11.25.2008

REKONSILIASI SUNNAH-SYIAH MUNGKINKAH ?


Rekonsoliasi SUNNAH-SYI’AH
Mungkinkah ……. ?

Mukaddimah
Bisa dipastikan bahwa proses rekonsoliasi (taqrîb) antar sekte, kelompok, madzhab, dan organisasi Islam merupakan cita-cita mulia setiap muslim. Permasalahannya hanya terletak pada apa dan bagaimana rekonsoliasi itu bisa dilakukan. Tapi justru disinilah permasalahannya; yang dari dulu hingga kini menjadi akar polimik dan perdebatan yang tak kunjung henti.
Sepanjang sejarah, hubungan Sunnah-Syiah mayoritas dipenuhi oleh konflik bahkan sampai pada tahap pertumpahan darah, telah banyak ulama’ yang melakukan upaya rekonsoliasi, namun mayoritas berakhir dengan kegagalan. Pertanyaan yang timbul –secara spontanitas- adalah mengapa mereka gagal?. Lalu apa dengan demikian rekonsoliasi itu masih mempunyai masa depan?, ataukah harapan itu seratus persen telah pupus. Tulisan ini berupaya mencari jawaban dari pertanyaan di atas.
Akar sejarah
Sebenarnya akar sejarah rekonsoliasi (taqrîb) sunnah-syi’ah sudah lama dimulai –yang menurut syeikh Abu Zahrah- kembali ke sosok al-Thusi (385-460 H)[1], atau menurut Dr. Mahmud al-Basyuni kembali ke sosok al-Thabarsi (548 H)[2].
Bentuk taqrîb yang dikembangkan oleh al-Thabarsi berupa pengambilan referensi dari kedua belah fihak (sunnah dan syi’ah) yang ia racik dalam tafsirnya “Majma’ al-bayan”. Tidak hanya itu, Thabarsi juga berusaha menghindari pemuatan ide-ide ekstrim yang biasa dikutip oleh ahli tafsir pendahulunya dalam tafsirnya. Jika metodologi tafsir yang dikembangkan oleh Thabarsi ternyata merupakan pengembangan dari metodologi al-Thusi, maka apa yang disampaikan oleh syeikh Abu Zahrah; bahwa Thusilah perintis upaya taqrîb ini, -dalam tataran ini- bisa dibenarkan. Walaupun menurut beberapa ulama’ syi’ah (seperti Ibnu Thowus; dari ulama’ klasik, dan Nuri Thabarsi; dari ulama’ kontemporer), bahwa apa yang ditulis oleh Thusi hanya merupakan pengejawantahan dari trik-trik dan ekspresi taqiyyah dan mudârât (hanya mengikuti alur pemikiran penentang). Pendapat ini diperkuat oleh Dr. al-Qoffari. Menurutnya apa yang dilakukan oleh Thusi dan Thabarsi hanyalah merupakan trik untuk menarik simpati pengikut Sunnah, karena seperti yang disebutkan oleh “Bihar al-Anwar” oleh Al-Majlisi –salah satu buku referensi syi’ah dalam hadits-, bahwa bagi para ulama’ syi’ah dilarang mengambil riwayat Ahli Sunnah, kecuali dalam posisi menjadikan riwayat-riwayat tersebut sebagai penguat pendapat mereka[3].
Namun demikian, apa yang dilakukan oleh Thusi ini hanyalah merupakan upaya taqrîb dalam tataran pemikiran, adapun dalam tataran praktis –sebagaimana dikisahkan oleh Ibnu Katsir[4] dalam Bidayah wa Nihayahnya- proses rekonsoliasi ini telah dimulai, sejak pasca konflik besar-besaran antara sunnah-syi’ah di Baghdad yang mulai berkecamuk pada tahun 338 H, tepatnya pada tahun 437; pada tahun ini terjadi kesepakatan antara Sunnah dan Syi’ah untuk sama-sama bersatu padu dalam memerangi Yahudi di Baghdad, mereka berhasil merampas rumah-rumah mereka, serta membakar tempat peribadatan lama mereka. Namun rekonsoliasi ini tidak bisa bertahan lama, klonfik antar sekte Ini kemudian meletus kembali pada tahun 439 H.
Lima tahun kemudian rekonsuliasi kembali terjadi, tepatnya pada tahun 442 H, dalam bentuk sebuah kesepakatan bahwa keduanya dibolehkan pergi mengunjungi Masyhad Imam Ali dan Imam Husen, sementara pengikut syi’ah menunjukkan sikap yang positif terhadap para sahabat, serta sholat di dalam Masjid ahli sunnah. Terhadap peristiwa ini Ibnu Katsir mengomentari; “Ini benar-benar peristiwa aneh, tidak akan pernah terjadi jika bukan dalam kerangka taqiyyah”([5]).
Sekali lagi, kesimpulan Ibnu Katsir ini dibenarkan oleh Dr. Al-Qoffari. Alasan yang bisa ditampilkannya adalah bahwa pada tahun 443 H; satu tahun persis setelah peristiwa rekonsoliasi itu, pengikut syi’ah menempelkan papan nama besar bertuliskan: “Muhammad dan Ali adalah sebaik-baik manusia, barangsiapa yang ridha kepada keduanya, maka ia telah bersyukur, barang siapa yang membangkang, maka dia telah kafir/kufur”. Tulisan ini –yang tentu saja mengisyaratkan kafirnya para sahabat- memicu munculnya pertikaian antar dua sekte itu kembali[6].
Rekonsoliasi ketiga terjadi kembali pada tahun 488 H, di daerah al-Karkh, di sini ahlu sunnah dan syi’ah saling mengunjungi, saling berinteraksi, dan saling mengundang makan. Tapi sekali lagi peristiwa ini dikomentari oleh Ibnu Katsir dan Ibn al-Jauzi sebagai sebuah keajaiban([7]), karena dalam rentetan sejarah peristiwa seperti ini jika dibandingkan dengan fenomena konflik yang terus berkepanjangan ibarat kilatan cahaya di tengah-tengah kegelapan malam. Namun sayangnya Ibnu Katsir tidak menganalisa, mengapa fenomena rekonsoliasi ini bisa terjadi.
Dalam tataran pemerintahan, rekonsoliasi ini juga telah dibangun oleh al-Makmun jauh sebelum tahun-tahun diatas. Untuk maksud ini makmun mengangkat Ali Ridho (keturunan Ahli Bait) sebagai wali al-ahd (putra mahkota), karena selain untuk menyedot perlawanan syi’ah terhadap khilafah Bani Umayyah, dalam pandangan al-Makmun; Ali al-Ridha –pada saat itu- merupakan keturunan terbaik ahli al-bait; baik dalam sisi agama maupun keilmuan. Namun kemudian kematian Ali Ridha secara mendadak (203 H) telah membakar fitnah permusuhan ini kembali, karena dalam pandangan para pengikut syi’ah, kematian Ali Ridha adalah akibat ulah al-Makmun dengan cara meracuninya.
Upaya rekonsiliasi sunnah-syi'ah terpenting dan terbesar yang tercatat dalam sejarah –sebagaimana ditulis oleh Muhibbuddin Khotib- adalah Muktamar an-Najf (1156 H), bahkan menurutnya muktamar ini merupakan kejadian satu-satunya dalam sejarah Islam([8]).
Abdullah al-Suweidi([9]), perintis muktamar ini -sebagaimana ditulis oleh putranya, dalam tarikh Baghdad- sebelumnya telah dikenal sebagai ulama’ yang sering melakukan dialog dengan ulama’ syi'ah. Ia dikenal sebagai ahli dalam berdebat (pedebat), argumentasi-argumentasinya tak pernah bisa dipatahkan oleh ulama’ syi'ah.
Muktamar ini dihadiri oleh 70 Mujtahid Syi'ah dari Iran dan Najf (Iraq) dipimpin oleh al-Mula Bisyi Ali Akbar, dan beberapa ulama’ ahlu sunnah: 1 orang dari daerah Ardalan (daerah barat Iran), 7 ulama’ lagi dari Afghanistan dan sebanyak 7 ulama’ dari negara belakang sungai (mâ warâa al-nahr), dan disaksikan oleh lebih dari 70.000 pengunjung yang datang dari penjuru daerah; baik dari keturunan Arab, non Arab maupun Turkistan, sehingga Nadir Syahpun yang saat itu menjadi penguasa tunggal Iran, turut mengikuti jalannya muktamar ini, dan memperhatikan dengan seksama melalui dua orang informen yang masing-masing tidak saling tahu satu sama lain.
Dengan kelihaian dan kecerdasan Abdullah Suweidi yang sangat luar biasa, ia mampu menundukkan para ulama’ syi'ah serta mampu mematahkan seluruh argumentasi yang mereka keluarkan, sehingga keluarlah rekomendasi di akhir muktamar ini sebagai berikut:
1. Bahwa dengan hikmatNYA, Allah telah menurunkan para Rosul secara berturut turut dan ditutup dengan Rasulullah Saw.
2. Bahwa setelah wafatnya Rasul Saw, para sahabat sepakat bahwa sosok terbaik diantara mereka adalah Abu Bakar, sebagaimana mereka sepakat untuk membaiatnya, termasuk Imam Ali. Beliau telah membaiat Abu Bakar dengan kesadaran pribadinya dan bukan karena paksaan. Mereka (para sahabat) dipuji oleh Allah sebagai as-sabiqun al-awwalun, dan telah mendapat ridha dariNya. Lalu Abu Bakar menawarkan kepada umat Islam Umar bin Khottab sebagai alternatif khilafah setelahnya, merekapun lalu membaitnya, lalu umar menjadikan baiat setelahnya syura untuk 6 orang sahabat, dan dipilihlah Utsman bin Affan, setelah Utsman Ra mati syahid para sahabat kembali sepakat untuk memilih Imam Ali sebagi kholifah.
3. Keempat sahabat tersebut merupakan para sahabat agung yang bersatu dalam tempat, zaman yang satu, tidak pernah terjadi perselisihan serta konflik antara mereka.
4. Bahwa Nadir Syah telah meletakkan keutamaan dan tertib mereka dalam khilafat seperti tersebut diatas, barang siapa yang menghina atau mengurangi hak mereka maka harta, anak, keluarga, serta darahnya menjadi halal, serta akan mendapat kutukan dari Allah, para Malaikat dan seluruh manusia.
Mulai saat itu tidak pernah ada lagi kutukan, hinaan serta cercaan terhadap para sahabat di seluruh daerah Iran, bahkan Nadir syah sendiri meninggalkan paham syiah yang ia anut untuk kemudian beralih ke paham sunnah. Namun demikian tidak diketahui sampai kapan kondisi ini berlangsung, karena dalam kenyataannya, mayoritas hubungan syi'ah-sunnah sepanjang sejarah (selain peristiwa-peristiwa diatas) selalu dipenuhi oleh kondisi disharmonis, konflik, bahkan konfrontasi berdarah.
Memasuki abad dua puluh, upaya rekonsoliasi kembali ditempuh oleh para tokoh dan ulama’ kedua belah fihak, baik dalam sekala lembaga (seperti yang pernah dilakukan oleh Jama’ah al-Ukhuwwah al-Islamiyah (dirintis oleh Muhammad Hasan al-a’dhami di mesir 1937 M, lalu dipindah ke Karachi tahun 1948 M), dan Dar al-Taqrîb baina al-madzahib al-Islamiyah (dirintis oleh Muhammad Taqi al-Qummi 1364 H di Kairo pada masa syeikh Syaltut), Dar al-Inshaf (didirikan tahun 1366 di Mesir) maupun oleh perorangan. (seperti dari Sunnah oleh Muhammad Abduh, Rasyid Ridla, Musthofa Siba’I, dan Musa Jarullah, dan dari Syi’ah oleh Muhammad al-Kholisi (tokoh syi'ah Iraq), Abdul Husen Syaraf al-Musawi (1290-1377 H, lahir di Kadhimiyah dan meninggal di Bairut), serta Ahmad al-Kasrawi (lahir di kota tibriz Iran, meninggal 1324 H). Namun pada akhirnya upaya-upaya rekonsoliasi seperti tersebut diatas berakhir dengan kegagalan, pertanyaan yang secara spontanitas berkecamuk di benak mayoritas peneliti adalah: mengapa gagal?.

Masa depan rekonsoliasi
Syu’bah asa mencoba memberikan jawaban atas pertanyaan diatas, seraya menaruh keputus asaan yang mendalam akan masa depan rekonsoliasi ini. Menurutnya terdapat 6 penghalang dihadapan proses rekonsiliasi yang menjadi cita-cita banyak kalangan[10]:
1. Kenyataan bahwa kedua dunia, Ahlu Sunnah dan syi'ah baru bertemu kembali, hal ini sangat layak menyebabkan keterkejutan, jika beberapa hal ternyata berbeda dari yang selama ini diasumsikan, sementara asumsi sebagaian fihak bahwa dengan berlalunya waktu akan menyebabkan kemenyatuan yang luruh nanpaknya tidak bisa dibenarkan, hal ini setidaknya disebabkan oleh fakta kedua yaitu:
2. Adanya perbedaan-perbedaan yang sangat mendasar tentang beberapa hal terutama tentang otentisitas al-Quran, setidaknya perbedaan metodologi tafsir dimana methodology syi'ah sangat kental dengan nuansa “batin”nya, munculnya penciptaan hadits para imam yang secara otomatis juga menjadi sumber hukum, legitimasi yang sangat tinggi terhadap mujtahid resmi (yang masih hidup) untuk mengantikan ijtihad-ijtihad yang dipandang tidak relevan lagi. Perbedaan-perbedaan mendasar yang tentunya tidak dengan mudah dapat dikatakan hanya sekedar perbedaan ijtihad fiqhiyah, atau secara kongkritnya seperti perbedaan antara NU dan Muhammadiyah.
3. Di sisi lain, kita mendapati penghujatan, pengkafiran dan penghinaan para sahabat masih merupakan bagian dari hadits-hadits khas mereka dan bagian dari etos dendam dari tradisi syi'ah yang masih sangat kental, atau etos paradiqma pembagian dunia para sahabat menjadi dua: 1. putih yaitu Imam Ali dan keluarga serta keturunannya, yang dalam alam hayalan mereka ibarat pendawa dalam pewayangan. 2. hitam di pimpin oleh Abu Bakar dan seterusnya, mereka ibarat korawa dalam pewayangan yang jumlahnya jauh lebih banyak.
4. Mutlaknya tuntutan pemerintahan pada syi'ah, kuatnya tuntutan ini disebabkan –diantaranya- oleh karena al-Imamah merupakan bagian dari rukun Iman.
5. Dampak kawin mut’ah di kalangan muda-mudi yang semakin meluas, ini menyebabkan kegelisahan bagi para orang tua, bahkan di beberapa tempat kawin mut’ah dijadikan alternatif bagi praktek perzinaan yang jelas-jelas diharamkan oleh agama.
6. Sifat eksklusif syi'ah dengan menyebut “Islam syi'ah” dan bukan “Islam”. Padahal tatkala revolusi digulirkan syi’ar yang didengung-dengungka selalu adalah “Islamiyah Islamiyah”.
Argumentasi-argumentasi yang disampaikan oleh Syu’bah Asa, memang menemukan kredibelitasnya, namun -menurut penulis-, itu tidak berarti menjadikan kemungkinan proses rekonsoliasi itu menjadi mustahil sama sekali. Keterkejutan yang sedang dialami oleh kedua belah fihak –-sebagaimana di dukung oleh pernyataan Syu’bah Asa sendiri--, tidak menafikan secara mutlak kemungkinan rekonsoliasi.
Karena dalam hal perbedaan-perbedaan yang dinilai –syu’bah asa sebagai sangat prinsipil-, kini sebagian telah mengalami evolusi. Beberapa pemikir syi’ah kontemporer sedikit banyak telah mengalami perubahan ke arah moderasi. Dalam masalah sikap terhadap otentisitas al-Qur’an misalnya, telah terjadi pergeseran sikap dari ekstrimitas menuju moderasi; dimana mayoritas para pemikir “tren kontemporer” syi’ah tidak lagi menganut faham “tahrif al-Qur’an”, sebagaimana pada pendahulu mereka “tren klasik”. Kasus “kawin mut’ah” sebagai mana yang telah dibuktikan oleh Sharla Haery dalam penelitiannya yang berjudul (Kawin Mut’ah dan inprovisasi Budaya), juga telah mengalami reformasi ke arah moderasi; dimana sebagian besar kalangan menengah ke atas di Iran (terutama wanita), tidak lagi menganggap mut’ah sebagai sarana pendekatan diri kepada Allah. Bahkan telah muncul tren pemikiran dikalangan wanita Iran yang menganggap bahwa mut’ah merupakan prostitusi terselubung. Demikian pula dengan sikap mereka terhadap para sahabat, walapun mayoritas mutlak masih berpegang teguh pada tren klasik, hanya saja telah ada perubahan ke arah moderasi (pada sebagian ulama’). Perubahan paling konkrit yang dapat kita saksikan adalah perubahan yang terjadi pada konsep Imamah dari “Nash wa al-Washiyah menuju Wilayat Faqih), di tangan para reformis dari masa Ahmad bin Muhammad al-Niraqi sampai Al-Khumaini, padahal konsep ini merupakan inti bahkan poros bangunan sekte ini.
Ini menunjukkan bahwa perubahan pemikiran dalam diri syiah itu mungkin dan bahkan kongkrit, dan munculnya gerakan reformasi dalam tubuh syi’ah –saat ini- juga merupakan fenomena yang konkret. Hanya saja masalah terberat yang kita hadapi adalah: apakah fenomena ini merupakan bagian dari trik-trik taqiyyah untuk menjaring simpati pengikut Ahlu Sunnah (seperti yang disimpulkan oleh Ibnu Katrsir, Ibnu Jauzi dan kemudian ditandaskan oleh Dr. Al-Qaffari, sebagaimana tersebut diatas) atau merupakan perubahan yang sebenarnya?.
Kekhawatiran para pemikir ahlu as-sunnah memang sangat beralasan, sebab sejarahpun telah berbicara demikian, bukankah dari sejarah kita harus mengaca hingga tidak terjebak dalam lobang kedua kali, tiga kali, atau bahkan berkali-kali karena kebodohan kita.
Namun demikian, apa tidak mungkin perubahan ini dapat dimanfaatkan oleh Ahlu as-sunnah untuk menciptakan satu kekuatan baru di dalam tubuh syi’ah yang kemudian dijadikan praizer (penekan) terhadap kelompok ekstrem, seperti yang dicontohkan oleh Abdullah al-Suweidi?.
Jika pertanyaan ini dapat dijawab dengan “Ya” maka, perubahan ini, tidak kemudian disikapi dengan antipati mutlak (sebagai bagian dari trik trik taqiyyah yang mesti berakhir dengan kemalangan Ahlu as-sunnah), tapi malah harus dijadikan celah untuk melakukan reformasi terhadap faham syi’ah yang menurut Dr. Musa al-Musawi memang telah dimasuki oleh ektrimitas[11].
Jika rekonsoliasi yang diinginkan bukan merupakan proses cooling down dari Ahli sunnah terhadap masalah-masalah yang telah dianggap prinsipil oleh konsisus ulama’ ahlu sunnah, namum sebaliknya, yaitu upaya untuk terus menggiring Syi’ah dari ekstrimitas menuju moderasi, maka apa yang telah di praktekkan terutama oleh Abdullah Al-Suweidi, dan beberapa ulama’ sunnah lainnya –sebagaimana telah disebutkan dimuka-, layak dijadikan pedoman dalam melakuan rekonsiliasi yang diharapkan.
Tapi itu tidak berarti bahwa ahli sunnah tidak melakukan proses cooling down sama sekali. Bagaimanapun juga, proses rekonsoliasi menuntut adanya cooling down dari kedua belah fihak, maka sebagai mana ada tuntutan kepada syi’ah untuk melakukan proses moderasi, selayaknya ahlu sunnah dapat melakukan hal yang sama –tentunya dalam masalah-masalah yang tidak dianggap prinsipil secara konsensus-.
Untuk itu ada langkah-langkah serius yang patut diambil dalam rangka rekonsoliasi ini yang terangkum dalam point-point sebagai berikut:
1. Langkah pertama adalah upaya untuk menghindari “perang pengkafiran” secara bergantian, kecuali yang jelas-jelas bertentangan dengan konsesus ulama dalam “masalah-masalah agama yang telah diketahui secara aksioma”, bangga dengan kesalahan, dan tidak lagi tunduk dengan logika kebenaran dan kebenaran logika.
2. Langkah kedua adalah pengakuan terhadap eksistensi masing-masing kelompok, ini bisa dilanjutkan dengan mengusulkan, kepada masing-masing negara dengan mayoritas tertentu untuk mejamin keleluasaan minoritas (dalam undang-undang) untuk melaksanakan ajaran dan ritual faham dalam lingkungan mereka, dengan syarat tidak berantusias untuk menebarkan fahamnya diluar lingkungan mereka sampai dalam batas menciptaan keresahan dikalangan masyarakat mayoritas –seperti yang akan disebutkan dalam poin berikut). Lontaran ini muncul karena baik syi’ah maupun sunnah telah memiliki negara masing-msing, pelarangan satu kelompok terhadap yang lain akan mengakibatkan terjadinya konflik abadi, di sini minoritas pada masing-masing negara akan menjadi korban dari kebijakan ini.
3. Langkah berikutnya adalah mengembangkan etika berselisih, dengan memberikan hak setiap kelompok untuk menjelaskan kebenaran kelompok yang dianutnya, serta mengkritik kesalahan-kesalahan yang terjadi pada kelompok lain, dengan menggunakan argumentasi-argumentasi yang kuat dan benar, berasaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta logika yang benar. Tanpa harus mencela pengusung ide, tapi kritik tersebut diarahkan kepada ide yang dianggap sebagai obyek kritiknya. Semua itu dilakukan dengan menjunjung tinggi (adab al-ikhtilâh) etika dalam berbeda.
4. masih dalam kerangka ini, mulai dihindarkan upaya pendiskriditan para shahabat, penfasikan, apalagi pengkafiran mereka, karena mereka merupakan generasi yang telah menemui Tuhan mereka, dengan amal yang telah mereka lakukan, maka –sebagaimana yang disampaikan oleh Umar bin Abdu al-Aziz-: ”Tangan kita telah diselamatkan oleh Allah dari ceceran darah mereka, maka selayaknya kita tidak mengotori lidah kita (dengn penghinaan, pelecehan, penfasikan dan pengkafiran)”.
5. Namun demikian, langkah selanjutnya adalah memberikan hak advokasi kepada masing-masing kelompok dengan memberikan hak untuk melakukan upaya pelarangan terhadap kelompok lain, jika memang telah terbukti –berdasarkan kajian ilmiah yang serius-, bahwa kelompok yang dimaksud benar-benar telah meresahkan masyarakat, atau bahkan menyebabkan kondisi masyarakat (keamanan maupun social) mengalami chaos, dalam kondisi ini, proses pelarangan itu tidak bisa dianggap sebagai upaya fanatisme dan diskriminasi kelompok tertentu, namun masuk dalam kategori memelihari dan menjaga eksistensi masyarakat dari kondisi, asalkan semuanya itu dilakukan sesuai prosedur hokum yang berlaku di masyarakat tersebut.
6. Selayaknya masing-masing kelompok tidak berantusias (tama’), untuk menebarkan atau mendakwahkan fahamnya dikalangan umat Islam yang mayoritas telah memilih corak pemahaman, atau kelompok tertentu, dengan demikian kedutaan-kedutaan yang ada tidak difungsikan sebagai basis penyebaran ide mereka. Fungsi kedutaan hendaknya hanya difakuskan pada pembinaan hubungan diplomatik antar negara (dalam masalah politik dan ekonomi social; seperti: kesehatan, pendidikan, iptek, olah raga, seni dll), maka sasaran penyebaran faham-faham tersebut bisa diarahkan ke daerah-daerah minus yang belum memeluk Islam (musyrik/kafir), ateis, daerah pedalaman yang belum memiliki agama, sosialis, materealis dll).
7. Dalam tataran nasional kesepakatan ini diupayakan oleh salah satu lembaga negara yang menangani masalah-masalah agama. Sementara dalam tataran internasional ditangani oleh lembaga islam internasional, yang sekaligus lembaga-lembaga bersangkutan menjadi mediator dengan meletakkan butir-butir kesepakatan kedua belah fihak serta mengawasi jalannya proses tersebut, termasuk di dalamnya menindak tegas fihak yang melanggar kesepakatan yang telah digariskan.

Dengan poin-poin diatas, diharapkan Umat lebih berkonsentrasi kepada pembenahan diri, dan tidak disibukkan oleh konflik interen yang pada akhirnya hanya akan menguras tenaga Umat sementara, musuh-musuh Islam -dengan kemajuannya- telah melesat jauh meninggalkan kita yang terus-menerus berkubang pada kesalahan terhadap diri sendiri.
[1] Muhammad Abu Zahrah, Al-Imam As-Shadiq, Bairut, Dar Fikr al-Arabi, hal 464.
[2] Mahmud Basyuni Muhammad Faudah, Al-Thabarsi Mufassiran, (Disertasi Doctoral belum dipublikasikan), hal 10.
[3] Masalah Taqrib Baina Ahli As-Sunnah wa As-Syi’ah, Nashir Abdullah bin Ali al-Qaffari, Dar Thiba, Riyadh, Cet 6, hal. 149.
([4]) Bidayah Wa an-nihayah, Ibnu Katsir: 11/221.
([5]) Bidayah Wa an-nihayah, Ibnu Katsir: 12/54-56.
([6]) Al-Qaffari, hal 2/151
([7]) Ibid, hal: 12/149.
([8]) Kisah muktamar ini terekam dalam catatan seorang ulama’ Iraq; Abdullah bin Husain bin Mar’I bin Nashiruddin al-Dauri al-Suweidi (1104-1174 H) (al-Nafhah al-maskiah ti rihlah al-makkiah), dan buku anaknya: Abdurrahman bin Abdullah al-Suwedi (Hadaiq al-zauro’ fi sirat al-wuzara’ atau sering disebut dengan “Tarikh Baghdad”), oleh Ustadz Muhibbuddin Khotib diterbitkan dengan judul “Muktamar Najf” yang sebelumnya ia ulas dalam majalah “al-Fath” dengan judul yang sangat bombastis: “A’dham muktamar fi tarikh al-muslimin littafahum baina al-syi’ah wa ahli sunnah al-muhammadiyyah”.
([9]) Tentang kehebatan Suweidi Ini Mahmud Syukri al-Alusi menulis:
“sosok yang satu ini memang mempunyai kelebihan yang tak terbatas, entah betapa tinggi perannya dalam mempertahankan kebenaran ajaran ahli sunnah, terutama saat Nadir Syah datang ke Iraq dengan membonceng orang-orang luar (yang terkenal dengan ahli nifaq dan pengadu domba), saat itu para utusan syah berdebat hebat dengan Ahmad Basya; gubernur baghdad, demikian perdebatan itu terus berlanjut melewati utusan-utusan yang terus bergantian, sampai akhirnya Syah turun tangan dengan mengeluarkan keputusan untuk menetapkan madzhab Syi'ah imamiyah itsna asyariah sebagai madzhab resmi serta menolak madzhab sunnah, mendengar ini gubernur Baghdad (Ahmad Basya) mengutus Abdullah Suweidi untuk berdebat dengan para ulama’ syi'ah, dengan kepiawaiannya ia bisa menundukkan saingan debatnya serta meluruskan kesesatan-kesesatan mereka, sehingga akhirnya Nadir Syah beralih haluan dari Syi'i menjadi Sunni, disamping secara otomatis ia berhasil menyelamatkan ratusan nyawa akibat fanatisme kelompok ini”. (al-maslak al-adzfar, Mahmud Syukri al-alusi, dikutip dari “Masalatu al-Taqrîb baina ahli al-sunnah wa al-Syi'ah”, Nashiruddin al-Qofari, Dar Tibah li annasyr wa al-tauzi’, Riyadh 1420 H , hal 104-106).
[10] Mengapa kita menolak Si’ah,
[11] Lihat Syi’ah wa at-Tashih,

No comments: