12.17.2008

MEMAKNAI TAHUN BARU HIJRIYAH


MEMAKNAI TAHUN BARU HIJRIYAH

Tak terasa, kita akan kembali menjemput tahun baru Hijriyah (1430 H) sekaligus tahun baru Miladi (2009 M). Berbagai kejadian besar dan kecil telah terjadi di dunia sepanjang tahun 1429 H/2008 M. demikian pula berbagai peristiwa besar dan kecil telah kita melintas dihadapan kita sepanjang tahun lengkap dengan manis dan pahitnya. Banyak yang telah menjadikan kita bergembira, bahagia dan tersenyum, namun banyak pula membuat kita sedih, berduka bahkan menangis. Banyak generasi baru sepanjang tahun ini telah lahir, dan tak terkira jumlahnya generasi tua/muda telah meninggalkan kita, untuk menemui Tuhan mereka.

Tetapi peristiwa semacam itu tahun demi tahun terus terulang dan akan terus terulang, sehingga yang terpenting bagi kita bukan terjadinya atau terualangnya peristiwa-peristiwa tersebut, namun yang terpenting adalah apa yang dapat kita petik dari peristwa-peristiwa tersebut.

Walaupun umur kita rata-rata tidak begitu panjang (60-90), namun kita tidak boleh lelah untuk selalu mengulang-ngulang dan melihat kembali cara kita memaknai hidup ini, cara kita menata hidup ini dan cara kita menjalani hidup ini, serta tahapan-tahapan capaian yang telah dan belum kita realisasikan. Agar perjalanan hidup ke depan senantiasa bergerak menuju kebaikan dan terus lebih baik dari sebelumnya, sehingga kita dapat menutup hidup kita kelak dengan sesuatu yang lebih berarti.



يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
(Hai Orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah, dan hendaklah setiap individu diantara kamu selalu melihat (mengevaluasi-mengintropeksi) terhadap apa yang telah diperbuatnya untuk masa depannya (kehidupan akherat), sesungguhnya Allah mengetahui atas apa yang kalian lakukan).

Seperti halnya yang disabdakan oleh Rasulullah Swt:


من كان يومه خيرا من أمسه فهو رابح، ومن كان يومه مثل أمسه فهو مغبون ومن كان يومه شرا من أمسه فهو ملعون
(Barangsiapa yang harinya (hari ini) lebih baik dari sebelumnya, maka ia telah beruntung, barangsiapa harinya seperti sebelumnya, maka ia telah merugi, dan barangsiapa yang harinya lebih jelek dari sebelumnya, maka ia tergolong orang-orang yang terlaknat)


Dalam perjalanan panjang, bus yang kita tumpangi mesti berhenti sejenak di halte-halte tertentu, untuk mengambil rehat-jeda dan nafas, mengevaluasi perjalanan yang telah dilalui dan mempersiapkan perjalanan berikutnya.

Nah, momen tahun baru merupakan salah satu halte yang paling cocok untuk kita gunakan sebagai momentum untuk melakukan (evaluasi, intropeksi dan refleksi).


وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا مُوسَى بِآيَاتِنَا أَنْ أَخْرِجْ قَوْمَكَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ وَذَكِّرْهُمْ بِأَيَّامِ اللّهِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِّكُلِّ صَبَّارٍ شَكُورٍ.

(Telah kami utus Musa dengan membawa tanda-tanda (ayat) kami, seraya kami katakan: Keluarkan kaummu dari kegelapan menuju cayaya, dan ingatkan mereka dengan hari-hari Allah. Sesungguhnya yang demikian itu merupakan tanda-tanda bagi hamba yang selalu tabah (dalam menjalankan ketaatan) dan suka bersyukur(atas karunia yang dilimpahkan kepadanya).
Dalam Ayat di atas Allah memberikan penjelasan kepada Nabi Muhammad bahwa Risalah kenabian yang diembankan kepada-nya sama halnya dengan risalah kenabian yang diembankan kepada Nabi Musa, Tugas Pokok para pemegang risalah kenabian adalah (menjadi agen perubahan-misi utamanya adalah mengentaskan masyarakat dari keterpurukan (adh-dhulumat-Kegelapan) menuju masa depan yang menjanjikan (an-nuur-Cahaya-Kemajuan).

Tatkala sebuah bangsa ingin bangkit dari keterpurukan, terkadang terhambat oleh beberapa kendala psikologis yang justru muncul dan bersemayan dalam diri sendiri: kendala itu bernama sindrom inferiority complex. Perasaan minder dan rendah diri, merasa tidak mampu.

Sindrom seperti ini walaupun dianggap tidak layak muncul di dalam masyarakat (Bani Israel), namun sangat difahami oleh Al-Quran sebagai hal yang tabi'i (wajar). Oleh karena itu Allah memerintahkan kepada Nabi Musa agar memanfaatkan momentum-momentum besar yang telah terjadi dalam sejarah Bani Israel, untuk digunakan sebagai sarana pendobrak rasa rendah diri, dan selanjutnya mereka mampu bangkit dengan penuh keberanian dan percaya diri.

Momentum-momentum besar yang terjadi dalam sejarah Bani Israel selalu disebut-sebut Allah sebagai modal besar untuk bangkit dan tampil menjadi bangsa besar, untuk mengemban tugas besar.

Selepas Bani Israel keluar dari perbudakan Firaun, mereka mendapat tugas besar untuk menaklukkan kota suci Yerussalam. Tugas besar ini tentu sebanding lurus dengan tantangan yang besar, -karena itu berarti- harus menaklukkan The Giant Nation (Bangsa Besar-dalam al-Quran dita'birkan dengan kata-kata al-jabbarin)....Dalam menghadapi realita ini, ternyata Bangsa Israel gamang, ragu dan tak percaya diri ... akhirnya dengan nyanyian koor mereka mengeluarkan pernyataan:


قَالُوا يَا مُوسَى إِنَّ فِيهَا قَوْمًا جَبَّارِينَ وَإِنَّا لَن نَّدْخُلَهَا حَتَّىَ يَخْرُجُواْ مِنْهَا فَإِن يَخْرُجُواْ مِنْهَا فَإِنَّا دَاخِلُونَ

<>>


Menghadapi kondisi seperti ini, Musa as. Mengangkat kebesaran Bangsa Israel dan mengingatkan momentum-momentum besar yang telah terjadi dalam sejarah panjang mereka :


وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ يَا قَوْمِ اذْكُرُواْ نِعْمَةَ اللّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ جَعَلَ فِيكُمْ أَنبِيَاء وَجَعَلَكُم مُّلُوكًا وَآتَاكُم مَّا لَمْ يُؤْتِ أَحَدًا مِّن الْعَالَمِينَ.

Telah diutusnya seorang Rasul dengan membawa sebuah kitab suci yang khas dan autentic, (yang menyelamatkan dari kungkungan kekafiran-kemusyrikan, lalu Mengeluarkan dari perbudakan-Firaun), setelah pindah dan berhasil membuka Palestina akhirnya Bangsa Palestina dapat membangun sebuah pemerintahan (dimulai dari masa Nabi Dawud) yang kekuasaannya sampai ke Yaman.

Dengan fakta sejarah inilah Allah kemudian banyak mengingatkan Bani Israel bahwa sebagai umat, mereka dilebihkan dari umat-umat lainnya. Bahkan dalam ayat diatas ditandaskan bahwa mereka telah diberikan nikmat yang tidak diberikan kepada umat lainnya (waataakkum maa lam yukti ahadan minal aalamin).

Nah, momentum Hijrah dalam sejarah Umat Islam, merupakan momentum sejarah yang besar, yang mencengangkan dunia. Karena dari titik tolak hijrah inilah peradaban besar Islam yang tinggi dan agung itu di design/dirancang dan diciptakan. Sebuah peradaban yang sinarnya menyinari timur dan barat (walillahil masyriqu wal maghribu-sesungguhnya timur dan barat hanya milik Allah semata).

Peristiwa Hijrah merupakan (al-quwwatu fittamassuk bil mabadi') keteguhan dalam mempertahankan prinsip. Peristiwa Hijrah merupakan (adz-dzaka fil khuruj minal ma'jzaq) kecerdasan keluar dari tekanan masalah dan problematika. Peristiwa Hijrah adalah (al-ghazwah al-kubraa fi nasyril al-haq, wass-syajaa'ah, wal adalah) the big invation (invansi besar-besaran) nilai kebenaran, keberanian dan keadilan. Peristiwa Hijrah merupakan (al-mauj al-kabir fil khuluq), the big wave of morality. Perintiwa Hijrah adalah guru terbesar dalam ketulusan dan persaudaraan (The big teacher of sincerity and brotherhood), Peristiwa Hijrah adalah pelajaran terbesar dalam pengorbanan (The big teacher of sacrifice).

Momentum besar ini semestinya kita maknai dengan makna-makna di atas, lalu kita resapi yang selanjutnya menjadi kapitalisasi bagi kebangkitan ulang umat Islam, karena sejatinya kita ini umat yang besar yang dipersiapkan oleh Allah mengemban sebuah tugas besar.

كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُم مِّنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.

Dengan demikian tidak ada tempat bagi kegamangan gamang, sindrom inferiority complex, karena sejatinya kita adalah sebaik-baik umat. Dalam kesempatan ini, sangat baik jika kita renungkan kata-kata M. Iqbal berikut ini:

Resapi kembali ajaran keberanian, kebenaran dan keadilan, kerena kamu akan dipanggil kembali untuk memimpin bangsa bangsa di dunia … ”. (M. Iqbal).

Membaca Dibalik Berita


Semua Media Massa Berbohong
Kamis, 11 Desember 2008 00:10
Sumber: (www.warnaislam.com/rubrik/jurnalistik/

Wartawan yang taat pada kode etik –khususnya mengenai larangan "pencapuradukan fakta dan opini— akan menulis dengan kata-kata yang "netral".
"Kelompok militan Hamas menyerang Israel...";
"Kaum militan Islam di Selatan Thailand melakukan serangan ke pos keamanan..." ;
"Kelompok teroris Al-Qaidah terus diburu...";
"Keluarga teroris datangi Polri...";
"Kelompok radikal Islam melakukan protes";
"Ulama garis keras memprotes tayangan televisi";
"Kaum separatis Filipina Selatan";
"Kelompok pemberontak Chechnya menyerang pasukan Rusia..."
Kalimat seperti di atas belakangan sangat akrab di telinga dan mata kita. Jika tidak memiliki background information atau pengetahuan yang memadai sebelumnya, kita akan “terjebak” pada propaganda media (berita propagandistik) semacam itu. Mayoritas pembaca menjadi korban manipulasi informasi dan kalimat-kalimat tendensius seperti itu.
Wartawan yang taat pada kode etik –khususnya mengenai “pencapuradukan fakta dan opini—tidak akan menulis kalimat seperi di atas, yakni tidak mencantumkan kata-kata yang ditulis miring, tapi membuangnya atau menggantinya dengan kata-kata yang “netral”.
Kata-kata yang ditulis miring bukan fakta, melainkan opini atau interpretasi, kecuali kata-kata itu adalah kutipan pembicaraan atau pernyataan narasumber. Jika kata-kata itu disusun oleh wartawan sendiri, berarti ia sudah memasukkan opini dalam berita. Parahnya, opininya itu merupakan penjulukan (labelling) yang akan berpengaruh pada citra pihak yang dilabelinya.
Apakah Hamas menamakan dirinya militan? Apakah para pejuang kemerdekaan di Selatan Thailand menyebut dirinya militan Islam? Apakah Al-Qaidah menamakan dirinya teroris? Apakah ulama yang diberitakan itu menyebut dirinya ulama garis keras? Jika tidak --dan memang tidak— maka julukan itu adalah opini wartawan dan ini sebuah kebohongan!
Wartawan yang jujur cukup menyebut Hamas, ulama, sekelompok orang, atau gerilyawan, tanpa embel-embel apa pun. Bukankah cukup dengan menulis: “Kelompok Hamas menyerang Israel?” Kenapa harus diembel-embeli kata “militan”?
Kasus tadi sekadar contoh, betapa sulit menemukan kejujuran dalam pemberitaan media massa. Apalagi kini masanya “perang informasi”, era propaganda, dan media menjadi bagian dari alat perjuangan politik, termasuk dalam hal “pembunuhan karakter” (character assasination), “pembanguan citra” (image building), “invasi pemikiran” (ghozwul fikr), dan justifikasi tindakan kepada publik.
Semua Media ‘Berbohong’
Semua media massa hakikatnya melakukan kebohongan, setidaknya karena satu hal: membesar-besarkan, mendramatisasi, mengecilkan fakta, atau menyisihkan fakta-fakta tertentu.
Kebohongan demikian merupakan sebuah risiko, sekaligus “bisa dimaafkan” (forgivable), karena masih dalam konteks jurnalisme. Dunia pemberitaan media massa memiliki rumusan tersendiri: berita adalah rekonstruksi peristiwa melalui simbol, kata-kata dan/atau gambar. Dengan keterbatasan ruang (kolom) dan waktu (durasi), banyak fakta harus tersisihkan setidaknya berdasarkan “teori” piramida terbalik –sangat penting, penting, kurang penting, tidak penting.
Itulah sebabnya, The press and the media do not reflect reality, they filter and shape it! Apa yang disajikan media adalah “relaitas kedua” (second reality) atau “realitas semu” (pseudo
reality) yang sudah ditambah, dikurang, atau “dibumbui” dengan permainan kata-kata atau sensasi tertentu agar menarik perhatian publik.
Yang tidak bisa dimaafkan adalah jika kebohongan itu disengaja, misalnya dengan memanipulasi fakta, memutarbalikkan fakta, mendistorsi kebenaran, melanggar prinsip fairness doctrine, atau melanggar kode etik jurnalistik, misalnya asas praduga tak bersalah, berimbang (balance), check and recheck (tabayun, konfirmasi, klarifikasi, verifikasi data), dan mencampurkan fakta dan opini (wartawan) dalam berita.
Selain itu, wartawan tidak mungkin tidak subjektif dalam menulis berita. Persepsi wartawan tentang suatu peristiwa, baik dari sudut pandang jurnalistik (news value) maupun perspektif ideologisnya, sangat berpengaruh pada pilihan angle (sudut pandang) peristiwa yang ia tulis. Dari segi teknis, subjektifitas juga terjadi, ketika wartawan menentukan peristiwa yang harus diliput dan fakta yang harus dipilih dan dipilahnya dalam penulisan berita.
Oleh karena itu, jangan berharap ada objektivitas murni dalam sebuah berita media massa. Objektivitas di media massa adalah “objektivitas yang subjektif”.
Agenda-Media Setting
Setiap media massa memiliki agendanya sendiri, sesuai dengan visi dan misi yang dimiliki. Visi-misi media massa adalah “company philoshopy” yang menjadi “basic values” yang harus ditaati para wartawan dalam menulis berita. “Nilai-nilai dasar” baik yang sifatnya ideologis, politis, maupun ekonomis, menjadi acuan dalam penyusunan “editorial policy” sebuah media massa.
Editorial Policy adalah kriteria layak-tidaknya sebuah berita dipublikasikan yang dalam dunia komunikasi massa disebut gatekeeping, yakni “a series of check point” yang dijaga oleh para gatekeeper (para redaktur rubrik). Sebuah berita harus melalui ”gate” tersebut sebelum sampai ke publik. Artinya, lolos-tidaknya sebuah peristiwa diberitakan (menjadi berita) bergantung pada hasil pengecekan tersebut, belum lagi ditambah “selera” redaktur yang subjektif.
Secara teroritis, setiap media memiliki “agenda-media” yang disetting sejak awal. Agenda dan gatekeeping itulah yang “mengendalikan akses kita terhadap berita, informasi, dan hiburan” (Wilson).
Dalam perspektif teori komunikasi (massa) dikenal dengan “agenda-media setting theory” (Maxwell McCombs and Donald L. Shaw [1973]): “The Agenda-Setting Theory says the media (mainly the news media) aren’t always successful at telling us what to think, but they are quite successful at telling us what to think about”.
Agenda Setting juga didefinisikan sebagai proses di mana media massa menentukan apa yang kita pikirkan dan cemaskan (the process whereby the mass media determine what we think and worry about). Walter Lippmann (1922) menegaskannya: the media dominates over the creation of pictures in our head; the public reacts not to actual events but to the pictures in our head.
Secara praktis, Agenda-Setting menentukan apa yang harus diberitakan sehingga menjadi “agenda publik” (public agendas), yakni isu utama yang menjadi bahan pembicaraan; diharapkan agenda publik nantinya menjadi “agenda kebijakan” (policy agenda) atau mempengaruhi “agenda politik” (political agenda) para pembuat kebijakan, yang pada akhirnya menentukan kebijakan publik (public policy). Sebagai contoh, disinyalir, gencarnya pemberitaan kasus kekerasaan di IPDN karena media massa punya agenda: pembubaran IPDN!
The Media agenda is the set of issues addressed by media sources and the public agenda is the issues the public consider important (Miller, 2005).
Demikianlah, semua pemberitaan media melalui proses tertentu yang “dibingkai” (framing) berdasaran agenda-media, sehingga menimbulkan pengaruh dan interpretasi tertentu dan menciptakan “opini publik” (public opinion). Opini publik itulah yang mengendalikan pemikiran dan sikap masyarakat terhadap isu tertentu.
Maka, sadarlah, kita sudah dibohongi media massa, minimal oleh kebohongan yang “forgivable”! Karenanya, jangan terlalu percaya atau sepenunya yakin pada pemberitaan media, minimal jadilah “pembaca kritis”. Lebih jelas tentang kebohongan media, jadilah penulis, wartawan, atau pengelola media massa. Idealnya, berpihaklah pada kebenaran dan publik. Dalam kamus media massa, parameter utama kebenaran adalah faktual –sesuai dengan fakta atau kenyataan—dan “doktrin kejujuran” (fairness doctrine). Maka, junjunglah kebenaran dan kejujuran itu, minimal dengan tidak memelintir fakta. “Fact is sacre!” menjadi pedoman baku para jurnalis profesional. Wallahu a'lam. (http://www.romeltea.co.nr).*/

12.10.2008

PROBLEMATIKA PANJANG RUKYAT DAN HISAB


PROBLEMATIKA PANJANG RUKYAT DAN HISAB
Kesimpulan Hasil Kaji Gagas Bina Cermat (Bina Cendikia dan Kepedulian Kader Umat)
ICMI Orsat Kairo

Salah satu persoalan besar yang aktual yang dewasa ini sering dihadapi oleh Umat Islam adalah problem perbedaan dalam penentuan awal bulan qamariyyah. Persoalan ini menjadi sangat penting karena memang banyak sekali ibadah-ibadah besar dalam Islam semisal Puasa Ramadhan, Perayaan Idul Fitri, Pelaksanan Rangkaian Haji, dan Perayaan Idul Adha yang waktu pelaksanaannya didasarkan pada penanggalan qamariyyah. Adanya perbedaan antara sesama Umat Islam dalam penentuan awal bulan qamariyyah, akan menyebabkan timbulnya perbedaan dalam waktu pelaksanaan ibadah-ibadah yang memang lazim dan semestinya dilaksanakan secara bersama-sama ini. Di samping itu, beberapa ibadah dan kegiatan keagamaan lainnya juga banyak yang ditentukan waktunya oleh penanggalan qamariyyah, seperti hitungan haul Zakat, tempo ‘îlâ, masa ‘iddah, dan puasa ayyâmu 'l-baidl. Dari sini nampak jelas, bahwa perbedaan antara sesama Umat Islam dalam penentuan awal bulan-bulan hjijriah akan sangat memberikan pengaruh yang signifikan dalam praktek kegiatan keagamaan di level individu maupun di tingkat komunal.
Dalam skup Indonesia, problem ini menjadi semakin kuat. Sebab utamanya adalah tidak adanya sebuah lembaga resmi yang diakui bersama oleh seluruh Umat Islam Indonesia sebagai satu-satunya lembaga fatwa yang bersifat mengikat ke seluruh kalangan muslim Indonesia. Meskipun ada kementerian khusus di Pemerintah yang mengatur persoalan ini, akan tetapi hampir setiap organisasi masyarakat (Ormas) yang ada telah menerapkan metode penentuannya yang berbeda-beda secara mandiri. Sehingga tidak heran, jika keputusan resmi yang dikeluarkan oleh Pemerintah dalam persoalan ini ternyata tidak diterapkan oleh masyarakat secara riil, yang memang relatif lebih loyal terhadap organisasi atau lembaga yang diikutinya. Problem ini terus lestari selama bertahun-tahun karena memang metode dasar yang menjadi pemberangkatan setiap Ormas itu berbeda satu sama lain dan cenderung tidak sama dengan metode yang dipakai sebagai acuan dasar oleh Pemerintah (dalam hal ini : Departemen Agama RI).
Memandang persoalan komunal yang tidak kunjung usai ini, Organisasi Satuan Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia Kairo (Orsat ICMI Kairo) melalui Forum Bina Cendekia dan Kepedulian Kader Umat (FOR-BINACERMAT) merasa terpanggil untuk berperan serta dalam upaya pemberian solusi kongkret yang praktis dan ideal agar tercapai kesatuan bersama dan persatuan kuat yang memang merupakan cita-cita luhur yang sangat ditekankan oleh Islam dalam ajaran-ajarannya di Al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw. Atau paling tidak, aneka perbedaan sekaligus pertentangan yang ada selama ini—khususnya dalam skup Indonesia—bisa dikurangi seminim mungkin dengan tetap mengembangkan tenggang rasa dan ukhuwwah islâmiyyah. Naskah ini disusun sebagai hasil kajian intensif yang telah dilaksanakan Forum mengenai persoalan tersebut di atas dari berbagai macam aspeknya.
Berikut kami sampaikan hasil kaji gagas tersebut dalam poin-poin dibawah ini:

1. Hasil kajian sejarah menunjukkan bahwa secara praktek masyarakat madinah pada masa kenabian melakukan ibadah komunal (Puasa, Ied, Haji, dst), secara bersatu dan bersama-sama, dan belum ditemukan bukti terjadinya perbedaan waktu pelaksanaan dalam masyarakat tersebut, demikian pula pada masa-masa selanjutnya; yaitu masa khulafaurrasyidin, dan khilafah-khilafah setelahnya. Perbedaan pelaksanaan ibadah-ibadah tersebut terjadi antar daerah yang berjauhan, dan bukan terjadi dalam satu tempat.

2. Kajian historis Bina Cermat juga menyimpulkan bahwa penetapan waktu berbagai ibadah komunal tersebut dalam tataran peperintahan (Resmi) menggunakan Rukyat.
3. Sementantara Metode hisab mulai muncul secara teroritis pertama kali pada masa Tabi'in, oleh Mutharrif bin Abdillah pada tahun 78 H. Lalu pada masa-masa selanjutnya dikembangkan oleh Ibnu Qutaibah (828-889 M), lalu Ibnu Juraij Asy-syafi'i (). Lalu estafeta metode ini dilanjutkan oleh Imam Ibnu Daqiq al-ied (702 H), dan Ali Ibn Abdil Kafi as-Subki dikenal dengan Taqiyuddin as-Subky (756 H).
4. Namun Metode Hisab tersebut masih menjadi tawaran konsep dan perdebatan wacana di kalangan para ulama', dan dipraktekkan hanya oleh pengguna metode ini secara individu, belum dipraktekkan dalam tataran Pemerintah, keculai pada masa Pemerintahan Fathimiyah di Mesir (341-567 H).
5. Para ulama' kontemporer pendukung Metode Hisab, diantaranya: Syiekh Tantawi jauhari (1913), lalu disusul oleh Syeikh Musthafa al-Maraghi, Syeikh Muhammad Rasyid Ridho (1927), lalu Syeikh Muhammad Bakhit al-Muthi'i (1933), selanjutnya Syeikh Ahmad Muhammad Syakir, lalu oleh al-Ghumari (1953), yang menulis sebuah buku berjudul Taujihul Andzar li Taujihil Muslimin fis-syaumi wal ifthar. Metode ini juga diperkuat oleh ulama'-ulama kontemporer ternama yang masih hidup sekarang ini, seperti Muhammad Fathi Ad-Darini, Syeikh Musthafa Ahmad Az-Zarqa', Dr. Yusuf Qordhawi.
6. Dalam tataran pemerintah, saat ini metode ini dipraktekkan oleh:
a. Saudi Arabia, selain bulan Ramadhan Syawwal dan Dzulhijjah, dengan kriteria bulan terbenam setelah matahari dengan diawali ijtimak terlebih dahulu (moonset after sunset).
b. Libia, dengan kriteria ijtima' qabla fajr atau terjadinya ijtimak sebelum fajar.
c. Aljazair, Turki dan Tunisia, dengan kriteria umur bulan, ketinggian bulan atau selisih waktu terbenamnya bulan dan matahari.
d. Indonesia, Malaysia, Brunei, dan Singapura, dengan kreteria (MABIMS), yaitu umur bulan > 8 jam, tinggi bulan >2o dan elongasi > 3o.
7. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kedua metode tersebut (Rukyat dan Hisab), saat ini telah didudung secara teroritas oleh berbagai ulama', dan telah dipraktekkan secara nyata dalam tataran pemerintah.
8. Hasil kaji gagas Bina Cermat juga menyimpulkan bahwa Metode Rukyat yang benar dan Hisab yang ilmiah keduanya sah secara syar'i dan keilmuan.
9. Namun demikian secara praktek dalam sekala satu Negara, dilarang terjadinya keragaman waktu pelaksanaan ibadah-ibadah komunal ini, yang dilandasan pada perbedaan metode-metode tersebut.
10. untuk itu otoritas dan wewenang dalam masalah ini harus diserahkan kepada pemimpin (pemerintah), karena betapa banyak keragaman yang terjadi dimasyarakat hanya pemimpinlah yang memiliki kekuatan untuk memilih salah satu pendapat yang beragam itu, karena (ra'yul imam yaqtaul khilaf).
11. Alasan kenapa kita harus bersatu, dan tidak dibolehkan terjadinya keragaman dalam praktek ibadah-ibadah komunal tersebut adalah sebagai berikut:
a. Firman-firman Allah dan hadis-hadis tentang anjuran untuk bersatu, hadis-hadis yang menganjurkan untuk melaksanakan berbagai ibadah dalam jamaah (shalat fardhu berjamaah, taraweh, haji, shalat ied (wajib), sahalt jumat (wajib), dll).
b. Firman Allah dalam surat Al-Baqarah 189
* štRqè=t«ó¡o„ Ç`tã Ï'©#ÏdF{$# ( ö@è% }‘Ïd àM‹Ï%ºuqtB Ĩ$¨Y=Ï9 Ædkysø9$#ur 3 }§øŠs9ur •ŽÉ9ø9$# br'Î/ (#qè?ù's? šVqãŠç6ø9$# `ÏB $ydÍ‘qßgàß £`Å3»s9ur §ŽÉ9ø9$# Ç`tB 4†s+¨?$# 3 (#qè?ù&ur šVqã‹ç7ø9$# ô`ÏB $ygÎ/ºuqö/r& 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# öNà6¯=yès9 šcqßsÎ=øÿè? ÇÊÑÒÈ

c. Firman Allah dalam surat al-Baqarah 185
ãöky­ tb$ŸÒtBu‘ ü“Ï%©!$# tAÌ“Ré& ÏmŠÏù ãb#uäöà)ø9$# ”W‰èd Ĩ$¨Y=Ïj9 ;M»oYÉit/ur z`ÏiB 3“y‰ßgø9$# Èb$s%öàÿø9$#ur 4 `yJsù y‰Íky­ ãNä3YÏB tök¤¶9$# çmôJÝÁuŠù=sù ( `tBur tb$Ÿ2 $³ÒƒÍsD ÷rr& 4’n?tã 9xÿy™ ×o£‰Ïèsù ô`ÏiB BQ$­ƒr& tyzé& 3 ߉ƒÌãƒ ª!$# ãNà6Î/ tó¡ãŠø9$# Ÿwur ߉ƒÌãƒ ãNà6Î/ uŽô£ãèø9$# (#qè=ÏJò6çGÏ9ur no£‰Ïèø9$# (#rçŽÉi9x6çGÏ9ur ©!$# 4†n?tã $tB öNä31y‰yd öNà6¯=yès9ur šcrãä3ô±n@ ÇÊÑÎÈ

d. Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah
الصوم يوم تصومون والفطر يوم تفطرون والأضحي يوم تضحون

e. Hadis tentang laporan Rukyat dari orang Badui
أن ركبا جاء إلي النبي r يشهدون أنهم رأو الهلال بالأمس، بأمرهم أن يقطروا وإذا أصبحوا أن يعدوا إلي مصلاهم.
f. Atsar dan pernyataan para sahabat
i. Pernyataan Umar bin Khottab kepada salah seorang dari dua orang yang telah berbuka puasa setalah kemarennya mereka melihat bulan, sementara satu orang lagi belum berbuka puasa. Umar marah kepada yang telah berbuka seraya berkata: "Jika bukan karena kawanmu ini (yang tetap menunggu keputusan pemimpin dan berhariraya bersama masyarakat), maka tentu aku sudah memukul kepalamu dengan sakit"
ii. Suatu hari datang juga seorang dari jauh kepada Umar dan menyatakan bahwa ia telah melihat hilal secara langsung, lalu Kholifah umar berkata kepadanya: "Lantas apa yang engkau perbuat ?, ia menjawab: "Aku tetap berpuasa bersama orang-orang". Mengapa, tanya kholifah kembali ? "Aku tidak ingin berbuka saat ramai orang masih berpuasa", kholifah umar berkata: "Duhai alangkah dalamnya pengetahuan agamamu !".
iii. Pada masa khalifah Utsman bin Affan, Beliau melakukan shalat dzuhur secara sempurna, sementara yang bertul menurut Ibnu Masud adaah qashar. Ibnu Ma'ud ternyata mengikuti cara shalat khalifah. Ketika ditanya mengapa begitu, beliau menjawab dengan tegas, "al-khilaf Syarrun". (mengambil sikap berbeda itu tercela".

g. Pandangan para Imam Besar setelah sahabat
i. Imam Asy-Syaibani: "Orang yang sendirian melihat hilal, ia harus mengikuti putusan masyarakat dalam (penentuan waktu berawal dan berakhir) puasa serta haji, meskipun ketika itu putusan masyarakat berbeda dengan apa yang menjadi keyakinannya".
ii. Ibnu Taimiyah: "Landasan dari permasalahan ini adalah bahwasanya Allah Ta'ala telah mengaitkan waktu-waktu ibadah itu dengan hilal dan syahr, ... sedangkan hilal adalah sebutan bagi obyek yang sudah diumumkan kepada publik secara terang-terangan. Jadi apabila bulan sabit itu telah muncul di langit, akan tetapi belum dikenal dan belum diteriakkan oleh orang-orang, maka berarti bulan sabit itu belumlah merupakan hilal. Demikian juga syahr, Syahr merupakan derivasi dari asy-syuhrah (popularitas). Sehingga sesuatu yang belum populer di kalangan masyarakat, tentu berarti syahr itu belum datang".
h. Pandangan para Ulama kontemporer
i. Muhammad bin Abdul Baqi: "Yang nampak disini, pengertian dari hadis ini adalah bahwa urusan urusan tersebut (puasa dan hari raya dan haji) bukanlah wewenang orang perorang, dan mereka tidak boleh memisahkan diri dalam pelaksanaannya, wewenangnya harus dipasrahkan kepada imam (pemimpin) dan jamaah. Dan seiap indifidu dalam hal ini wajib mengikuti pemimpin dan jamaah".
ii. Yusuf Qordlowi: ".... apabila kita memang belum mampu untuk mencapai kesepakatan universal yang meliputi seluruh wilayah umat Islam di seantero dunia, maka paling tidak kita harus berusaha keras untuk mencapai kesatuan lokal antara masyarakat muslim dalam satu ilayah. Jadi kita sama sekali tidak boleh memecah anak satu bangsa atau penduduk satu kota menjadi bermacam-macam, di mana sebagian kelompok sudah berpuasa kaena menganggab sebagai ramadhan sementara kelompok yang lain masih berbuka karena menganggapnya sebagai sya'ban ...."

i. Keputusan beberapa Mufti dan Keputusan Lembagi Fatwa
j. Keharusan untuk mengalah demi kepentingan umat yang lebih luas
k. Dibolehkannya berpuasa (bersama masyarakat) dihari yang diyakini bahwa hari itu adalah hari raya, dan berhari raya yang diyakini bahwa hari itu adalah masih puasa.

12. Untuk mewujudkan persatuan dalam masalah ini, Hasil kaji gagas Bina Cermat mengusulkan langkah riil sebagai berikut:
a. Sosialisasi dan penyadaran tentang peran
i. Pemerintah sebagai ulil amri, penanggung jawab utama dan pemegang wewenang tunggal dalam masalah ini.
ii. Ormas-Ormas, Parpol, Jamaah dst Bahwa keberadaannya adalah untuk berkompetisi dalam kebaikan (persatuan) bukan dalam kemaksiatan (perselisihan), dan tidak menggiring anggota kepada fanatisme kelompok, tapi kepada kemaslahatan umat yang lebih luas.
iii. Masyarakat (untuk mentaati pemimpin selama tidak memerintahkan kepada kemaksiatan kepada Allah, dan tidak terbawa oleh arus fanatisme kelompok, guna mewujudkan kesatuan dan persatuan serta kemaslahatan umat).
b. Penunjukan Lembaga terpilih yang disepakati sebagai satu-satunya lembaga yang berhak dan berwenang untuk mengambil keputusan mengenai masuknya bulan hijriyah setiap tahun.
c. Penentuan kreteria (oleh lembaga terpilih) dan pengundangan.
i. Kriteria MABIM
ii. Mengambil salah satu kreteria yang selama ini telah jamak dipakai oleh salah satu ormas
iii. Kriteria LAPAN
iv. Kriteria lainnya yang diusulkan oleh Bpk T. Djamaluddin yang didasarkan oleh fraksi luas sabit bulan yang bisa diamati)
v. Kriteri yang sangat layak untuk dipertimbangkan menurut hasil kaji gagas Bina Cermat adalah Rukyat Ilmiah, yang didefinisikan (Masuknya awal bulan pada dasarnya ditentukan melalui hasil rukyat lokal. Tetapi rukyat tersebut harus berpijak pada prediksi Hisab yang paling meyakinkan. Jika sesuai prediksi Hisab Rukyat memang mungkin dilakukan, maka kesaksian dari masyarakat maupun kesaksian dari luar negeri bisa diterima. Akan tetapi jika prediksi Hisab tersebut tidak menyisakan kemungkianan, maka Rykyat hanya boleh dilakukan oleh tim resmi bentukan lembaga terpilih dan hasilnya harus dilaporkan dalam gambar potret yang bisa dianalisa lebih lanjut. Jika memang sama sekali tiak ada laporan rukyat yang masuk, maka diterapkanlah langkah istikmal".
1. Secara mendasar sesuai dengan ajaran Rasulullah dan Ijmak para ulama' madzahib karena tidak mengabaikan Rukyat.
2. Sejalan dengan perkembangan sains dan teknologi karena sama sekali tidak mengabaikan Hisab Ilmu Falak dan Kajian astronomi.
3. Berpeluang besar untuk mendukung ide penyatuan regional atau universal meskipun tidak selalu sesuai di tiap tahunnya.
4. bersifat selektif sehingga tidak begitu saja mengabaikan laporan dari masyarakat yang melakukan rukyat matir serta tidak juga asal menerima laporan dari siapa saja.
5. standar maupun laporan yang ada bisa terus-menerus diperbaiki karena selain berpedoman pada perhitungan astronomis, hasil rukyat dari tim-tim resmi tersebut juga terdomentasikan dalam gambar yang bisa dianalisa lebih lanjut.
Adapun kriteria hisab yang dipakai dalam metode ini adalah wujudul hilal plus imkanurrukyat (baik standar LAPAN maupun standar lainnya yang lebih modern) plus prinsip wilaytul hukmi plus pembuktian empiris, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Abbas "Innallahu Amaddahu lirrukyah" (Allah mengulur hilal tersebut sampai bisa diobservasi).
d. Sosialisasi pilihan kriteria dan hasil undang-undang kepada semua elemen masyarakat.

Semoga, gayung agenda mulia penyatuan ini akan segera mendapatkan sambutan yang hangat dan positif dari semua pihak yang ada. Sehingga dengan demikian, benang kusut perbedaan internal yang selama ini terjadi di Tanah Air akan bisa terurai secara baik dan mendapatkan penyelesainnya yang efektif. Umat Islampun bisa tenang dengan tenang dan tentram menjalankan ibadah komunalnya secara hikmat, optimal dan dan mengarah pada penguatan dan kesatuan sebagaimana diharapkan oleh seuma yang selama ini memang mendambakan percerahan. Wallahu-l-muwaffiq.

12.07.2008

TAFSR BUKAN HERMENEUTIK


TAFSIR BUKANLAH HERMENEUTIK
Oleh: Prof.Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud

Al-Attas mungkin adalah sarjana Muslim kontemporer pertama yang telah memahami keunikan sifat ilmu Tafsir dan membedakannya dari konsep dan praktek Barat tentang hermeneutik, baik yang bersumber dari Kitab Bible atau teks-teks lainnya. Dalam hal ini al-Attas berbeda secara substantif dari Fazlur Rahman dan modernis atau post-modernis Muslim lainnya seperti Arkoun, Hasan Hanafi dan A. Karim Soroush. Pada Konferensi Dunia Kedua Pendidikan Islam (Second World Conference on Muslim Education) di Islamabad, al-Attas menggaris bawahi bahwa ilmu pertama dikalangan ummat Islam - ilmu Tafsir - menjadi mungkin dan menjadi kenyataan karena sifat ilmiah struktur Bahasa Arab. Tafsir "benar-benar tidak identik dengan hermeneutika Yunani, juga tidak identik dengan hermeneutika Kristen, dan tidak juga sama dengan ilmu interpretasi kitab suci dari kultur dan agama lain." Ilmu Tafsir al-Qur'an adalah penting karena ini benar-benar merupakan ilmu asas yang diatasnya dibangun keseluruhan struktur, tujuan, pengertian pandangan dan kebudayaan agama Islam. Itulah sebabnya mengapa al-Tabari (wafat 923 M) menganggapnya sebagai yang terpenting dibanding dengan seluruh pengetahuan dan ilmu. Ini adalah ilmu yang dipergunakan ummat Islam untuk memahami pengertian dan ajaran Kitab suci al-Qur'an, hukum-hukumnya dan hikmah-hikmahnya.

Tafsir adalah satu-satunya ilmu yang berhubungan langsung dengan Nabi, sebab Nabi telah diperintahkan oleh Allah swt untuk menyampaikan risalah kenabian, seperti yang terbukti dari ayat ini: "agar kamu (Muhammad) dapat menjelaskan kepada manusia apa-apa yang diturunkan kepada mereka." Karena al-Qur'an diturunkan dalam Bahasa Arab dengan mengikuti cara-cara retorika orang-orang Arab, maka orang-orang yang hidup sezaman dengan Nabi memahami makna ayat al-Qur'an serta situasi ketika diturunkannya (sha'n dan asbab al-nuzul). Meskipun demikian, terdapat aspek-aspek ayat dan ajaran al-Qur'an yang memerlukan penjelasan dan penafsiran dari Nabi, baik secara verbal ataupun tingkah laku yang kemudian menjadi Sunnah. Sebenarnya, dalam beberapa koleksi hadith terdapat bab khusus yang membahas tentang penafsiran al-Qur'an yang disebut kitab atau bab al-tafsir. Pengetahuan tentang hadith dan Sunnah menjadi salah satu prasyarat yang asasi bagi pemahaman dan penafsiran al-Qur'an. Prasyarat lain, menurut al-Suyuthi, adalah pengetahuan ilmu linguistik Arab, seperti lexicografi, Tatabahasa, Konjugasi dan retorika, ilmu Fiqih, pengetahuan tentang berbagai macam bacaan al-Qur'an, ilmu Asbabunnuzul (sebab-sebab turunnya), dan ilmu Nasikh Mansukh.

Penafsiran dan penjelasan al-Qur'an seperti yang dibahas diatas, kebanyakan berdasarkan pada analisa semantik dengan pertimbangan latar belakang sosio-historis agar dapat memperoleh pengertian yang tepat. Kebenaran tentang ayat-ayat al-Qur'an tentang metafisika, hukum-hukum sosial dan sains tidaklah terbatas pada kondisi sosial historis ketika diturunkannya. Semua pertimbangan ini, yang seluruhnya berdasarkan pada sifat ilmiah Bahasa Arab dan adanya dukungan sejarah yang otentik, telah membantu menghasilkan Tafsir-tafsir al-Qur'an yang otoritatif yang tidak terdapat dalam tradisi-tradisi kitab suci lainnya. Sebagai contoh, dalam membandingkan al-Qur'an dengan kitab suci Hindu, Crollius mencatat bahwa analisa semantik lebih berkembang dalam kajian al-Qur'an dibandingkan dengan Kitab-kitab suci Hindu. Ia menambahkan:

Alasannya adalah bahwa al-Qur'an dari sudut pandang linguistik, menyuguhkan suatu kesatuan yang lebih besar dibandingkan dengan kitab-kitab suci Hindu. Selain itu beberapa situasi dalam al-Qur'an harus difahami dalam konteks latar belakang situasi keagamaan dimana penyebaran al-Qur'an berlangsung. Setting kesejarahan yang dapat diidentifikasi secara jelas hampir-hampir tidak ada pada sebahagian besar kitab-kitab suci Hindu. Ringkasnya, arti istilah-istilah al-Qur'an telah dijelaskan secara otoritatif oleh para ahli Tafsir Muslim. Tafsir otoritatif yang seperti ini tidak terdapat dalam agama Hindu.

Dari gambaran singkat diatas, sangatlah jelas bahwa 'Ulum al-Tafsir atau ilmu penafsiran al-Qur'an sangat berbeda dari hermeneutik atau ilmu penafsiran kitab-kitab Yunani, Kristen atau tradisi agama lain. Dasar yang sangat fundamental dari perbedaan-perbedaan itu terletak pada konsepsi tentang sifat dan otoritas teks serta keotentikan dan kepermanenan bahasa dan pengertian kitab suci itu. Ummat Islam secara universal mengakui al-Qur'an sebagai kata-kata Tuhan yang diwahyukan secara verbatim kepada Nabi, dan banyak yang menghafal dan menulis ayat-ayatnya ketika Nabi hidup. Adanya berbagai variasi bacaan al-Qur'an telah diketahui dan diakui oleh orang-orang terdahulu yang berwenang sebagai tidak penting: semua itu berbeda hanya dalam kata-kata yang mengandung pengertian yang sama. Sebaliknya, orang-orang Yunani, seperti juga orang-orang Hindu, tidak pernah mempercayai sebarang Nabi atau wahyu. Pandangan keagamaan, tradisi dan adat istiadat orang Yunani kebanyakannya berdasarkan pada mitologi dan puisi, khususnya oleh Homer dan Hesiod, dan pada spekulasi filosof-filosof mereka yang bermacam-macam. Penafsiran-penafsiran mitologi dan puisi boleh jadi sangat subyektif atau ditentukan oleh kondisi politik keagamaan yang berlaku. Metode terpenting yang digunakan secara alami adalah metode kiasan (allegory), suatu tradisi di Yunani yang di prakarsai oleh Theagenes dari Rhegium (Abad ke 6 SM). Panafsiran kiasan (allegorical interpretation), umumnya melibatkan penolakan literer atau meninggalkannya sama sekali. Theagenes mempergunakan metode tersebut dalam menafsirkan Homer untuk melawan musuh-musuh teologis Homer dengan menafsirkan nama-nama tuhan untuk menunjukkan berbagai hakekat jiwa dan perjuangannya yang konstan menghadapi elemen-elemen alam. Kaum Stoic kemudian menjelaskan penggunaan Cynics dalam kiasan Homer untuk kepentingan suatu sistim filsafat. Yang agak menakjubkan adalah bahwa filsafat-filsafat Yunani telah menghasilkan penafsiran yang tak terhitung jumlahnya dan seringkali bertentangan secara mendasar.

Bible berbahasa Hebrew (atau materi-materi yang membentuk Perjanjian Lama), menurut para cendekiawan mereka, tidaklah dibangun sepenuhnya atas dasar ilmiah historis yang menunjukkan keasliannya, tapi berdasarkan pada keimanan belaka. Seperti yang dinyatakan oleh seorang cendekiwan: Teks Hebrew yang sekarang berada di tangan kita memiliki satu kekhususan: meski usianya yang cukup lama, ia datang kepada kita dalam bentuk manuskrip-manuskrip yang agak terlambat, oleh sebab itu dengan perjalanan waktu (lebih kurang hingga seribu tahun) telah banyak berubah dari aslinya)….tidak ada satupun dari manuskrip-manuskrip itu yang (datang) lebih awal dari abad kesembilan Masehi.

Sehubungan dengan kitab Perjanjian Lama (Old Testament), dapatlah disimpulkan bahwa,
meskipun perbedaan-perbedaan itu tidak lagi wujud, namun kesalahannya tetap tersembunyi, dan jika ada kesalahan yang seperti itu ia dapat dikoreksi hanya dengan pembetulan spekulatif (yang bahayanya)…. sudah terkenal dan jelas…[aslinya italic].

Kehadiran kitab suci secara terlambat, sebenarnya tidaklah dengan sendirinya berarti negatif, jika semua isinya dihafal secara sempurna oleh sejumlah besar orang-orang yang sezaman dengan Yesus dan yang dedikasinya dapat dipercaya. Dengan begitu secara praktis mustahil terjadi kesalahan, seperti dalam kasus al-Qur'an.

Kitab Perjanjian Baru juga mempunyai masalah yang sama dengan Bible Hebrew. Kitab-kitab ini, khususnya gospel, ditulis setelah zaman Yesus dalam bahasa Yunani, yang dia sendiri sangat tidak mungkin berbicara dengan bahasa itu. Lagi pula, hal ini diakui oleh pihak yang berwenang dan terkenal dalam Kristen bahwa tujuan penulis-penulis gospel tidak untuk menulis sejarah yang obyektif tapi untuk tujuan-tujuan penyebaran agama Nasrani (evangelisme), yang sebahagiannya mengakibatkan kepada penafsiran-penafsiran allegoris yang berlebihan. Diakui pula bahwa salinan-salinan literatur Bible selanjutnya mengalami penyuntingan-penyuntingan reguler agar sesuai dengan kebutuhan dan zaman yang berubah.

Masalah di dalam penafsiran dan pemahaman ajaran-ajaran Yesus yang ditimbulkan oleh absennya pernyataan-pernyataannya yang asli secara permanen sangatlah jelas dan tidak perlu penjelasan lebih lanjut. Alasan mengapa penulis-penulis Kristen awal memilih untuk menulis dalam bahasa Yunani ketimbang bahasa Armaic, yang merupakan bahasa asli Yesus yang historis, masih sejalan dengan kecenderungan evangelistis. Diduga bahwa bahasa Yunani dapat diadapsikan dan digunakan dengan baik bagi kepentingan agama Kristen. Hal ini bukan hanya karena bahasa itu digunakan secara luas pada masa kemudian, tapi juga karena bahasa itu menyediakan suatu medium yang kaya dan fleksible yang tanpanya kebenaran Kristiani tidak dapat menemukan ekspresi yang cocok. Bahasa Yunani dapat mengekspresikan berbagai nuansa makna dengan pembedaan yang halus, dan sebagiannya kaya dengan istilah-istilah keagamaan, etika dan filsafat yang diadapsikan untuk kegunaan bahasa Perjanjian Baru dan teologi Kristen. Perlu dicatat bahwa sehubungan dengan bahasa evangelis ini telah terjadi hal yang sebaliknya dalam sejarah Islam. Sejauh pengetahuan saya, al-Attas adalah cendekiawan pertama yang mencatat dan menjelaskan masalah yang sangat fundamental ini. Ketika Islam datang ke dunia Melayu melalui usaha-usaha para ulama dan saudagar Islam pada awal abad ke 12 M, mereka sengaja memilih bahasa Melalyu dan mempropagandakan pemakaiannya sebagai lingua franca dikawasan itu serta mengembangkannya menjadi bahasa keagamaan dan kesusasteran menggantikan Bahasa Jawa kuno atau Sanskrit, yang terminologi-terminologi keagamaan, etika dan filsafatnya diwarnai secara kental oleh pandangan hidup Hindu Budda. Bahasa Melayu saat itu belumlah dipakai dikebanyakan kawasan itu, ia hanya terbatas pada sedikit daerah-daerah komersial di pinggiran pantai.

Kasus yang sama telah terjadi lebih awal lagi ketika Islam datang ke Iran dan ke anak benua India. Meskipun Muslim Arab yang memasuki Persia pada sekitar tahun 900 M, memilih untuk menggunakan bahasa Pahlavi yang telah ada dan yang merupakan medium bagi agama Zoroaster, namun mereka mengganti tulisan Pahlavi yang usang itu dengan tulisan Arab. Oleh karena "Iran telah kemasukan agama dan jalan hidup orang Arab hingga ke urat nadinya" seperti yang dinyatakan oleh Noldeke, maka konsekuensinya yang nyata adalah bahwa kesusasteran dan percakapan Arab dipraktekkan dengan pengaruh yang sangat kuat terhadap bahasa Persia, khususnya dalam bahasa tulisannya, sehingga tidak ada kata-kata Arab yang tidak dapat digabungkan dengan bahasa Persia yang baik. Di India, orang-orang Islam tidak menggunakan bahasa Sanskrit yang merupakan bahasa kitab suci agama Hindu, atau bahasa Pali agama Buddha; mereka lebih cenderung memperkenalkan bahasa Persia. Mereka kemudian mengembangkan bahasa Urdu yang kebanyakan bedasarkan pada bahasa Persia dan Arab, meskipun tatabahasa dan strukturnya diambil dari bahasa Hindi.

Sebelum kita mengetrapkan secara tepat hikmah (wisdom) khusus dan umum yang terdapat dalam kitab suci ke dalam situasi sosio-historis yang berbeda-beda, pertama-tama kita harus memahami secara benar pengertian-pengertian yang orisinal ayat-ayat dalam kitab suci itu. Disini jelas bahwa pengetahuan tentang pengertian-pengertian yang orisinil dalam kitab-kitab suci Yahudi dan Kristen tidak dapat diperoleh, dan pada gilirannya akan memberikan jalan bagi suatu perkembangan yang oleh Gray disebut dengan "metode yang tidak sehat" dalam penafsiran:

(1) Penafsiran allegoris seperti yang dianut oleh Philo (meninggal sekitar 50 SM) dari agama Yahudi, Origen (meninggal sekitar 254 M) dan Jerome (meninggal 420 M) dari agama Kristen dikenal hingga Reformasi pada abad ke 16. Metode Philo sebenarnya diambil dari tradisi allegoris Yunani yang metodenya juga berpengaruh panjang terhadap metode penafsiran dalam agama Kristen dari sejak zaman Alexandria dan seterusnya. Pada zaman Pertengahan Latin para pendeta dari gereja Latin kemudian mentransfer metode ini ke dalam tafsir Perjanjian Baru.

(2) Metode dogmatis yang berusaha untuk menghukumi dan mengevaluasi semua interpretasi kitab suci menurut tradisi-tradisi gereja yang diberi otoritas dengan mudah tanpa cacat. Kaum Protestan, yang dipimpin oleh Luther, Zwingli, Melancthon dan Calvin pada abad ke 17 menolak kedudukan otoritas yang seperti itu dan berusaha untuk mengikuti otoritas tanpa cacat itu bukan dari gereja tapi hanya dari teks-teks kitab suci itu. Tapi karena teks-teks kitab suci itu tidak orisinal, terpaksa mereka menggunakan penafsiran sejarah.

Dalam hal ini perlu disebutkan bahwa kajian-kajian filosofis dan grammatikal yang ditrapkan terhadap penjelasan Bible sejak zaman pertengahan, khususnya terhadap Perjanjian Lama, dipengaruhi oleh hasil hubungan kultural dengan orang-orang Islam dan perkenalan mereka dengan retorika dan grammatika Bahasa Arab. Cendekiawan besar Yahudi, Sa'adyah Gaon (meninggal 942 M), seorang perintis kajian linguistik Yahudi, adalah diantara mereka yang dipastikan terpengaruh oleh metodologi kalam Arab-Islam. Seperti pendahulunya, Gaon telah terlibat dalam proses penterjemahan kitab suci itu kedalam Bahasa Arab dan juga dalam penulisan penjelasannya dalam bahasa yang sama, dan itu telah membuka jalan bagi suatu kajian baru kitab Perjanjian Lama. Usaha-usahanya itu telah mendorong tumbuhnya suatu pusat baru bagi kajian Bible dan linguistik yang intensif di Spanyol, yang kemudian mempengaruhi kajian Bible dalam Kristen. Fakta ini diakui oleh Josep Schmid yang menulis bahwa:"Para cendekiawan Yahudi Abad Pertengahan telah menghasilkan penjelasan-penjelasan kitab suci, karya-karya ketata-bahasaan dan lexicografis dalam jumlah yang besar yang juga mempengaruhi ilmu pengetahuan orang-orang Kristen tentang Bible. Solusi problem-problem tentang historisitas dan pemahaman kitab suci Yahudi dan Kristen nampaknya menemui jalan buntu, dan harus dijawab oleh generasi mendatang dengan bukti-bukti dan argumentasi yang lebih baik. Hal ini diakui oleh seorang cendekiawan yang ahli dalam bidang hermeneutik Bible yang dalam kesimpulan akhirnya menyatakan:"Persoalan tentang prinsip penafsiran yang valid dan konsisten untuk Perjanjian Lama dan Baru, serta penafsiran hukum secara keseluruhan, masih memerlukan penyelidikan lebih lanjut."

Berdasarkan pada penangkapannya yang ringkas tentang semangat dan kecenderungan yang fundamental tentang hermeneutik dan pemahamannya yang mendalam tentang keunikan karakter Tafsir sebagai ilmu, al-Attas menggaris bawahi dengan perkataan yang pasti bahwa Tafsir adalah benar-benar merupakan suatu metode ilmiah. Sebab Tafsir yang benar adalah yang berdasarkan pada ilmu pengetahuan yang mapan tentang "bidang-bidang" makna seperti yang disusun dalam bahasa Arab, diatur dan diaplikasikan didalam al-Qur'an serta tercermin dalam Hadith dan Sunnah. Maka dari itu, al-Attas menyatakan bahwa di dalam Tafsir tidak ada ruang bagi terkaan atau dugaan yang gegabah, atau ruang bagi interpretasi-interpretasi yang berdasarkan pada penafsiran atau pemahaman yang subyektif atau yang berdasarkan hanya pada ide tentang relativisme historis, seakan-akan perubahan semantik telah terjadi dalam struktur-struktur konseptual kata-kata dan istilah-istilah yang membentuk kosa-kata kitab suci ini.

Tafsir al-Qur'an adalah interpretasi berdasarkan pada ilmu pengetahuan yang mapan. Ia adalah kata benda infinitif yang diderivasikan dari kata kerja transitif fassara yang, menurut lexicolog Arab klassik, berarti menemukan, mendeteksi, mengungkapkan, memunculkan atau membuka sesuatu yang tersembunyi; atau membuat sesuatu menjadi jelas, nyata, atau gamblang; menerangkan, menjelaskan atau menafsirkan. Disitu, tafsir, seperti yang diterapkan kedalam al-Qur'an, menunjukkan arti "memperluas, menjelaskan, atau menginterpretasikan cerita yang ada…. dalam al-Qur'an, dan memaklumkan pengertian kata-kata atau ekspresi yang janggal, serta menjelaskan keadaan ketika ayat-ayat itu diwahyukan." Pengertian Tafsir yang telah mapan adalah bahwa ia berusaha memberikan arti melalui bukti nyata atau eksternal (dalalah zahirah) sebagai bandingan dari bukti internal atau tersembunyi (dalalah batinah) yang terkandung dalam ta'wil atau interpretasi yang lebih mendalam.

Penafsiran dan penjelasan kata-kata dan konsep-konsep yang sulit, dalam al-Qur'an terdiri dari empat macam. Pertama, yang hanya diketahui oleh Tuhan, seperti arti-arti huruf-huruf yang terputus (huruf al-muqatta'at) yang muncul pada permulaan beberapa surah, informasi tentang tanggal dan waktu seperti waktu atau saat Hari Kebangkitan atau kemunculan kembali atau turunnya Nabi Isa, anak Maryam. Interpretasi mengenai hal-hal ini hanya akan merupakan dugaan dan terkaan belaka. Kedua, yang hanya dapat dijelaskan oleh Nabi, baik melalui teks (nass) dari beliau, atau melalui petunjuk (dalalah) yang telah diberikan kepadanya. Contoh tentang hal ini termasuk kewajiban agama yang spesifik dan masalah hukum seperti hukum waris. Ketiga, aspek-aspek yang dapat diinterpretasikan oleh mereka yang menguasai berbagai macam aspek Bahasa Arab, seperti yang difahami oleh orang-orang Arab, dan keempat, aspek-aspek yang dapat dijelaskan oleh ulama. Ulama yang mampu menafsirkan dan menjelaskan al-Qur'an adalah mereka yang memiliki ilmu pengetahuan linguistik Bahasa Arab, seperti lexicografi, tatabahasa, konjugasi dan retorika, pengetahuan hukum, pengetahuan variasi bacaan al-Qur'an, pengetahuan tentang kondisi ketika wahyu diturunkan, dan pengetahuan tentang ayat-ayat nasikh mansukh (yang menghapuskan dan yang dihapuskan), serta pengetahuan tentang hadith dan sunnah.

Menafsirkan al-Qur'an tanpa memiliki ilmu pengetahuan yang memadai dalam atau tentang hal-hal ini adalah identik dengan membuat penafsiran sesuai dengan pendapat pribadi seseorang (tafsir bi-l-ra'yi), yaitu yang dilarang, tanpa mempertimbangkan apakah hasilnya itu benar atau salah. Suatu hadith Nabi seperti yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas, mengatakan:"Barangsiapa berbicara tentang al-Qur'an sesuai dengan pendapat pribadinya (bi ra'yihi), dipersilahkan untuk mengambil tempat duduknya di neraka." Seperti diriwayatkan oleh Jundub, Nabi juga mengatakan:"Barangsiapa berbicara sesuai dengan pendapat pribadinya tentang al-Qur'an dan ia benar adalah (tetap) salah".
Pandangan al-Attas ketika menyatakan bahwa "dalam Tafsir, tidak ada ruang bagi terkaan atau dugaan yang gegabah…..penafsiran atau pemahaman yang subyektif yang berdasarkan hanya pada ide tentang relativisme historis…"tidak berarti bahwa kebiasaan-kebiasaan seperti itu, yakni terkaan yang gegabah dan pemahaman yang subyektif, tidak pernah dilakukan dalam berbagai karya Tafsir, sebab hal itu memang ada dan akan terus ada. Meskipun begitu dugaan-dugaan dan penafsiran yang subyektif itu dengan sendirinya dan pada kenyataannya bukanlah Tafsir, walaupun itu merupakan karya besar yang diberi nama Tafsir. Tapi, karena adanya syarat-syarat yang jelas dan diterima secara luas, seperti yang disebutkan diatas, anggota masyarakat yang terdidik secara Islami tentu dapat bersikap secara tepat ketika menghadapi berbagai macam penafsiran al-Qur'an yang tidak bermutu dan tidak diakui itu. Karena kenyataan bahwa ilmu-ilmu yang disebutkan diatas adalah otoritatif dan telah dikodifikasikan serta dapat diperoleh dengan mudah, maka ilmu Tafsir al-Qur'an adalah sesuatu yang telah direalisasikan, dan karena itu tidak terbuka bagi generasi yang akan datang untuk mengadakan perubahan-perubahan yang fundamental. Sudah berang tentu generasi mendatang dapat memberi tambahan pengertian yang lebih luas terhadap Tafsir otoritatif yang telah ada, khususnya dalam aspek-aspek ilmu alam (natural sciences), tapi mereka tidak dapat begitu saja mengesampingkan penjelasan-penjelasan spiritual, etik dan hukum serta hubungan latar belakang historisnya. Persyaratan yang ketat dalam menafsirkan al-Qur'an bukanlah suatu upaya untuk menjauhkan al-Qur'an dari orang-orang Islam awam, tapi lebih merupakan suatu sikap yang adil terhadapnya dan tentunya merupakan suatu mekanisme efektif untuk meminimalkan masuknya kesalahan dan kebingungan. Daripada membiarkan terjadinya liberalisasi penafsiran al-Qur'an yang berdasarkan pada kejahilan, terkaan dan interes-interest pribadi dan kelompok, Islam menggalakkan belajar dan pencarian ilmu pengetahuan sebagai asas bagi pemahaman dan perkembangan agama, dengan meletakkan persyaratan yang berakar pada ilmu pengetahuan dan entegritas moral. Penekanan pada kriteria intelektualitas dan moralitas inilah yang menjadikan tamaddun Islam bercirikan ilmu pengatahuan.

Al-Attas mungkin satu-satunya intelektual Muslim kontemporer yang mendukung dan menjelaskan relevansi "Tafsir dan Ta'wil yang permanen sebagai metode pendekatan yang valid terhadap ilmu pengetahuan dan metodologi ilmiah dalam rangka pengkajian kita tentang alam semesta ini" dan dalam hubungannya yang integral dengan konsepsi Islam tentang ilmu pengetahuan dan pendidikan. Metode ilmiah Tafsir, yang berkaitan erat dengan penjelasan kami terdahulu tentang sifat ilmiah Bahasa Arab, dapat dibuktikan dari kenyataan bahwa hasil-hasil dari kerja Tafsir yang betul adalah ilmu pengetahuan yang pasti, sama pastinya dengan ilmu eksak seperti ilmu fisika dan matematika. Kesalahan dapat terjadi pada ilmu pasti sekalipun, baik dalam formulasi paradigma-paradigmanya dan prosedur-prosedurnya atau dalam aplikasinya, atau pada keduanya, tapi Tafsir sebagai ilmu eksak tidak mungkin salah, karena ia berdasarkan pada aturan lingusitik dan bidang semantik tentang makna yang mapan serta pandangan hidup al-Qur'an dan Sunnah Nabi yang sahih. Tapi, Tafsir sebagai ilmu eksak tidak memberikan penjelasan yang final, karena hal itu adalah termasuk dalam ruang lingkup ta'wil.

Pandangan al-Attas tentang sifat ilmiah Tafsir adalah suatu jawaban yang tajam terhadap pandangan yang menyesatkan para penulis Muslim yang dipengaruhi secara langsung atau tidak langsung oleh perkembangan-perkembangan yang terjadi dalam sejarah sains dan sosiologi ilmu pengetahuan, dan juga oleh perkembangan umum hermeneutik. Pada intinya mereka berpendapat bahwa setiap penafsiran teks, termasuk teks-teks al-Qur'an, adalah penuh dengan muatan teori dan diasimilasikan dengan pemikiran yang terikat pada perkembangan sejarah, teologi, politik dan ilmu pada masa itu. Salah seorang dari penulis itu, setelah mengemukakan suatu gap yang tak dapat terjembatani antara agama/wahyu dan sains/ilmu pengetahuan/penafsiran, menyatakan bahwa:
Agama yang diwahyukan sudah tentu bersifat ketuhanan, tapi tidak demikian halnya dengan ilmu agama yang merupakan output dari produksi dan konstruksi manusia. Ia adalah bersifat manusia dalam artian bahwa ia secara esensial dirasuki oleh semua karakteristik manusia yang mulia dan sekaligus hina itu.

Penulis seperti ini terperangkap sekurang-kurang dalam dua jalan. Pertama, lemahnya pendapat mereka sendiri yang sudah tentu telah tercampur dengan ideologi, metodologi dan pemikiran lain yang telah usang, meskipun begitu mereka meyakini pendapat mereka itu sebagai final dan tak berubah. Kedua, ketidakmampuan mereka untuk menjelaskan fakta bahwa beberapa Muslim yang cerdas, misalnya, masih berpegang pada penafsiran-penafsiran yang pernah dianut oleh, misalnya al-Ghazzali pada hampir seribu tahun yang lalu dan dapat berhasil mempertahankannya. Meskipun disitu jelas terdapat perbedaan-perbedaan kondisi sosial, politik dan ekonomi. Hal yang sama juga dapat diarahkan kepada beberapa pemikir Kristen modern seperti Etienne Gilson dan lainnya yang berpegang pada pendapat yang sama dengan apa yang dianut oleh Thomas Aquinas.

Al-Attas tentu akan tidak sependapat dengan Fazlur Rahman yang menganggap pembunuhan sebagai suatu tindak kejahatan sosial (social crime), dan bukan tindak kejahatan pribadi seperti yang dinyatakan dalam al-Qur'an. Yang demikian itu mungkin disebabkan oleh pengaruh metode historis kritis yang rancu seperti kritik-kritik terhadap Bible, yang memang telah melanda ilmu Tafsir. Metode yang seperti ini telah mengakibatkan berbagai kesulitan pada diri mereka sendiri, salah satunya adalah subyektifisme. Fazlur Rahman misalnya, menolak keras pendapat ahli hukum Muslim tradisional bahwa pembunuhan adalah suatu kejahatan pribadi terhadap keluarga korban berdasarkan ayat dalam surah Al-Baqarah (2):178-179, yang memperbolehkan keluarga itu untuk membalas, membayar uang darah atau memberikan maaf. Fazlur Rahman malah mengajukan "suatu prinsip yang lebih umum" dari surah al-Ma'idah (5):32 bahwa "Barangsiapa membunuh seseorang dengan secara tidak sah (bi ghayri nafsin) atau dengan tanpa suatu kerusakan (peperangan) di muka bumi, maka ia sama dengan membunuh seluruh ummat manusia", yang jelas-jelas telah memahami makna pembunuhan diatas sebagai tindak kejahatan terhadap masyarakat ketimbang kejahatan pribadi terhadap suatu keluarga.

Selanjutnya untuk dapat "menghilangkan penafsiran-penafsiran yang tidak menentu" dan "mengurangi subyektifitas", ia menyarankan agar setiap penafsir menyatakan secara eksplisit teori-teori umum dan khususnya serta premis-premis yang berhubungan dengan isue-isue atau masalah-masalah tertentu. Akan tetapi dalam kasus khusus diatas sama sekali tidak terjadi penafsiran yang tidak menentu dan subyektif, sebab seluruh ahli hukum Muslim sepakat dengan kenyataan bahwa pembunuhan adalah suatu kejahatan pribadi, justru Fazlur Rahman sendiri yang tidak menyatakan teori umum dan primis-premis khususnya. Terjemahan Fazlur Rahman kalimat bi-ghayri nafsin dengan pembunuhan yang tidak sah, menurut al-Attas adalah sangat subyektif dengan maksud agar sesuai dengan tujuannya yang bias bahwa semua pembunuhan selain perang adalah kejahatan terhadap masyarakat. Sudah barang tentu pembunuhan yang tidak dibenarkan adalah termasuk pembunuhan biasa sedangkan pembunuhan yang dibenarkan termasuk pembunuhan pembunuh dan orang-orang jahat. Al-Attas mengetengahkan bahwa bi ghayri nafsin berarti "kecuali seseorang", yakni kecuali orang-orang biasa, dan karena itu menunjukkan kepada pembunuh biasa.

Penafsiran Fazlur Rahman jelas subyektif, karena ia juga dengan mudahnya melupakan konteks - historis sekaligus semantik - dari apa yang dinamakan ayat yang lebih umum. Konteks ayat-ayat sebelumnya dan sesudahnya jelas menunjukkan bahwa pembunuhan seorang individu yang dianggap sama dengan pembunuhan semua orang itu tidak menunjuk kepada individu tertentu, tapi kepada para nabi, dan kepada guru-guru besar yang mengajarkan kebaikan dan kesalehan, yang amal-amal dan ajaran-ajaran mereka berpengaruh kepada masyarakat. Sebab dengan membunuh mereka akan membuat masyarakat kehilangan petunjuk. Itulah sebabnya mengapa separoh bahagian terakhir dari ayat yang dikutip diatas menyebutkan dengan jelas "dan jika seseorang itu menyelamatkan satu nyawa, akan berarti seakan-akan ia menyelamatkan kehidupan semua orang".
Ta'wil adalah kata benda infinitif dari kata kerja transitif, awwala, yang berarti membuat sesuatu itu kembali atau mengurangi sesuatu, yang berarti "menemukan, mendeteksi, mengungkapkan, mengembangkan, atau membuka, atau menjelaskan, menggambarkan, atau menterjemahkan tentang sesuatu atau mungkin menguranginya atau tentang sesuatu yang terjadi atau mungkin terjadi." Istilah ta'wil yang disebutkan sebanyak 13 kali dalam al-Qur'an, menunjukkan arti penterjemahan sesuatu yang simbolik (seperti mimpi) atau penuturan hasil akhir atau hasil yang terjadi sesudahnya, seperti dalam surah Yusuf (12):101. Ia dapat juga berarti akibat terakhir ('aqibah) dari sesuatu seperti dalam Ali Imran (3):7 dan al-A'raf (7): 53, dst.

Al-Attas menganggap ta'wil sebagai "suatu bentuk intensif dari tafsir." Ta'wil bukanlah interpretasi allegoris sebagaimana yang difahami oleh ilmuwan Barat seperti Andrew Rippin, sebab interpretasi allegoris, seperti yang disebutkan terdahulu, menolak semua pertimbangan-pertimbangan linguistik atau semantik atau mengesampingkan keduanya, sehingga tidak bisa sama dengan kebanyakan interpretasi ta'wil. Ta'wil adalah penafsiran batin dan lebih mendalam (tafsir batin), seperti yang ditunjukkan oleh Abu Thalib al-Thalabi, yang tentunya mensyaratkan kesesuaiannya dengan penafsiran zahir yang lebih nyata. Para cendekiawan Muslim sejak dahulu menganggap ta'wil sebagai tafsir dengan bentuk yang lebih spesifik, atau memahami tafsir sebagai lebih umum daripada ta'wil (al-tafsir a'ammu min al-ta'wil) seperti pendapat al-Raghib al-Isfahani. Selanjutnya, ta'wil, menurut al-Baghawi and al-Kuwashi, tidak dapat bertentangan dengan pengertian linguistik, dan ajaran-ajaran umum al-Qur'an dan Sunnah. Maka dari itu ia meliputi dan malah melampaui interpretasi tafsir, dan berusaha untuk mengungkapkan arti final dari sesuatu ('aqibatu-l-amr). Memang, kadang-kadang tafsir dan ta'wil dan juga ma'ani, dianggap sinonim, dan kita faham bahwa ini tidak disebabkan oleh metodenya yang persis sama, tapi lebih disebabkan oleh kesamaan dalam makna. Makna yang dicapai oleh tafsir tidak dapat diperluas kepada ta'wil yang kadang-kadang terjadi, khususnya, dalam penfsiran hukum. Dalam bidang hukum, penafsiran haruslah jelas (muhkam) dan tidak ambiguous (mutashabih). Hubungan intrinsik antara tafsir dan ta'wil ini telah difahami oleh Muslim sejak dahulu. al-Attas menunjukkan contoh klasik tentang sifat ilmiah ta'wil dan hubungan integralnya dengan tafsir:

Ketika Tuhan Yang Maha Agung berfirman bahwa Ia melahirkan (sesuatu) yang hidup dari yang mati (yukhriju al-hayy min al-mayyit) dan sekedar untuk memberi satu contoh khusus, kita menafsirkannya dengan pengertian bahwa Ia menjadikan burung dari telur, maka ini adalah tafsir. Tapi ketika kita menginterpretasikan kalimat yang sama dengan pengertian bahwa Ia menjadikan orang beriman (al-mu'min) dari kafir (al-kafir), atau Ia melahirkan orang alim dari yang jahil, maka ini adalah ta'wil. Dari sini jelaslah bahwa ta'wil tidak lain adalah suatu bentuk intensif dari tafsir; sebab yang terakhir (tafsir) menunjukkan penemuan, mendeteksi atau mengungkapkan tentang apa yang dimaksudkan oleh ungkapan yang ambiguos itu, sedangkan yang pertama (ta'wil) menunjukkan arti final dari ungkapan itu. Sekarang, penemuan, pendeteksian, atau pengungkapan makna-makna yang tersembunyi dari kata-kata dalam kalimat yang dikutip diatas - yang berkisar pada dua kata-kata yang ambiguous yang dipermasalahkan yaitu: yang hidup (al-hayy) dan yang mati (al-mayyit) - dalam kedua kasus tafsir dan ta'wil adalah berdasarkan pada kalimat lain dalam al-Qur'an, yang mengungkapkan struktur konseptual kata-kata itu dan konteks yang menentukan keduanya dalam bidang semantik, serta yang mencerminkan kondisi dimana keduanya diwahyukan, dan berdasarkan pada hadith.

Sejarahnya, yang menekankan pentingnya ta'wil adalah Nabi sendiri, ketika beliau berdoa agar Abdullah ibn Abbas memahami ta'wil dengan sebaik-baiknya, yang tentunya termasuk tafsir. Ulama terdahulu seperti al-Tabari menamakan bukunya sendiri tentang interpretasi al-Qur'an dengan "ta'wil" dan dari metodenya itu jelas bahwa ia tidak mengesampingkan pengertian-pengertian lingusitik, semantik atau historis. Ta'wil orang-orang Batiniyyah atau Ta'limiyyah yang berdasarkan otoritas seorang imam yang ma'sum, adalah pengecualian, sebab mereka mengesampingkan pemahaman-pemahaman tafsir ekternal yang lebih jelas. Diantara kesalahan-kesalahan dari kedua kelompok ini telah disampaikan oleh al-Ghazzali dalam kitabnya al-Munqidh min al-Dalal.

Seperti yang telah ditunjukkan dalam kutipan panjang diatas, al-Attas memberi contoh klasik tentang beberapa persamaan dan perbedaan antara ta'wil dan tafsir. Dalam hal ini ia merujuk kepada al-Jurjani bahwa tafsir dan kemudian ta'wil istilah kunci "hidup" (al-hayyu) dan "mati" (al-mayyit) harus mengikuti metode-metode eksak seperti yang telah diterangkan terdahulu. Dan bahkan dalam ta'wil sekalipun seseorang harus mendasarkan interpretasinya pada ayat-ayat al-Qur'an yang jelas dan penggunaannya dalam hadith-hadith Nabi. Dalam menjelaskan pendapatnya bahwa tafsir dan ta'wil harus menunjukkan struktur konseptual dan bidang semantik dari masing-masing istilah dan konsep kunci, seperti yang dinyatakan di dalam al-Qur'an dan hadith Nabi, Al-Attas menghubungkan arti kata hujan (raj') dan din dengan konsep hayy dan mayyit, keimanan dan kekufuran atau keimanan yang salah.

Argumentasi al-Attas adalah benar, sebab dalam Islam hujan yang menghasilkan air dianggap sebagai suatu pertanda kewujudan rahmat dan kekuasaan Allah. Dan seperti yang telah kita lihat bahwa al-Qur'an juga dengan sengaja menggunakan istilah raj' yang secara literal berarti kembali, untuk mengekspresikan makna hujan, sebab Tuhan mengembalikannya dari waktu ke waktu dengan membawa keuntungan, manfaat dan kehidupan. Sama halnya dengan din - yang sebenarnya menunjukkan makna keberhutangan, penyerarahan diri, kekuasaan yang menghakimi, kecenderungan atau tendensi alami - yang dalam konteks hubungan Tuhan-manusia menyiratkan makna kembalinya manusia kepada bentuk asalnya, dan akhirnya kepada Tuhan dengan jalan mengikuti dan mentaati perintah dan larangan-Nya serta hukum-hukumnya. Kata kerja raja'a, 'kembali' dalam berbagai macam bentuknya dalam al-Qur'an, juga menunjukkan kembalinya manusia kepada Tuhan. Pendapat bahwa din, atau agama mempunyai kemampuan untuk memberikan "kehidupan yang benar" kepada manusia sebagai kebalikan dari kematian atau suatu kewujudan yang tidak berguna bagi manusia, disampaikan secara tepat dalam al-An'am (6):122 yang telah dikutip diatas, dan dalam al-Tin (95):4-6: "Sesungguhnya Kami ciptakan manusia dengan sebaik-baik ciptaan, dan kemudian Kami rendahkan dia kedalam derajat yang serendah-rendahnya, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh. Dan bagi mereka pahala yang tidak terputus." Agama membuat manusia menjadi benar sesuai dengan hakekat asalnya dan menyembah Pencipta yang sebenarnya, melalui keimanan dan amal saleh berdasarkan pada ilmu pengetahuan.
Dalam catatan kakinya (yakni footnote no. 7) al-Attas mengajak kita untuk merujuk kepada kitab al-Durr al-Manthur karya al-Suyuthi, dimana kita dapat menemukan beberapa contoh dari tafsir dan ta'wil Muslim terdahulu mengenai istilah-istilah hayy (hidup), dan mayyit (mati) dalam konteks surat al-An'am (6):122. Ayat itu berbunyi:"Dan apakah orang yang mati dan kemudian Kami beri kehidupan (fa'ahyainahu), dan orang yang kami beri cahaya yang dengan itu ia bisa melihat jalannya diantara manusia adalah sama seperti orang yang hilang dalam keadaan yang sangat gelap sehingga dia tidak dapat keluar dari daripadanya." Kebanyakan mufassir, seperti Zaid bin Aslam, Ibn Abbas dan lain-lain, menghubungkan kata-kata "Orang yang telah mati…" dengan tokoh sejarah khusus, kemungkinan besar Umar ibn al-Khattab, sedang yang lain seperti 'Ikrimah menghubungkannya dengan seorang sahabat Nabi, 'Amar bin Yasir. Semua sependapat bahwa "orang yang hilang dalam keadaan yang gelap" tidak lain adalah menunjukkan kepada musuh sejati Nabi, Abu Jahal bin Hisham. Semua mufassir setuju bahwa kata-kata "orang yang telah mati" adalah kiasan (mataforis). Ta'wil ayat ini sungguh alami sehingga menurut Ibn Abbas adalah "orang yang kafir sesat (kafiran dallan) kemudian ia Kami beri petunjuk dan cahaya, yaitu al-Qur'an." Ibn Abbas menyamakan kegelapan (zulumat) dengan kekafiran (kufr) dan kesesatan (dhalalah), keduanya disebabkan oleh kebodohan dan kejahilan (jahl).

Karena sifat al-Qur'an yang tidak diragukan lagi dan kodifikasi hadith-hadith Nabi yang dilakukan secara ilmiah itu, maka metode dan produk-produk tafsir dan bahkan ta'wil, seperti yang telah diuraikan oleh al-Attas, bukanlah usaha yang serampangan dan subyektif yang mencerminkan kondisi sosio-historis dan orientasi ideologis para mufassir sebagaimana yang terjadi pada penafsiran teks-teks keagamaan atau teks-teks lainnya. Untuk menggaris bawahi pandangan kami dapat dikutip contoh-contoh yang lain. Al-Tabari, yang dengan sengaja memberi judul tafsir al-Qur'annya dengan ta'wil, tidaklah semata-mata meriwayatkan interpretasi atau penjelasan tradisional (tafsir), tapi seringkali ia menambahkan ta'wil-nya sendiri, seperti dalam hal pembahasannya tentang hakekat dan arti Iblis dalam Al-Baqarah (2):34. Ayat itu berbunyi:"Maka mereka bersujud kecuali Iblis, ia menolak dan berlaku sombong sehingga ia masuk kedalam golongan kafirin." Tafsir-nya tentang siapakah Iblis itu sangat jelas. Dengan menggunakan penafsiran tradisional dari Ibn Abbas, dan dengan membandingkan (cross-reference) dengan ayat-ayat al-Qur'an yang lain dan juga dengan analisa linguistik, kita tahu bahwa al-Tabari adalah benar ketika ia menegaskan bahwa Iblis adalah satu diantara species makhluk dari genera jin, yang termasuk didalamnya semua makhluk yang tersembunyi (dari perkataan ijtanna, menyembunyikan dirinya). Ia diciptakan dari api yang tidak berasap, yang disebut Samun. Iblis adalah istilah dari kata benda if'iil yang berasal dari bentuk keempat kata kerja ablasa yang berarti "berputus asa pada kebaikan", "merasa menyesal", "bersedih". Jadi Iblis dinamakan demikian karena ia berputus asa dari ampunan Tuhan ketimbang meminta (ampunan) dariNya setelah ketidak-taatannya yang terdahulu. Ia sebaliknya malah mencari kelonggaran-Nya untuk melanjutkan perbuatan jahatnya. Dalam kasus Adam yang mencari ampunan setelah ia melanggar perintahNya bertolak belakang sama sekali dengan kasus Iblis. Sekarang ta'wil al-Tabari bahwa pelajaran dari Iblis ini dapat diaplikasikan kepada makhluk lain yang terlalu sombong dalam mengikuti perintah-perintah Tuhan, dan mereka yang terus-menerus dalam keadaan tidak taat, adalah benar. Jadi, Iblis adalah juga kiasan (metafora) dari arogansi, kecemburuan, dan penolakan dengan penuh keangkuhan untuk berserah diri kepada perintah-perintah Tuhan, dan karena itu sama dengan mereka yang mengingkari rahmat Allah dan yang menyukai mereka.

Masih terdapat contoh lain mengenai perbedaan tafsir-ta'wil: Abi Talib al-Thalabi menafsirkan kata mirsad dari kalimat inna rabbaka labi-l-mirsad yang berasal dari bentuk mif'aal dari kata kerja rasada yang sama dengan raghaba, berarti mengawasi, memperhatikan. Ta'wil ayat ini, menurut pendapatnya, adalah suatu peringatan agar tidak menjauhkan diri dari perintah-perintah Tuhan, tidak lupa pada rahmat-Nya dan selalu bersiap sedia untuk mengingatNya. Contoh lain terdapat dalam al-An'am (6):82 yang berbunyi: wa lam yalbisu imanahum bizulmin, tafsirnya diberikan oleh Nabi sendiri. Dalam hadith disebutkan bahwa ketika ayat ini diwahyukan, ummat Islam merasa sangat cemas, termasuk beberapa sahabat. Mereka lalu bertanya kepada Nabi tentang siapa diantara mereka yang belum berbuat adil pada diri mereka. Nabi kemudian menjawab bahwa ia bukanlah seperti yang mereka bayangkan dan bahwa zulm (ketidak adilan) disini berarti syirik, atau menyekutukan sesuatu atau seseorang dengan Kesesaan Tuhan sebagaimana yang tersurat dalam ayat fa inna al-shirka la zulmun 'azim. Para Sufi, seperti Muhyi al-Din Ibn al-Arabi, memberikan ta'wil kepada ayat tersebut dengan mengatakan bahwa zulm disini menunjuk kepada syirik yang tersembunyi (shirk khafi). Contoh dari syirik yang tersembunyi adalah cerminan negatif dari hati (dhuhur min nafs al-qalb) atau bahkan bekas-bekas keberadaannya (wujud baqiyah).

Dari contoh-contoh yang terbatas ini jelaslah bahwa tafsir dan ta'wil bukanlah pemahaman yang serampangan dan subyektif yang mengikuti perubahan-perubahan sosio-historis, meskipun rujukan-rujukan historis tetap dipertimbangkan. Fakta bahwa orang-orang Islam terpelajar dan bijaksana yang memahami serta mempertahankan tafsir orang-orang yang berwenang dimasa lampau dengan menghilangkan batasan-batasan etnis, geografis, sosial ekonomi dan historis adalah merupakan argumentasi yang lebih dari cukup untuk mendeskreditkan pendapat bahwa tafsir adalah dikondisikan dan dibatasi oleh situasi-situasi sosio-historis dan ekonomi.

(dikutip dan diterjemahkan dari buku The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas, An exposition of the Original Concept of Islamization, penerbit ISTAC, 1998)

SERIAL PARA PIONER UMMAT (3)


AL-HASAN AL-BASHRI
[Imam Para Tabi’in dan Faqih zamannya]

Imam para Tabi’in
Sebelum wafat, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkhutbah, mengingatkan kepada umat Islam akan bahaya besar yang bakal menimpa, seraya bersabda:
“Bukan kefakiran yang aku takutkan, tetapi aku takut jika dunia ini telah dibuka untuk kalian, sebagaimana telah dibuka untuk orang sebelum kalian, lalu mereka saling bersaing, berkompetisi untuk merebutkannya, sebagaimana kamu akan bersaing, berkompetisi, lalu ia akan menghancurkan kalian sebagaimana ia telah menghancurkan orang-orang sebelum kalian”.
Ternyata apa yang dikhawatirkan oleh Rasulullah benar-benar terjadi pada umat ini, harta berlimpah, sarana-sarana kemewahan di dalam negara Islam tersedia dimana mana, godaan materi semakin dahsyat, dan terus menyerang masyarakat sehingga hampir-hampir melenyapkan eksistensi mereka dan memutus mereka dari amal shaleh serta fenomena keimanan; yang telah terukir dengan indah pada masa kenabian dan khilafah rasyidah seperti: kembali keharibaan Allah dengan jujur, keyakinan yang kental kepadaNya, bermati-matian berjalan di jalanNya, menyampakkan segala macam bentuk syahwat, mengecilkan hiasan dunia, rindu akan mati syahid dan surga, khusu’ dalam shalat, keni’matan dalam do’a, lemah lembut dan kasih sayang, zuhud dan mementingkan orang lain ……… namun karena kasih sayang Allah yang sangat tinggi kepada Umat ini, maka untuk menghadapi tantangan yang besar terebut, Ia mempersiapkan tokoh-tokoh besar yang ikhlas serta duat-duat mukmin yang tangguh. Mereka menghadapi bahaya tersebut dengan segala daya dan upaya yang mereka miliki, mereka mampu membentengi umat ini, agar tidak terseret oleh arus materi dan diperbudak oleh syahwat.
Diantara deretan para da’I dan pembaharu dari Tabi’in yang peling ternama adalah sejumlah nama berikut: Said bin Jubair, Muhammad bin Sirin dan Sya’bi. Namun pembawa bendera serta pelopor mereka adalah Al-Hasan Al-Bashri (yang menjadi pembahasan kita kali ini). Semoga Allah merahmati dan meridhainya.

Kelahiran
Di pagi yang cerah, tepatnya tanggal 21 H, dua tahun terakhir dari kekhalifahan Umar bin Khattab, seorang pemberi kabar datang kepada Umi Salamah Radhiyallahu anha, menyampaikan kabar gembira bahwa tuannya “khairah” telah melahirkan seorang bayi mungil yang diberi nama “Al-Hasan”.
Hati Ummu al-mukminin berbunga-bunga mendengar kabar itu, beliau segera mengutus seseorang untuk membawa sang Ibu dan putranya kepadanya karena “Khairah” merupakan orang yang paling ia cintai dan dekat dengan hatinya.
Tidak begitu lama, datanglah “khairah” dengan membawa putranya. Bayi mungil itu tanpak tanpan, wajahnya cerah dan sempurna serta menyenangkan bila dipandang.
Ummul Mukminin segera mengendong “Al-Hasan” lalu mendoakan anak itu dengan do’a-do’a kebaikan, lalu menunjukkan kepada Amir Mukminin Umar bin Khattab, dan sejumlah sahabat Rasulullah Sallahu ‘alaihi wa sallam, lalu mereka turut mendo’akan anak itu, demikian pula Al-Faruq Umar Radhiyallah anhu seraya berkata: “Ya Allah jadikanlah ia orang yang faham terhadap masalah agama, dan dicintai oleh manusia”.
Kegembiraan tidak hanya menyelimuti rumah Ummu al-mukminin; Ummu Salamah, namun turut serta dalam merayakan kegembiraan ini beberapa rumah lain di Madinah, yaitu rumah sahabat agung Zaid bin Tsabit al-Anshari; sahabat nabi dan penulis wahyu, sebab “Yasar”; Ayah “Al-Hasan”, merupakan tuannya juga. Baginya “Yasar” merupakan orang yang paling mulia dan ia cintai.

Masa perkembangan
Al-Hasan bin Yasar; yang kemudian dikenal dengan Al-Hasan Al-Bashri, tumbuh dari lingkungan rumah Rasulullah Sallallahu ‘alaihi Wasallam, serta dididik dalam pangkuan Ummu al-mukminin; Ummu Salamah Radhiyallahu anha.
Seringkali “Khairah”; Ibu Al-Hasan keluar untuk mencari beberapa keperluan Ummul mukminin, pada saat seperti ini si kecil –yang masih menyusu- seringkali menangis, terkadang tangisannya menjadi-jadi, maka Ummu Salamah segera mendekapnya, lalu menyusuinya, untuk mengalihkan perhatiannya selama ditinggal oleh ibunya. Karena cintanya yang tinggi kepada si kecil, Ummu Salamah rela memeras susunya sehingga keluar air susu yang segar, si kecil lalu menyusu dengan lahap dan akhirnya berhenti menangis.
Sehingga sering disebut bahwa sesungguhnya derajat hikmah yang di capai oleh Al-Hasan adalah bersumber dari air susu yang ia minum dari Ummu Salamah Radhiyallahu anha; istri Nabi Sallahu alaihi wasallam.
* * *
Dengan demikian, Ummu al-mukminin; Ummu Salamah menjadi Ibu bagi Al-Hasan dari dua sisi: Pertama: Ibu salah seorang mukmin (karena istri Nabi adalah Ibu bagi orang-orang mukmin), kedua: sebagai ibu Susuan.
Selain itu, karena hubungan yang dekat dan kuat dengan para Ummahat mukminin, serta kedekatan kediaman satu dengan lain, maka ini membuka peluang baginya untuk seringkali mengunjungi rumah-rumah tersebut secara keseluruhan yang dengan demikian memungkinkan baginya untuk mencontoh akhlaq penghuninya, serta menjadikannya petunjuk.
Si kecil yang beruntung ini, memenuhi rumah-rumah itu dengan gerak yang lincah, permaiannya yang dinamis, hingga ia pernah menerima genteng rumah ummahat al-mukminin, dengan kedua tangannya ketika genteng itu dibawa diatas pundak ibunya. Demikian Al-Hasan masih bisa tetap tinggal di dalam lingkungan yang baik ini, sehingga ia bisa merengguk sumber air yang jernih yang terdapat dalam rumah-rumah ummahat al-mukminin, serta bisa berguru kepada para sahabat di Masjid Rasulullah Shallahu ‘alaihi wasallam.
Maka pada masa ini Al-Hasan mempunyai kesempatan emas untuk menggali pengetahuan tentang As-sunnah an-nabawiyah yang suci, serta mendengarkan perkataan para sahabat, melihat kepribadian mereka. Sementara sebelum umurnya menginjak 14 tahun, ia telah menghafal al-Qur’an al-Karim, telah belajar menulis, berhitung, serta telah tertanam dalam dirinya pribadi ideal pada masa al-Faruq Umar bin Khattab Radhiyallahu anhu, ia juga telah bertemu dengan Utsman, ketika ia menuangkan air dari ceret untuk beliau, dan ketika berkhutbah di masjid Nabawi. Yang paling terkesan dari pribadinya adalah kerendahan hati beliau, dimana suatu saat ia melihatnya sedang tidur di masjid sementara sorbannya diletakkan diatas kepalanya, dan apabila datang kepadanya orang-orang ia duduk di tengah-tengah mereka seakan-akan bagian dari mereka.
***

sifat dan keutamaan
Allah telah mengumpulkan di dalam diri Al-Hasan Al-Bashri beberapa kelebihan, potensi yang dapat mempengaruhi hati-hati manusia, serta mengangkat nilai agama dan agamawan di dalam masyarakat. Ia terkenal sebagai ulama’ yang berpengatuan sangat luas baik dalam bidang Tafsir maupun Hadits Rasulullah.
Bacaannyapun sangat luas, analisanya sangat mendalam terutama yang berkaitan dengan kehidupan, keberagaman tingkatannya, akhlaknya, penyakit-penyakit yang terjadi di masyarakat sekaligus pengobatannya. Ia bagaikan seorang dokter berpengalaman telah menjalankan praktek pengobatan dalam waktu yang cukup lama.
Selain itu, ia juga sangat fasih, logikanya indah, memiliki daya gugah terhadap pendengarnya … Al-A’masy berkata: “Al-Hasan selalu menyimpan hikmah di dalam dirinya sehingga ia ungkapkan”.
Ayyub As-Sakhtiyani berkata kepada Sufyan bin Uyainah: “Jika anda melihat Al-Hasan, pasti anda akan berkata bahwa anda belum pernah bertemu dengan seorang faqih sama sekali”.
Al-Hasan Al-Bashri juga sangat jujur dalam kebenaran, pemberani, tidak takut terhadap resiko yang ditimbulkan oleh perkataan dan perbuatannya, dimana sifat inilah yang menjadi rahasia pengaruh dalam hati, ketersihiran, dan ketundukan banyak manusia kepadananya, ………… Ia memiliki perasaan yang kuat, semangat yang menyala-nyala, termasuk orang-orang mukhlisin terbesar, mensinergikan antara kesafihan lisan dan kekuatan iman, benar-benar meyakini terhadap apa yang diucapkannya, serta berbuat sesuai dengan apa yang ia yakini, apa yang ia ungkapkan benar-benar keluar dari hati, maka ia masuk ke dalam hati.
Jka ia meyebutkan nama para Sahabat, atau mensifati akhirat, mengalirkan air mata, dan mengetarkan hati; karena ia benar-benar merasakan kenikmatan iman, dan berkata dari perasaan dan hati.
Diantara keistimewaan Al-Hasan Al-Bashri adalah bahwa perkataannya paling mirip dengan perkatan kenabian yang sering di dengar oleh banyak orang.
Al-Imam Abu Hamid al-Ghazali berkata: “Perkataan Al-Hasan Al-Bashri –semoga dirahmati oleh Allah- paling mirip dengan perkataan kenabian -‘Alaihimussalam-, dan paling dekat dengan petunjuk para sahabat -Radhiyallahu anhu-, semua perdapat menyapakati kebenaran hal ini.

Di Kota Bashrah
Ketika Al-Hasan berumur 14 musim semi dan menginjak dewasa, ia pergi bersama ayahnya ke Bashrah, lalu menetap di sana bersama keluarganya, karena inilah kemudian ia dinisbatkan kepada Al-Bashrah yang selanjutnya dikenal orang dengan nama Al-Hasan Al-Bashri.
Bashrah pada saat itu merupakan benteng keilmuan terbesar, masjidnya yang sangat megah itu selalu dipenuhi oleh para sahabat Nabi serta mayoritas tabi’in yang yang bertandang ke sana.
Halaqah-halaqah ilmu dalam berbagai disiplin turut menyemarakkan dan meramaikan sudut-sudut masjid dan mushalla.
Sementara itu Al-Hasan terus mengikuti halaqah Abdullah bin Abbas; yang sering dijuluki penerjemah (penagsir) al-quran dan tinta ummah. Kepadanya ia belajar tafsir dan hadits serta qiraat, di samping itu ia juga mengambil darinya dan ulama’ lainnya fikih, bahasa dan sastra serta disiplin ilmu lainnya hingga menjadi seorang yang alim, memiliki bangunan intelektual yang integral, faqih dan terpecaya.
Banyak orang datang kepada al-Hasan al-Basri untuk menimba ilmu yang sangat luas itu. Mereka berkumpul di sekelilingnya untuk mendengar ceramah-ceramah yang sungguh merupakan pelembut hati yang keras dan meneteskan air mata para pelaku maksiat. Pada akhirnya halaqah ini merupakan halaqah terbesar di Basrah, mampu menyedot banyak peminat, bagaikan bunga yang mampu menarik kumbang-kumbang, mengeluarkan hikmah yang dapat memikat hati, mereka meneladani kepribadian yang lebih baik dari bau kasturi. (edit sampai di sini).
Dengan demikian AL-Hasan al-Basri merupakan simbol keluasan wawasan serta melimpahnya keilmuan.
Tentang AL-Hasan, Rabi’ bin Anas berkata: “Aku berguru kepada AL-Hasan Al-Basri hampir sepuluh tahun, tiada hari kecuali aku mendengar hal yang belum aku dengar sebelumnya”.
Muhammad bin Sa’ad berkata: “AL-Hasan merupakan ulama’ yang menguasai ilmu secara integral, alim, tinggi, faqih, dipercaya, kata-katanya menjadi referensi, jujur, ahli ibadah, fasih, baik dan tanpan”.
Sementara Anas bin Malik berkata: “Bertanyalah kepada AL-Hasan, karena dia hafal sementara kita lupa”.
Qatadah juga berkata: “Tidak pernah aku membandingkan keilmuan AL-Hasan dengan keilmuan ulama’ lain, kecuali aku menemukan padanya kelebihan”.
Sementara Tsabit bin Qurrati al-Hakim al-Harrani mensifatinya sebagai berikut: “Ia merupakan bintang yang paling cemerlang; dalam keilmuan maupun ketaqwaan, dalam zuhud dan wara’, dalam iffah (kebersihan hati) dan kelembutan, dalam fikih dan wawasan, majlisnya mengumpulkan beragam manusia; yang ini mengambil hadits, yang lain mengambil takwil, yang satu mendengarkan halal dan haram, sementara yang satu lagi mendengarkan penuturannya dalam fawfa, ini belajar hukum dan peradilan, yang itu mendengarkan ceramah dan wejangan. Dalam semua disiplin yang disebut ia bagaikan lautan yang berombak, atau bagai obor yang sangat terang. Tidak lupa sikapnya dalam amar makruf-nahi mungkar di depan para penguasa, atau yang serupa dengan penguasa yang ia sampaikan dengan bahasa yang lugas, dan kata-kata yang jelas”.

Bersama Imam Ali Karramallahu wajhahu
Suatu hari Amir Mukminin Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah, masuk masjid Basrah, beliau mendapati seorang yang sedang menyampaikan kisah di hadapan jamaah, namun kisah-kisah yang ia sampaikan keluar dari kewajaran, dibesar-besarkan dan diada ada, maka Imam Ali mengusirnya dari Masjis sambil berkata: “Cerita-cerita bohong itu bid’ah”, … hingga akhirnya beliau sampai di halaqah Al-Hasan Al-Bashri yang saat itu juga sedang berceramah dihadapan banyak orang, begitu mendengarkan ceramah tersebut beliau langsung tertarik, maka beliau berkata: “Hai anak muda!, aku akan bertanya kepadamu dua perkara, jika engkau mampu menjawabnya, engkau akan membiarkanmu, jika tidak aku akan mengusirmu seperti aku mengusir temanmu itu”. “Silakan anda bertanya Wahai Amir al-Mukminin” jawab Al-Hasan Al-Bashri. Imam Ali Karramallahu Wajhah berkata: “Tunjukkan kepadaku, apa yang menyebabkan baik dan rusakannya agama?”. Al-Hasan Al-Bashri berkata: “kebaikan agama disebabkan oleh wara’, sementara kehancurannya disebabkan oleh ketamakan”. Al-Imam Ali karramallahu wajhah lalu berkata: “engkau benar, silakan terus berceramah, karena sepertimu layak untuk terus berceramah dihadapan orang banyak”.

Ajakan kepada zuhud
Al-Hasan Al-Bashri terus bergerak mengajak orang kepada zuhud, dan ketaqwaan, bisa disebut bahwa ia merupakan orang pertama yang meletakkan prinsip-prinsip dasar zuhud, metode muhasabah diri, serta mengangkat posisi khauf dan raja’ (harap dan cemas). Beliau sering berkata: “Sesungguhnya harap dan cemas merupakan tiang pokok penyanggah bagi seorang mukmin, dengan catatan bahwa cemas baginya lebih kuat dari harap, karena jika harap lebih dominan dari cemas, akan mengakibatkan rusaknya hati”.
Ia juga berkata: “sesungguhnya seorang mukmin akan merasa bersedih di pagi hari dan sore hari, dan tidak ada jalan lain kecuali itu, karena sesungguhnya ia akan selalu berada diantara dua ketakutan; antara dosa yang telah lalu, dia tidak tahu apakah yang akan diperbuat oleh Allah terhadapnya, dan masa yang masih tersisa; yang ia tidak tahu musibah apa yang bakal menimpanya”.
“Wahai anak manusia injakkan telapak kakimu ke bumi, karena sesungguhnya sebentar lagi engkau akan menginjak kuburmu, engkau aka menghancurkan umurmu begitu engkau keluar dari rahim ibumu”.
“Wahai anak manusia, sesungguhnya engkau adalah hari-hari, semakin hari itu pergi maka sebagian dari dirimu telah pergi”.
Tidak hanya berhenti di sini, Al-Hasan Al-Bashri dengan gigih memerangi penyelewengan, ketamakan, serta mengajak orang sekitarnya untuk meninggalkan ambisi untuk mendekati orang-orang kaya, selalu mendatangi para raja dan penguasa, seraya berkata: “jangan engkau melihat kepada kemuliaan kehidupan mereka, dan kemewahan furniture (perabot) mereka, tapi hendaknya engkau melihat cepatnya, dan jeleknya akibat mereka”.
Al-Hasan juga memiliki pengajian khusus di rumahnya, hampir tidak pernah berbicara kecuali tentang masalah-masalah zuhud dan ilmu-ilmu akherat, jika ditanya seseorang tetang masalah lain, ia selalu menghindar seraya berkata: “Sesungguhnya kami berkumpul di sini sama-sama untuk saling mengingat”.
Suatu hari seorang pendeta lewat di hadapnnya, satu diantara keduanya berkata: “Mari kita dekati orang yang mirip dengan ciri-ciri al-masih, kita ingin lihat apa yang ia miliki”. Setelah mereka mendekat kepadanya keduanya mendengar ia sedang berkata sebagai berikut: “Betapa anehnya sebuah kaum yang diperintahkan untuk mengambil bekal, diajak untuk kembali, dari awal sampai akhir mereka di tahan untuk menunggu giliran menghadap Tuhan mereka, setelah itu mereka terombang-ambing dalam kemabukan!!! … lalu al-Hasan menangis hingga jenggotnya basah.
Kedua pendeta itu kemudian berkata: “Cukup sudah apa yang kita dengar dari orang ini”, lalu mereka pergi.

Satu kebaikan dengan sepuluh kali lipat balasan
Setelah shalat dhuhur … seorang pengemis mengetuk pintu al-Hasan … mendengar ketukan itu pembantu segera datang membuka pintu …. Dari dalam al-Hasan berkata: “Siapa yang mengetuk pintu?”. “seorang pengemis tuan”; jawab pembantu. “berilah makanan yang kita punyai” sahut al-Hasan. Sementara di rumah itu hanya ada sepuluh butir telur … pembantu itu segera memberikan sembilan butir telur saja, sementara satu butir lagi ia simpan untuk jaga-jaga jika kelaparan. Ketika sang pengemis telah pergi terdengar ketukan kembali, al-Hasan bertanya: “siapa yang mengetuk pintu?”, “Tamu … wahai Imam…”; jawab pembantu. “Persilahkan masuk, dan lihat apa yang sedang ia bawa”, “beliau membawa sembilan puluh telur tuan”, jawab pembantu. Sambil menggeleng gelengkan kepala, al-Hasan berkata: “Kamu telah menahan sepuluh butir telur untuk kita, … apa kamu tidak tahu bahwa Allah telah berfirman: “Barangsiapa membawa amal yang baik maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya”. (Al-A’raf: 160).

Kerinduan batang pohon
Suatu hari Al-Hasan Al-Bashri berbicara dengan teman-temannya: “Suatu saat Rasulullah Sallahu ‘alaihi wasallam, menyampaikan hutbah jum’at di samping sebatang kayu, yang jadikan sandaran punggungnya, maka ketika para jama’ah sudah banyak datang, Rasulullah bersabda: “Buatkan saya mimbar yang memiliki dua pintu (tangga) … maka ketika beliau berdiri diatas mimbar untuk berkhutbah, batang pohon rindu kepada Rasulullah Saw !!.
Orang-orang juga mendengarkan betapa, kayu itu terus rindu hingga Rasulullah turun mendekatinya, lalu memeluknya, kayu itu kemudian diam”.
Setelah Al-Hasan Al-Bashri selesai menceritakan kisah ini, ia menangis tersedu-sedu, lalu berkata: “Wahai hamba Allah, jika sepotong kayu merindukan Rasulullah, maka kalina lebih berhak untuk merindukan pertemuan dengan Beliau”.

Sifat para sahabat
Ketika sekelompok orang yang menghadiri majlis al-Hasan memintanya untuk menceritakan kepada mereka sifat-sifat para sahabat Rasulullah Saw, ia menangis seraya berkata: “Tanpak pada mereka ciri-ciri kebaikan dalam sikap dan karakter, petunjuk, kejujuran, tanpak kesederhanaan dalam pakaian mereka, rendah hati dalam berjalan, logika mereka dengan bekerja, makanan dan minuman mereka dari rizki yang baik, ketaatan mereka dengan ketaan kepada Allah, pegangan mereka adalah kebenaran baik dalam hal yang mereka sukai atau benci, pemberian kebenaran mereka dari diri mereka, …. Haus, badan mereka kurus, mereka tidak memperdulikan kemarahan makhluk untuk mendapatkan ridha pecipta, tidak berlebihan saat marah, tidak …. Dalam kedhaliman, tidak pernah melanggar hukum Allah dalam al-Qur’an, lisan mereka selalu disibukkan oleh dzikir, mengobarkan darah mereka jika mereka diminta untuk membantu, mengobarkan harga mereka jika diminta pinjaman, tidak dihalangi oleh ketakukan mereka kepada makhluq, … akhlaq mereka baik, bekal dunia yang sedikit cukup untuk menuju akherat”.

Mulai dari dirimu
Pada hari jum’at … sebelum al-Hasan naik minbar, ia di datangi seorang laki, membisikkan sesuatu di telinganya: “Wahai Imam, berbicalah tentang keutamaan membebaskan hamba sahaya, dan anjurkanlah mereka untuk melakukannya”.
Lalu orang itu berlalu diantara para jamaah, mendengarkan khutbah al-Imam, … anehnya … al-Hasan tidak berbicaralah sama sekali tentang masalah pembebasan budak ini !!!
Pada jum’at berikutnya, datang laki-laki itu kembali untuk mendengarkan khutbah al-Hasan, … namun sama seperti jum’at yang lalu, ia tidak berbicara tentang pembebasan budak.
Jum’at demi jum’at berlalu, … pada jum’at ke empat baru al-Hasan berbicara tentang keutamaan pembebasan budak dan menganjurkan jama’ah untuk melakukan hal itu, laki-laki itu sangat heran dengan tindakan al-Hasan !!
Dengan al-Hasan menjawab: “Saudaraku … tidak layak bagi saya untuk berbicara di hadapan jama’ah, hingga saya telah mempunyai uang … sehingga saya bisa pergi ke pasar untuk membeli budak untuk saya bebaskan, apa anda ingin saya masuk dalam daftar yang diperingatkan oleh Allah ta’ala dalam firman Nya: “Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca Al-Kitab (Taurat) Maka tidakkah kamu berpikir (QS. 2:44).

Balasan ghibah
Al-Hasan Al-Bashri sangat mencela ghibah seraya berkata: “sungguh ghibah itu lebih cepat di dalam agama seorang mukmin dari jamuan makan di dalam jasadnya”.
Suatu hari seorang berkata kepada al-Hasan: “sesungguhnya fulan telah berbicara jelek (ghibah) tentang anda”. Ternyata al-Hasan malah memberinya kue, seraya berkata: “aku dengar bahwa anda telah menghadiahkan kepadaku kebaikan anda, maka saya bermaksud membalasnya”.
Suami yang sholeh
Seorang laki-laki datang kepada al-Hasan untuk meminta pertimbangan seraya berkata: “Wahai Bapak Sa’id, saya memiliki anak perempuan yang aku cintai, ia sedang di pinang oleh pecinta dunia, menurut anda kepada siapa saya harus menikahkan anak saya?. Al-Hasan menjawab: “nikahkan kepada orang yang bertaqwa, karena jika ia mencintainya ia pasti akan memuliakannya, tapi jika ia tidak menyukainya ia tidak akan mendhaliminya”.
Ketika yang bersangkutan datang untuk meminang putri Bapak itu, ia menghadiahkan seratus ribu dinar. Ibunya berkata: “Nikahkanlah anak kita, aku suka mahar itu, bukanlah engkau melihat bagaimana ia telah berkorban untuk anak kita?.
Al-Hasan berkata: “Sesungguhnya seorang yang memberikan mahar sebesar seratus ribu dirham, pasti orang bodoh yang sombong (sok), orang seperti ini tidak layak untuk diharapkan dinikahkan, dan tidak layak diharapkan sebagai besan”.
Akhirnya ia menolak untuk menikahkan putrinya, dan dinikahkan dengan seorang yang shaleh.

Sebuah kaum tidak akan sesat jika diantara mereka ada al-Hasan
Akhirnya masalah Al-Hasan Al-Bashri menyebar di seluruh negara, dan iapun menjadi buah bibir masyarakat.
Ketika seorang badui Bashrah datang ke kota, ia bertanya: “siapa tokoh kota ini?”. “al-Hasan bin Abi al-Hasan” jawab masyarakat. Badui itu kembali bertanya: “Dalam hal apa dia ditokohkan oleh kaumnya?”. “Dia tidak membutuhkan masalah dunia yang da ditangan mereka, sementara masyarakat sangat membutuhkan urusan agama yang ia miliki”. Jawab masyarakat.
Sang badui berkata kembali: “Wallahi, beginilah seharusnya seorang tokoh yang sesungguhnya”.
Tidak hanya itu, para kholifah dan penguasa selalu menanyakannya, mengikuti kabar tentangnya, maka maslamah bin Abdi al-Malik bertemu Khalid bin Shafwan di al-Hirah, ia berkata: ”Wahai Khalid !, ceritakan kepadaku tentang Hasan Bashri !, Kholid bin shofwan berkata: “Semoga Allah memperbaiki kondisi Amir (gubernur), saya akan bercerita tentang al-Hasan kepada tuan berdasarkan ilmu, karena kebetulan saya tetangganya, dan selalu mendampinginya dalam setiap majlis, dan paling tahu tentang al-Hasan se Bashrah”.
Lalu Khalid bin Sofyan mulai menceritakan tentang al-Hasan kepada Maslamah bin Abdul Malik, seraya berkata:
“Kondisi yang tersembunyi sama persis dengan kondisi yang nampak, perbuatannya sama dengan perkataannya, jika ia duduk (tidak mengerjakan sesuatu, ia segera beranjak untuk mengerjakannya), dan jika ia sedang berdiri (mengerjakan sesuatu) ia akan duduk diatasnya (akan tekun mengerjakannya), jika ia diperintahkan untuk mengerjakan sesuatu ia orang yang paling giat mengerjakannya, jika dilarang untuk tidak melakukan sesuatu ia paling menjauhinya, saya melihat ia tidak pernah membutuhkan manusia, namun saya melihat bahwa orang-orang sangat membutuhkannya”.
Lalu Maslamah bin Abdu al-Malik berkata: “cukup ya Khalid, bagaimana sebuah kaum akan tersesat jika orang seperti ini ada diantara mereka”.

Al-Hasan dan (bersama) Umar bin Abdu al-Aziz
Ketika Umar bin Abdu al-Aziz; Kholifah Rasyidin kelima memerintah, ia menulis surat kepada Al-Hasan Al-Bashri sebagai berikut:
“Tulislah untukku wahai Aba Sa’id, tentang Imam yang Adil, dimana dia, dan darimana umat bisa mendapatkannya?”
maka al-Hasan membalas surat tersebut sebagai berikut:
“Wahai Amir al-Mukmini, semoga menghibur anda dengan taman kemikmatannya, dan menjadikan anda bertamasya di taman penciptaanya … ketahuilah bahwa Allah Subhanahu wata’ala telah menjadikan seorang Imam Adil akan menjadi pelurus bagi setiap orang yang melenceng, bagi setiap yang dzalim, memperbaiki setiap yang rusak, menjadi penguat bagi yang lemah, setiap yang di dzalimi, mafza’an likulli malhuf.
Pemimpin yang adil seperti pengembala yang pengasih, tegas namun pemurah yang selalu membawa dombanya ke sebaik-baik tempat pengembalaan, menjauhkan dari tempat yang membahayakan, menjaganya dari binatang buas, melindungi dari sengatan panas dan dingin.
Pemimpin yang adil seperti Bapak yang menyayangi anaknya, selalu berbuat untuknya saat kecil dan mengajarinya saat dewasa, membiayai mereka ketika masih hidup, dan menyimpan untuk mereka ketika telah meninggal.
Pemimpin yang adil itu seperti Ibu yang sangat sayang, baik dan selalu menyertainya, mengandung anaknya serta melahirkan mereka dengan susah payah, tidak tidur ketika sang anak tidak tidur, dia istirahat ketika mereka istirahat, menyusui dan menyapihnya, ia sangat bahagia ketika mereka sehat, serta sangat memperhatikan syikayatihi.
Pemimpin yang adil seperti penerima wasiat bagi anak-anak yatim, atau bendahara orang-orang miskin; yang mendidik anak-anak kecil mereka, dan membiayai yang besar.
Pemimpin yang adil itu seperti hati; yang berada diantara fisik, dia akan baik dengan kebaikannya secara umum, dan akan hancur dengan kehancurannya.
Pemimpin yang adil itu selalu menjalankan hak Allah dan hambaNya, mendengarkan Firman Allah dan memperdengarkan kepada mereka, memberikan penjelasan kepada mereka akan nikmat Tuhan mereka sehingga mereka menjadi tahu, serta terus mengajak serta memimpin mereka kepada perintah Allah Ta’ala.
Saya berharap wahai Amir al-Mukminin bahwa andalah pemimpin itu dengan izin Allah.
Jika bukan karena perintah Allah untuk menasehati anda, maka anda dengan hidayat yang diberikan oleh Allah, taufiq petunjuk yang telah dianugerahkan Allah kepada anda, maka anda tidak akan membutuhkan nasehat lagi, namun Allah mengambil janji kepada para ulama’ untuk selalu memberikan penjelasan kepada manusia serta tidak menutupinya”.
Ketika Umar bin Abdu al-Aziz menerika surat ini, ia membalas dengan surat sebagai berikut:
“Tuliskan kepadaku wahai Aba Sa’id tentang keburukan dunia (celaan terhadap dunia)”.
Diantara apa yang ditulis oleh Al-Hasan adalah sebagai berikut:
“ … Wahai paduka Amir al-Mukminin, dalam menghadapi dunia hendaklah anda berperan sebagai dokter yang mengobati lukanya dengan hati-hati supaya tidak mengakibatkan hal-hal yang tidak disukai –dikemudian hari-, kesabaran dalam menghadapi serangannya itu lebih mudah dari menahan bencana di kemudian hari, orang yang cerdas adalah yang berhati-hati bukan yang berbangga diri, karena sesungguhnya dunia itu sangat menipu, membebani dan mengelabuhi, terkadang ia (dunia) itu masuk dalam angan, menghiasi pidato para propagandisnya, ia bagaikan pengantin putri, disorot oleh semua mata, dan di tuju (diimpikan) oleh semua hati, padahal –demi Tuhan yang mengutus Muhammad dengan kebenaran- ia akan menjadi pembunuh bagi para suaminya, maka berhati-hatilah anda wahai Amir al-mukminin untuk bisa kerasukan, berhati-hatilah terhadap … , karena kemakmuran itu selalu disertai oleh kesengsaraan dan kesusahan, maka berada dalam kondisi statis akan mengantarkan kepada kehancuran … ”.
ketika surat ini sampai kepada Umar bin Abdu al-Aziz; khalifah yang adil itu, ia menangis hingga orang yang disampingnya merasa kasihan kepadanya. berkata: “Semoga Allah memberikan rahmat kepada al-Hasan!, sesungguhnya ia masih terus menjadi penggugah kita dari kesetatisan, serta mengingatkan kita dari kelalaian, Demi Allah apa yang ia nasehatkan sangat me, betapa benar dan fasihnya apa

Kedatangan seorang da’I
Dalam mengarungi hidup selama kurang lebih 88 tahun, kehidupan Al-Hasan Al-Bashri dipenuhi oleh ilmu, hikmah dan fikih … pengaruhnya menghujam di tengah-tengah masyarakat, mendiaknosa penyakit-penyakit mereka, mengkritik dengan kritikan orang bijak dan penuh kasih, menasehati dengan kasih sayang, yang pada akhirnya hati-hati terkumpul untuk mencintainya, serta mengakui keutamaannya.
Tidak hanya wejangan dan khutbah yang disampaikannya, lebih dari itu al-Hasan sangat memperhatikan pembinaan terhadap siapa saja yang berinteraksi dengannya, mempergauli mereka, dengan demikian ia mensinergikan antara dakwah dan pengarahan, antara pembinaan langsung dan pembinaan mental dan ruhani; maka tidak heran jika ia mampu memberikan hidayat kepada orang banyak dalam jumlah yang tidak bisa dihitung, sehingga mereka bisa merasakan masnisnya iman serta menghiasi diri mereka dengan kebenaran Islam.
Benar apa yang disampaikan oleh Awwam bin Hawsyib: “Aku tidak pernah melihat orang yang lebih mirip dengan al-Hasan kecuali Nabi, hidup selama 60 tahun di tengah kaumnya untuk mengajak kepada Allah”.
Pada malam jum’at tanggal 1 Rajab tahun 110 H, Al-Hasan Al-Bashri memenuhi panggilan Tuhannya … maka ketika pagi menyingsing, dan orang-orang mulai mendengar berita kematiannya, kota bashrah berguncang dengan kematian ini.
Seorang laki-laki menemui Muhammad bin Sirin, dan berkata kepadanya: “al-Hasan telah wafat”. Maka secara spontanitas Ibnu Sirin mendo’akan untuknya agar mendapatkan rahmat dari Allah, wajahnya berubah, serta diam seribu bahasa, tidak berbicara sampai tenggelamnya matahari, orang-orangpun mencoba untuk tidak berbicara dengannya karena kesedihan yang mereka lihat diwajahnya.
Lalu Al-Hasan Al-Bashri segera dimandikan dan dikafani, kemudian disholati setelah shalat jum’at di Masjid yang selama hidupnya ia pergunakan sebagai seorang ‘Alim, guru serta da’I kepada jalan Allah.
Setelah itu orang-orangpun turut mengantarkan janazahnya, hingga shalat ashar tidak sempat ditunaikan di masjid Jami’ Bashrah, karena tidak ada seorangpun yang beranjak untuk menunaikan shalat ashar.
Dan belum diketahui sebelumnya bahwa shalat ashar tidak ditunaikan di masjid Jami’ Bashrah –sejak dibangunnya- kecuali hati itu.
Di sorga dan mata air
Ketika seorang membesuk Al-Hasan Al-Bashri pada sakit terakhirnya, ia tidak mendapatkan di rumahnya apapun … tidak ada kasur, tidak ada karpet, tidak ada bantal, tidak ada tikar. Di sana hanya ada dipan dan al-Hasan tergeletak diatasnya.
Para pembesuk berkata: “Wahai Aba Sa’id, bekali kami beberapa kalimat yang bisa bermanfaat bagi kami.
Al-Hasan berkata: “Aku membekali kalian dengan tiga kalimat, lalu pergilan kalian, ku mohon kalian meninggalkan meninggalkanku: terhadap apa yang dilarang, hendaklah kalian paling jauh darinya, dan terhadap apa yang diperintahkan, hendaklah kalian orang yang paling banyak berbuat, dan ketahuilah bahwa langkah kalian ada dua: satu langkah untukmu (akan mendatangkan manfaat bagi kalian) dan satu langkah bagimu (membawa bencana bagi kalian), maka perhatikanlah dengan baik kemana kaian pergi”.
Dan ketika dia mendekati sakarat al-maut, ia , lalu berkata: “Inna lillah wa inna ilaihi rajiun”.
Lalu dia pingsan, kemudian sadar kembali seraya berkata: “kalian telah mengingahkan saya tentang sorga dan mata air, serta tempat yang sangat indah-indah”.

Pujian
Imam al-Hafidz Abu Na’im al-Asfahani dalam bukunya “Hilyatu al-Auliya’” berkomentar tentang Al-Hasan Al-Bashri: “Selalu ditemani oleh takut dan sedih, bersahabat dengan kegelisahan dan sedih, jauh dari tidur dan istirahat … seorang faqih yang zahid, sangat giat dan ahli ibadah, membuang jauh-jauh dunia, serta membuang syahwat diri”.
Abu Burdah berkata: “saya tidak melihat seseorang yang lebih mirip dengan para sahabat Rasulullah dari dia (Al-Hasan Al-Bashri).
Qatadah berkata: “Ikuti selalu syeikh ini, karena aku tidak melihat seorang yang lebih mirip dengan Umar kecuali dia”. “Tidak ada seseorang yang lebih sempurna kesatriaannya (keluhuran budinya) dari pada al-Hasan”.
Mathar al-warraq berkata: “ketika al-Hasan muncul, seakan-akan dia datang dari akherat, lalu bercerita tentang apa yang ia lihat disana”.
Tsabit bin Qurrah al-Hakim al-Harrani juga berkata: “sesungguhnya al-Hasan itu bagian dari umat Muhammad yang bisa dibanggakan atas umat lainnya”.

Pelembut Hati; Kumpulan nasehat dan petuah al-Hasan
Diantara Peninggalan terbesar yang diwariskan oleh Al-Hasan Al-Bashri kepada umat Islam adalah nasehat-nasehat pelembut hati; yang sepanjang zaman menjadi penghibur (musim semi) bagi hati, serta nasehat yang mengetarkan dan terus menerus mengetarkan hati serta meneteskan air mata, menunjukkan orang-orang yang sesat kepada Allah Azza wajalla, mengingatkan orang-orang yang lalai akan hakekat dunia, dan kondisi manusia dengannya.
Nasehat dan petuah Al-Hasan Al-Bashri menggabungkan antara kekuatan dan kemudahan; yang merupakan ciri khas pembicaraan pada masa Sahabat Rasulullah Saw. Biasanya pembicaraan tersebut membahas seputar: pendeknya kehidupan ini, pengkhianatan dunia, kekalnya akherat, anjuran kepada Iman dan amal shaleh, taqwa serta takut, mengingatkan akan kecongkakan jiwa dan panjangnya angan … dan ketika sudah sampai ke batas titik ini biasanya menimbulkan kesedihan, serta mengetarkan hati.

Empat kondisi
Al-Hasan berkata: “Barang siapa yang memiliki empat kondisi, maka Allah akan mengharamkannya atas neraka, melindungi darinya dari syaitan: barang siapa yang menguasai dirinya ketika timbul kemauan, ketika takut, ketika datang syahwat, dan ketika marah”.

Sifat-sifat seorang mukmin
“mukmin itu lemah lembut, bertaqwa dan bersih hatinya, suci dan selalu ridla, tidak terjeblos ke lubang dua kali, pucat wajahnya, rambutnya acak-acakan, sedikit makannya, serta cerdas dalam masalah agamanya.
Mukmin itu harus tenang, menghormati tetangga, tunduk kepada penindas/lalim, lari dari siksaan api neraka, jiwanya menyaksikan makrifatillah, sedangkan fisiknya selalu menyebut Allah, tangannya terbentang untuk kebaikan, selalu mengintropeksi dirinya dengan susah payah, sementara banyak manusia bersantai ria.
Seorang mukmin adalah seorang yang jujur jika berjanji, dekat dengan keridhaan, jauh dari amarah, cepat mengetahui jika diajari, serta faham jika difahamkan, siapa saja yang bergaul dengannya dia akan selamat serta mendapatkan sesuatu, sempurna akalnya, banyak amalnya, sedikit angannya, baik budinya, serta menyimpan kemarahan”.

Mukmin dan Munafik
Dalam menafsirkan firman Allah: “"Ambillah, bacalah kitabku (ini), Sesungguhnya aku yakin, bahwa sesungguhnya aku akan menemui hisab terhadap diriku”. (QS. 69:19-20), al-Hasan berkata: “sesungguhnya seorang mukmin selalu berbaik sangka terhadap Tuhannya, maka dia bekerja dengan profesional, dan sesungguhnya seorang munafik selalu berburuk sangka maka dia sangat buruk prestasi amalnya”.

Tanda-tanda Orang bertaqwa
Al-Hasan Al-Bashri berkata: “wahai anak adam, perbuatan kamu adalah perbuatan kamu … maka sesungguhnya ia adalah daging dan darahmu, maka lihatlah dalam kondisi bagaimana anda bertemu mendaptkan pekerjaanmu, sesungguhnya orang-orang bertaqwa itu mempunyai ciri-ciri yang dapt diketahui dengan jelas yaitu: jujur dalam berbicara, menepati janji, menyambung tali asih, mengasihi orang-orang lemah, tidak sombong dan congkak, selalu mengerjakan kebaikan, tidak menyombongkan diri di hadapan manusia, baik budinya, lapang akhlaqnya terhadap semua yang mengantarkan kepada Allah azza wa jalla.
Wahai anak Adam, sesungguhnya engkau melihat perbuatanmu akan ditimbang; baik ataupun buruk, maka jangan sekali-kali meremehkan kebaikan walau kecil, karena jika kalian melihatnya dengan seksama maka posisinya akan menyenangkanmu, dan jangan menghina kejelekan sekecilpun, karena jika kalian melihat maka posisnya akan menyedihkanmu.
Wahai anak Adam, juallah duniamu untuk akheratmu, engkau akan untung keduanya, dan janganlah engkau jual akheratmu dengan duniamu, engkau akan rugi keduanya”.

Hamba-hamba Allah
Al-Hasan al-Basri berkata: “sesungguhnya Allah memiliki hamba, sebagaimana ia melihat penghuni sorga kekal di dalam sorga, Ia melihat penghuni neraka kekal di dalam neraka … hati-hati mereka selalu di rundung sedih, selalu percaya bahwa keburukan selalu mengancam, kebutuhan mereka sangat ringan, jiwa mereka suci … mereka sabar dalam waktu singkat namun membuahkan kesenangan panjang, adapun di malam hari telapak kaki mereka selalu berjabat tangan, air mata mengalir diatas pipi mereka, mengaduh kepada Tuhan mereka: “Wahai Tuhan kami … Tuhan kami”, sementara di siang hari mereka menjadi sosok yang penyayang, ulama’, orang-orang baik dan bertaqwa, mereka seperti qidah (koali) jika dilihat seperti orang sakit, namun mereka sama sekali bukan orang sakit, atau jika digauli, maka mereka akan tersebut masalah akherat yang sangat penting”.