dengan prinsip-prinsip akhlak islam.
    3. Komitmen dengan prinsip-prinsip perundang-undangan yang membawa kepada kemaslahatan umat.
  1. Persyaratan pemilih dari tinjauan syari’ah, seperti ; memahami secara baik apa yang harus dilakukannya dan adil atau tepat dalam menilai menjatuhkan pilihannya.

Untuk itu setiap muslim sebelum menentukan apakah menggunakan hak pilihnya atau tidak (golput) hendaklah melihat ketiga faktor tersebut dari semua sisi, baik dari sisi syari’ah, realita politik dan prilaku di lapangan. Kemudian dia juga harus menghindari adanya faktor-faktor emosional terhadap orang yang akan dipilihnya, seperti : kesamaan etnis, daerah, profesi, atau balas jasa yang dapat merusak obyektifitas dalam memberikan penilaian.

Apabila seorang muslim dengan segala upaya yang dilakukannya tersebut melihat bahwa pemilu tersebut akan membawa kemaslahatan bagi umat, adanya keberpihakan undang-undang kepada kepentingan-kepentingan kaum muslimin baik aspek akidah, ibadah maupun amar ma’ruf nahi munkar, adanya keseriusan dalam komitmen dengan prinsip-prinsip islam dan nilai-nilai moral serta adanya upaya untuk menerapkan syari’at Allah walaupun secara bertahap maka setiap muslim harus menggunakan suaranya mendukung orang-orang yang siap berjuang untuk itu semua. Firman Allah swt :
”Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa” (QS. Al Maidah : 2)

Namun apabila dia melihat sebaliknya bahwa pemilu tersebut tidaklah banyak bermanfaat buat umat, mengabaikan hak-hak kaum muslimin, menghilangkan wala (loyalitas) kepada Allah dan rasul-Nya, tidak adanya keinginan menerapkan syariat Allah, tidak komitmen dengan prinsip-prinsip islam maupun nilai-nilai moral atau mempersulit kaum muslimin dalam menjalankan kewajiban-kewajibannya maka boleh bagi seorang muslim untuk tidak memberikan suaranya, sebagaimana firman Allah swt :

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil Jadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu Jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman.” (QS. Al Maidah : 57).

Dan juga firman-Nya,”dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah.” (QS. Al Maidah : 2).

Dan jika dia melihat bahwa pemilu berada diantara dua keadaan diatas maka dianjurkan baginya untuk memberikan suaranya kepada orang-orang yang dianggapnya paling dekat dengan islam, konsisten untuk menyuarakan kebenaran, tidak mudah runtuh loyalitas keislamannya, tidak menjual umat untuk kepentingan pribadi dan golongannya serta siap memperjuangkan penerapan nilai-nilai syari’ah walaupun jumlah mereka hanyalah segelintir saja, sebagaimana kaidah “Kemudharatan (bahaya) yang besar dapat dihilangkan dengan kemudharatan yang lebih ringan” atau “Apabila ada dua kemudharatan maka ambilah kemudharatan yang lebih ringan.” Juga firman Allah swt :
Artinya : “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa.” (QS. Al Maidah : 2)

Sekenario Pasca Kemenganan Golput

Sekarang mari kita membayangkan, apa yang kira-kira bakal terjadi jika arus Golput ini menguat di tengah-tengah masyarakat ?

1. Sampai saat ini pemilu merupakan satu intrumen yang masih dipercayai paling efektif, legal, aman dan berperadaban untuk memanage konflik yang ada di tengah-tengah masyarakat. Jika pergantian kepemimpinan secara damai (tadawaul as-silmi lissulthah) ini ditinggalkan, itu artinya bahwa pergantian kepemimpinan (Tadawul as-shultah) melalui al-kifah al-musallah (anaskis dan senjata) akan menjadi model, sehingga radikalisme akan menjadi tren. Itu artinya akan membawa masyarakat kepada kondisi chaos yang tidak dapat kita prediksikan ujung pangkalnya. Beberapa negara di Afrika hingga kini masih menderita akibat parade kudeta bersenjata yang terjadi tiada henti.

Untuk itu kekecewaan atas kekalahan dalam konflik internal partai ataupun kekecewaan yang diakibatkan oleh kekecewaan atas kebijakan-kebijakan pemimpin partainya, merupakan kondisi psikologi personal yang boleh menjadi pegangan tapi tidak selayaknya dibawa dan dikampanyekan ke publik, karena pada ujung-ujungnya akan menggiring masyarakat kedalam kondisi chaos ini.

2. Hal yang perlu diingat bahwa dalam kondisi apapun pemilu akan tetap berjalan, baik partisipasi masyarakat rendah maupun tinggi. Karena tingkat partisipasi ini tidak menjadi penentu dalam menilai sah atau tidaknya pemilu.

Jika para reformis minggir dari gelanggang politik, dan menjadikan golput sebagai pilihan, atau jika representasi para reformsi sangat kecil di parlemen, maka yang akan terjadi adalah:

a. kekosongan (atau melemahnya) panggung politik dari para reformis, wajah dunia perpolitikan kita akan kembali ke masa lalu, dimana hanya akan diisi atau didominasi oleh para oportunis, orang-orang yang hanya mencari keuntungan pribadi dan kelompok.

b. Baik ada para reformis di dalam majlis (parlemen) atau diluar, undang-undang akan tetap disahkan. Dengan demikian secara otomatis undang-undang tersebut tidak akan berpihak kepada kemaslahatan rakyat. Para opurtunis akan semakin berlenggang kangkung untuk dapat menentukan kebijakan dan bahkan dapat dengan mudah didikte oleh kepentingan luar, karena bagi mereka yang penting bukan maslahat rakyat, tapi bagaimana saku mereka dapat dipenuhi.

c. Terjadi ambigu, sebab kwajiban amar-makruf nahi mungkar tetap berlaku, Sehingga akan menjadi kontradiksi jika para reformis berada di luar gelanggang politik, tapi dalam satu waktu mendesak anggota parlemen untuk merumuskan dan mengesahkan undang-undang yang berbihak kepada rakyat atau yang mendukung kearah penerapan syariah. Bagaimana mereka mendesak orang lain untuk melakukan satu hal, dengan cara yang mereka sendiri tidak setujui ? sungguh, merupakan potret ambigu dan kontradiktif ....

Memang mustahil mendapatkan partai yang 100% bersih, dengan anggota dan aleg yang juga 100% bersih. Karena kita bukan malaikat. Tapi juga mustahil jika tidak ada sejumlah orang yang reformis dari 200 juta penduduk Indonesia. Juga mustahil jika 34 partai yang ada saat ini semuanya sampah, tidak berguna dan tidak ada yang bisa diandalkan, sehingga semuanya harus dibuang.

Pandangan yang menyatakan keharusan untuk golput seperti ini justru mencerminkan egoisme, pengkultusan diri, al-ghurur bira'yihi, tinggi hati, bahkan cerminan dari diktatorisme pendapat. Bagi mereka seakan-akan didunia ini dialah yang maha benar dan hebat. Bahkan terkadang Tuhanpun dikritikisi. Wallahu a'laa wa a'lam bissowab. Semoga Allah menghindarkan kita dari pemahaman yang melenceng.

Salam,

Chaled_ms