11.23.2008

SERIAL PARA PIONER UMMAT (2)


MALIK BIN ANAS;
Imam Para Imam dan Bintang para Ulama’


Mukaddimah
Imam Malik merupakan Imam kedua dari keempat Imam fikih yang tersohor, diantara keempat Imam fikih ini dia paling terkenal, karena kota Madinah Al-Munawwarah –tempat dimana beliau tinggal- menjadi faktor paling dominan dalam mempromosikan dirinya dan madzhabnya. Disamping karena kedekatan dengan Rasulullah Saw. Para Penuntuk ilmu merasakan kebahagiaan yang tiada tara ketika bisa mengikuti pelajaran-pelajaran yang disampaikan oleh Imam Malik, maka tidak mengherankan jika mereka sangat berantusias untuk menggali ilmu darinya. Saat mereka telah kembali kenegeri masing-masing, mereka menyebarkan fatwa dan apa yang mereka serap darinya, seakan mereka menjadi duta-duta ke daerah-daerah terpencil tersebut.
Imam Malik R.a sangat menguasai ilmu hadits dan fikih, lebih dari seratus syeikh Madinah terkemuka –yang telah beliau seleksi dan ridhai- belajar kepadanya, ciri utamanya adalah keikhlasan dalam menjalankan segala aktifitas, sehingga dapat mengerjakan dengan optimal (profesional), maka Allah memberinya taufik serta memberkahi seluruh yang ia minta. Karena sebab inilah kedudukannya menjadi besar, dan namanya menjadi tersohor, beliau bisa melampaui seluruh ahli zamannya, sehingga orang-orang menamainya “Alim Madinah” dan “Imam Ahli Al-Hijrah”. Informasi tentang beliau akhirnya menyebar keseluruh pelosok negeri, karenanya orang –dari berbagai negeri- berbondong-bondong datang kepadanya. Semoga Allah merahmati dan meridhainya.

Perjalanan sang kakek yang diberkahi
Perjalanan yang dimaksud adalah dari Yaman menuju Madinah al-Munawwarah dimana Malik bin Amir bin Umar –kakek Imam Malik- kemudian menetap. Ini benar-benar perjalanan al-Mubarakah (yang diberkahi oleh Allah), karena jika bukan karena perjalanan ini, maka beliau tidak akan sampai kepada posisi sekarang ini, juga kita tidak akan mendengar tentang Imam Malik. Beliau akan seperti puluhan para jenius lain yang dilahirkan di tempat yang jauh dari tempat yang dapat mengantarkannya untuk meraih prestasi hidupnya, dan yang pasti beliau akan dilahirkan dan dibesarkan di negeri Yaman yang jauh dari kota Madinah al-Munawwarah.
Maka perjalanan ini sungguh merupakan taufik dari Allah untuk Imam Malik, Taufik Allah adalah hal yang besar yang tidak diberikan kecuali kepada orang besar, maka tidak diragukan lagi bahwa hijrah ini pada kenyataannya selain merupakan proses untuk menyingkap kejeniusan Imam, agar Umat Islam bisa mengambil manfaat dari ilmunya, juga untuk menyingkap kelebihan-kelebihan yang dimilikinya.
Di Madinah, Malik bin Abi Amir telah melakukan hal besar, yang tidak mungkin dilakukan kecuali oleh orang besar, diantaranya: ikut serta dalam menulis ulang Al-Qur’an pada zaman khalifah Utsman bin Affarn R.a.
Momen yang tepat juga mendukungnya untuk ikut serta berada di sisi khalifah Utsman bin Affan dan mempertahankan beliau saat terjadi pemberontakan, namun para pemberontak berhasil menembus pertahanannya sehingga khalifah Utsan berhasil dibunuh, pada saat itupun ia masih sempat untuk ikut serta dalam mengusung jenazah khalifah serta menguburkannya.
Tampaknya Allah memberi taufik terhadap segala aktifitasnya, sehingga pada akhirnya beliau dan anak-anaknya menetap dan menjadi bagian dari penduduk kota Madinah al-Munawwarah yang penuh barakah itu.

Keluarga Malik di Madinah al-Munawwarah
Setelah keluarga Malik bin Abi Amir menetap di Madinah, lupa bahwa mereka berasal dari Yaman, sehingga tidak pernah berfikir lagi untuk kembali ke sama. Ketika Malik –sang kakek- wafat beliau meninggalkan empat orang anak: Uwais, Nafi’, ar-Rabi’, dan Anas (ayah Imam Malik). Para perawi hadits telah meriwayatkan beberapa hadits dari Bapaknya Malik bin Abi Amir yang merupakan salah seorang ulama’ tabi’in.
Sementara Anas (ayah Imam Malik) adalah seorang pengrajin yang membuat kerajinan tangan berupa an-nibal, sekaligus menjadi mata pencahariannya dan keluarganya. Namun demikian sang ayah berkeinginan keras agas putranya Anak tumbuh dan menempuh jalur keilmuan.
Setelah menginjak dewasa Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amru menikah dengan seorang putri bernama Aliyah binti Syuraik bin Abdi ar-rahman, dari kabilah Qahthaniyah Azdiyah, yang asalnya juga dari Yaman.
Tak lama kemudian istrinya mengandung, lalu melahirkan seorang laki-laki yang mereka namakan Malik; mengikuti nama kakeknya. Ibu Imam Malik ini tergolong wanita yang cerdas, dia merawat dan menjaga putranya dengan penuh perhatian, akhirnya sang anak tumbuh sedikit demi sedikit denga sehat.
Beliau termasuk Ibu yang saleh, ini dapat kita lihat dari cara mendidik putranya Malik bin Anas pada saat ia masih kecil. Dari pendidikan dan pengarahan yang dia berikan, dia berhasil membawa anaknya untuk menempuh jalan ilmu, walau terlahir dari keluarga pengrajin, sehingga ia juga berhasil mengarahkan putranya Anas untuk menperdalam hadits Rasulullah Saw dan fikih, dengan cara berantusias untuk mengambil ilmu dan pelajaran dari ulama’-ulama terkemuka.

Malik Cucu
Malik dilahirkan pada tahun 93 H. di daerah Dhi al-marwah; agak jauh dari Kota Madinah, lalu pindah ke Wadi al-Aqiq; dekat dengan kota Madinah. Kedua Kota ini terkenal dengan keindahan alamnya, mata air dan kebun korma serta daerah pertanian.
Ia dilahirkan dilingkungan keluarga yang sedang; tidak “subur” juga tidak “tandus”, ia berkembang tahun demi tahun. Disamping itu ia sangat tanpan, putih sekali hampir syukrah. Sehingga orang suka berkata: “Belum pernah terlihat seorang bocah setanpan, seputih dan semerah wajah Malik”.
Fisiknya juga sangat sehat, umurnya tergolong panjang, padahal ia banyak menghadapi kehidupan yang sangat sulit, dan kondisi yang sering kali keras.
Saat masih berada di Wadi al-aqiq, ia tinggal bersama ayah dan ibunya, serta selalu menyertai saudaranya Nadhr kemana saja pergi, sehingga pada masa kanak-kanaknya itu ia sering dijuluki: “Malik saudara Nadhr”; karena Nadhr adalah seorang pedagang kain (sutera), dan Malik -walaupun masih sangat kecil- dia sudah belajar menjadi pedagang (al-buzzu) sejenis kain juga, maka dengan demikian ia telah mengikuti jejak saudaranya. Namun demikian pekerjaan ini tidak menghalanginya untuk pergi ke majlis ilmu; belajar fikih kepada seorang faqih yang bernama Alqamah bin Abi Alqamah al-Madani; faqih ini memiliki ruangan (kantor) dimana ia bisa mengajar Tahfidz Al-Qur’an, disamping bahasa Arab dan cabang-cabangnya seperti ilmu nahwu, ilmu arudh, syair dan lain sebagainya.
Malik kecil juga memiliki hobi lain, dimana ayahnya selalu mencoba untuk menjauhkannya, agar ia bisa lebih berkonsentrasi dalam menuntut ilmu, fikih dan hadits. Pada suatu hari ayahnya melontarkan pertanyaan kepada Malik dan kakaknya, ternyata kakaknya bisa menjawab dengan benar, sementara jawabannya salah, maka ayahnya lalu berkata: “Hobi kamu bermain dengan burung-burung itu yang telah melalaika kamu dari ilmu”. Perkataan ini membuatnya marah, sekaligus melecutnya untuk terus berkonsentrasi dalam menperdalam ilmu.

Guru Imam Malik
Ibunda Imam malik sangat beringinan agar putranya memperdalam ilmu fikih, untuk itu ibunda mengirimkannya kepada salah seorang syeikh yang bernama Rabi’ah bin Abi Abdurrahman, tatkala itu beliau berwasiat kepada aanaknya: “Belajarlah darinya sopan santunnya (akhlak) sebelum belajar ilmu”; dimana saat itu kualitas keilmuan dan akhlak Rabi’ah sangat tersohor seantero Madinah. Maka Malik kecil dengan rajin pergi ke halaqah Rabi’ah, dan setiap kali beliau melihat Malik datang selalu berkata: “Si jenius datang”.
Ternyata halaqah syeikh Rabi’ah ini dihadiri oleh sejumlah para ulama’ dan intelek, serta para pejabat negara, seperti gubernur Madinah, syeikh Bani Hasyim bin al-Hasan bin Zaid bin al-Hasan bin Ali; ayahanda sayyidah Nafisah dan ulama’-ulama’ lainnya.
Pada saat itu tidak ada seorang ulama'pun yang lebih pandai dari Rabi’ah, dan tidak ada seorang yang lebih dermawan darinya; baik kepada kawan maupun kepada lainnya, sampai pernah tercatat bahwa ia membantu teman-temannya sebanyak 40.000 dirham.
Malik sangat mengagumi gurunya syeikh Rabi’ah, terbukti ia selalu memujinya. “Telah sirna manisnya fikih semenjak syeikh Rabi’ah wafat” begitu ia selalu berkata.
Syeikh Imam Malik lainnya adalah Imam Nafi’ maula (hamba) Abdullah bin Umar, yang dikenal sebagai perawi yang masuk dalam daftar: “Silsilah dzahabiyah” atau rantai emas; yaitu riwayat hadits dari Syafi’I dari Malik dari Nafi’ dari Ibnu Umar dari Umar bin Khattab.
Imam malik selalu menyertai Imam nafi’, untuk mendapatkan riwayat hadits darinya, ia selalu memperhatikan gerak gerik gurunya; baik saat beliau masuk maupun keluar, agar dapat bertanya kepadanya. Imam Nafi’ sangat menyenangi Imam Malik sehingga ia selalu mengajaknya untuk duduk bersama yang kemudian meriwayatkan kepadanya banyak hadits.
Imam Malik selalu mencari akal agar bisa menyindiri bersama dengan Imam Nafi’, maka ia sering menuntunnya –karena beliau buta- untuk diajak kerumahnya di baqi’ yang jauh dari Madinah, agar ia bisa belajar kepadanya sendirian. Itulah rahasianya mengapa dalam muwattha’ banyak riwayat hadits yang berasal darinya. Bahkan ia selalu mengecek kebenaran yang ia tulis dalam muwattha’ tersebut kepadanya sampai beliau wafat tahun 147 H.
Imam Malik juga banyak mengambil ilmu dari Syeikh Ibnu Hurmuz Abdullah bin Zaid. Selama beberapa tahun Imam Malik berhenti belajar kepada beliau, namun ia segera meneruskan kembali hingga syeikh ini wafat pada tahun 148 H.
Ada cerita menyebutkan bahwa tatkala ada suara ketukan pintu, Ibnu Hurmuz berkata kepada pembantunya: “Siapa yang mengetuk pintu?”. “Imam Malik” kata pembantunya. Syeikhpun berkata: “Suruh dia masuk, karena dia itu orang yang paling alim”.
Syeikh lain Imam Malik adalah Ibnu Syihabuddin az-Zuhri, beliau terkadang pergi ke Syam, namun saat kembali ke Madinah, pintu rumahnya selalu dipenuhi oleh halayak ramai. Dalam hal ini Imam Malik berkata: “Kita sering berdesak-desakan di tangga pintu rumah beliau” … lalu Imam Malik masuk rumah gurunya itu maka ia meriwayatkan hadits kepadanya. Imam Malik lalu berkata: “Tambah lagi ya syeikh”, kalau sudah begitu Ibnu Syihab mengambil lauh (batu tulis) dari tangannya, lalu berkata: “Bacalah kepadaku hadits”, lalu Malik membacakan hadits yang diajarkan gurunya kepadanya, di saat itu Ibnu Syihab berkata: “Sudah pergilah, kamu telah menjadi penampung bagi ilmu”.
Imam Zuhri memiliki kedudukan yang tinggi dalam periwayatan hadits dari Rasulullah Saw, beliau juga memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap pembentukan pemikiran Imam Malik, ini dapat dilihat dari besarnya riwayat beliau yang dimuat oleh Imam Malik dalam Muwattha’nya, yaitu sebesar 132 hadits.
Ibnu Syihab pernah melontarkan pertanyaan dan dijawab oleh syeikh Rabi’ah, sementara Imam Malik diam. “Mengapa kamu tidak menjawab?” tanya Ibnu Syihab kepada Imam Malik. Ia menjawab: “Sudah dijawab oleh gurukami”. “coba jawablah pertenyaan itu wahai Malik!” perintah Ibnu Syihab. Lalu Malik menjawab dengan jawaban yang berbeda dengan jawaban Rabi’ah. Lalu Ibnu Syihab berkata: “Peganglah jawaban Malik!”.
Muhammad bin al-Munkadir yang merupakan tokoh para fuqaha’; baik dalam sisi keilmuan maupun akhlak, juga merupakan salah satu guru Imam Malik, beliau merupakan pelopor dalam bidang qiraat, disamping itu merupakan seorang hamba yang zuhud. Dia berkata: “Aku menahan nafsuku selama 40 tahun hingga menjadi lurus”. Malik berkata: “Ketika hatiku sedang mengeras, aku mendatangi Ibnu al-munkadir, lalu aku melihat wajahnya sejenak, maka aku mampu membenci nafsuku berhari-hari”. Beliau termasuk salah satu ulama’ yang turut serta mendidik dan mengajar Imam Malik, sesuai dengan apa yang telah diajarkan para Imam sebelumnya, yang telah menghabiskan umurnya untuk mempersembahkan yang terbaik bagi manusia.
Banyak orang bertanya kepadanya tentang perbuatan yang paling utama?, ia menjawab: “Memasukkan kebahagiaan kedalam hati seorang mukmin”. Mereka juga bertanya: hal-hal duniawi apa yang paling engkau senangi?. Ia menjawab: “Mendahulukan teman”.
Imam Malik telah mengambil cukup banyak ilmu dari Ibnu al-munkadir, dan meriwayatkan darinya dalam muwattha’nya banyak hadits, dari sini dapat disimpulkan bahwa Ibnu al-munkadir merupakan syeikh (guru) terpenting Imam Malik.
Imam Malik termasuk cepat dalam menghafal, banyak mencatat (menulis). Dalam hal ini ia berkata: “Disaat banyak hafalan orang telah lenyap, semantara tidak ada satu pengetahuanpun yang saya simpan lalu aku lupa”.
Ibnu Syihab telah meriwayatkan lebih dari empat puluh hadits kepada Imam Malik, lalu ia hafal seluruhnya, karena lupa ia minta kepada Ibnu Syihab untuk mengulanginya, tapi Ibnu Syihab menolak, maka Imam Malik mengulangi seperti yang Telah diriwayatkan.
Walaupun telah disebutkan di muka beberapa nama ulama’ yang telah didatangi oleh Imam Malik sebagai guru, namun yang perlu diingat adalah bahwa Imam Malik tidak meninggalkan seorang tabi’in dan tabi’ittabi’in kecuali ia datangi untuk menimba fikih dan periwayatan hadits. Maka seluruh kehidupannya merupakan proses maengambil manfaat sebanyak mungkin lalu memberi manfaat kepada orang lain. Untuk itu ia berusaha mengambil ilmu sebanyak-banyaknya dari ulama’-ulama yang ia datangi, di sisi lain iapun banyak mengajar orang lain. Jadi kehidupannya hanya diisi dengan belajar dan mengajar, sehingga orang-orang mengatakan: “Ia telah memulai mengajar semenjak umurnya tujuh belas tahun”.

Malik; Guru dan Teladan
Ketika tuju puluh syeikh Masjid Nabawi telah mengizinkan Imam Malik mengajar di Masjid Nabawi, maka resmilah ia menjadi seorang syeikh diantara syeikh-syeikh lain di Masjid Nabawi dan layak untuk mengajarkan fikih serta menyampaikan hadits Rasulullah Saw., Imam Malik dikenal pendiam; tidak banyak bicara. Beliau selalu berkata: “Seorang Muslim selayaknya tidak banyak bicara kecuali ia menguasai permasalahan tersebut”. Ia juga berkata: “Tidak akan beres urusan seseorang kecuali jika ia meninggalkan sesuatu yang tidak berguna, serta menyibukkan diri dengan sesuatu yang berguna, apabila sudah demikian, maka Allah akan membukakan pintu hatinya untukNya”.
Imam Malik sangat mengagungkan fikih dan hadits, apabila ditanya oleh seseorang di jalan tentang masalah fikih, ia berkata kepada penanya: “Fikih memiliki kehormatan; yang menghalangi jawaban”.
Suatu hari Imam Malik berjalan bersama salah seorang muridnya menuju daerah al-Aqiq, ditengah jalan muridnya bertanya tentang hadits Rasulullah Saw. maka beliau marah dan berkata: “Menurutku engkau lebih besar untuk bertanya tentang hadits Rasulullah Saw. saat kita sedang berjalan”.
Jika beliau berjalan menuju masjid untuk bertemu dengan murid-muridnya dan menyampaikan pelajaran, beliau duduk diantara minbar dan makam (Rasulullah Saw), lalu membacakan hadits Rasulullah Saw yang berbunyi: “Antara rumahku (Rasulullah Saw) dan minbarku adalah taman, diantara taman-taman surga”[1].
Beliau duduk ditempat dima Rasulullah Saw meletakkan kasurnya saat beri’tikaf, juga tempat Umar bin Al-Khathab serta para Sahabat R.a yang agung. Apabila beliau telah duduk, maka majlisnya dipenuhi dengan ketenangan, kewibawaan dan kesabaran, apabila ada yang bertanya, maka dengan suara yang rendah tidak mengangkat suara, maka beliau menjawab dengan jawaban yang sangat ilmiah, tidak ada seorangpun kemudian mengatakan darimana pendapat ini Anda ambil?. Terkadang dia tidak menjawab beberapa pertanyaan karena beberapa sebab, maka tidak ada seorangpun yang menggugatnya, karena wibawanya.
Apabila ada orang asing (datang dari jauh) untuk bertanya tentang satu atau dua hadits, dia langsung menjawabnya, kelompok perkelompok, terkadang mengizinkan beberapa orang, maka dia membaca untuk mereka. Dalam majlis ini dia tidak memberikan tempat khusus kepada orang tertentu setinggi apapun derajatnya dan jabatannya, namun semuanya harus duduk dimana majlis itu berakhir.
Sebenarnya beliau tidak menghususkan masjid sebagai satu-satunya tempat mengajar, namun rumah beliau selalu terbuka untuk tanya-jawab, biasanya murid-murid yang hendak bertanya berkumpul di halaman rumahnya, pada saat itu seorang jariyah (pembantu) keluar dan bertanya kepada mereka: “Syeikh berkata: Apakah Anda ingin bertanya tentang masalah fikik atau masalah hadits?”, apabila mereka berkata: “kami ingin bertanya tentang masalah-masalah yang kami hadapi”, maka beliau keluar lalu memberikan fatwa. Apabila mereka berkata: “kami ingin bertanya tentang hadits”, maka beliau masuk untuk berwudhu’ lalu memakai minyak wangi, menyisir jenggotnya, dan memakai baju baru dan kopiah (penutup kepala), meletakkan diatas kepadanya tutup kepala yang panjang, shalat dua rekaat, lalu keluar kepada mereka, seraya terlihat wajahnya sangat khusu’, lalu dinyalakan pengharum ruangan (berupa lidi sebesar kembang api, dinyalakan seperti obat nyamuk), maka menyebarlah bau harum keseluruh ruangan, lidi ini terus menyala hingga beliau selesai menjelaskan hadits Rasulullah Saw., semua itu dilakukan untuk menghormati dan mengagungkan hadits Rasulullah Saw., disaat itu semua yang hadir diam, tidak ada seoranpun yang bercakap-cakap dengan kawannya, bahkan tidak ada seorangpun yang menoleh ke arah temannya. Suatu saat beliau ditanya mengapa melakukan hal itu?. Beliau menjawab: “Aku ingin mengagungkan Hadits Rasulullah Saw., saya tidak akan menyampaikan Hadits kecuali dalam kondisi suci, dengan hafalan dan bacaan yang sempurna”.
Beliau sangat tidak suka menyampaikan Hadits di jalan, atau saat sedang berdiri, atau sedang tergesa-gesa. Dalam hal ini beliau berkata: “Aku ingin menghormati dan mengagungkan Hadits Rasulullah Saw”.
Apabila ada diantara mereka yang mengangkat suaranya dalam majlisnya, beliau berkata: “tolong rendahkan suara Anda, karena sesungguhnya Rasulullah Saw berfirman: “Hai Orang-orang yang beriman janganlah engkau mengangkat suaramu diatas suara Nabi, dan janganlah engkau meneraskan suaramu seperti engkau berbicara dengan sesama kalian”[2].

Penghormatan Murid terhadap Majlis Imam
Abu Mus’ab berkata: “Banyak orang-orang berkerumun dan berdesak-sesakan di depan pintu rumah Imam Malik, mereka berlomba-lomba untuk mendapatkan ilmu”. dia juga berkata: “Ketika kita berada di majlis Imam Malik, tidak ada seorangpun diantara kita yang berbicara sepatah katapun, dan tidak ada seorangpun yang menengok kearah yang lain, mereka semua mendengarkan dengan seksama, bahkan para pejabat dan penguasa takut kepadanya, merekapun duduk mendengarkan pelajaran yang dia sampaikan”. Dalam menjawab permasalahan yang dilontarkan kepadanya seringkali dia berkata: “Ya” … atau berkata: “tidak”, namun tidak seorangpun berkata: “dari mana Anda mengatakan demikian?”.
Yahya bin Syu’aib berkata: aku sampai di Madinah pada tahun 144 H. pada saat itu Malik bin Anas masih berambut dan berjenggot hitam, orang-orang disekelilingnya diam, tidak seorangpun berbicara karena kewibawaan dan kehebatannya, pada saat itu tidak ada ulama’ yang memberikan fatwa di Masjid Nabawi kecuali dia, aku duduk di depannya, lalu aku bertanya kepadanya dia kemudian menjawab, aku bertanya lagi, maka diapun menjawab, hingga para sahabatnya mengingatkanku, maka aku diam, agar aku tidak memperpanjang perdebatan hingga dia marah”.
Imam Malik secara kontinue menjaga ketenangan Majlisnya, sampai-sampai orang tidak akan kuat bertahan dalam majlisnya kecuali mereka yang telah memiliki jiwa ulama’ besar, yang telah mantap tingkat keilmuan dan agamanya, atau mereka yang bisa mengatakan: aku tidak tahu, atau aku tidak menguasai permasalahan ini, saat mereka tidak tahu jawaban dari permasalahan tersebut.
Abdurrahman bin Mahdi berkata: “Saat kami bersama Imam Malik, datang seorang lalu berkata: “Wahai Aba Abdullah, aku datang kepadamu dari daerah yang jarahnya 6 bulan perjalan, aku membawa beberapa permasalahan yang dihadapi oleh kaumku, maka aku akan menanyakan kepada Anda. Imam Malik berkata: “Silakan tanyakan!”. Setelah tamu ini selesai bertanya, dia berkata: “Aku tidak mengusai permasalahan ini”. “Lalu apa yang akan aku sampaikan kepada kaumku saat aku kembali”. Kata tamu itu. “katakan kepada mereka, bahwa Malik bin Anas tidak mengusai permasalahan tersebut”.
Penguasaan Imam Malik tentang sunnah sungguh sangat tinggi, dialah ulama’ pertama yang mengumpulkan hadits Rasulullah dalam sebuah buku, lalu menyusunnya berdasarkan bab-bab fikih. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa dia telah mengsinergikan antara hadits dan fikih; dalam bidang fikih, beliau adalah fakih yang sangat memahami dan menguasai, fikirannya sangat jauh ketika melihat kondisi masyarakat, karena fikih sangat terkait dengan kemampuan dalam melihat kondisi masyarakat, serta menyusun hubungan antara mereka dan Allah, baik dalam ibadah, maupun persiapan untuk shalat, seperti: mensucikan badan dan tempat, pakaian; baik untuk laki-laki maupun perempuan, juga seperti zakat, puasa, haji dan hubungan mu’amalah antara manusia, serta menjaga kemaslahatan dunia dan akherat.
Dia mendapatkan pujian yang cukup besar dari para ulama’; baik dari para fuqoha’ maupun ulama’ hadits; yang tidak didapatkan ulama’ sebelumnya. Beliau dianggap mumpuni oleh para ulama’ didua bidang ilmu ini.

Imam Malik; sebagai Penulis
Tidak hanya berceramah, Imam Malik juga diberikan bakat mengarang, menyusun buku dalam berbagai materi yang cukup menakjubkan. Bakat yang cukup menakjubkan ini menandakan tingkat intelektual Imam Malik yang cukup tinggi pada zamannya.
Para penulis buku biografi berkata, bahwa Imam Malik memiliki buku dalam berbagai bidang, diantaranya: bidang perbintangan, berhitung dan ilmu falak (untuk mengetahui peredaran zaman dan letak bulan), buku-buku ini disifati oleh mereka sebagai buku yang baik dan sangat bermanfaat sehingga banyak dijadikan rujukan dalam kurun waktu yang cukup lama. Beliau juga memiliki buku dalam bidang tafsir yaitu: “At-tafsir li gharib Al-Qur’an” beliau juga mengarang booklet kecil (risalah) yaitu: “Risalah kepada Ibnu Wahab” dalam bidang Tauhid, buku Imam Malik yang paling terkenal adalah “Kitab Al-Muwattha’”, yang artinya “al-muyassir” au “al-musahhil” atau yang mempermudah. buku ini pada akhirnya menjadi buku tershahih setelah Al-Qur’an.
Dalam buku ini Imam Malik menghimpun hadits Rasulullah Saw, perkataan sahabat serta tabi’in, adapun kesepakatan ahli madinah, tidak beliau masukkan dalam buku ini. Buku Al-Muwaththa’’ ini terhitung sebagai buku pertama yang dinisbatkan kepada Imam Malik, lalu tersebar serta tersohor di seluruh dunia Islam, dipelajari oleh umat Islam dari generasi ke generasi hingga kini.
Buku ini terhitung sebagai buku pertama dalam bidang fikih dan hadits sekaligus, karena sebelumnya para pelajar lebih mengandalkan hafalan dari pada tulisan, dalam menuntut ilmu merekapun lebih banyak menggunakan pendengaran langsung (talaqqi) dari pada tulisan dan buku. Maka dari sini bisa disimpulkan bahwa penyusunan dan penulisan yang sesungguhnya dimulai dengan “Al-Muwaththa’’”, di dalam buku ini terkumpul hampir 10.000 (sepuluh ribu) hadits, lalu Imam Malik melakukan komperasi dengan Al-Qur’an dan sunnah serta menyeleksi dengan seksama hadits-hadits tersebut dengan atsar dan akhbar hingga akhirnya tingga 500 hadits saja.
Dikisahkan bahwa Imam Malik menunjukkan bukunya ini kepada lebih dari 70 fuqaha’ Madinah, seluruhnya “menyeleksiku”, maka aku namakan “Al-Muwaththa’’” yang bermakna: “pendahuluan, tersunting, tersortir, dan terseleksi”.
Seorang sejarawan al-Waqidi berkata: “Aku mendengar Malik bin Anas berkata: “Ketika salah seorang Khalifah Abbasia “Abu Ja’far al-mansur” pergi haji dia memanggilku, ketika aku menghadap dia bertanya kepadaku banyak pertanyaan, aku menjawab semua pertanyaan-pertanyaan tersebut, lalu dia berkata: “Aku ingin agar buku Anda –yaitu al-muwattaha’- disalin beberapa eksemplar, setelah itu dikirim ke seluruh daerah Islam, dan aku memerintahkan agar mereka melaksanakan isinya, mereka tidak diperkenankan untuk berpegang kepada selain buku ini, dalam bidang ilmu yang tergolong baru ini, mereka kuperintahkan untuk meninggalkan selain itu, karena aku melihat bahwa ilmu yang sesungguhnya adalah riwayat ahli Madinah dan apa yang mereka ketahui”.
Aku berkata: “Wahai Amirul Mukminin, jangan Anda lakukan hal itu, karena masyarakat Islam telah mendengar berbagai pendapat, dan hadits bahkan telah meriwayatkannya. Sesungguhnya setiap kaum akan berpegang dengan apa yang telah mereka dengar, serta mengamalkannya, sesungguhnya perbedaan antara ulama’ itu adalah rahmat dari Allah untuk umat ini, dan mengembalikan apa yang telah mereka yakini sangatlah berat dan sulit, maka saya memohon agar Amirul Mukminin membiarkan masyarakat berpegang kepada apa yang mereka yakini saat ini, serta apa yang mereka pilih untuk diri mereka masing-masing”. Amir al-Mukminin berkata: “Wallahi, jika Anda menyetujui apa yang aku sampaikan, maka aku akan segera perintahkan untuk itu”.
Ulama’-ulama’ besar juga memuji “Al-Muwaththa’’” dan isi yang terkandung di dalamnya, baik berupa ilmu yang bermanfaat maupun hadits-hadits shahih. Imam Asy-Syafi’i berkata: “Tidak ada buku yang lebih bermanfaat –setelah Al-Qur’an- dari Al-Muwaththa’”, beliau juga berkata: “Tidak ada buku yang dikarang didunia ini lebih dekat kepada Al-Qur’an dari kitab Malik bin Anas”. “Tidak ada buku di dunia ini yang lebih benar –setelah al-Qur’an- dari Al-Muwaththa’ Imam Malik”.
Ketika Imam Ahmad ditanya tentang buku Imam Malik bin Anas Al-Muwaththa’ beliau berkata: “Betapa baiknya orang yang berpegang kepada buku ini”.
Maka dengan pernyataan dari dua Imam ini, cukuplah bagi kita untuk mengetahui kelebihan buku ini.
[1] H.R Al-Bukhari (2/77), Muslim, Bab: Haji No: 500
[2] Q.S. Al-Hujurat: 2

No comments: