Mukaddimah
ass. Beberapa bulan yang lalu, kairo dikejutkan oleh sebuah analisa otokritik terhadap perkembangan gerakan intelektual masisir, sayang penulis menjadikan apa yang ia sebut sebagai gerakan islam, sebagai biang keladi pelapukan intelektual masisir tersebut, yang sejatinya, tulisan itu masih menyisakan banyak kelemahan metodologis, berikut makalahnya dan komentar saya terhadapnya.
selamat menikmati.
chaled_ms
Proses Pelapukan Intelektual
Selasa, 27 Februari 07 - oleh : numesir
Oleh Imam Wahyuddin*
Secara default, wacana keintelektualan Masisir tiap hari dirasa mulai semakin mengendur. Tidak ada spirit mengairahkannya kecuali dari segelintir kelompok tertentu. Keprihatinan mendalam ini kemudian disuarakan rekan-rekan saya di kajian rutin Lakpesdam NU.
Sebagai anak muda progresif, rekan-rekan Lakpesdam turut prihatin karena “nyaris” dunia keintelektualan Masisir hampir luput diperhatikan secara serius, untuk itu aqlie” demi menkader generasi yang¢kebutuhan menyuarakan termasuk “wajib bergengsi.
Simposium inklusif yang bertajuk: “Mengairahkan Intelektual Masisir; Mencari Titik Temu Antara Gerakan Pemikiran dan Islam Pergerakkan” yang hari ini digelar pada umumnya bukti untuk mengemmakan mental intelektual yang kini pelan-pelan telah tak terdengar bunyinya. Acara simposium inklusif membuktikan bahwa Lakpesdam bukanlah distreotipkan silent minoriy terhadap dinamika intelektualisme yang dikebiri.
Disadari atau tidak, pesona akademis dinilai tidak mengalami kekuatan, tapi justru terus-menerus berproses ke pelapukan. Minat pada studi dan kajian-kajian keintelektualan tidak menghebohkan seperti dulu lagi. Dunia keilmuan sekarang sedang gundah.
Kesadaran Diskursif dan Praksis
Pada tataran kesadaran diskursif, Masisir tidak lagi berjiwa sebagai mahasiswa berkesadaran akademis. Dialektika keilmuan kini berhenti hanya “disyukuri”. Bukan malah “digugat” dengan mengeksplorasi atau menkajinya. Sebagai bukti, mereka sudah cukup puas mensyukuri diktat kuliah. Sepertinya tidak ada lagi kesadaran serentak menggugat dialektika wacana diktat lewat bacaan-bacaan skunder lain yang serba guna.
Sebagaimana kecenderungan naluriahnya, ketika kesadaran diskursif lumpuh maka menimbulkan pengaruh pada tingkat kesadaran praksis. Saat mental untuk menggugat sudah tidak berdaya, maka kemampuan berdinamika dengan sendirinya kehilangan otot dan tenaga. So tidak ada dinamika aktif intelektualisme, justru yang ada hanya membahananya dinamika “bisu”.
Yang terasa menyakitkan justu, kajian-kajian ilmiah kini digeluti oleh minoritas yang hampir segelintir jumlahnya dan selalu saja peran mereka kurang diapresiasi. Selama kurang dari 3 tahunan ini (dihitung sejak tahun 2004), amatan saya masih belum menemukan berita kegemilangan Masisir yang bernuansakan intelektual. Tidak ada lagi gaung spirit akademis sebagaimana dulu pernah diceritakan.
Analisa saya menyepakati, bahwa saat ini usaha membangkitkan keintelektualan dirasa masih kurang mengena. Hampir saya membatin dengan cemas: cerita prihal kedinamisan keintelektualan masa dahulu tak ubahnya gugusan mitologi dan angan-angan membangkitkannya kini terjerambab pada kungkungan utopi. Kesepakatan ini ditarik melihat sepinya geliat mewacanakan dunia keilmuan secara padu dan kompak.
Analisa Sederhana
Saya memiliki analisa sederhana dalam membaca lapuknya keintelektualan Masisir. Ada perasaan “tendensius”, bahwa genre proses pelapukan muncul dari mental aktifitas Islam pergerakan. Saya mengamati gelombang Islam pergerakan ini muncul dalam target relatif “jumbo”; jumlahnya besar dan jamaahnya suka berkeliaran kemana-mana.
Dalam kenyataanya —sebagaimana amatan saya— aktifitas Islam pergerakan memiliki kesenjangan mendinamisasikan keintelektualan. Dengan target jumbo mereka menggelar aksi dominan yang minim memberdayakan intensitas keintelektualan jitu. Kini potret dari geliat mereka mewarnai percaturan pemikiran Masisir.
Ciri kongkret sebagaimana distreotipkan gerakan mereka masih diperkaya dengan penjejalan-penjejalan kurang prinsipil. Yaitu: menitikberatkan budaya “gerak jalan” yang patuh terhadap peluit pimpinan barisan. Itulah Islam pergerakan, beda dengan Islam pemikiran. Tidak dipungkiri, dakwah penalaran akal dalam dialektika pemikiran Islam amat diprioritaskan. Segala amaran dan perintah dari atasan manapun harus diproses melalui pertimbangan akal terlebih dahulu. Apapun perintahnya. Kesenjangan dan keengganan rekan-rekan Islam pergerakan dalam dunia keintelektualan disinyalir karena, prioritas agenda perjuangan mereka dikebiri nalar fundamentalisme “non akademis”.
Optimalisasi berpikir dan berkreasi dalam bentuk keintelektualan tidak dijangkau. Fenomena an wa¢liqa’ (kumpul) yang merupakan iklim menumbuhsuburkan praktek sam- an adalah saksi kontras menjustifikasi keabsahan kokohnya nalar statis¢thâat- tersebut. Apapun jargonnya, wacana Islam pergerakan nyatanya enggan menghargai opini kebebasan berpikir. Sejak awal pembekalan, dogmatisme serta-merta sudah ditekankan. Mereka berkali-kali mendakwa untuk menghindari kreativitas berpikir terhadap hal-hal berbau liberal. Sebagai bentuk penilaian, hemat saya stigma itu menyiratkan bahwa berpikir adalah ancaman. Padahal asas tunggal intelektualitas berbasis akademis adalah “keberanian berfikir.”
Pandangan Mohammad Arkoun
Ketika nalar intelektual dikaburkan oleh potret aktifis Islam pergerakan, begitupun jumlah mereka sudah menghegemoni, serta kenyataan melaporkan pusaran pelapukan intelektual sudah memprihatinkan kondisinya. Maka dalam krangka itu, sebagai pejuang intelektual, saya dan kawan-kawan Lakpesdam NU terpanggil menyeru untuk sekedar bertawasi: bahwa Islam wacana atau Islam yang intelektual itu penting.
Nafas keintelektualan patut dilejitkan demi memperteguh posisi kita sebagai insan akademis (sebagai mahasiswa). Pada temaram suatu malam, selasa 30 Januari 2007, Mohammed Arkoun, kampium pemikir Islam kontemporer, tampil di simposium ekspo buku dunia ¢di Cairo dengan penuturan memukau prihal masyarakat madani (al-mujtama al-madani).
Arkoun menegaskan kondisi universitas-universitas Islam di belahan dunia Arab selama tidak memproyeksikan jahl-un mu’assas. Kebodohan pilu ini kalau terus-menerus dibiarkan akan menyerupai konsep al-binyawiyah (strukturalisme).
Nyatanya, cukilan dari ilustrasi pemikir berambut putih itu mengesankan Arkoun termasuk deretan pemikir yang tobur tidak tega menyaksikan derita pelapukan intelektual terjadi. * Intelektual Lakpesdam NU Mesir
Komentar
posted by chaled_ms
Mana Titik Sinergi ?
Assalamu alaikum, Wr. Wb. Kullu am waantum bikhair.
Dalam artikel singkat diatas saya berkesimpulan bahwa mas Imam ingin menyampaikan beberapa point: pertama: bahwa "wacana intelektual" Masisir dirasa mengendur hari demi hari. Kedua: penyebab dari semua ini –menurutnya- adalah mencuatnya Islam pergerakan yang mulai beberapa tahun ini telah menghegemoni. Kenapa biangnya adalah Islam pergerakan ?, menurutnya karena apa yang dikembangkan dalam tradisi "Islam pergerakan" adalah budaya "as-sam'u wat-tha'ah". Budaya inilah yang pada akhirnya mengebiri dinamika intelektual dikalangan pengikutnya, sehingga jika gerakan ini telah menghegemoni, maka bisa dipastikan bahwa penyebabnya adalah "Islam Pergerakan ini".
Alur logika ini sepintas menemukan misdaqiyahnya, namun jika dianalisa lebih jeli dan mendalam, masih banyak menyisahkan kelemahan secara metedologis. ini bisa dibuktikan oleh hal-hal berikut:
Pertama: Nampaknya judgment (kesimpulan) yang disampaikan oleh mas Iman berkenaan dengan mengendurnya "Wacana Intelektual", hanya didasarkan oleh perasaan belaka, dan tidak didasarkan oleh hasil studi yang memiliki validitas data. Apa standar yang dipakai oleh mas Imam ketika men-judgment hal ini. Saya kita tidak menggunakan standar apa-pun di sini. Apakah memang kondisi sekarang ini lebih buruk dari sebelumnya ? apa standarnya, dari sisi mana penilaian ini dihasilkan ? dari sisi prosentase akademis ?, atau banyak dan sedikitnya kelompok kajian ? sedikit banyaknya bulletin ? sedikit banyaknya buku-buku, atau jurnal-jurnal, atau hasil tarjamah yang terbit ? . lebih penting lagi apa dan bagaimana mas Imam memaknai intelektualitas itu sendiri ?. pertanyaan-pertanyaan ini tidak saya dapatkan jawabannya dalam tulisan singkat diatas. Sehingga bisa dibilang kurang memenuhi standar ilmiah. Hal ini tidak jadi persoalan ketika tidak berbicara tentang orang lain, tapi jika menyangkut orang lain, bisa mengarah kepada tuduhan, atau perusakan nama baik mereka, dan itu jelas-jelas sesuatu yang sangat tidak terhormat jika terjadi dilingkungan para intelektual yang jujur (shaadiqin), yang biasanya memiliki tradisi "berbicara atas dasar data dan "burhan", sebagaimana disinyalir dalam al-Quran : Qul haatu burhanakum in kuntum shadiqin".
Kedua: Nampaknya judgment mas Imam tentang penyebab fenomena ini juga tidak didasari oleh penelitian yang cukup tentang apa yang ia sebut sebagai "Islam pergerakan". Apa yang mas Imam sampaikan lebih didasari oleh ad-dhan, dengar-dengan, kata orang, dan tidak langsung bersentuhan dengan para pelakunya. Saya kita mas Imam belum melakukan kajian secara mendalam dan konprehensip terhadap kurikulum yang menjadi pijakan "Islam pergerakan". Sehingga apa saja yang dikaji dalam liqa', dan apakah benar ligo' yang menjadi ujung tombak pembinaan Islam pergerakan itu, hanya merupakan upaya untuk mengkristalisasikan makna as-sam'u wat-tha'ah al-amya' (kepatuhan buta), bagaimana itu terjadi ? dan kapan kajian itu dilakukan ? semua pertanyaan-pertanyaan ini belum bisa saya simpulkan ada dalam artikel singkat ini.
Ketiga: apakah mas Imam juga telah mengadakan penelitian secara serius berdasarkan standarisasi ilmiah yang bisa dipertanggung jawabkan, tentang kualitas intelektualitas komonitas Islam Pergerakan, baik secara akademis maupun non akademis. Secara akademis apa yang menjadi standar mas Imam menilai keroposnya intelektualisme ? jika sandarnya adalah prosentase kelulusan, apakah benar prosentase kelulusan komonitas Islam pergerakan dibawah rata-rata, atau dibawah seluruh komonitas Masisir secara umum ?. jika bukan dengan standar kelulusan, dengan apa kualitas intelektual akademis ini dinilai ? .
Demikian pula dengan kualitas intelektual non akademis, dengan apa mas Imam menilainya ? dan sejauh mana realitas Islam pergerakan tersebut sesuai dengan standar baik dan tidaknya kualitas intelektualitas ? dan sejauh mana kebenaran kesimpulan mas Imam bisa dipertanggung jawabkan, bahwa komonitas Islam pergerakan di Mesir dan Indonesia berhadapan vis a vis dengan intelektualisme. Sejauh mana kebenaran kesimpulan mas Imam bahwa as-sam'u wat-tha'ah yang dikembangkan oleh Islam pergerakan ini benar-benar-benar mengebiri kebebasan berfikir, dan apa standar kebebasan berfikir itu sendiri sebagaimana difahami oleh mas Imam ?.
Pertanyaan-pertanyaan ini masih berdiri tegak dihadapan sebuah kesimpulan-kesimpulan gegabah mas Imam, yang mengantarkan saya kepada kesimpulan bahwa artikel ini hanya merupakan luapan dari kekecewaan-kekecewaan emosional yang sayangnya tidak dicarikan jawaban jawaban ilmiah, tapi dicarikan jawaban-jawaban emosional pula, yang pada akhirnya berakhir dengan kesimpulan-kesimpulan yang "mengorbankan", sehingga kesimpulan-kesimpulan ini lebih problematic bukan solutif.
Apa yang saya tulis ini bukan sebuah pembelaan, tapi sebuah ajakan untuk selalu meletakkan masalah dalam porsinya, serta mencoba untuk memecahkan masalah secara komprehenship dan mendalam, bukan dengan luapan-luapan emosional yang parsial dan tidak solotif, tapi justru problematik.
Bagi saya yang aktif di ICMI, yang terpenting bagi kita kader bangsa adalah bagaimana mensinergikan kekuatan-kekuatan yang ada pada semua elemen komonitas kader bangsa ini. Saya kira apa yang diistilahkan oleh mas Imam sebagai Islam Intelektual, memiliki kelebihan sekaligus kekurangan. Dan apa yang telah dilakukan oleh Islam Pergerakan juga memiliki kekurangan sekaligus kelebihan yang tidak dimiliki oleh komonitas lain. Apa yang telah diperjuangkan oleh Islam Pergerakan ini juga dengan susah payah selama bertahun-tahun perlu dihargai, sebagaimana jerih payah Islam Intelektual yang berjuang keras melawan kecenderungan non intelektual, juga perlu dihargai. sehingga tema sentral symposium eksklusif yang diusung oleh Lakspedam “Mengairahkan Intelektual Masisir; Mencari Titik Temu Antara Gerakan Pemikiran dan Islam Pergerakkan” sebenarnya sangat tepat untuk maksud diatas (sebagaimana yang saya maksudkan sebagai upaya mencari titik sinergis). Namun semangat artikel mas Imam jelas-jelas tidak mengarah ke titik ini. Tentang siapa menghegemoni siapa, dan siapa dihegemoni siapa, adalah masalah lain, yang bisa dibicarakan secara terpisah, tapi sesungguhnya tidak menyentuh permasalah yang sedang dibicarakan.
Yang terpenting kita temukan saat ini, berkenaan dengan peningkatan intelektual (bukan pengeroposan, karena belum ada data akurat yang menyatakan bahwa kualitas intelektual kita saat ini lebih buruk dari sebelumnya) adalah factor-faktor yang menjadikan Masisir enggan bergelut dengan dunia intelektualitas; malas menelaah, malas menulis, malas berdiskusi, malas menghadiri majlis-majlis keilmuan, serta meningkatnya frekuwensi aktifitas-aktifitas yang cenderung mematikan kecenderungan yang mengarah kepada kecendiakaan, dengan cara duduk bersama untuk menemukan jawaban yang sesungguhga dari problematika ini. Ba'iidan 'an qiil wa qaal, wadz-dzan. Fainna adz-dzan laa yughni minal haqqi syaian, sehingga realitas kita di esok hari jauh lebih baik dari kemarin.
Hadaanallah waiyyakum ajmain.
Kullu am waantum bikhair. chaled_ms
5.12.2007
Subscribe to:
Posts (Atom)