6.11.2009

NEGARA ISLAM YANG BUKAN ILUSI (1)


NEGARA ISLAM YANG BUKAN ILUSI
Sanggahan atas buku Ilusi Negara Islam

Akhir-akhir ini, umat Islam di Indonesia di kejutkan oleh terbitnya sebuah buku yang merupakan pertama dalam sejarah umat Islam di Indonesia semenjak pertama kali Islam masuk Nusantara sekitar abad 12 Miladi(1). Sebuah buku yang belum ada tandingannya hingga oleh karangan para orientalis sekalipun dalam upaya menfitnah, menghasut, mengadu domba dan memecah belah umat Islam di Indonesia.

Buku ini menjadi penting karena diberi pengantar oleh seorang profesor akademisi dan kiyai besar, masing-masing mantan Ketua Umum sebuah Organisasi Masyarakat terbesar kedua dan pertama di Indonesia, serta ditutup dengan tulisan akhir (epilog) dari seorang kiyai spritualis karismatik, yang baru-baru ini mendapat gelar doktor honoris kausa, dan merupakan tokoh penting dilingkungan Nahdhiyyin.

Buku yang penulis maksud, dan tentu sudah diketahui oleh para pembaca sekalian dan sudah maklum bersama adalah Ilusi Negara Islam; Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia.

Buku ini menyoroti perkembangan tiga gerakan yang oleh penyusunnya disebut sebagai gerakan transnasional, yaitu: Gerakan Wahabi, Ikhwan Muslimin dan Hizbuttahrir, serta dengan gamblang mengungkap kegelisahan para penulis dan penelitinya akan laju dan pengaruh tiga gerakan tersebut yang mulai meluas di Indonesia.

Tulisan ini mencoba mereview buku yang kontroversial tersebut lalu menyangga beberapa pemikiran mendasar yang dilontarkan di dalamnya secara objektif dan terperinci, dalam poin-poin berikut(2).

A. Definisi Gerakan garis keras dan moderat

Buku ini mendefinikan gerakan garis keras ke dalam dua level; individu dan organisasi. Individu garis keras didefinisikan ke dalam delapan kreteria sbb: "(1. orang yang menganut pemutlakan atau absolutisme pemahaman agama; 2. bersikap tidak toleran terhadap pandangan dan keyakinan yang berbeda; 3. berperilaku atau menyetujui perilaku dan/atau mendorong orang lain atau pemerintah berperilaku memaksakan pandangannya sendiri kepada orang lain; 4. memusuhi dan membenci orang lain karena berbeda pandangan; 5. mendukung pelarangan oleh pemerintah dan/atau pihak lain atas keberadaan pemahaman dan keyakinan agama yang berbeda; 6. membenarkan kekerasan terhadap orang lain yang berbeda pemahaman dan keyakinan tersebut; 7. menolak dasar negara pancasila sebagai landasan hidup bersama bangsa Indonesia; 8. dan atau menginginkan adanya Dasar Negara Islam, bentuk Negara Islam, ataupun khilafah Islamiyah"

Sementara organisasi garis keras didefinisikan ke dalam kriteria sebagai berikut: ((1. kelompok yang merupakan himpunan individu-individu dengan karakteristik yang disebutkan di atas, 2. ditambah dengan visi dan misi organisasi yang menunjukkan orientasi tidak toleran terhadap perbedaan, baik semua karakter ini ditunjukkan secara terbuka maupun tersembunyi)

Di sisi lain buku ini mendifinisikan Islam moderat ke dalam lima kriteria, berikut:
1. individu yang menerima dan menghargai pandangan dan keyakinan yang berbeda sebagai fitrah; 2. tidak mau memaksakan kebenaran yang diyakininya kepada orang lain, baik secara langsung atau melalui pemerintah; 3. menolak cara-cara kekerasan atas nama agama dalam bentuk apa pun; 4. menolak berbagai bentuk pelarangan untuk menganut pendangan keyakinan yang berbeda sebagai bentuk kebebasan beragama yang dijamin oleh konstitusi negara kita; 5. menerima dasar negara pancasila sebagai landasan hidup bersama dan bentuk negara kesatuan republik indonesia (NKRI) sebagai konsesus final dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang melindungi perbedaan dan keramaman yang ada di tanah air)

Sementara organisasi moderat didefinisikan sebagai: 1. kelompok yang memiliki karakteristik seperti yang tercermin dalam karakteristik individu moderat, 2. ditambah dengan visi dan misi organisasi yang menerima dasar negara pancasila sebagai landasan hidup bersama bangsa indonesia dan bentuk negara kesatuan republik indoneesi (NKRI)) sebagai konsesus final dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. (hal. 47-49)

Pertanyaan yang masih menggelanyut di benak saya, dari mana kriteria tentang Individu dan organisasi Garis keras dan moderat dibuat ?, anehnya buku sepenting ini –karena akan meletakkan 3 kelompok dalam posisi akan mengancam masyarakat bawkan NKRI- tidak menyebutkan dari mana referensi kriteria-kriteria terutama kriteria terakhir didapat.

Jawabannya tidak sulit, ternyata delapan kriteria diatas tidak keluar dari kriteria hasil penelitian tim yang dibentuk oleh Rand Corporation, yang diterbitkan dalam sebuah judul buku "Building Moderate Muslim Networks(3).

Untuk mengkomparasikan antara dua criteria mari kita mencoba melihat kriteria versi "Building Moderate Muslim Networks" di bawah ini.

Untuk mengklasifikasikan kelompok yang akan menjadi target, hasil laporan meletakkan 11 pertanyaan sebagai tolak ukur dan standar. Sebelas kreteria yang diformat dalam sebuah pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut.

[APPLICATION OF CRITERIA

Therefore, in determining whether a group or movement meets this characterization of moderation, a reasonably complete picture of its worldview is needed. This picture can emerge from the answers given to the following questions:

1. Does the group (or individual) support or condone violence? if it does not support or condone violence now, has it in the past ?
• Apakah kelompok atau individu tersebut menerima kekerasan atau melakukannya? Jika tidak menerimanya sekarang atau mendukung kekerasan saat ini , dan apakah telah melakukannya pada masa yang lalu ?
2. Does it support democracy? and if so, does it define democracy broadly in terms of individual rights ?
• Apakah kelompok tersebut mendukung (menganut) paham demokrasi ? jika memang demikian, apakah demokrasi yang mereka anut telah sesuai dengan pemahaman yang luas dan memiliki keterkaitan dengan hak-hak individu ?
3. Does it support internationally recognized human rights?
• Apakah mereka mendukung hak asasi manusia seperti yang telah disepakati secara internasional.
4. Does it make any exception (e.g. regarding freedom of religion)?
• Apakah ada pengecualian dalam hal ini (seperti: yang berkaitan dengan kebebasan beragama)
5. Does it believe that changing religions is an individual right?
• Apakah kelompok ini menganut paham bahwa konversi agama merupakan hak individu ?
6. Does it believe the state should enforce the criminal-law component of Shari' a?
• Apakah mereka menganut paham bahwa Negara wajib menjalankan syariat Islam dalam hal hukum kriminalitas ?
7. Does it believe the state should enforce the civil-law component of shari'a? Or does it believe there should be non-shari 'a options for those who prefer civil-law matters to be adjudicated under a secular legal system?
• Apakah mereka menganut paham bahwa Negara wajib menerapkan syariat yang berkaitan dngan perundang-undangan sipil ? dan apakah mereka menganut paham bahwa diperlukan adanya alternative yang tidak bersandarkan kepada syariah bagi yang menginginkan untuk kembali kepada undang-undang sipil dalam bingkai undang-undang secular ?
8. Does it believe that members of religious minorities should be entitled to the same rights as Muslims?
• Apakah mereka menganut paham bahwa minoritas wajib mendapatkan hak yang sama sama dengan hak-hak yang diperoleh oleh orang muslim ?
9. Does it believe that a member of a religious minority could hold high political office in a Muslim majority country?
• Apakah mereka menganut paham bahwa dimungkinkan bagi salah satu anggota minoritas untuk menduduki posisi (jabatan politik) yang tinggi dalam pemerintahan dalam masyarakat yang mayoritas beragama Muslim ?
10. Does it believe that members of religious minorities are entitled to build and run institution of their faith (churches and synagogues) in Muslim majority countries?
• Apakah mereka menganut paham bahwa para minoritas berhak membangun tempat ibadah seperti (gereja atau sinagog), di Negara-negara yang mayoritas penduduknya muslim ?
11. Does it accept a legal system based on nonsectarian legal principles?]
• Apakah mereka menerima undang-undang yang dibangun diatas prinsip-prinsip syariah non sectarian (4).

Jelas, buku ilusi menjadikan poin kekerasan dan penerapan syariah, sebagai kriteria utama dalam upaya mengklasifikasikan gerakan garis keras, dan poin-poin tersebut secara tegas disebut dalam kriteria "Building Moderate Muslim Networks". Sehingga dapat disimpulkan: Jika penulis buku Ilusi Negara Islam mengaku bahwa mereka telah mengadakan penelitian selama dua tahun, itu artinya penelitian tersebut dimulai pada tahun 2007, tahun dimana buku Building Moderate Muslim Networks diterbitkan, yang dengan demikian penelitian Ilusi Negara Islam tak lain merupakan realisasi dari rekomendasi tersebut.

Ini berkaitan dengan sumber (referensi) definisi garis keras dan moderat, adapun tentang poin-poin dalam kriteria definisi gerakan keras dan moderat akan kita bahas sebagai berikut:

Kriteria individu garis keras dari nomor satu hingga nomor enam, merupakan kriteria umum yang dapat diterima, masalah yang perlu dicermati aalah, apakah ktiteria-kiteria tersebut tepat jika diterapkan pada ketiga kelompok yang dianggap oleh penyusun buku tersebut sebaai "garis keras". Mari kita cermati masalah ini, dengan seksama.

Pertama: Hal yang dapat dinilai gegabah dan tidak metodologis adalah ketika penyusun buku ini menaruh tiga kelompok yaitu, wahabi, ikhwan muslimin, dan Hizbuttahrir dalam satu keranjang sebagai kelompok garis keras, tanpa dilakukan pemilahan secara ilmiah. Padahal ketiga kelompok tersebut memiliki karasteristik yang berbeda satu sama lain, lebih dari itu apa dan siapa yang mereka maksudkan dari gerakan wahabi, apakah yang mereka maksud adalah gerakan salafi, jika bernar, gerakan salafi sendiri terbagi kedalam beberapa faksi, ada faksi salafi yang lebih fokus pada keilmuan dan tsaqafah serta dakwah, ada faksi salafi yang mengambil jihad sebagai sarana dalam melakukan dakwah dan perubahan, yang terakhirpun terdiri dari berbagai faksi, sehingga menjadi sangat gegabah dan tidak ilmiah sama sekali tatkala buku ini meletakkan tiga kelompok dengan berbagai faksinya dalam satu keranjang yang sangat mengerikan yaitu "kelompok garis keras".

Kedua: dalam kriteria pertama: "1. Orang yang menganut pemutlakan atau absolutisme pemahaman agama; Apa yang dimaksud dengan pemutlakan atau absolutisme pemahaman agama ?. disini penulis tidak menemukan penjelasan secara rinci dan mendalam.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, (absolut=mutlak, sementara absolutisme; bentuk pemerintahan dengan semua kekuasaan terletak di tangan penguasa) (KBBI, edisi, III, hal. 3).

Dari sini absulutisme pemahaman agama dapat didefinisikan sebagai; sebuah keyakinan bahwa dirinya/kelompoknya adalah satu-satunya pemegang resmi pemahanan keagamaan yang dianggap mutlak benar dan sah, karenanya harus diambil, yang secara otomatis menganggap pemahaman orang lain sebagai pemahaman yang mutlak salah, karenanya harus ditinggalkan.

Jika definisi diatas disepakati, yang menjadi masalah kemudian adalah bahwa buku Ilusi Negara Islam ini juga tidak memberikan satu dalil empirispun yang menyatakan bahwa ketiga kelompok –yang dianggap sebagai gerakan keras itu-, termasuk kelompok yang memenuhi kriteria sebagai kelompok yang menganut absolutisme pemahaman agama; baik berupa tulisan maupun perbuatan.

Dalam realitanya, kelompok yang menganut paham absolutisme pemahaman agama memiliki ciri, mudah menvonis kafir, bid'ah, sesat, musyrik jahiliyah dan sejenisnya terhadap pihak yang berbeda pendapat dengannya tanpa dalil dan burhan, tapi sekali lagi, buku yang –konon- disusun oleh para akademisi dan sarjana itu, tidak memberikan pembuktian secara nyata masuknya ketiga kelompok yang menjadi objek pemhasannya ke dalam penganut absolutisme pemahaman keagamaan.

Sebaliknya, justru dengan mudah kita dapat menemukan praktek absolutisme pemahaman agama ini dalam buku Ilusi Negara Islam ini, berikut beberapa dalil empirik yang membuktikan kebenaran klaim ini:

Pertama: Penyusun buku ini selalu menggambarkan ketiga kelompok tersebut sebagai garis keras, sekaligus mengklaim sebagai pemahaman yang bertentangan dengan Islam, tradisi budaya dan corak keberagamaan bangsa Indonesia, serta telah menodai kehormatan Islam:

(Menyadarkan para elit dan masyarakat bahwa paham dan ideologi garis keras yang dibawa oleh gerakan Islam transnasional dari Timur Tengah dan disebarkan oleh kaki tangannya di Indonesia bertentangan dengan Islam serta tradisi, budaya dan corak keberagamaan bangsa Indonesia yang sejak lama bersifat santun, toleran dan moderat). (hal. 229)

(Alasan melawan gerakan garis keras adalah: a. untuk mengembalikan kemuliaan dan kehormatan islam yang telah mereka nodai dan sekaligus untuk menyelamatkan NKRI dan pancasila. b. mengembalikan keluhuran ajaran islam sebagai rahmatan lil alamin, dan ini merupakan salah satu kunci untuk membangun perdamaian dunia). (Gusdur, musuh dalam selimut).

Terkadang digambarkan sebagai para penganut ideologi totalitarian-sentralistik dengan pemahaman dan pengamalan agama yang terbatas dan dangkal, namun sok ingin mewakili Allah:

(Mereka menganut ideologi totalistarian-sentralistik yang menjadikan agama sebagai justifikasi teologis bagi ambisi politiknya. Sedangkan agenda utama mereka adalah untuk menjadi wakil Allah. Dengan segala keterbatasan dan kedangkalan pemahaman dan pengamalannya atas ajaran islam, mereka mereasa berhak mewakili-Nya.) (hal.223)

Lebih dari itu, sang editor dalam pengantanya tanpa malu dan ragu-ragu meletakkan posisi lawan polemik dan politiknya dalam sebuah judul besar "Musuh Dalam Selimut".

Padahal jelas, sebagaimana yang mereka percayai bahwa pemahaman keagamaan mereka, merupakan salah satu dari pemahaman-pemahaman yang berkembang di Indonesia, dan tidak ada hak untuk mengklaim pemahaman lain sebagai pehamaman yang bertentangan dengan Islam, tradisi, budaya dan corak keberagamaan bangsa Indonesia, karena pertanyaannya: bertentangan dengan pemahaman yang mana, tradisi yang mana, dan budaya serta corak keberagamaan bangsa Indonesia yang mana?. Tentu dengan pemahaman mereka. Nah Berdasarkan definisi absolutisme diatas, Adakah hak bagi penyusun buku Ilusi Negara Islam ini untuk mengklaim pemahaman lainnya sebagai pemahaman yang keluar dari Islam. Bukankah sikap seperti ini justru merupakan salah satu bentuk dari absolutisme.

Maka tidak mengherankan jika, paradigma ini kemudian membawa mereka kepada keterjebakan kedalam sikap tidak toleran, menebarkan permusuhan dan kebencian kepada orang lain, yang berbeda pandangan, sebagai mana yang mereka sebut dalam kriteria nomor 2 dan 4 (5):

Dengan yakin sang editor mengobarkan semangat perlawanan terhadap gerakan yang ia yakini telah menodai kehormatan Islam tersebut seraya berkata:

(Alasan melawan gerakan garis keras adalah: a. untuk mengembalikan kemuliaan dan kehormatan islam yang telah mereka nodai dan sekaligus untuk menyelamatkan NKRI dan pancasila. b. mengembalikan keluhuran ajaran islam sebagai rahmatan lil alamin, dan ini merupakan salah satu kunci untuk membangun perdamaian dunia). (Gusdur, musuh dalam selimut).

Dalam tujuan studi ini juga disebutkan, bahwa hasil studi ini diharapkan bisa menjadi batu loncatan bagi gerakan perlawanan terhadap agenda gerakan Islam transnasional di Indonesa bahkan seluruh dunia:

(Sementara secara praksis, hasil studi ini diharapkan bisa menjadi batu loncatan bagi gerakan perlawanan terhadap agenda gerakan Islam transnasional di Indonesia dan seluruh dunia, memobilisasi para pemimpin dan umat Islam yan belum terkontaminasi ideologi gerakan garis keras untuk secara sadar melawan penyebaran ideologi mereka) (hal. 47).

Jika benar,


Paradigma Absolutisme penyusun buku Ilusi Negara Islam ini, akhirnya terjerembab juga kedalam lubang kriteria ke lima dan ke tiga yang mereka buat sendiri(6).

Pada halaman 229 buku ini disebutkan sebagai berikut: (Menyadarkan para elit dan masyarakat bahwa paham dan ideologi garis keras yang dibawa oleh gerakan Islam transnasional dari Timur Tengah dan disebarkan oleh kaki tangannya di Indonesia bertentangan dengan Islam serta tradisi, budaya dan corak keberagamaan bangsa Indonesia yang sejak lama bersifat santun, toleran dan moderat). (hal. 229)

Karena tujuan dari gerakan penyadaran para elit dan masyarakat adalah supaya mereka yakin bahwa paham –yang mereka kategorikan sebagai ideologi garis kera- benar-benar bertentangan dengan tradisi, budaya dan corak keberagamaan bangsa Indonesia, yang selanjutnya pemahaman ini membawa kepada perlawanan yang nantinya berakhir dengan pelarangan, dan ini adalah bentuk paling riil dari sikap memaksakan pandangannya sendiri kepada orang lain.

Disamping itu, ketiga gerakan yang dikategorikan sebagai gerakan keras tersebut dalam buku ini selalu digambarkan sebagai gerakan para mafia yang memiliki ambisi kekuasaan dan olehkarenanya digambarkan sebagai gerakan yang akan menjadikan semua pihak yang mengganggu kelancaran tercapainya misi ini (dalam hal ini terutama NU dan Muhammadiyah) sebagai musuh:

(untuk saat ini, mereka masih bisa bersatu karena merasa menghadapi musuh bersama, yakni umat Islam moderat yang menolak formalisasi agama dan lebih menekankan spiritualitas dan keberagamaan substantif. Kelak, jika kelompok moderat telah berhasil dikuasai, mereka akan bertikai diantara mereka sendiri untuk merebut kekuasaan mutlak di tanah air kita) (hal. 225)

Sehingga lengkap sudahlah perangkat untuk mengadu domba umat Islam di Indonesia; satu sisi, "Kelompok Garis Keras" digambarkan sebagai mafia yang akan membumi hanguskan semua musuhnya (dalam hal ini terutama NU dan Muhammadiyah), di sisi lain digambarkan sebagai bahaya laten yang akan mengancam ormas moderat bahkan keutuhan bangsa, sehingga harus ditumpas dan diperangi.
______________________

(1) Tentang masuknya Islam ke Nusantara masih menjadi perdebatan diantara para sejarawan Indonesia, dan belum menemukan kata sepakat dalam hal ini.
(2) Tentu dengan memohon pertolongan dari Allah swt. Agar diberi taufik serta kekuatan untuk dapat menyelesaikan cocatan ringan ini sebagai bagian dari tanggung jawab dan beban moral sebagai Thalibul ilmi yang kebetulan sedang mendalami masalah siyasah syar'iyyah.
(3) Dua tahun lalu, Rand Corporation mengeluarkan sebuah laporan hasil penelitian tepatnya pada akhir bulan Maret 2007 (Rabiul Awwal 1428), dengan judul: ([Building Moderate Muslim Networks, RAND Center For Middle East Public Policy, March 2007, California, USA) MEMBANGUN JARINGAN MUSLIM MODERAT.
Laporan ini merupakan kelanjutan dari serial penelitian yang telah digarap oleh Pusat Pemikiran terkemuka dan berpengaruh ini, dengan tujuan menemukan strategi baru guna menghadapi Dunia Islam, pasca peristiwa 11 September.
Yang baru dari laporan tahun 2007 ini adalah bahwa laporan ini memberikan beberapa rekomendasi serta Draft program yang bersifat aplikatif kepada pemerintah Amerika agar dapat berlajar dan mengambil pengalaman dari kemenangan Amerika dalam perang dingin, terutama keberhasilan pemerintah Amerika dalam menekan laju pertumbungan pemikiran Komunisme. Pengalaman berharga ini sangat penting digunakan dalam menghadapi pertumbuhan gerakan Islam Modern.
Kajian ini digarap oleh sebuah tim yang terdiri dari para ahli/pakar di Amerika yang saat ini bekerja di pusat penelitian tersebut, yang diantaranya adalah: Angel Rabasa, peneliti akademis yang dulu pernah menjabat posisi penting di kementrian luar negeri dan kementrian pertahanan Amerika. Angel Mendapat gelar doktoralnya dari Universitas Harvard Amerika, selain bahasa Inggris, ia menguasi empat bahasa lain, yaitu Perancis, Italia, Yunani dan Spanyol. Ia telah menulis beberapa buku serta kajian seputar Dunia Islam. Turut membantu dalam dalam menyiapkan laporan ini, peniliti terkemuka Sheriel Binard, yang turut membantu menyeiapkan hasil kajian sebelumnya yang populer pada tahun 2005 seputar Islam demokrasi Sipil. Sheriel adalah salah satu anggota tim Rand Corporation untuk dunia Arab (Qatar), dan dikenal memiliki pandangan yang negatif terhadap Islam.
Penelitian ini memakan waktu 3 tahun. Dan dalam rangka menyiapkan laporan itu tim ini telah melakukan berbagai kunjungan dan interview dengan para pemikir dan tokoh terkemuka baik di Amerika, Eropa, maupun dunia Islam. Dan inilah yang menjadikan hasil laporan ini benar-benar istemewa.
Laporan hasil penelitian yang terdiri dari 217 halaman ini, dibagi ke dalam Mukaddimah, dan 9 pasal, serta kesimpulan. Kajian ini berusaha memindahkan tabiat konflik pemikiran dari Islam Vs Barat, menjadi pertentangan antara dunia barat Vs dunia Muslim seperti yang pernah terjadi pada masa perang dingin, antara pasukan timur Vs pasukan barat.
Laporan hasil penelitian ini juga menekannkan bahwa perang yang sesungguhnya adalah perang pemikiran disamping perang militer atau masalah keamanan, dan bahwa untuk memenangkan pertempuran melawan teroris tidak akan mungkin terjadi hanya dengan memenangkan pertempuran militer saja, tapi yang lebih penting dari itu adalah bagaimana pemikiran Islam –yang disebut sebagai pemikiran ekstrem (garis keras)- dapat dikalahkan.
(4) Building Moderate Muslim Networks, RAND Center For Middle East Public Policy, March 2007, California, USA, pp. 60.
(5) Kriteria nomor (2) Bersikap tidak toleran terhadap pandangan dan keyakinan yang berbeda; (4) memusuhi dan membenci orang lain karena berbeda pandangan;
(6) Kriteria nomor (5) Mendukung pelarangan oleh pemerintah dan/atau pihak lain atas keberadaan pemahaman dan keyakinan agama yang berbeda; (3) berperilaku atau menyetujui perilaku dan/atau mendorong orang lain atau pemerintah berperilaku memaksakan pandangannya sendiri kepada orang lain;

PEACE-BUILDING (2)


PEACE-BUILDING

Film documenter yang berjudul "al-Imam and Pastor" (Sang Imam dan Pastor") dan berdurasi 39 menit ini ingin menandaskan:

Pertama: Bahwa, cinta kasih dan kasih sayang merupakan ajaran utama dan inti dari ajaran Agama (baik dalam Islam maupun dalam Kristen. Dalam Islam ajaran yang bernuansa keras hanya ada dalam dua hal: Pertama, Jihad dalam mempertahankan hak, negeri, dan untuk menegakkan keadilan dan menumbangkan kedzaliman yang menjadi penyebab kerusakan dalam masyarakat, kedua dalam hal penerapan hudud (sangsi hukum pidana) (hukum qishas bagi pembunuh, potong tangan bagi pencuri, rajam bagi pezina bersuami atau beristri, hirabah bagi pembuat kerusakan besar dalam masyarakat, dan cambuk bagi pelaku zina yang masih gadis atau lajang). Dalam penerapan sangsi hukum pidana ini bahkan tidak diperkenankan secara berlebihan menggunakan emosi sehingga mengakibatkan adanya belas kasihan yang menyebabkan penghapusan sangsi datau pemberian keringanan. Karena penerapan sangsi hukum pidana secara konsisten akan membawa kepada ketentraman dan berjalannya hidup bermasyarakat secara teratur. Demikian pula jihad, yang merupakan salah satu instrument untuk menjaga keseimbangan alam semesta sebaga hukum power of balance bagi tindak kedzaliman. Kaidah ini di dalam al-quran di kenal dengan kaidah sunnatuttadafu. Seperti yang disebutkan dalam al-Quran:

"Sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah Telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid- masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa, (Al-Hajj: 40)

"Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian umat manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam. (al-Baqarah: 251)

Selain dua tempat diatas, ajaran Islam menghendaki agar hubungan antar individu dan kelompok di masyarakat di penuhi dengan suasana kasih sayang, hormat menghormati, toleransi dan saling tolong menolong dalam kebaikan dan kebenaran, bukan tolong menolong dalam hal kejelekan dan permusuhan.

Masalahnya, sebagai akibat reaksi atas kedzaliman yang dialami oleh Umat Islam di berbagai belahan dunia, muncul penafsiran "ekstrem" tentang makna jihad, dengan meluaskan maknanya, jangkaunya serta sasarannya. Dengan berlandaskan beberapa ayat al-Quran seperti (at-taubah: 36)

"Dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan Ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa".

Bagi mereka, cukup peperangan negara barat telah mencukupi syarat bagi umat Islam untuk mengobarkan peperangan secara terbuka dan meluas, tanpa pilih kasih dan pandang bulu.

Padahal ayat ini harus difahami dalam konteksnya dan dalam kerangka bagian dari ayat-ayat lainya yang tidak bisa dipisah satu sama lain. Ibnu Katsir berkomentar tentang ayat ini:


وأما قوله تعالى ( وقاتلوا المشركين كافة كما يقاتلونكم كافة ) فيحتمل أنه منقطع عما قبله وأنه مستأنف ويكون من باب التهييج والتحضيض أي كما يجتمعون لحربكم إذا حاربوكم فاجتمعوا أنتم أيضا لهم إذا حاربتموهم وقاتلتموهم بنظير ما يفعلون ويحتمل أنه إذن للمؤمنين بقتال المشركين في الشهر الحرام إذا كانت البداءة منهم كما قال تعالى ( الشهر الحرام بالشهر الحرام والحرمات قصاص ) وقال تعالى ( ولا تقاتلوهم عند المسجد الحرام حتى يقاتلوكم فيه فإن قاتلوكم فاقتلوهم ) الآية هكذا الجواب عن حصار رسول الله صلى الله عليه وسلم أهل الطائف واستصحابه الحصار إلى أن دخل الشهر الحرام فإنه من تتمة قتال هوازن وأحلافها من ثقيف فإنهم هم الذين ابتدءوا القتال وجمعوا الرجال ودعوا إلى الحرب والنزال فعندما قصدهم رسول الله صلى الله عليه وسلم كما تقدم فلما تحصنوا بالطائف ذهب إليهم لينزلهم من حصونهم فنالوا من المسلمين وقتلوا جماعة واستمر الحصار بالمجانيق وغيرها قريبا من أربعين يوما وكان ابتدؤه في شهر حلال ودخل الشهر الحرام فاستمر فيه أياما ثم قفل عنهم لأنه يغتفر في الدوام مالايغتفر في الابتداء وهذا أمر مقرر وله نظائر كثيرة والله أعلم ولنذكر الأحاديث الواردة في ذلك وقد حررنا ذلك في السيرة والله أعلم.


Sebab lain, yang melatarbelakangi timbulnya bertikaian dalam masyarakat selain masalah penafsiran teks-teks keagamaan adalah pertentang kepentingan pragmatisme, ketimpangan dan keadilan social, keserakahan serta ketamakan untuk menguasai orang lain atau hak milik orang lain.

Kedua: Bahwa keberagaman (pluralitas) yang ada dalam sebuah masyarakat akan menjadi sumber kekayaan dan pengayaan, bila dapat dikelola dengan bak, dan menjadi sumber pertikaian seperti yang terjadi di daerah konflik karena tidak mampu dikelola dengan baik.

Ketiga: kunci dari perdamaian adalah ajakan untuk hidup berdampingan secara damai (at-ta'ayusy as-silmi), bukan peleburan secara total menjadi satu (al-indimaj), karena pada kenyataannya tidak mungkin sebuah entitas dipaksakan untuk menjadi yang lain, demikian pula sebuah kepercayaan agama, madzhab dan kerangka berfikir yang mendasar, tidak mugnkin dapat dipaksakan kepada pemeluknya atau penganutnya agar ditinggalkan demi untuk menganut yang lain. Barangkali proses peleburan bisa saja terjadi dalam sebuah masarakat tapi itu tidak mungkin terjadi kecuali dalam kurun waktu yang cukup lama.

Dan salah satu dari upaya hidup berdampingan secara damai adalah membudayakan tradisi "permohonan maaf" dari yang berbuat dhalim kepada yang didzalimi, disisi lain membudayakan tradisi "memberikan maaf", kepada pihak yang dengan jujur telah mengakui kesalahannya.

Budaya ini sangat penting artinya bagi berlanjutnya kehidupan secara damai, karena hidup ini tidak mungkin berjalan secara monoton adan lancer terus menerus, terkadang mesti ada gelombang yang akan mengguncang masyarakat (kesalah fahaman, kekeliruhan baik disengaja maupun tidak, dst), budaya minta maaf dan memaafkan ini akan menjadi antisipasi dan penawar dalam kondisi yang tidak diharapkan tersebut.

Keempat: agar seorang individu atau kelompok dapat hidup berdampingan secara damai, harus diciptakan satu payung untuk bernaung bersama, payung bersama yang paling memadai adalah citizenships atau "al-muwathanah" atau kewarga negaraan (semua elemen harus merasa hidup bersama sebagai warga negara). Sebagai warganegara semua elemen masyarakat dan entitas di dalamnya memiliki hak dan kwajiban yang sama, mereka duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi. Namun demikian kecuali hak-hak yang mendasar (sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan) hak dan kwajiban tidak mungkin didapat secara sama dan merata, supaya kaidah reward dan punishment dapat diterapkan.

Agar tidak terjadi konflik yang dipicu oleh factor-faktor yang telah disebut diatas, disini perlu diletakkan sebuah role of the game (aturan main), yang diwujudkan dalam system pemerintahan, undang-undang dasar dan undang-undang lainnya, serta keputusan pemerintah.

Dalam memilih system pemerintahan, dan meletakkan undang-undang harus dicari sebuah system yang memenuhi standar sistematika (sitematis), berkeadilan sosial, kebebasan dan mampu menandatangkan kesejahteraan bagi warga Negara secara bersama dan merata, Melalui sebuah mekanisme musyawarah mufakat. System dan undang-undang ini dapat diambil dari mana saja, termasuk dari basis tradisi, budaya nasional maupun local, bahkan ajaran dan syariah agama-agama. Selama dapat memenuhi standar diatas, tidak perlu ada sensitifitas dari masing-masing kelompok dalam pengambilan referensi role of the game tersebut.

Dari titik tolak ini Dr. Saifuddin Abd. Fatah (dalam komentarnya) memandang bahwa tidak ada kontradiksi antara muwathanah dan syariah apalagi dalam lingkungan masyarakat yang mayoritas Muslim. Selama umat Islam mampu mengetengahkan syariah dan penafsirannya secara ilmiah sebagai basis nilai yang dapat merealisasikan makna keadilan, ketentraman dan kesejahteraan dalam masyarakat kepada umat lainnya.

Contoh: Penafsiran dan pemahaman klasik yang menyatakan bahwa istri harus mendapatkan izin suami tatkala menuntut khulu', beberapa waktu teraljor di Mesir mulai ditinjau ulang, karena dinilai tidak lagi dapat merealisasikan keadilan bagi kedua belah fihak secara balance (seimbang), akhir dari kajian tersebut membawa kepada kesepakatan dihapuskannya undung-undang yang mengharuskan istri mendapat izin dari suami saat menuntut khulu'. Upaya penafsiran ulang seperti ini sah-sah saja serta tidak menjadi masalah selama masih dalam koredor mutaghayyirat, dan untuk merealisasikan keadilan yang juga merupakan bagian dari maqoshid syariah itu sendiri.

Jadi pada intinya, syariah selalu memuat dan merealisasikan nilai keadilan, sementara bagian syariah yang bukan provan (tsawabit) penafsirannya masih terus bisa disesuaikan dengan kondisi dan sejauh mana dapat merealisasikan keadilan, sesuai dengan zaman dan tuntutannya. Untuk itu Jika dalam beberapa kesempatan syariah dimunculkan oleh beberapa pihak ke permukaan sebagai dua komponen yang kontradiksi –menurut Dr. Saifuddin Abd. Fatah- itu lebih karena isu tersebut mushtana'ah (dibuat-buat) dan mufta'alah (disulut-sulut dan dikipas-kipasi) oleh kelompok tertentu, agar terjadi kondisi caos dan ketidak setabilan di tengah masyarakat. Dalam kondisi seperti itu kelompok ini ingin memancing di air keruh guna meraup keuntungan pragmatis sebesar-besarnya.

Contoh kasus di Mesir, walaupun secara resmi negara ini berdasarkan Islam, tapi tidak menganggap warga kristen coptic sebagai warga kelas dua, mereka bisa mendapatkan pendidikan, sarana-prasarana, pekerjaan yang sama dengn warga muslim, selain itu warga coptic tidak merasa risih ketika sebagian dari mereka menggunakan hukum waris yang ada dalam islam. Masalah-masalah diatas menjadi problem manakala ada sekelompok yang terus menerus mengobarkan sikap kecurigaan dan perasaan tertindas dengan mengambarkan warga Coptic sebagai warga kelas dua di mesir.

Kelima: harus secara terus menerus dikampanyekan internalisasi budaya dialog, dan kesiapan untuk menerima dan hidup berdampingan dengan orang lain yang berbeda secara etnik, budaya, agama dan keyakinan, dst. Menghidupkan budaya saling percara trust Serta menghilangkan budaya saling curiga-mencurigai.

Hal ini juga menuntut munculnya para penggagas dan penggerak di bidang ini (dialog) dan berkumpulnya mereka dalam sebuah lembaga. Mereka inilah yang nantinya diharapkan menjadi motor bagai proses taayusy silmi (hidup berdampingan secara damai) tersebut, serta diharapkan menjadi mediasi bagi berbagai komponen dan entitas tersebut, mana kala terjadi pertikaian dan konflik di tengah masyarakat, seperti apa yang telah dilakukan oleh sang Imam dan pastor tersebut.

Hal lain yang nantinya menjadi garapan lembaga ini diantaranya adalah turut membudayakan dalam membangun komunikasi efektif yang efektif dalam berbagai level: antar individu, antar anggota keluarga, dan antar keluarga, antar anggota masyarakat, antar suku dan etnik, antar jenis kelamin, antar kelompok profesi, antar penganut agama, antar penganut madzhab dalam agama, antar lintas generasi dan seterusnya. Yang dengan demikian gap-gap dalam masyarakat yang seringkali dipicu oleh beberapa faktor penting seperti: Perbedaan dalam Emosi atau perasaan, perebutan Sumber Daya dan kepentingan pragmatis, ambisi politik, serta beberapa perbedaan dalam nilai-nilai/doktrin ajaran agama/madzhab dapat tereduksi secara natural dan berlahan, demi tercapainya peradaban tinggi yang dipenuhi dengan sikap toleransi, cinta kasih, keadilan, damai, sejahtera, jauh dari konflik, pertikaian, serta peperangan yang memusnahkan manusia dan alam semesta.

Namun sebagai manusia terkadang wajar sebagian merasa pesimis terhadap fenomema yang terjadi, dimana kesadaran dan upaya mulia, untuk menciptakan perdamaian seperti diatas, harus menghadapi realita pahit, dimana bangunan masyarakat indonesia yang masih dianggap rawan konflik itu justru disulut oleh sebagian kelompok yang terus mengobarkan rasa permusuhan, mengadu domba dan kebencian serta kesaling curigaan diantara anak bangsa, seperti yang dilakukan oleh para penyusun buku Ilusi Negara Islam; Ekspansi gerakan Transnasional di Indonesia" wala haula wala quwwata illa billahil aliyyi al-adhim.

Tapi sebagai genasi muda yang akan mewarisi bumi pertiwi ini, selayaknya terus tidak boleh menyerah seraya tetap menjadikan fenomena kecil ini hanya batu kerikil kecil yang menjadi bagian dari tatangan masa depan. Wallahu a'la wa a'lam.

PEACE-BUILDING (1)


kemaren sore saya berkesempatan untuk pergi ke kulliyah iqtishad
wa al-ulum as-siyasiyah di Kairo University, untuk menyaksikan penayangan film
dukumenter tentang proses perdamaian antara masyarakat kresten dan muslim yang
terjadi di utara Negeria, setelah kedua belah kubu terjebak dalam pertikaian
antar agama yang mengenaskan.

upaya perdamaian ini dimotori oleh seorang syeikh bernama Imam Muhammad Ashafa
dan seorang Pastor bernama James Wuye.

film dokumenter yang berdurasi 39 menit itu mendapatkan perhatian dan apresiasi
yang cukup luar biasa dari berbagai kalangan, sehingga telah diterjemahkan ke
dalam 10 bahasa. ini pula yang mengantarkan kedua dalang perdamaian itu untuk
menjadi nominator penerima Hadiah Nobel (untuk perdamaian).

sang Imam dan sang pastor hingga kini telah diundang untuk menyampaikan orasinya
di berbagai negara Burundi, Harvard University, Bosnia, India dan Canada, dan
sekarang di Mesir. di sini mereka akan berbicara di Bibliotheca Alexandria
beberarapa hari yang akan datang dan kemaren di Universitas Kairo.

setelah acara penayangan film dokumenter, acara dilanjutkan dengan diskusi
panel dan komentar atas film, dari sang pelaku perdamaian (imam Muhammad ashafa
dan pastor james Wuye), yang kemudian di komentari oleh Dr. Ijlal Ra'fat (dir.
studi Mesir-Afrika di Univ. Kairo), lalu Dr. Hasan Wajih (Ustadz lughawiyyat
at-tafawudh ad-dauly wa rais qism allughah ingliziyah-univ. cairo) serta Dr.
Cornelis Holsmen (mudir markaz at-taqarub baina tsaqafat wat-tarjamah).

isi apa yang mereka sampaikan dan diskusi yang terjadi setelah itu cukup seru,
mudah-mudahan ada waktu luang untuk berbagi di sini.