11.26.2008

MEMBACA LAPORAN RAND CORPORATION (3)


MEMACA LAPORAN RAND CORPORATION (3)
TENTANG "MEMBANGUN JARINGAN MUSLIM MODERAT"


Tahun lalu, Rand Corporation mengeluarkan sebuah laporan hasil penelitian tepatnya pada akhir bulan Maret 2007 (Rabiul Awwal 1428), dengan judul :MEMBANGUN JARINGAN MUSLIM MODERAT.

Laporan ini merupakan pelengkap dari serial penelitian yang telah digarap oleh Pusat Pemikiran terkemuka dan berpengaruh ini, dengan tujuan untuk meletakkan strategi guna menghadapi Dunia Islam, pasca peristiwa 11 September.

Yang baru dari laporan tahun 2007 ini adalah bahwa laporan ini memberikan beberapa rekomendasi serta rancangan program yang praktis kepada pemerintah Amirika agar mengambil pengalaman yang lalu pada saat perang dingin dalam menghadapi laju pertumbungan pemikiran Komunisme, untuk digunakan dalam menghadapi laju pertumbuhan gerakan Islam Modern.

Kajian ini digarap oleh sebuah tim yang terdiri dari para ahli/pakar di Amerika yang saat ini bekerja di pusat penelitian tersebut, yang diantaranya adalah: Angel Rabasa, peneliti akademis yang dulu pernah menempati posisi penting di kementrian luar negeri dan kementrian pertahanan Amerika. Angel Mendapat gelar doktoralnya dari Universitas Harvard Amerika, selain bahasa Inggris, ia menguasi empat bahasa lain, yaitu Perancis, Italia, Yunani dan Spanyol. Ia memiliki beberapa buku serta kajian seputar Dunia Islam. juga turut membantu peniliti Sheriel Binard dalam menyiapkan laporan hasil kajian yang populer pada tahun 2005 seputar Islam demokratik Sipil. Dimana Sheriel menjadi salah satu anggota tim Rand Corporation untuk dunia Arab (Qatar), dan dikenal memiliki pandangan yang negatif terhadap Islam.

Penelitian ini memakan waktu 3 tahun. Dalam rangka menyiapkan laporan itu tim ini telah melakukan berbagai kunjungan dan interview dengan para pemikir dan tokoh terkemuka baik di Amerika, Eropa, maupun dunia Islam. Dan inilah yang menjadikan hasil laporan ini benar-benar istemewa.

Laporan hasil penelitian yang terdiri dari 217 halaman ini, dibagi ke dalam Mukaddimah, dan 9 pasal, serta kesimpulan. Kajian ini berusaha memindahkan tabiat pertentangan pemikiran dari Islam Vs Barat, menjadi pertentangan antara dunia barat Vs dunia Muslim seperti yang pernah terjadi pada masa perang dingin, antara pasukan timur Vs pasukan barat.

Laporan hasil penelitian ini juga menekannkan bahwa perang yang sesungguhnya adalah perang pemikiran disamping perang militer atau masalah keamanan, dan bahwa untuk memenangkan pertempuran melawan teroris tidak akan mungkin terjadi hanya dengan memenangkan pertempuran militer saja, tapi yang lebih penting dari itu adalah bagaimana pemikiran Islam –yang disebut sebagai pemikiran ekstrem- dapat dikalahkan.


LATAR BELAKANG PEMIKIRAN DAN TUJUAN LAPORAN
Laporan hasil penelitian ini menyatakan bahwa terdapat perang pemikiran antara barat dan dunia Islam, dan dalam perang pemikiran ini diperlukan untuk mengambil pelajaran dari pengalaman masa lalu, diantara pengalaman terpenting untuk diambil pelajaran adalah pengalaman perang pemikiran melawan aliran sosialisme/komunisme selama perang dingin. Untuk itu laporan ini merekomendasikan kepada pemerintah Amerika agar memanfaatkan pengalaman tersebut serta mencari sebab-sebab kesuksesannya, apa saja yang terulang dan dapat dimanfaatkan kembali, baik dalam sarana, planing, maupun program dalam rangka memanage perang melawan gerakan Islam.

Laporan ini juga membuat komparasi antara perang pemikiran melawan komonisme dan perang yang terjadi saat ini melawan dunia Islam. Dalam masalah ini laporan ini mengkhususkan sat fasal tersendiri sebagai penelitian. Laporan ini juga berpendapat akan pentingnya merebut penafsiran dari tangan gerakan Islam, serta melakukan koreksi terhadap penafsiran tersebut, sehingga berjalan sesai dengan kondisi dunia saat ini, serta selaras dengan undang-undang internasional dalam bidang demokrasi dan hak-hak manusia serta masalah wanita.

Laporan ini juga memberikan stressing terhadap pentingnya mewujudkan definisi yang jelas terhadap terminologi Islam Moderat, disesuaikan dan diselaraskan dengan apa yang dikehendaki oleh barat. Kemudian definisi ini dijadikan sarana dan alat untuk menentukan siapa saja yang dianggap Moderat di dunia Islam, dan membedakannya dengan orang-orang yang mengaku sebagai Orang yang moderat yang tidak sesuai dengan definisi Amerika dan Barat.

Laporan ini juga menegaskan bahwa redefinisi termenologi moderat merupakan faktor yang sangat penting untuk mendukung kepentingan politik Amerika. Oleh karena itu diharapkan Amerika terus mendukung individu dan lembaga yang masuk dalam daftar pengertian Moderat sesuai dengan penafsiran Amerika, dan yang diajukan dalam laporan hasil penelitian ini.

Laporan ini juga merekomendasikan agar pemerintah Amerika memperhatikan masalah pembuatan dan dukungan terhadap jaringan sekularisme dan liberarisme serta modernisme yang memunuhi syarat moderat sebagaimana yang difahami oleh Amerika, serta menggunakan jaringan tersebut untuk menghadapi gerakan Islam, yang dipandang oleh laporan ini tidak boleh menjalin kerjasama dan dukungan dalam bentuk apapun, walaupun sebagian kelompok tersebut mengaku sebagai kelompok yang moderat, yang mengajak kepada terciptanya hubungan yang harmonis serta dialog, serta meninggalkan kekerasan.

Laporan ini menganjurkan agar tidak terjadin adanya kerjasama dengan kelompok gerakan Islam manapun, dan dalam membangun jaringan aliran moderat ini hendaknya fokus dan stressing pada aliran sekuler, liberal dan modernis saja. Laporan ini menempatkan upaya redefinisi dan reinterpretasi makna moderat sebagai hasil terpenting.

Diakhir laporan ini, dikemukakan beberapa pemikiran dan usulan seputar upaya optimalisasi jaringan Muslim Moderat serta mendukungnya secara internasional agar dapat memerankan fungsi dan tugasnya dalam membatasi gerak aliran dan gerakan Islam serta mereduksi bahayanya.


======== Masih Bersambung ========


11.25.2008

REKONSILIASI SUNNAH-SYIAH MUNGKINKAH ?


Rekonsoliasi SUNNAH-SYI’AH
Mungkinkah ……. ?

Mukaddimah
Bisa dipastikan bahwa proses rekonsoliasi (taqrîb) antar sekte, kelompok, madzhab, dan organisasi Islam merupakan cita-cita mulia setiap muslim. Permasalahannya hanya terletak pada apa dan bagaimana rekonsoliasi itu bisa dilakukan. Tapi justru disinilah permasalahannya; yang dari dulu hingga kini menjadi akar polimik dan perdebatan yang tak kunjung henti.
Sepanjang sejarah, hubungan Sunnah-Syiah mayoritas dipenuhi oleh konflik bahkan sampai pada tahap pertumpahan darah, telah banyak ulama’ yang melakukan upaya rekonsoliasi, namun mayoritas berakhir dengan kegagalan. Pertanyaan yang timbul –secara spontanitas- adalah mengapa mereka gagal?. Lalu apa dengan demikian rekonsoliasi itu masih mempunyai masa depan?, ataukah harapan itu seratus persen telah pupus. Tulisan ini berupaya mencari jawaban dari pertanyaan di atas.
Akar sejarah
Sebenarnya akar sejarah rekonsoliasi (taqrîb) sunnah-syi’ah sudah lama dimulai –yang menurut syeikh Abu Zahrah- kembali ke sosok al-Thusi (385-460 H)[1], atau menurut Dr. Mahmud al-Basyuni kembali ke sosok al-Thabarsi (548 H)[2].
Bentuk taqrîb yang dikembangkan oleh al-Thabarsi berupa pengambilan referensi dari kedua belah fihak (sunnah dan syi’ah) yang ia racik dalam tafsirnya “Majma’ al-bayan”. Tidak hanya itu, Thabarsi juga berusaha menghindari pemuatan ide-ide ekstrim yang biasa dikutip oleh ahli tafsir pendahulunya dalam tafsirnya. Jika metodologi tafsir yang dikembangkan oleh Thabarsi ternyata merupakan pengembangan dari metodologi al-Thusi, maka apa yang disampaikan oleh syeikh Abu Zahrah; bahwa Thusilah perintis upaya taqrîb ini, -dalam tataran ini- bisa dibenarkan. Walaupun menurut beberapa ulama’ syi’ah (seperti Ibnu Thowus; dari ulama’ klasik, dan Nuri Thabarsi; dari ulama’ kontemporer), bahwa apa yang ditulis oleh Thusi hanya merupakan pengejawantahan dari trik-trik dan ekspresi taqiyyah dan mudârât (hanya mengikuti alur pemikiran penentang). Pendapat ini diperkuat oleh Dr. al-Qoffari. Menurutnya apa yang dilakukan oleh Thusi dan Thabarsi hanyalah merupakan trik untuk menarik simpati pengikut Sunnah, karena seperti yang disebutkan oleh “Bihar al-Anwar” oleh Al-Majlisi –salah satu buku referensi syi’ah dalam hadits-, bahwa bagi para ulama’ syi’ah dilarang mengambil riwayat Ahli Sunnah, kecuali dalam posisi menjadikan riwayat-riwayat tersebut sebagai penguat pendapat mereka[3].
Namun demikian, apa yang dilakukan oleh Thusi ini hanyalah merupakan upaya taqrîb dalam tataran pemikiran, adapun dalam tataran praktis –sebagaimana dikisahkan oleh Ibnu Katsir[4] dalam Bidayah wa Nihayahnya- proses rekonsoliasi ini telah dimulai, sejak pasca konflik besar-besaran antara sunnah-syi’ah di Baghdad yang mulai berkecamuk pada tahun 338 H, tepatnya pada tahun 437; pada tahun ini terjadi kesepakatan antara Sunnah dan Syi’ah untuk sama-sama bersatu padu dalam memerangi Yahudi di Baghdad, mereka berhasil merampas rumah-rumah mereka, serta membakar tempat peribadatan lama mereka. Namun rekonsoliasi ini tidak bisa bertahan lama, klonfik antar sekte Ini kemudian meletus kembali pada tahun 439 H.
Lima tahun kemudian rekonsuliasi kembali terjadi, tepatnya pada tahun 442 H, dalam bentuk sebuah kesepakatan bahwa keduanya dibolehkan pergi mengunjungi Masyhad Imam Ali dan Imam Husen, sementara pengikut syi’ah menunjukkan sikap yang positif terhadap para sahabat, serta sholat di dalam Masjid ahli sunnah. Terhadap peristiwa ini Ibnu Katsir mengomentari; “Ini benar-benar peristiwa aneh, tidak akan pernah terjadi jika bukan dalam kerangka taqiyyah”([5]).
Sekali lagi, kesimpulan Ibnu Katsir ini dibenarkan oleh Dr. Al-Qoffari. Alasan yang bisa ditampilkannya adalah bahwa pada tahun 443 H; satu tahun persis setelah peristiwa rekonsoliasi itu, pengikut syi’ah menempelkan papan nama besar bertuliskan: “Muhammad dan Ali adalah sebaik-baik manusia, barangsiapa yang ridha kepada keduanya, maka ia telah bersyukur, barang siapa yang membangkang, maka dia telah kafir/kufur”. Tulisan ini –yang tentu saja mengisyaratkan kafirnya para sahabat- memicu munculnya pertikaian antar dua sekte itu kembali[6].
Rekonsoliasi ketiga terjadi kembali pada tahun 488 H, di daerah al-Karkh, di sini ahlu sunnah dan syi’ah saling mengunjungi, saling berinteraksi, dan saling mengundang makan. Tapi sekali lagi peristiwa ini dikomentari oleh Ibnu Katsir dan Ibn al-Jauzi sebagai sebuah keajaiban([7]), karena dalam rentetan sejarah peristiwa seperti ini jika dibandingkan dengan fenomena konflik yang terus berkepanjangan ibarat kilatan cahaya di tengah-tengah kegelapan malam. Namun sayangnya Ibnu Katsir tidak menganalisa, mengapa fenomena rekonsoliasi ini bisa terjadi.
Dalam tataran pemerintahan, rekonsoliasi ini juga telah dibangun oleh al-Makmun jauh sebelum tahun-tahun diatas. Untuk maksud ini makmun mengangkat Ali Ridho (keturunan Ahli Bait) sebagai wali al-ahd (putra mahkota), karena selain untuk menyedot perlawanan syi’ah terhadap khilafah Bani Umayyah, dalam pandangan al-Makmun; Ali al-Ridha –pada saat itu- merupakan keturunan terbaik ahli al-bait; baik dalam sisi agama maupun keilmuan. Namun kemudian kematian Ali Ridha secara mendadak (203 H) telah membakar fitnah permusuhan ini kembali, karena dalam pandangan para pengikut syi’ah, kematian Ali Ridha adalah akibat ulah al-Makmun dengan cara meracuninya.
Upaya rekonsiliasi sunnah-syi'ah terpenting dan terbesar yang tercatat dalam sejarah –sebagaimana ditulis oleh Muhibbuddin Khotib- adalah Muktamar an-Najf (1156 H), bahkan menurutnya muktamar ini merupakan kejadian satu-satunya dalam sejarah Islam([8]).
Abdullah al-Suweidi([9]), perintis muktamar ini -sebagaimana ditulis oleh putranya, dalam tarikh Baghdad- sebelumnya telah dikenal sebagai ulama’ yang sering melakukan dialog dengan ulama’ syi'ah. Ia dikenal sebagai ahli dalam berdebat (pedebat), argumentasi-argumentasinya tak pernah bisa dipatahkan oleh ulama’ syi'ah.
Muktamar ini dihadiri oleh 70 Mujtahid Syi'ah dari Iran dan Najf (Iraq) dipimpin oleh al-Mula Bisyi Ali Akbar, dan beberapa ulama’ ahlu sunnah: 1 orang dari daerah Ardalan (daerah barat Iran), 7 ulama’ lagi dari Afghanistan dan sebanyak 7 ulama’ dari negara belakang sungai (mâ warâa al-nahr), dan disaksikan oleh lebih dari 70.000 pengunjung yang datang dari penjuru daerah; baik dari keturunan Arab, non Arab maupun Turkistan, sehingga Nadir Syahpun yang saat itu menjadi penguasa tunggal Iran, turut mengikuti jalannya muktamar ini, dan memperhatikan dengan seksama melalui dua orang informen yang masing-masing tidak saling tahu satu sama lain.
Dengan kelihaian dan kecerdasan Abdullah Suweidi yang sangat luar biasa, ia mampu menundukkan para ulama’ syi'ah serta mampu mematahkan seluruh argumentasi yang mereka keluarkan, sehingga keluarlah rekomendasi di akhir muktamar ini sebagai berikut:
1. Bahwa dengan hikmatNYA, Allah telah menurunkan para Rosul secara berturut turut dan ditutup dengan Rasulullah Saw.
2. Bahwa setelah wafatnya Rasul Saw, para sahabat sepakat bahwa sosok terbaik diantara mereka adalah Abu Bakar, sebagaimana mereka sepakat untuk membaiatnya, termasuk Imam Ali. Beliau telah membaiat Abu Bakar dengan kesadaran pribadinya dan bukan karena paksaan. Mereka (para sahabat) dipuji oleh Allah sebagai as-sabiqun al-awwalun, dan telah mendapat ridha dariNya. Lalu Abu Bakar menawarkan kepada umat Islam Umar bin Khottab sebagai alternatif khilafah setelahnya, merekapun lalu membaitnya, lalu umar menjadikan baiat setelahnya syura untuk 6 orang sahabat, dan dipilihlah Utsman bin Affan, setelah Utsman Ra mati syahid para sahabat kembali sepakat untuk memilih Imam Ali sebagi kholifah.
3. Keempat sahabat tersebut merupakan para sahabat agung yang bersatu dalam tempat, zaman yang satu, tidak pernah terjadi perselisihan serta konflik antara mereka.
4. Bahwa Nadir Syah telah meletakkan keutamaan dan tertib mereka dalam khilafat seperti tersebut diatas, barang siapa yang menghina atau mengurangi hak mereka maka harta, anak, keluarga, serta darahnya menjadi halal, serta akan mendapat kutukan dari Allah, para Malaikat dan seluruh manusia.
Mulai saat itu tidak pernah ada lagi kutukan, hinaan serta cercaan terhadap para sahabat di seluruh daerah Iran, bahkan Nadir syah sendiri meninggalkan paham syiah yang ia anut untuk kemudian beralih ke paham sunnah. Namun demikian tidak diketahui sampai kapan kondisi ini berlangsung, karena dalam kenyataannya, mayoritas hubungan syi'ah-sunnah sepanjang sejarah (selain peristiwa-peristiwa diatas) selalu dipenuhi oleh kondisi disharmonis, konflik, bahkan konfrontasi berdarah.
Memasuki abad dua puluh, upaya rekonsoliasi kembali ditempuh oleh para tokoh dan ulama’ kedua belah fihak, baik dalam sekala lembaga (seperti yang pernah dilakukan oleh Jama’ah al-Ukhuwwah al-Islamiyah (dirintis oleh Muhammad Hasan al-a’dhami di mesir 1937 M, lalu dipindah ke Karachi tahun 1948 M), dan Dar al-Taqrîb baina al-madzahib al-Islamiyah (dirintis oleh Muhammad Taqi al-Qummi 1364 H di Kairo pada masa syeikh Syaltut), Dar al-Inshaf (didirikan tahun 1366 di Mesir) maupun oleh perorangan. (seperti dari Sunnah oleh Muhammad Abduh, Rasyid Ridla, Musthofa Siba’I, dan Musa Jarullah, dan dari Syi’ah oleh Muhammad al-Kholisi (tokoh syi'ah Iraq), Abdul Husen Syaraf al-Musawi (1290-1377 H, lahir di Kadhimiyah dan meninggal di Bairut), serta Ahmad al-Kasrawi (lahir di kota tibriz Iran, meninggal 1324 H). Namun pada akhirnya upaya-upaya rekonsoliasi seperti tersebut diatas berakhir dengan kegagalan, pertanyaan yang secara spontanitas berkecamuk di benak mayoritas peneliti adalah: mengapa gagal?.

Masa depan rekonsoliasi
Syu’bah asa mencoba memberikan jawaban atas pertanyaan diatas, seraya menaruh keputus asaan yang mendalam akan masa depan rekonsoliasi ini. Menurutnya terdapat 6 penghalang dihadapan proses rekonsiliasi yang menjadi cita-cita banyak kalangan[10]:
1. Kenyataan bahwa kedua dunia, Ahlu Sunnah dan syi'ah baru bertemu kembali, hal ini sangat layak menyebabkan keterkejutan, jika beberapa hal ternyata berbeda dari yang selama ini diasumsikan, sementara asumsi sebagaian fihak bahwa dengan berlalunya waktu akan menyebabkan kemenyatuan yang luruh nanpaknya tidak bisa dibenarkan, hal ini setidaknya disebabkan oleh fakta kedua yaitu:
2. Adanya perbedaan-perbedaan yang sangat mendasar tentang beberapa hal terutama tentang otentisitas al-Quran, setidaknya perbedaan metodologi tafsir dimana methodology syi'ah sangat kental dengan nuansa “batin”nya, munculnya penciptaan hadits para imam yang secara otomatis juga menjadi sumber hukum, legitimasi yang sangat tinggi terhadap mujtahid resmi (yang masih hidup) untuk mengantikan ijtihad-ijtihad yang dipandang tidak relevan lagi. Perbedaan-perbedaan mendasar yang tentunya tidak dengan mudah dapat dikatakan hanya sekedar perbedaan ijtihad fiqhiyah, atau secara kongkritnya seperti perbedaan antara NU dan Muhammadiyah.
3. Di sisi lain, kita mendapati penghujatan, pengkafiran dan penghinaan para sahabat masih merupakan bagian dari hadits-hadits khas mereka dan bagian dari etos dendam dari tradisi syi'ah yang masih sangat kental, atau etos paradiqma pembagian dunia para sahabat menjadi dua: 1. putih yaitu Imam Ali dan keluarga serta keturunannya, yang dalam alam hayalan mereka ibarat pendawa dalam pewayangan. 2. hitam di pimpin oleh Abu Bakar dan seterusnya, mereka ibarat korawa dalam pewayangan yang jumlahnya jauh lebih banyak.
4. Mutlaknya tuntutan pemerintahan pada syi'ah, kuatnya tuntutan ini disebabkan –diantaranya- oleh karena al-Imamah merupakan bagian dari rukun Iman.
5. Dampak kawin mut’ah di kalangan muda-mudi yang semakin meluas, ini menyebabkan kegelisahan bagi para orang tua, bahkan di beberapa tempat kawin mut’ah dijadikan alternatif bagi praktek perzinaan yang jelas-jelas diharamkan oleh agama.
6. Sifat eksklusif syi'ah dengan menyebut “Islam syi'ah” dan bukan “Islam”. Padahal tatkala revolusi digulirkan syi’ar yang didengung-dengungka selalu adalah “Islamiyah Islamiyah”.
Argumentasi-argumentasi yang disampaikan oleh Syu’bah Asa, memang menemukan kredibelitasnya, namun -menurut penulis-, itu tidak berarti menjadikan kemungkinan proses rekonsoliasi itu menjadi mustahil sama sekali. Keterkejutan yang sedang dialami oleh kedua belah fihak –-sebagaimana di dukung oleh pernyataan Syu’bah Asa sendiri--, tidak menafikan secara mutlak kemungkinan rekonsoliasi.
Karena dalam hal perbedaan-perbedaan yang dinilai –syu’bah asa sebagai sangat prinsipil-, kini sebagian telah mengalami evolusi. Beberapa pemikir syi’ah kontemporer sedikit banyak telah mengalami perubahan ke arah moderasi. Dalam masalah sikap terhadap otentisitas al-Qur’an misalnya, telah terjadi pergeseran sikap dari ekstrimitas menuju moderasi; dimana mayoritas para pemikir “tren kontemporer” syi’ah tidak lagi menganut faham “tahrif al-Qur’an”, sebagaimana pada pendahulu mereka “tren klasik”. Kasus “kawin mut’ah” sebagai mana yang telah dibuktikan oleh Sharla Haery dalam penelitiannya yang berjudul (Kawin Mut’ah dan inprovisasi Budaya), juga telah mengalami reformasi ke arah moderasi; dimana sebagian besar kalangan menengah ke atas di Iran (terutama wanita), tidak lagi menganggap mut’ah sebagai sarana pendekatan diri kepada Allah. Bahkan telah muncul tren pemikiran dikalangan wanita Iran yang menganggap bahwa mut’ah merupakan prostitusi terselubung. Demikian pula dengan sikap mereka terhadap para sahabat, walapun mayoritas mutlak masih berpegang teguh pada tren klasik, hanya saja telah ada perubahan ke arah moderasi (pada sebagian ulama’). Perubahan paling konkrit yang dapat kita saksikan adalah perubahan yang terjadi pada konsep Imamah dari “Nash wa al-Washiyah menuju Wilayat Faqih), di tangan para reformis dari masa Ahmad bin Muhammad al-Niraqi sampai Al-Khumaini, padahal konsep ini merupakan inti bahkan poros bangunan sekte ini.
Ini menunjukkan bahwa perubahan pemikiran dalam diri syiah itu mungkin dan bahkan kongkrit, dan munculnya gerakan reformasi dalam tubuh syi’ah –saat ini- juga merupakan fenomena yang konkret. Hanya saja masalah terberat yang kita hadapi adalah: apakah fenomena ini merupakan bagian dari trik-trik taqiyyah untuk menjaring simpati pengikut Ahlu Sunnah (seperti yang disimpulkan oleh Ibnu Katrsir, Ibnu Jauzi dan kemudian ditandaskan oleh Dr. Al-Qaffari, sebagaimana tersebut diatas) atau merupakan perubahan yang sebenarnya?.
Kekhawatiran para pemikir ahlu as-sunnah memang sangat beralasan, sebab sejarahpun telah berbicara demikian, bukankah dari sejarah kita harus mengaca hingga tidak terjebak dalam lobang kedua kali, tiga kali, atau bahkan berkali-kali karena kebodohan kita.
Namun demikian, apa tidak mungkin perubahan ini dapat dimanfaatkan oleh Ahlu as-sunnah untuk menciptakan satu kekuatan baru di dalam tubuh syi’ah yang kemudian dijadikan praizer (penekan) terhadap kelompok ekstrem, seperti yang dicontohkan oleh Abdullah al-Suweidi?.
Jika pertanyaan ini dapat dijawab dengan “Ya” maka, perubahan ini, tidak kemudian disikapi dengan antipati mutlak (sebagai bagian dari trik trik taqiyyah yang mesti berakhir dengan kemalangan Ahlu as-sunnah), tapi malah harus dijadikan celah untuk melakukan reformasi terhadap faham syi’ah yang menurut Dr. Musa al-Musawi memang telah dimasuki oleh ektrimitas[11].
Jika rekonsoliasi yang diinginkan bukan merupakan proses cooling down dari Ahli sunnah terhadap masalah-masalah yang telah dianggap prinsipil oleh konsisus ulama’ ahlu sunnah, namum sebaliknya, yaitu upaya untuk terus menggiring Syi’ah dari ekstrimitas menuju moderasi, maka apa yang telah di praktekkan terutama oleh Abdullah Al-Suweidi, dan beberapa ulama’ sunnah lainnya –sebagaimana telah disebutkan dimuka-, layak dijadikan pedoman dalam melakuan rekonsiliasi yang diharapkan.
Tapi itu tidak berarti bahwa ahli sunnah tidak melakukan proses cooling down sama sekali. Bagaimanapun juga, proses rekonsoliasi menuntut adanya cooling down dari kedua belah fihak, maka sebagai mana ada tuntutan kepada syi’ah untuk melakukan proses moderasi, selayaknya ahlu sunnah dapat melakukan hal yang sama –tentunya dalam masalah-masalah yang tidak dianggap prinsipil secara konsensus-.
Untuk itu ada langkah-langkah serius yang patut diambil dalam rangka rekonsoliasi ini yang terangkum dalam point-point sebagai berikut:
1. Langkah pertama adalah upaya untuk menghindari “perang pengkafiran” secara bergantian, kecuali yang jelas-jelas bertentangan dengan konsesus ulama dalam “masalah-masalah agama yang telah diketahui secara aksioma”, bangga dengan kesalahan, dan tidak lagi tunduk dengan logika kebenaran dan kebenaran logika.
2. Langkah kedua adalah pengakuan terhadap eksistensi masing-masing kelompok, ini bisa dilanjutkan dengan mengusulkan, kepada masing-masing negara dengan mayoritas tertentu untuk mejamin keleluasaan minoritas (dalam undang-undang) untuk melaksanakan ajaran dan ritual faham dalam lingkungan mereka, dengan syarat tidak berantusias untuk menebarkan fahamnya diluar lingkungan mereka sampai dalam batas menciptaan keresahan dikalangan masyarakat mayoritas –seperti yang akan disebutkan dalam poin berikut). Lontaran ini muncul karena baik syi’ah maupun sunnah telah memiliki negara masing-msing, pelarangan satu kelompok terhadap yang lain akan mengakibatkan terjadinya konflik abadi, di sini minoritas pada masing-masing negara akan menjadi korban dari kebijakan ini.
3. Langkah berikutnya adalah mengembangkan etika berselisih, dengan memberikan hak setiap kelompok untuk menjelaskan kebenaran kelompok yang dianutnya, serta mengkritik kesalahan-kesalahan yang terjadi pada kelompok lain, dengan menggunakan argumentasi-argumentasi yang kuat dan benar, berasaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta logika yang benar. Tanpa harus mencela pengusung ide, tapi kritik tersebut diarahkan kepada ide yang dianggap sebagai obyek kritiknya. Semua itu dilakukan dengan menjunjung tinggi (adab al-ikhtilâh) etika dalam berbeda.
4. masih dalam kerangka ini, mulai dihindarkan upaya pendiskriditan para shahabat, penfasikan, apalagi pengkafiran mereka, karena mereka merupakan generasi yang telah menemui Tuhan mereka, dengan amal yang telah mereka lakukan, maka –sebagaimana yang disampaikan oleh Umar bin Abdu al-Aziz-: ”Tangan kita telah diselamatkan oleh Allah dari ceceran darah mereka, maka selayaknya kita tidak mengotori lidah kita (dengn penghinaan, pelecehan, penfasikan dan pengkafiran)”.
5. Namun demikian, langkah selanjutnya adalah memberikan hak advokasi kepada masing-masing kelompok dengan memberikan hak untuk melakukan upaya pelarangan terhadap kelompok lain, jika memang telah terbukti –berdasarkan kajian ilmiah yang serius-, bahwa kelompok yang dimaksud benar-benar telah meresahkan masyarakat, atau bahkan menyebabkan kondisi masyarakat (keamanan maupun social) mengalami chaos, dalam kondisi ini, proses pelarangan itu tidak bisa dianggap sebagai upaya fanatisme dan diskriminasi kelompok tertentu, namun masuk dalam kategori memelihari dan menjaga eksistensi masyarakat dari kondisi, asalkan semuanya itu dilakukan sesuai prosedur hokum yang berlaku di masyarakat tersebut.
6. Selayaknya masing-masing kelompok tidak berantusias (tama’), untuk menebarkan atau mendakwahkan fahamnya dikalangan umat Islam yang mayoritas telah memilih corak pemahaman, atau kelompok tertentu, dengan demikian kedutaan-kedutaan yang ada tidak difungsikan sebagai basis penyebaran ide mereka. Fungsi kedutaan hendaknya hanya difakuskan pada pembinaan hubungan diplomatik antar negara (dalam masalah politik dan ekonomi social; seperti: kesehatan, pendidikan, iptek, olah raga, seni dll), maka sasaran penyebaran faham-faham tersebut bisa diarahkan ke daerah-daerah minus yang belum memeluk Islam (musyrik/kafir), ateis, daerah pedalaman yang belum memiliki agama, sosialis, materealis dll).
7. Dalam tataran nasional kesepakatan ini diupayakan oleh salah satu lembaga negara yang menangani masalah-masalah agama. Sementara dalam tataran internasional ditangani oleh lembaga islam internasional, yang sekaligus lembaga-lembaga bersangkutan menjadi mediator dengan meletakkan butir-butir kesepakatan kedua belah fihak serta mengawasi jalannya proses tersebut, termasuk di dalamnya menindak tegas fihak yang melanggar kesepakatan yang telah digariskan.

Dengan poin-poin diatas, diharapkan Umat lebih berkonsentrasi kepada pembenahan diri, dan tidak disibukkan oleh konflik interen yang pada akhirnya hanya akan menguras tenaga Umat sementara, musuh-musuh Islam -dengan kemajuannya- telah melesat jauh meninggalkan kita yang terus-menerus berkubang pada kesalahan terhadap diri sendiri.
[1] Muhammad Abu Zahrah, Al-Imam As-Shadiq, Bairut, Dar Fikr al-Arabi, hal 464.
[2] Mahmud Basyuni Muhammad Faudah, Al-Thabarsi Mufassiran, (Disertasi Doctoral belum dipublikasikan), hal 10.
[3] Masalah Taqrib Baina Ahli As-Sunnah wa As-Syi’ah, Nashir Abdullah bin Ali al-Qaffari, Dar Thiba, Riyadh, Cet 6, hal. 149.
([4]) Bidayah Wa an-nihayah, Ibnu Katsir: 11/221.
([5]) Bidayah Wa an-nihayah, Ibnu Katsir: 12/54-56.
([6]) Al-Qaffari, hal 2/151
([7]) Ibid, hal: 12/149.
([8]) Kisah muktamar ini terekam dalam catatan seorang ulama’ Iraq; Abdullah bin Husain bin Mar’I bin Nashiruddin al-Dauri al-Suweidi (1104-1174 H) (al-Nafhah al-maskiah ti rihlah al-makkiah), dan buku anaknya: Abdurrahman bin Abdullah al-Suwedi (Hadaiq al-zauro’ fi sirat al-wuzara’ atau sering disebut dengan “Tarikh Baghdad”), oleh Ustadz Muhibbuddin Khotib diterbitkan dengan judul “Muktamar Najf” yang sebelumnya ia ulas dalam majalah “al-Fath” dengan judul yang sangat bombastis: “A’dham muktamar fi tarikh al-muslimin littafahum baina al-syi’ah wa ahli sunnah al-muhammadiyyah”.
([9]) Tentang kehebatan Suweidi Ini Mahmud Syukri al-Alusi menulis:
“sosok yang satu ini memang mempunyai kelebihan yang tak terbatas, entah betapa tinggi perannya dalam mempertahankan kebenaran ajaran ahli sunnah, terutama saat Nadir Syah datang ke Iraq dengan membonceng orang-orang luar (yang terkenal dengan ahli nifaq dan pengadu domba), saat itu para utusan syah berdebat hebat dengan Ahmad Basya; gubernur baghdad, demikian perdebatan itu terus berlanjut melewati utusan-utusan yang terus bergantian, sampai akhirnya Syah turun tangan dengan mengeluarkan keputusan untuk menetapkan madzhab Syi'ah imamiyah itsna asyariah sebagai madzhab resmi serta menolak madzhab sunnah, mendengar ini gubernur Baghdad (Ahmad Basya) mengutus Abdullah Suweidi untuk berdebat dengan para ulama’ syi'ah, dengan kepiawaiannya ia bisa menundukkan saingan debatnya serta meluruskan kesesatan-kesesatan mereka, sehingga akhirnya Nadir Syah beralih haluan dari Syi'i menjadi Sunni, disamping secara otomatis ia berhasil menyelamatkan ratusan nyawa akibat fanatisme kelompok ini”. (al-maslak al-adzfar, Mahmud Syukri al-alusi, dikutip dari “Masalatu al-Taqrîb baina ahli al-sunnah wa al-Syi'ah”, Nashiruddin al-Qofari, Dar Tibah li annasyr wa al-tauzi’, Riyadh 1420 H , hal 104-106).
[10] Mengapa kita menolak Si’ah,
[11] Lihat Syi’ah wa at-Tashih,

11.23.2008

SERIAL PARA PIONER UMMAT (2)


MALIK BIN ANAS;
Imam Para Imam dan Bintang para Ulama’


Mukaddimah
Imam Malik merupakan Imam kedua dari keempat Imam fikih yang tersohor, diantara keempat Imam fikih ini dia paling terkenal, karena kota Madinah Al-Munawwarah –tempat dimana beliau tinggal- menjadi faktor paling dominan dalam mempromosikan dirinya dan madzhabnya. Disamping karena kedekatan dengan Rasulullah Saw. Para Penuntuk ilmu merasakan kebahagiaan yang tiada tara ketika bisa mengikuti pelajaran-pelajaran yang disampaikan oleh Imam Malik, maka tidak mengherankan jika mereka sangat berantusias untuk menggali ilmu darinya. Saat mereka telah kembali kenegeri masing-masing, mereka menyebarkan fatwa dan apa yang mereka serap darinya, seakan mereka menjadi duta-duta ke daerah-daerah terpencil tersebut.
Imam Malik R.a sangat menguasai ilmu hadits dan fikih, lebih dari seratus syeikh Madinah terkemuka –yang telah beliau seleksi dan ridhai- belajar kepadanya, ciri utamanya adalah keikhlasan dalam menjalankan segala aktifitas, sehingga dapat mengerjakan dengan optimal (profesional), maka Allah memberinya taufik serta memberkahi seluruh yang ia minta. Karena sebab inilah kedudukannya menjadi besar, dan namanya menjadi tersohor, beliau bisa melampaui seluruh ahli zamannya, sehingga orang-orang menamainya “Alim Madinah” dan “Imam Ahli Al-Hijrah”. Informasi tentang beliau akhirnya menyebar keseluruh pelosok negeri, karenanya orang –dari berbagai negeri- berbondong-bondong datang kepadanya. Semoga Allah merahmati dan meridhainya.

Perjalanan sang kakek yang diberkahi
Perjalanan yang dimaksud adalah dari Yaman menuju Madinah al-Munawwarah dimana Malik bin Amir bin Umar –kakek Imam Malik- kemudian menetap. Ini benar-benar perjalanan al-Mubarakah (yang diberkahi oleh Allah), karena jika bukan karena perjalanan ini, maka beliau tidak akan sampai kepada posisi sekarang ini, juga kita tidak akan mendengar tentang Imam Malik. Beliau akan seperti puluhan para jenius lain yang dilahirkan di tempat yang jauh dari tempat yang dapat mengantarkannya untuk meraih prestasi hidupnya, dan yang pasti beliau akan dilahirkan dan dibesarkan di negeri Yaman yang jauh dari kota Madinah al-Munawwarah.
Maka perjalanan ini sungguh merupakan taufik dari Allah untuk Imam Malik, Taufik Allah adalah hal yang besar yang tidak diberikan kecuali kepada orang besar, maka tidak diragukan lagi bahwa hijrah ini pada kenyataannya selain merupakan proses untuk menyingkap kejeniusan Imam, agar Umat Islam bisa mengambil manfaat dari ilmunya, juga untuk menyingkap kelebihan-kelebihan yang dimilikinya.
Di Madinah, Malik bin Abi Amir telah melakukan hal besar, yang tidak mungkin dilakukan kecuali oleh orang besar, diantaranya: ikut serta dalam menulis ulang Al-Qur’an pada zaman khalifah Utsman bin Affarn R.a.
Momen yang tepat juga mendukungnya untuk ikut serta berada di sisi khalifah Utsman bin Affan dan mempertahankan beliau saat terjadi pemberontakan, namun para pemberontak berhasil menembus pertahanannya sehingga khalifah Utsan berhasil dibunuh, pada saat itupun ia masih sempat untuk ikut serta dalam mengusung jenazah khalifah serta menguburkannya.
Tampaknya Allah memberi taufik terhadap segala aktifitasnya, sehingga pada akhirnya beliau dan anak-anaknya menetap dan menjadi bagian dari penduduk kota Madinah al-Munawwarah yang penuh barakah itu.

Keluarga Malik di Madinah al-Munawwarah
Setelah keluarga Malik bin Abi Amir menetap di Madinah, lupa bahwa mereka berasal dari Yaman, sehingga tidak pernah berfikir lagi untuk kembali ke sama. Ketika Malik –sang kakek- wafat beliau meninggalkan empat orang anak: Uwais, Nafi’, ar-Rabi’, dan Anas (ayah Imam Malik). Para perawi hadits telah meriwayatkan beberapa hadits dari Bapaknya Malik bin Abi Amir yang merupakan salah seorang ulama’ tabi’in.
Sementara Anas (ayah Imam Malik) adalah seorang pengrajin yang membuat kerajinan tangan berupa an-nibal, sekaligus menjadi mata pencahariannya dan keluarganya. Namun demikian sang ayah berkeinginan keras agas putranya Anak tumbuh dan menempuh jalur keilmuan.
Setelah menginjak dewasa Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amru menikah dengan seorang putri bernama Aliyah binti Syuraik bin Abdi ar-rahman, dari kabilah Qahthaniyah Azdiyah, yang asalnya juga dari Yaman.
Tak lama kemudian istrinya mengandung, lalu melahirkan seorang laki-laki yang mereka namakan Malik; mengikuti nama kakeknya. Ibu Imam Malik ini tergolong wanita yang cerdas, dia merawat dan menjaga putranya dengan penuh perhatian, akhirnya sang anak tumbuh sedikit demi sedikit denga sehat.
Beliau termasuk Ibu yang saleh, ini dapat kita lihat dari cara mendidik putranya Malik bin Anas pada saat ia masih kecil. Dari pendidikan dan pengarahan yang dia berikan, dia berhasil membawa anaknya untuk menempuh jalan ilmu, walau terlahir dari keluarga pengrajin, sehingga ia juga berhasil mengarahkan putranya Anas untuk menperdalam hadits Rasulullah Saw dan fikih, dengan cara berantusias untuk mengambil ilmu dan pelajaran dari ulama’-ulama terkemuka.

Malik Cucu
Malik dilahirkan pada tahun 93 H. di daerah Dhi al-marwah; agak jauh dari Kota Madinah, lalu pindah ke Wadi al-Aqiq; dekat dengan kota Madinah. Kedua Kota ini terkenal dengan keindahan alamnya, mata air dan kebun korma serta daerah pertanian.
Ia dilahirkan dilingkungan keluarga yang sedang; tidak “subur” juga tidak “tandus”, ia berkembang tahun demi tahun. Disamping itu ia sangat tanpan, putih sekali hampir syukrah. Sehingga orang suka berkata: “Belum pernah terlihat seorang bocah setanpan, seputih dan semerah wajah Malik”.
Fisiknya juga sangat sehat, umurnya tergolong panjang, padahal ia banyak menghadapi kehidupan yang sangat sulit, dan kondisi yang sering kali keras.
Saat masih berada di Wadi al-aqiq, ia tinggal bersama ayah dan ibunya, serta selalu menyertai saudaranya Nadhr kemana saja pergi, sehingga pada masa kanak-kanaknya itu ia sering dijuluki: “Malik saudara Nadhr”; karena Nadhr adalah seorang pedagang kain (sutera), dan Malik -walaupun masih sangat kecil- dia sudah belajar menjadi pedagang (al-buzzu) sejenis kain juga, maka dengan demikian ia telah mengikuti jejak saudaranya. Namun demikian pekerjaan ini tidak menghalanginya untuk pergi ke majlis ilmu; belajar fikih kepada seorang faqih yang bernama Alqamah bin Abi Alqamah al-Madani; faqih ini memiliki ruangan (kantor) dimana ia bisa mengajar Tahfidz Al-Qur’an, disamping bahasa Arab dan cabang-cabangnya seperti ilmu nahwu, ilmu arudh, syair dan lain sebagainya.
Malik kecil juga memiliki hobi lain, dimana ayahnya selalu mencoba untuk menjauhkannya, agar ia bisa lebih berkonsentrasi dalam menuntut ilmu, fikih dan hadits. Pada suatu hari ayahnya melontarkan pertanyaan kepada Malik dan kakaknya, ternyata kakaknya bisa menjawab dengan benar, sementara jawabannya salah, maka ayahnya lalu berkata: “Hobi kamu bermain dengan burung-burung itu yang telah melalaika kamu dari ilmu”. Perkataan ini membuatnya marah, sekaligus melecutnya untuk terus berkonsentrasi dalam menperdalam ilmu.

Guru Imam Malik
Ibunda Imam malik sangat beringinan agar putranya memperdalam ilmu fikih, untuk itu ibunda mengirimkannya kepada salah seorang syeikh yang bernama Rabi’ah bin Abi Abdurrahman, tatkala itu beliau berwasiat kepada aanaknya: “Belajarlah darinya sopan santunnya (akhlak) sebelum belajar ilmu”; dimana saat itu kualitas keilmuan dan akhlak Rabi’ah sangat tersohor seantero Madinah. Maka Malik kecil dengan rajin pergi ke halaqah Rabi’ah, dan setiap kali beliau melihat Malik datang selalu berkata: “Si jenius datang”.
Ternyata halaqah syeikh Rabi’ah ini dihadiri oleh sejumlah para ulama’ dan intelek, serta para pejabat negara, seperti gubernur Madinah, syeikh Bani Hasyim bin al-Hasan bin Zaid bin al-Hasan bin Ali; ayahanda sayyidah Nafisah dan ulama’-ulama’ lainnya.
Pada saat itu tidak ada seorang ulama'pun yang lebih pandai dari Rabi’ah, dan tidak ada seorang yang lebih dermawan darinya; baik kepada kawan maupun kepada lainnya, sampai pernah tercatat bahwa ia membantu teman-temannya sebanyak 40.000 dirham.
Malik sangat mengagumi gurunya syeikh Rabi’ah, terbukti ia selalu memujinya. “Telah sirna manisnya fikih semenjak syeikh Rabi’ah wafat” begitu ia selalu berkata.
Syeikh Imam Malik lainnya adalah Imam Nafi’ maula (hamba) Abdullah bin Umar, yang dikenal sebagai perawi yang masuk dalam daftar: “Silsilah dzahabiyah” atau rantai emas; yaitu riwayat hadits dari Syafi’I dari Malik dari Nafi’ dari Ibnu Umar dari Umar bin Khattab.
Imam malik selalu menyertai Imam nafi’, untuk mendapatkan riwayat hadits darinya, ia selalu memperhatikan gerak gerik gurunya; baik saat beliau masuk maupun keluar, agar dapat bertanya kepadanya. Imam Nafi’ sangat menyenangi Imam Malik sehingga ia selalu mengajaknya untuk duduk bersama yang kemudian meriwayatkan kepadanya banyak hadits.
Imam Malik selalu mencari akal agar bisa menyindiri bersama dengan Imam Nafi’, maka ia sering menuntunnya –karena beliau buta- untuk diajak kerumahnya di baqi’ yang jauh dari Madinah, agar ia bisa belajar kepadanya sendirian. Itulah rahasianya mengapa dalam muwattha’ banyak riwayat hadits yang berasal darinya. Bahkan ia selalu mengecek kebenaran yang ia tulis dalam muwattha’ tersebut kepadanya sampai beliau wafat tahun 147 H.
Imam Malik juga banyak mengambil ilmu dari Syeikh Ibnu Hurmuz Abdullah bin Zaid. Selama beberapa tahun Imam Malik berhenti belajar kepada beliau, namun ia segera meneruskan kembali hingga syeikh ini wafat pada tahun 148 H.
Ada cerita menyebutkan bahwa tatkala ada suara ketukan pintu, Ibnu Hurmuz berkata kepada pembantunya: “Siapa yang mengetuk pintu?”. “Imam Malik” kata pembantunya. Syeikhpun berkata: “Suruh dia masuk, karena dia itu orang yang paling alim”.
Syeikh lain Imam Malik adalah Ibnu Syihabuddin az-Zuhri, beliau terkadang pergi ke Syam, namun saat kembali ke Madinah, pintu rumahnya selalu dipenuhi oleh halayak ramai. Dalam hal ini Imam Malik berkata: “Kita sering berdesak-desakan di tangga pintu rumah beliau” … lalu Imam Malik masuk rumah gurunya itu maka ia meriwayatkan hadits kepadanya. Imam Malik lalu berkata: “Tambah lagi ya syeikh”, kalau sudah begitu Ibnu Syihab mengambil lauh (batu tulis) dari tangannya, lalu berkata: “Bacalah kepadaku hadits”, lalu Malik membacakan hadits yang diajarkan gurunya kepadanya, di saat itu Ibnu Syihab berkata: “Sudah pergilah, kamu telah menjadi penampung bagi ilmu”.
Imam Zuhri memiliki kedudukan yang tinggi dalam periwayatan hadits dari Rasulullah Saw, beliau juga memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap pembentukan pemikiran Imam Malik, ini dapat dilihat dari besarnya riwayat beliau yang dimuat oleh Imam Malik dalam Muwattha’nya, yaitu sebesar 132 hadits.
Ibnu Syihab pernah melontarkan pertanyaan dan dijawab oleh syeikh Rabi’ah, sementara Imam Malik diam. “Mengapa kamu tidak menjawab?” tanya Ibnu Syihab kepada Imam Malik. Ia menjawab: “Sudah dijawab oleh gurukami”. “coba jawablah pertenyaan itu wahai Malik!” perintah Ibnu Syihab. Lalu Malik menjawab dengan jawaban yang berbeda dengan jawaban Rabi’ah. Lalu Ibnu Syihab berkata: “Peganglah jawaban Malik!”.
Muhammad bin al-Munkadir yang merupakan tokoh para fuqaha’; baik dalam sisi keilmuan maupun akhlak, juga merupakan salah satu guru Imam Malik, beliau merupakan pelopor dalam bidang qiraat, disamping itu merupakan seorang hamba yang zuhud. Dia berkata: “Aku menahan nafsuku selama 40 tahun hingga menjadi lurus”. Malik berkata: “Ketika hatiku sedang mengeras, aku mendatangi Ibnu al-munkadir, lalu aku melihat wajahnya sejenak, maka aku mampu membenci nafsuku berhari-hari”. Beliau termasuk salah satu ulama’ yang turut serta mendidik dan mengajar Imam Malik, sesuai dengan apa yang telah diajarkan para Imam sebelumnya, yang telah menghabiskan umurnya untuk mempersembahkan yang terbaik bagi manusia.
Banyak orang bertanya kepadanya tentang perbuatan yang paling utama?, ia menjawab: “Memasukkan kebahagiaan kedalam hati seorang mukmin”. Mereka juga bertanya: hal-hal duniawi apa yang paling engkau senangi?. Ia menjawab: “Mendahulukan teman”.
Imam Malik telah mengambil cukup banyak ilmu dari Ibnu al-munkadir, dan meriwayatkan darinya dalam muwattha’nya banyak hadits, dari sini dapat disimpulkan bahwa Ibnu al-munkadir merupakan syeikh (guru) terpenting Imam Malik.
Imam Malik termasuk cepat dalam menghafal, banyak mencatat (menulis). Dalam hal ini ia berkata: “Disaat banyak hafalan orang telah lenyap, semantara tidak ada satu pengetahuanpun yang saya simpan lalu aku lupa”.
Ibnu Syihab telah meriwayatkan lebih dari empat puluh hadits kepada Imam Malik, lalu ia hafal seluruhnya, karena lupa ia minta kepada Ibnu Syihab untuk mengulanginya, tapi Ibnu Syihab menolak, maka Imam Malik mengulangi seperti yang Telah diriwayatkan.
Walaupun telah disebutkan di muka beberapa nama ulama’ yang telah didatangi oleh Imam Malik sebagai guru, namun yang perlu diingat adalah bahwa Imam Malik tidak meninggalkan seorang tabi’in dan tabi’ittabi’in kecuali ia datangi untuk menimba fikih dan periwayatan hadits. Maka seluruh kehidupannya merupakan proses maengambil manfaat sebanyak mungkin lalu memberi manfaat kepada orang lain. Untuk itu ia berusaha mengambil ilmu sebanyak-banyaknya dari ulama’-ulama yang ia datangi, di sisi lain iapun banyak mengajar orang lain. Jadi kehidupannya hanya diisi dengan belajar dan mengajar, sehingga orang-orang mengatakan: “Ia telah memulai mengajar semenjak umurnya tujuh belas tahun”.

Malik; Guru dan Teladan
Ketika tuju puluh syeikh Masjid Nabawi telah mengizinkan Imam Malik mengajar di Masjid Nabawi, maka resmilah ia menjadi seorang syeikh diantara syeikh-syeikh lain di Masjid Nabawi dan layak untuk mengajarkan fikih serta menyampaikan hadits Rasulullah Saw., Imam Malik dikenal pendiam; tidak banyak bicara. Beliau selalu berkata: “Seorang Muslim selayaknya tidak banyak bicara kecuali ia menguasai permasalahan tersebut”. Ia juga berkata: “Tidak akan beres urusan seseorang kecuali jika ia meninggalkan sesuatu yang tidak berguna, serta menyibukkan diri dengan sesuatu yang berguna, apabila sudah demikian, maka Allah akan membukakan pintu hatinya untukNya”.
Imam Malik sangat mengagungkan fikih dan hadits, apabila ditanya oleh seseorang di jalan tentang masalah fikih, ia berkata kepada penanya: “Fikih memiliki kehormatan; yang menghalangi jawaban”.
Suatu hari Imam Malik berjalan bersama salah seorang muridnya menuju daerah al-Aqiq, ditengah jalan muridnya bertanya tentang hadits Rasulullah Saw. maka beliau marah dan berkata: “Menurutku engkau lebih besar untuk bertanya tentang hadits Rasulullah Saw. saat kita sedang berjalan”.
Jika beliau berjalan menuju masjid untuk bertemu dengan murid-muridnya dan menyampaikan pelajaran, beliau duduk diantara minbar dan makam (Rasulullah Saw), lalu membacakan hadits Rasulullah Saw yang berbunyi: “Antara rumahku (Rasulullah Saw) dan minbarku adalah taman, diantara taman-taman surga”[1].
Beliau duduk ditempat dima Rasulullah Saw meletakkan kasurnya saat beri’tikaf, juga tempat Umar bin Al-Khathab serta para Sahabat R.a yang agung. Apabila beliau telah duduk, maka majlisnya dipenuhi dengan ketenangan, kewibawaan dan kesabaran, apabila ada yang bertanya, maka dengan suara yang rendah tidak mengangkat suara, maka beliau menjawab dengan jawaban yang sangat ilmiah, tidak ada seorangpun kemudian mengatakan darimana pendapat ini Anda ambil?. Terkadang dia tidak menjawab beberapa pertanyaan karena beberapa sebab, maka tidak ada seorangpun yang menggugatnya, karena wibawanya.
Apabila ada orang asing (datang dari jauh) untuk bertanya tentang satu atau dua hadits, dia langsung menjawabnya, kelompok perkelompok, terkadang mengizinkan beberapa orang, maka dia membaca untuk mereka. Dalam majlis ini dia tidak memberikan tempat khusus kepada orang tertentu setinggi apapun derajatnya dan jabatannya, namun semuanya harus duduk dimana majlis itu berakhir.
Sebenarnya beliau tidak menghususkan masjid sebagai satu-satunya tempat mengajar, namun rumah beliau selalu terbuka untuk tanya-jawab, biasanya murid-murid yang hendak bertanya berkumpul di halaman rumahnya, pada saat itu seorang jariyah (pembantu) keluar dan bertanya kepada mereka: “Syeikh berkata: Apakah Anda ingin bertanya tentang masalah fikik atau masalah hadits?”, apabila mereka berkata: “kami ingin bertanya tentang masalah-masalah yang kami hadapi”, maka beliau keluar lalu memberikan fatwa. Apabila mereka berkata: “kami ingin bertanya tentang hadits”, maka beliau masuk untuk berwudhu’ lalu memakai minyak wangi, menyisir jenggotnya, dan memakai baju baru dan kopiah (penutup kepala), meletakkan diatas kepadanya tutup kepala yang panjang, shalat dua rekaat, lalu keluar kepada mereka, seraya terlihat wajahnya sangat khusu’, lalu dinyalakan pengharum ruangan (berupa lidi sebesar kembang api, dinyalakan seperti obat nyamuk), maka menyebarlah bau harum keseluruh ruangan, lidi ini terus menyala hingga beliau selesai menjelaskan hadits Rasulullah Saw., semua itu dilakukan untuk menghormati dan mengagungkan hadits Rasulullah Saw., disaat itu semua yang hadir diam, tidak ada seoranpun yang bercakap-cakap dengan kawannya, bahkan tidak ada seorangpun yang menoleh ke arah temannya. Suatu saat beliau ditanya mengapa melakukan hal itu?. Beliau menjawab: “Aku ingin mengagungkan Hadits Rasulullah Saw., saya tidak akan menyampaikan Hadits kecuali dalam kondisi suci, dengan hafalan dan bacaan yang sempurna”.
Beliau sangat tidak suka menyampaikan Hadits di jalan, atau saat sedang berdiri, atau sedang tergesa-gesa. Dalam hal ini beliau berkata: “Aku ingin menghormati dan mengagungkan Hadits Rasulullah Saw”.
Apabila ada diantara mereka yang mengangkat suaranya dalam majlisnya, beliau berkata: “tolong rendahkan suara Anda, karena sesungguhnya Rasulullah Saw berfirman: “Hai Orang-orang yang beriman janganlah engkau mengangkat suaramu diatas suara Nabi, dan janganlah engkau meneraskan suaramu seperti engkau berbicara dengan sesama kalian”[2].

Penghormatan Murid terhadap Majlis Imam
Abu Mus’ab berkata: “Banyak orang-orang berkerumun dan berdesak-sesakan di depan pintu rumah Imam Malik, mereka berlomba-lomba untuk mendapatkan ilmu”. dia juga berkata: “Ketika kita berada di majlis Imam Malik, tidak ada seorangpun diantara kita yang berbicara sepatah katapun, dan tidak ada seorangpun yang menengok kearah yang lain, mereka semua mendengarkan dengan seksama, bahkan para pejabat dan penguasa takut kepadanya, merekapun duduk mendengarkan pelajaran yang dia sampaikan”. Dalam menjawab permasalahan yang dilontarkan kepadanya seringkali dia berkata: “Ya” … atau berkata: “tidak”, namun tidak seorangpun berkata: “dari mana Anda mengatakan demikian?”.
Yahya bin Syu’aib berkata: aku sampai di Madinah pada tahun 144 H. pada saat itu Malik bin Anas masih berambut dan berjenggot hitam, orang-orang disekelilingnya diam, tidak seorangpun berbicara karena kewibawaan dan kehebatannya, pada saat itu tidak ada ulama’ yang memberikan fatwa di Masjid Nabawi kecuali dia, aku duduk di depannya, lalu aku bertanya kepadanya dia kemudian menjawab, aku bertanya lagi, maka diapun menjawab, hingga para sahabatnya mengingatkanku, maka aku diam, agar aku tidak memperpanjang perdebatan hingga dia marah”.
Imam Malik secara kontinue menjaga ketenangan Majlisnya, sampai-sampai orang tidak akan kuat bertahan dalam majlisnya kecuali mereka yang telah memiliki jiwa ulama’ besar, yang telah mantap tingkat keilmuan dan agamanya, atau mereka yang bisa mengatakan: aku tidak tahu, atau aku tidak menguasai permasalahan ini, saat mereka tidak tahu jawaban dari permasalahan tersebut.
Abdurrahman bin Mahdi berkata: “Saat kami bersama Imam Malik, datang seorang lalu berkata: “Wahai Aba Abdullah, aku datang kepadamu dari daerah yang jarahnya 6 bulan perjalan, aku membawa beberapa permasalahan yang dihadapi oleh kaumku, maka aku akan menanyakan kepada Anda. Imam Malik berkata: “Silakan tanyakan!”. Setelah tamu ini selesai bertanya, dia berkata: “Aku tidak mengusai permasalahan ini”. “Lalu apa yang akan aku sampaikan kepada kaumku saat aku kembali”. Kata tamu itu. “katakan kepada mereka, bahwa Malik bin Anas tidak mengusai permasalahan tersebut”.
Penguasaan Imam Malik tentang sunnah sungguh sangat tinggi, dialah ulama’ pertama yang mengumpulkan hadits Rasulullah dalam sebuah buku, lalu menyusunnya berdasarkan bab-bab fikih. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa dia telah mengsinergikan antara hadits dan fikih; dalam bidang fikih, beliau adalah fakih yang sangat memahami dan menguasai, fikirannya sangat jauh ketika melihat kondisi masyarakat, karena fikih sangat terkait dengan kemampuan dalam melihat kondisi masyarakat, serta menyusun hubungan antara mereka dan Allah, baik dalam ibadah, maupun persiapan untuk shalat, seperti: mensucikan badan dan tempat, pakaian; baik untuk laki-laki maupun perempuan, juga seperti zakat, puasa, haji dan hubungan mu’amalah antara manusia, serta menjaga kemaslahatan dunia dan akherat.
Dia mendapatkan pujian yang cukup besar dari para ulama’; baik dari para fuqoha’ maupun ulama’ hadits; yang tidak didapatkan ulama’ sebelumnya. Beliau dianggap mumpuni oleh para ulama’ didua bidang ilmu ini.

Imam Malik; sebagai Penulis
Tidak hanya berceramah, Imam Malik juga diberikan bakat mengarang, menyusun buku dalam berbagai materi yang cukup menakjubkan. Bakat yang cukup menakjubkan ini menandakan tingkat intelektual Imam Malik yang cukup tinggi pada zamannya.
Para penulis buku biografi berkata, bahwa Imam Malik memiliki buku dalam berbagai bidang, diantaranya: bidang perbintangan, berhitung dan ilmu falak (untuk mengetahui peredaran zaman dan letak bulan), buku-buku ini disifati oleh mereka sebagai buku yang baik dan sangat bermanfaat sehingga banyak dijadikan rujukan dalam kurun waktu yang cukup lama. Beliau juga memiliki buku dalam bidang tafsir yaitu: “At-tafsir li gharib Al-Qur’an” beliau juga mengarang booklet kecil (risalah) yaitu: “Risalah kepada Ibnu Wahab” dalam bidang Tauhid, buku Imam Malik yang paling terkenal adalah “Kitab Al-Muwattha’”, yang artinya “al-muyassir” au “al-musahhil” atau yang mempermudah. buku ini pada akhirnya menjadi buku tershahih setelah Al-Qur’an.
Dalam buku ini Imam Malik menghimpun hadits Rasulullah Saw, perkataan sahabat serta tabi’in, adapun kesepakatan ahli madinah, tidak beliau masukkan dalam buku ini. Buku Al-Muwaththa’’ ini terhitung sebagai buku pertama yang dinisbatkan kepada Imam Malik, lalu tersebar serta tersohor di seluruh dunia Islam, dipelajari oleh umat Islam dari generasi ke generasi hingga kini.
Buku ini terhitung sebagai buku pertama dalam bidang fikih dan hadits sekaligus, karena sebelumnya para pelajar lebih mengandalkan hafalan dari pada tulisan, dalam menuntut ilmu merekapun lebih banyak menggunakan pendengaran langsung (talaqqi) dari pada tulisan dan buku. Maka dari sini bisa disimpulkan bahwa penyusunan dan penulisan yang sesungguhnya dimulai dengan “Al-Muwaththa’’”, di dalam buku ini terkumpul hampir 10.000 (sepuluh ribu) hadits, lalu Imam Malik melakukan komperasi dengan Al-Qur’an dan sunnah serta menyeleksi dengan seksama hadits-hadits tersebut dengan atsar dan akhbar hingga akhirnya tingga 500 hadits saja.
Dikisahkan bahwa Imam Malik menunjukkan bukunya ini kepada lebih dari 70 fuqaha’ Madinah, seluruhnya “menyeleksiku”, maka aku namakan “Al-Muwaththa’’” yang bermakna: “pendahuluan, tersunting, tersortir, dan terseleksi”.
Seorang sejarawan al-Waqidi berkata: “Aku mendengar Malik bin Anas berkata: “Ketika salah seorang Khalifah Abbasia “Abu Ja’far al-mansur” pergi haji dia memanggilku, ketika aku menghadap dia bertanya kepadaku banyak pertanyaan, aku menjawab semua pertanyaan-pertanyaan tersebut, lalu dia berkata: “Aku ingin agar buku Anda –yaitu al-muwattaha’- disalin beberapa eksemplar, setelah itu dikirim ke seluruh daerah Islam, dan aku memerintahkan agar mereka melaksanakan isinya, mereka tidak diperkenankan untuk berpegang kepada selain buku ini, dalam bidang ilmu yang tergolong baru ini, mereka kuperintahkan untuk meninggalkan selain itu, karena aku melihat bahwa ilmu yang sesungguhnya adalah riwayat ahli Madinah dan apa yang mereka ketahui”.
Aku berkata: “Wahai Amirul Mukminin, jangan Anda lakukan hal itu, karena masyarakat Islam telah mendengar berbagai pendapat, dan hadits bahkan telah meriwayatkannya. Sesungguhnya setiap kaum akan berpegang dengan apa yang telah mereka dengar, serta mengamalkannya, sesungguhnya perbedaan antara ulama’ itu adalah rahmat dari Allah untuk umat ini, dan mengembalikan apa yang telah mereka yakini sangatlah berat dan sulit, maka saya memohon agar Amirul Mukminin membiarkan masyarakat berpegang kepada apa yang mereka yakini saat ini, serta apa yang mereka pilih untuk diri mereka masing-masing”. Amir al-Mukminin berkata: “Wallahi, jika Anda menyetujui apa yang aku sampaikan, maka aku akan segera perintahkan untuk itu”.
Ulama’-ulama’ besar juga memuji “Al-Muwaththa’’” dan isi yang terkandung di dalamnya, baik berupa ilmu yang bermanfaat maupun hadits-hadits shahih. Imam Asy-Syafi’i berkata: “Tidak ada buku yang lebih bermanfaat –setelah Al-Qur’an- dari Al-Muwaththa’”, beliau juga berkata: “Tidak ada buku yang dikarang didunia ini lebih dekat kepada Al-Qur’an dari kitab Malik bin Anas”. “Tidak ada buku di dunia ini yang lebih benar –setelah al-Qur’an- dari Al-Muwaththa’ Imam Malik”.
Ketika Imam Ahmad ditanya tentang buku Imam Malik bin Anas Al-Muwaththa’ beliau berkata: “Betapa baiknya orang yang berpegang kepada buku ini”.
Maka dengan pernyataan dari dua Imam ini, cukuplah bagi kita untuk mengetahui kelebihan buku ini.
[1] H.R Al-Bukhari (2/77), Muslim, Bab: Haji No: 500
[2] Q.S. Al-Hujurat: 2