12.10.2008

PROBLEMATIKA PANJANG RUKYAT DAN HISAB


PROBLEMATIKA PANJANG RUKYAT DAN HISAB
Kesimpulan Hasil Kaji Gagas Bina Cermat (Bina Cendikia dan Kepedulian Kader Umat)
ICMI Orsat Kairo

Salah satu persoalan besar yang aktual yang dewasa ini sering dihadapi oleh Umat Islam adalah problem perbedaan dalam penentuan awal bulan qamariyyah. Persoalan ini menjadi sangat penting karena memang banyak sekali ibadah-ibadah besar dalam Islam semisal Puasa Ramadhan, Perayaan Idul Fitri, Pelaksanan Rangkaian Haji, dan Perayaan Idul Adha yang waktu pelaksanaannya didasarkan pada penanggalan qamariyyah. Adanya perbedaan antara sesama Umat Islam dalam penentuan awal bulan qamariyyah, akan menyebabkan timbulnya perbedaan dalam waktu pelaksanaan ibadah-ibadah yang memang lazim dan semestinya dilaksanakan secara bersama-sama ini. Di samping itu, beberapa ibadah dan kegiatan keagamaan lainnya juga banyak yang ditentukan waktunya oleh penanggalan qamariyyah, seperti hitungan haul Zakat, tempo ‘îlâ, masa ‘iddah, dan puasa ayyâmu 'l-baidl. Dari sini nampak jelas, bahwa perbedaan antara sesama Umat Islam dalam penentuan awal bulan-bulan hjijriah akan sangat memberikan pengaruh yang signifikan dalam praktek kegiatan keagamaan di level individu maupun di tingkat komunal.
Dalam skup Indonesia, problem ini menjadi semakin kuat. Sebab utamanya adalah tidak adanya sebuah lembaga resmi yang diakui bersama oleh seluruh Umat Islam Indonesia sebagai satu-satunya lembaga fatwa yang bersifat mengikat ke seluruh kalangan muslim Indonesia. Meskipun ada kementerian khusus di Pemerintah yang mengatur persoalan ini, akan tetapi hampir setiap organisasi masyarakat (Ormas) yang ada telah menerapkan metode penentuannya yang berbeda-beda secara mandiri. Sehingga tidak heran, jika keputusan resmi yang dikeluarkan oleh Pemerintah dalam persoalan ini ternyata tidak diterapkan oleh masyarakat secara riil, yang memang relatif lebih loyal terhadap organisasi atau lembaga yang diikutinya. Problem ini terus lestari selama bertahun-tahun karena memang metode dasar yang menjadi pemberangkatan setiap Ormas itu berbeda satu sama lain dan cenderung tidak sama dengan metode yang dipakai sebagai acuan dasar oleh Pemerintah (dalam hal ini : Departemen Agama RI).
Memandang persoalan komunal yang tidak kunjung usai ini, Organisasi Satuan Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia Kairo (Orsat ICMI Kairo) melalui Forum Bina Cendekia dan Kepedulian Kader Umat (FOR-BINACERMAT) merasa terpanggil untuk berperan serta dalam upaya pemberian solusi kongkret yang praktis dan ideal agar tercapai kesatuan bersama dan persatuan kuat yang memang merupakan cita-cita luhur yang sangat ditekankan oleh Islam dalam ajaran-ajarannya di Al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw. Atau paling tidak, aneka perbedaan sekaligus pertentangan yang ada selama ini—khususnya dalam skup Indonesia—bisa dikurangi seminim mungkin dengan tetap mengembangkan tenggang rasa dan ukhuwwah islâmiyyah. Naskah ini disusun sebagai hasil kajian intensif yang telah dilaksanakan Forum mengenai persoalan tersebut di atas dari berbagai macam aspeknya.
Berikut kami sampaikan hasil kaji gagas tersebut dalam poin-poin dibawah ini:

1. Hasil kajian sejarah menunjukkan bahwa secara praktek masyarakat madinah pada masa kenabian melakukan ibadah komunal (Puasa, Ied, Haji, dst), secara bersatu dan bersama-sama, dan belum ditemukan bukti terjadinya perbedaan waktu pelaksanaan dalam masyarakat tersebut, demikian pula pada masa-masa selanjutnya; yaitu masa khulafaurrasyidin, dan khilafah-khilafah setelahnya. Perbedaan pelaksanaan ibadah-ibadah tersebut terjadi antar daerah yang berjauhan, dan bukan terjadi dalam satu tempat.

2. Kajian historis Bina Cermat juga menyimpulkan bahwa penetapan waktu berbagai ibadah komunal tersebut dalam tataran peperintahan (Resmi) menggunakan Rukyat.
3. Sementantara Metode hisab mulai muncul secara teroritis pertama kali pada masa Tabi'in, oleh Mutharrif bin Abdillah pada tahun 78 H. Lalu pada masa-masa selanjutnya dikembangkan oleh Ibnu Qutaibah (828-889 M), lalu Ibnu Juraij Asy-syafi'i (). Lalu estafeta metode ini dilanjutkan oleh Imam Ibnu Daqiq al-ied (702 H), dan Ali Ibn Abdil Kafi as-Subki dikenal dengan Taqiyuddin as-Subky (756 H).
4. Namun Metode Hisab tersebut masih menjadi tawaran konsep dan perdebatan wacana di kalangan para ulama', dan dipraktekkan hanya oleh pengguna metode ini secara individu, belum dipraktekkan dalam tataran Pemerintah, keculai pada masa Pemerintahan Fathimiyah di Mesir (341-567 H).
5. Para ulama' kontemporer pendukung Metode Hisab, diantaranya: Syiekh Tantawi jauhari (1913), lalu disusul oleh Syeikh Musthafa al-Maraghi, Syeikh Muhammad Rasyid Ridho (1927), lalu Syeikh Muhammad Bakhit al-Muthi'i (1933), selanjutnya Syeikh Ahmad Muhammad Syakir, lalu oleh al-Ghumari (1953), yang menulis sebuah buku berjudul Taujihul Andzar li Taujihil Muslimin fis-syaumi wal ifthar. Metode ini juga diperkuat oleh ulama'-ulama kontemporer ternama yang masih hidup sekarang ini, seperti Muhammad Fathi Ad-Darini, Syeikh Musthafa Ahmad Az-Zarqa', Dr. Yusuf Qordhawi.
6. Dalam tataran pemerintah, saat ini metode ini dipraktekkan oleh:
a. Saudi Arabia, selain bulan Ramadhan Syawwal dan Dzulhijjah, dengan kriteria bulan terbenam setelah matahari dengan diawali ijtimak terlebih dahulu (moonset after sunset).
b. Libia, dengan kriteria ijtima' qabla fajr atau terjadinya ijtimak sebelum fajar.
c. Aljazair, Turki dan Tunisia, dengan kriteria umur bulan, ketinggian bulan atau selisih waktu terbenamnya bulan dan matahari.
d. Indonesia, Malaysia, Brunei, dan Singapura, dengan kreteria (MABIMS), yaitu umur bulan > 8 jam, tinggi bulan >2o dan elongasi > 3o.
7. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kedua metode tersebut (Rukyat dan Hisab), saat ini telah didudung secara teroritas oleh berbagai ulama', dan telah dipraktekkan secara nyata dalam tataran pemerintah.
8. Hasil kaji gagas Bina Cermat juga menyimpulkan bahwa Metode Rukyat yang benar dan Hisab yang ilmiah keduanya sah secara syar'i dan keilmuan.
9. Namun demikian secara praktek dalam sekala satu Negara, dilarang terjadinya keragaman waktu pelaksanaan ibadah-ibadah komunal ini, yang dilandasan pada perbedaan metode-metode tersebut.
10. untuk itu otoritas dan wewenang dalam masalah ini harus diserahkan kepada pemimpin (pemerintah), karena betapa banyak keragaman yang terjadi dimasyarakat hanya pemimpinlah yang memiliki kekuatan untuk memilih salah satu pendapat yang beragam itu, karena (ra'yul imam yaqtaul khilaf).
11. Alasan kenapa kita harus bersatu, dan tidak dibolehkan terjadinya keragaman dalam praktek ibadah-ibadah komunal tersebut adalah sebagai berikut:
a. Firman-firman Allah dan hadis-hadis tentang anjuran untuk bersatu, hadis-hadis yang menganjurkan untuk melaksanakan berbagai ibadah dalam jamaah (shalat fardhu berjamaah, taraweh, haji, shalat ied (wajib), sahalt jumat (wajib), dll).
b. Firman Allah dalam surat Al-Baqarah 189
* štRqè=t«ó¡o„ Ç`tã Ï'©#ÏdF{$# ( ö@è% }‘Ïd àM‹Ï%ºuqtB Ĩ$¨Y=Ï9 Ædkysø9$#ur 3 }§øŠs9ur •ŽÉ9ø9$# br'Î/ (#qè?ù's? šVqãŠç6ø9$# `ÏB $ydÍ‘qßgàß £`Å3»s9ur §ŽÉ9ø9$# Ç`tB 4†s+¨?$# 3 (#qè?ù&ur šVqã‹ç7ø9$# ô`ÏB $ygÎ/ºuqö/r& 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# öNà6¯=yès9 šcqßsÎ=øÿè? ÇÊÑÒÈ

c. Firman Allah dalam surat al-Baqarah 185
ãöky­ tb$ŸÒtBu‘ ü“Ï%©!$# tAÌ“Ré& ÏmŠÏù ãb#uäöà)ø9$# ”W‰èd Ĩ$¨Y=Ïj9 ;M»oYÉit/ur z`ÏiB 3“y‰ßgø9$# Èb$s%öàÿø9$#ur 4 `yJsù y‰Íky­ ãNä3YÏB tök¤¶9$# çmôJÝÁuŠù=sù ( `tBur tb$Ÿ2 $³ÒƒÍsD ÷rr& 4’n?tã 9xÿy™ ×o£‰Ïèsù ô`ÏiB BQ$­ƒr& tyzé& 3 ߉ƒÌãƒ ª!$# ãNà6Î/ tó¡ãŠø9$# Ÿwur ߉ƒÌãƒ ãNà6Î/ uŽô£ãèø9$# (#qè=ÏJò6çGÏ9ur no£‰Ïèø9$# (#rçŽÉi9x6çGÏ9ur ©!$# 4†n?tã $tB öNä31y‰yd öNà6¯=yès9ur šcrãä3ô±n@ ÇÊÑÎÈ

d. Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah
الصوم يوم تصومون والفطر يوم تفطرون والأضحي يوم تضحون

e. Hadis tentang laporan Rukyat dari orang Badui
أن ركبا جاء إلي النبي r يشهدون أنهم رأو الهلال بالأمس، بأمرهم أن يقطروا وإذا أصبحوا أن يعدوا إلي مصلاهم.
f. Atsar dan pernyataan para sahabat
i. Pernyataan Umar bin Khottab kepada salah seorang dari dua orang yang telah berbuka puasa setalah kemarennya mereka melihat bulan, sementara satu orang lagi belum berbuka puasa. Umar marah kepada yang telah berbuka seraya berkata: "Jika bukan karena kawanmu ini (yang tetap menunggu keputusan pemimpin dan berhariraya bersama masyarakat), maka tentu aku sudah memukul kepalamu dengan sakit"
ii. Suatu hari datang juga seorang dari jauh kepada Umar dan menyatakan bahwa ia telah melihat hilal secara langsung, lalu Kholifah umar berkata kepadanya: "Lantas apa yang engkau perbuat ?, ia menjawab: "Aku tetap berpuasa bersama orang-orang". Mengapa, tanya kholifah kembali ? "Aku tidak ingin berbuka saat ramai orang masih berpuasa", kholifah umar berkata: "Duhai alangkah dalamnya pengetahuan agamamu !".
iii. Pada masa khalifah Utsman bin Affan, Beliau melakukan shalat dzuhur secara sempurna, sementara yang bertul menurut Ibnu Masud adaah qashar. Ibnu Ma'ud ternyata mengikuti cara shalat khalifah. Ketika ditanya mengapa begitu, beliau menjawab dengan tegas, "al-khilaf Syarrun". (mengambil sikap berbeda itu tercela".

g. Pandangan para Imam Besar setelah sahabat
i. Imam Asy-Syaibani: "Orang yang sendirian melihat hilal, ia harus mengikuti putusan masyarakat dalam (penentuan waktu berawal dan berakhir) puasa serta haji, meskipun ketika itu putusan masyarakat berbeda dengan apa yang menjadi keyakinannya".
ii. Ibnu Taimiyah: "Landasan dari permasalahan ini adalah bahwasanya Allah Ta'ala telah mengaitkan waktu-waktu ibadah itu dengan hilal dan syahr, ... sedangkan hilal adalah sebutan bagi obyek yang sudah diumumkan kepada publik secara terang-terangan. Jadi apabila bulan sabit itu telah muncul di langit, akan tetapi belum dikenal dan belum diteriakkan oleh orang-orang, maka berarti bulan sabit itu belumlah merupakan hilal. Demikian juga syahr, Syahr merupakan derivasi dari asy-syuhrah (popularitas). Sehingga sesuatu yang belum populer di kalangan masyarakat, tentu berarti syahr itu belum datang".
h. Pandangan para Ulama kontemporer
i. Muhammad bin Abdul Baqi: "Yang nampak disini, pengertian dari hadis ini adalah bahwa urusan urusan tersebut (puasa dan hari raya dan haji) bukanlah wewenang orang perorang, dan mereka tidak boleh memisahkan diri dalam pelaksanaannya, wewenangnya harus dipasrahkan kepada imam (pemimpin) dan jamaah. Dan seiap indifidu dalam hal ini wajib mengikuti pemimpin dan jamaah".
ii. Yusuf Qordlowi: ".... apabila kita memang belum mampu untuk mencapai kesepakatan universal yang meliputi seluruh wilayah umat Islam di seantero dunia, maka paling tidak kita harus berusaha keras untuk mencapai kesatuan lokal antara masyarakat muslim dalam satu ilayah. Jadi kita sama sekali tidak boleh memecah anak satu bangsa atau penduduk satu kota menjadi bermacam-macam, di mana sebagian kelompok sudah berpuasa kaena menganggab sebagai ramadhan sementara kelompok yang lain masih berbuka karena menganggapnya sebagai sya'ban ...."

i. Keputusan beberapa Mufti dan Keputusan Lembagi Fatwa
j. Keharusan untuk mengalah demi kepentingan umat yang lebih luas
k. Dibolehkannya berpuasa (bersama masyarakat) dihari yang diyakini bahwa hari itu adalah hari raya, dan berhari raya yang diyakini bahwa hari itu adalah masih puasa.

12. Untuk mewujudkan persatuan dalam masalah ini, Hasil kaji gagas Bina Cermat mengusulkan langkah riil sebagai berikut:
a. Sosialisasi dan penyadaran tentang peran
i. Pemerintah sebagai ulil amri, penanggung jawab utama dan pemegang wewenang tunggal dalam masalah ini.
ii. Ormas-Ormas, Parpol, Jamaah dst Bahwa keberadaannya adalah untuk berkompetisi dalam kebaikan (persatuan) bukan dalam kemaksiatan (perselisihan), dan tidak menggiring anggota kepada fanatisme kelompok, tapi kepada kemaslahatan umat yang lebih luas.
iii. Masyarakat (untuk mentaati pemimpin selama tidak memerintahkan kepada kemaksiatan kepada Allah, dan tidak terbawa oleh arus fanatisme kelompok, guna mewujudkan kesatuan dan persatuan serta kemaslahatan umat).
b. Penunjukan Lembaga terpilih yang disepakati sebagai satu-satunya lembaga yang berhak dan berwenang untuk mengambil keputusan mengenai masuknya bulan hijriyah setiap tahun.
c. Penentuan kreteria (oleh lembaga terpilih) dan pengundangan.
i. Kriteria MABIM
ii. Mengambil salah satu kreteria yang selama ini telah jamak dipakai oleh salah satu ormas
iii. Kriteria LAPAN
iv. Kriteria lainnya yang diusulkan oleh Bpk T. Djamaluddin yang didasarkan oleh fraksi luas sabit bulan yang bisa diamati)
v. Kriteri yang sangat layak untuk dipertimbangkan menurut hasil kaji gagas Bina Cermat adalah Rukyat Ilmiah, yang didefinisikan (Masuknya awal bulan pada dasarnya ditentukan melalui hasil rukyat lokal. Tetapi rukyat tersebut harus berpijak pada prediksi Hisab yang paling meyakinkan. Jika sesuai prediksi Hisab Rukyat memang mungkin dilakukan, maka kesaksian dari masyarakat maupun kesaksian dari luar negeri bisa diterima. Akan tetapi jika prediksi Hisab tersebut tidak menyisakan kemungkianan, maka Rykyat hanya boleh dilakukan oleh tim resmi bentukan lembaga terpilih dan hasilnya harus dilaporkan dalam gambar potret yang bisa dianalisa lebih lanjut. Jika memang sama sekali tiak ada laporan rukyat yang masuk, maka diterapkanlah langkah istikmal".
1. Secara mendasar sesuai dengan ajaran Rasulullah dan Ijmak para ulama' madzahib karena tidak mengabaikan Rukyat.
2. Sejalan dengan perkembangan sains dan teknologi karena sama sekali tidak mengabaikan Hisab Ilmu Falak dan Kajian astronomi.
3. Berpeluang besar untuk mendukung ide penyatuan regional atau universal meskipun tidak selalu sesuai di tiap tahunnya.
4. bersifat selektif sehingga tidak begitu saja mengabaikan laporan dari masyarakat yang melakukan rukyat matir serta tidak juga asal menerima laporan dari siapa saja.
5. standar maupun laporan yang ada bisa terus-menerus diperbaiki karena selain berpedoman pada perhitungan astronomis, hasil rukyat dari tim-tim resmi tersebut juga terdomentasikan dalam gambar yang bisa dianalisa lebih lanjut.
Adapun kriteria hisab yang dipakai dalam metode ini adalah wujudul hilal plus imkanurrukyat (baik standar LAPAN maupun standar lainnya yang lebih modern) plus prinsip wilaytul hukmi plus pembuktian empiris, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Abbas "Innallahu Amaddahu lirrukyah" (Allah mengulur hilal tersebut sampai bisa diobservasi).
d. Sosialisasi pilihan kriteria dan hasil undang-undang kepada semua elemen masyarakat.

Semoga, gayung agenda mulia penyatuan ini akan segera mendapatkan sambutan yang hangat dan positif dari semua pihak yang ada. Sehingga dengan demikian, benang kusut perbedaan internal yang selama ini terjadi di Tanah Air akan bisa terurai secara baik dan mendapatkan penyelesainnya yang efektif. Umat Islampun bisa tenang dengan tenang dan tentram menjalankan ibadah komunalnya secara hikmat, optimal dan dan mengarah pada penguatan dan kesatuan sebagaimana diharapkan oleh seuma yang selama ini memang mendambakan percerahan. Wallahu-l-muwaffiq.

No comments: