12.17.2008

MEMAKNAI TAHUN BARU HIJRIYAH


MEMAKNAI TAHUN BARU HIJRIYAH

Tak terasa, kita akan kembali menjemput tahun baru Hijriyah (1430 H) sekaligus tahun baru Miladi (2009 M). Berbagai kejadian besar dan kecil telah terjadi di dunia sepanjang tahun 1429 H/2008 M. demikian pula berbagai peristiwa besar dan kecil telah kita melintas dihadapan kita sepanjang tahun lengkap dengan manis dan pahitnya. Banyak yang telah menjadikan kita bergembira, bahagia dan tersenyum, namun banyak pula membuat kita sedih, berduka bahkan menangis. Banyak generasi baru sepanjang tahun ini telah lahir, dan tak terkira jumlahnya generasi tua/muda telah meninggalkan kita, untuk menemui Tuhan mereka.

Tetapi peristiwa semacam itu tahun demi tahun terus terulang dan akan terus terulang, sehingga yang terpenting bagi kita bukan terjadinya atau terualangnya peristiwa-peristiwa tersebut, namun yang terpenting adalah apa yang dapat kita petik dari peristwa-peristiwa tersebut.

Walaupun umur kita rata-rata tidak begitu panjang (60-90), namun kita tidak boleh lelah untuk selalu mengulang-ngulang dan melihat kembali cara kita memaknai hidup ini, cara kita menata hidup ini dan cara kita menjalani hidup ini, serta tahapan-tahapan capaian yang telah dan belum kita realisasikan. Agar perjalanan hidup ke depan senantiasa bergerak menuju kebaikan dan terus lebih baik dari sebelumnya, sehingga kita dapat menutup hidup kita kelak dengan sesuatu yang lebih berarti.



يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
(Hai Orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah, dan hendaklah setiap individu diantara kamu selalu melihat (mengevaluasi-mengintropeksi) terhadap apa yang telah diperbuatnya untuk masa depannya (kehidupan akherat), sesungguhnya Allah mengetahui atas apa yang kalian lakukan).

Seperti halnya yang disabdakan oleh Rasulullah Swt:


من كان يومه خيرا من أمسه فهو رابح، ومن كان يومه مثل أمسه فهو مغبون ومن كان يومه شرا من أمسه فهو ملعون
(Barangsiapa yang harinya (hari ini) lebih baik dari sebelumnya, maka ia telah beruntung, barangsiapa harinya seperti sebelumnya, maka ia telah merugi, dan barangsiapa yang harinya lebih jelek dari sebelumnya, maka ia tergolong orang-orang yang terlaknat)


Dalam perjalanan panjang, bus yang kita tumpangi mesti berhenti sejenak di halte-halte tertentu, untuk mengambil rehat-jeda dan nafas, mengevaluasi perjalanan yang telah dilalui dan mempersiapkan perjalanan berikutnya.

Nah, momen tahun baru merupakan salah satu halte yang paling cocok untuk kita gunakan sebagai momentum untuk melakukan (evaluasi, intropeksi dan refleksi).


وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا مُوسَى بِآيَاتِنَا أَنْ أَخْرِجْ قَوْمَكَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ وَذَكِّرْهُمْ بِأَيَّامِ اللّهِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِّكُلِّ صَبَّارٍ شَكُورٍ.

(Telah kami utus Musa dengan membawa tanda-tanda (ayat) kami, seraya kami katakan: Keluarkan kaummu dari kegelapan menuju cayaya, dan ingatkan mereka dengan hari-hari Allah. Sesungguhnya yang demikian itu merupakan tanda-tanda bagi hamba yang selalu tabah (dalam menjalankan ketaatan) dan suka bersyukur(atas karunia yang dilimpahkan kepadanya).
Dalam Ayat di atas Allah memberikan penjelasan kepada Nabi Muhammad bahwa Risalah kenabian yang diembankan kepada-nya sama halnya dengan risalah kenabian yang diembankan kepada Nabi Musa, Tugas Pokok para pemegang risalah kenabian adalah (menjadi agen perubahan-misi utamanya adalah mengentaskan masyarakat dari keterpurukan (adh-dhulumat-Kegelapan) menuju masa depan yang menjanjikan (an-nuur-Cahaya-Kemajuan).

Tatkala sebuah bangsa ingin bangkit dari keterpurukan, terkadang terhambat oleh beberapa kendala psikologis yang justru muncul dan bersemayan dalam diri sendiri: kendala itu bernama sindrom inferiority complex. Perasaan minder dan rendah diri, merasa tidak mampu.

Sindrom seperti ini walaupun dianggap tidak layak muncul di dalam masyarakat (Bani Israel), namun sangat difahami oleh Al-Quran sebagai hal yang tabi'i (wajar). Oleh karena itu Allah memerintahkan kepada Nabi Musa agar memanfaatkan momentum-momentum besar yang telah terjadi dalam sejarah Bani Israel, untuk digunakan sebagai sarana pendobrak rasa rendah diri, dan selanjutnya mereka mampu bangkit dengan penuh keberanian dan percaya diri.

Momentum-momentum besar yang terjadi dalam sejarah Bani Israel selalu disebut-sebut Allah sebagai modal besar untuk bangkit dan tampil menjadi bangsa besar, untuk mengemban tugas besar.

Selepas Bani Israel keluar dari perbudakan Firaun, mereka mendapat tugas besar untuk menaklukkan kota suci Yerussalam. Tugas besar ini tentu sebanding lurus dengan tantangan yang besar, -karena itu berarti- harus menaklukkan The Giant Nation (Bangsa Besar-dalam al-Quran dita'birkan dengan kata-kata al-jabbarin)....Dalam menghadapi realita ini, ternyata Bangsa Israel gamang, ragu dan tak percaya diri ... akhirnya dengan nyanyian koor mereka mengeluarkan pernyataan:


قَالُوا يَا مُوسَى إِنَّ فِيهَا قَوْمًا جَبَّارِينَ وَإِنَّا لَن نَّدْخُلَهَا حَتَّىَ يَخْرُجُواْ مِنْهَا فَإِن يَخْرُجُواْ مِنْهَا فَإِنَّا دَاخِلُونَ

<>>


Menghadapi kondisi seperti ini, Musa as. Mengangkat kebesaran Bangsa Israel dan mengingatkan momentum-momentum besar yang telah terjadi dalam sejarah panjang mereka :


وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ يَا قَوْمِ اذْكُرُواْ نِعْمَةَ اللّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ جَعَلَ فِيكُمْ أَنبِيَاء وَجَعَلَكُم مُّلُوكًا وَآتَاكُم مَّا لَمْ يُؤْتِ أَحَدًا مِّن الْعَالَمِينَ.

Telah diutusnya seorang Rasul dengan membawa sebuah kitab suci yang khas dan autentic, (yang menyelamatkan dari kungkungan kekafiran-kemusyrikan, lalu Mengeluarkan dari perbudakan-Firaun), setelah pindah dan berhasil membuka Palestina akhirnya Bangsa Palestina dapat membangun sebuah pemerintahan (dimulai dari masa Nabi Dawud) yang kekuasaannya sampai ke Yaman.

Dengan fakta sejarah inilah Allah kemudian banyak mengingatkan Bani Israel bahwa sebagai umat, mereka dilebihkan dari umat-umat lainnya. Bahkan dalam ayat diatas ditandaskan bahwa mereka telah diberikan nikmat yang tidak diberikan kepada umat lainnya (waataakkum maa lam yukti ahadan minal aalamin).

Nah, momentum Hijrah dalam sejarah Umat Islam, merupakan momentum sejarah yang besar, yang mencengangkan dunia. Karena dari titik tolak hijrah inilah peradaban besar Islam yang tinggi dan agung itu di design/dirancang dan diciptakan. Sebuah peradaban yang sinarnya menyinari timur dan barat (walillahil masyriqu wal maghribu-sesungguhnya timur dan barat hanya milik Allah semata).

Peristiwa Hijrah merupakan (al-quwwatu fittamassuk bil mabadi') keteguhan dalam mempertahankan prinsip. Peristiwa Hijrah merupakan (adz-dzaka fil khuruj minal ma'jzaq) kecerdasan keluar dari tekanan masalah dan problematika. Peristiwa Hijrah adalah (al-ghazwah al-kubraa fi nasyril al-haq, wass-syajaa'ah, wal adalah) the big invation (invansi besar-besaran) nilai kebenaran, keberanian dan keadilan. Peristiwa Hijrah merupakan (al-mauj al-kabir fil khuluq), the big wave of morality. Perintiwa Hijrah adalah guru terbesar dalam ketulusan dan persaudaraan (The big teacher of sincerity and brotherhood), Peristiwa Hijrah adalah pelajaran terbesar dalam pengorbanan (The big teacher of sacrifice).

Momentum besar ini semestinya kita maknai dengan makna-makna di atas, lalu kita resapi yang selanjutnya menjadi kapitalisasi bagi kebangkitan ulang umat Islam, karena sejatinya kita ini umat yang besar yang dipersiapkan oleh Allah mengemban sebuah tugas besar.

كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُم مِّنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.

Dengan demikian tidak ada tempat bagi kegamangan gamang, sindrom inferiority complex, karena sejatinya kita adalah sebaik-baik umat. Dalam kesempatan ini, sangat baik jika kita renungkan kata-kata M. Iqbal berikut ini:

Resapi kembali ajaran keberanian, kebenaran dan keadilan, kerena kamu akan dipanggil kembali untuk memimpin bangsa bangsa di dunia … ”. (M. Iqbal).

Membaca Dibalik Berita


Semua Media Massa Berbohong
Kamis, 11 Desember 2008 00:10
Sumber: (www.warnaislam.com/rubrik/jurnalistik/

Wartawan yang taat pada kode etik –khususnya mengenai larangan "pencapuradukan fakta dan opini— akan menulis dengan kata-kata yang "netral".
"Kelompok militan Hamas menyerang Israel...";
"Kaum militan Islam di Selatan Thailand melakukan serangan ke pos keamanan..." ;
"Kelompok teroris Al-Qaidah terus diburu...";
"Keluarga teroris datangi Polri...";
"Kelompok radikal Islam melakukan protes";
"Ulama garis keras memprotes tayangan televisi";
"Kaum separatis Filipina Selatan";
"Kelompok pemberontak Chechnya menyerang pasukan Rusia..."
Kalimat seperti di atas belakangan sangat akrab di telinga dan mata kita. Jika tidak memiliki background information atau pengetahuan yang memadai sebelumnya, kita akan “terjebak” pada propaganda media (berita propagandistik) semacam itu. Mayoritas pembaca menjadi korban manipulasi informasi dan kalimat-kalimat tendensius seperti itu.
Wartawan yang taat pada kode etik –khususnya mengenai “pencapuradukan fakta dan opini—tidak akan menulis kalimat seperi di atas, yakni tidak mencantumkan kata-kata yang ditulis miring, tapi membuangnya atau menggantinya dengan kata-kata yang “netral”.
Kata-kata yang ditulis miring bukan fakta, melainkan opini atau interpretasi, kecuali kata-kata itu adalah kutipan pembicaraan atau pernyataan narasumber. Jika kata-kata itu disusun oleh wartawan sendiri, berarti ia sudah memasukkan opini dalam berita. Parahnya, opininya itu merupakan penjulukan (labelling) yang akan berpengaruh pada citra pihak yang dilabelinya.
Apakah Hamas menamakan dirinya militan? Apakah para pejuang kemerdekaan di Selatan Thailand menyebut dirinya militan Islam? Apakah Al-Qaidah menamakan dirinya teroris? Apakah ulama yang diberitakan itu menyebut dirinya ulama garis keras? Jika tidak --dan memang tidak— maka julukan itu adalah opini wartawan dan ini sebuah kebohongan!
Wartawan yang jujur cukup menyebut Hamas, ulama, sekelompok orang, atau gerilyawan, tanpa embel-embel apa pun. Bukankah cukup dengan menulis: “Kelompok Hamas menyerang Israel?” Kenapa harus diembel-embeli kata “militan”?
Kasus tadi sekadar contoh, betapa sulit menemukan kejujuran dalam pemberitaan media massa. Apalagi kini masanya “perang informasi”, era propaganda, dan media menjadi bagian dari alat perjuangan politik, termasuk dalam hal “pembunuhan karakter” (character assasination), “pembanguan citra” (image building), “invasi pemikiran” (ghozwul fikr), dan justifikasi tindakan kepada publik.
Semua Media ‘Berbohong’
Semua media massa hakikatnya melakukan kebohongan, setidaknya karena satu hal: membesar-besarkan, mendramatisasi, mengecilkan fakta, atau menyisihkan fakta-fakta tertentu.
Kebohongan demikian merupakan sebuah risiko, sekaligus “bisa dimaafkan” (forgivable), karena masih dalam konteks jurnalisme. Dunia pemberitaan media massa memiliki rumusan tersendiri: berita adalah rekonstruksi peristiwa melalui simbol, kata-kata dan/atau gambar. Dengan keterbatasan ruang (kolom) dan waktu (durasi), banyak fakta harus tersisihkan setidaknya berdasarkan “teori” piramida terbalik –sangat penting, penting, kurang penting, tidak penting.
Itulah sebabnya, The press and the media do not reflect reality, they filter and shape it! Apa yang disajikan media adalah “relaitas kedua” (second reality) atau “realitas semu” (pseudo
reality) yang sudah ditambah, dikurang, atau “dibumbui” dengan permainan kata-kata atau sensasi tertentu agar menarik perhatian publik.
Yang tidak bisa dimaafkan adalah jika kebohongan itu disengaja, misalnya dengan memanipulasi fakta, memutarbalikkan fakta, mendistorsi kebenaran, melanggar prinsip fairness doctrine, atau melanggar kode etik jurnalistik, misalnya asas praduga tak bersalah, berimbang (balance), check and recheck (tabayun, konfirmasi, klarifikasi, verifikasi data), dan mencampurkan fakta dan opini (wartawan) dalam berita.
Selain itu, wartawan tidak mungkin tidak subjektif dalam menulis berita. Persepsi wartawan tentang suatu peristiwa, baik dari sudut pandang jurnalistik (news value) maupun perspektif ideologisnya, sangat berpengaruh pada pilihan angle (sudut pandang) peristiwa yang ia tulis. Dari segi teknis, subjektifitas juga terjadi, ketika wartawan menentukan peristiwa yang harus diliput dan fakta yang harus dipilih dan dipilahnya dalam penulisan berita.
Oleh karena itu, jangan berharap ada objektivitas murni dalam sebuah berita media massa. Objektivitas di media massa adalah “objektivitas yang subjektif”.
Agenda-Media Setting
Setiap media massa memiliki agendanya sendiri, sesuai dengan visi dan misi yang dimiliki. Visi-misi media massa adalah “company philoshopy” yang menjadi “basic values” yang harus ditaati para wartawan dalam menulis berita. “Nilai-nilai dasar” baik yang sifatnya ideologis, politis, maupun ekonomis, menjadi acuan dalam penyusunan “editorial policy” sebuah media massa.
Editorial Policy adalah kriteria layak-tidaknya sebuah berita dipublikasikan yang dalam dunia komunikasi massa disebut gatekeeping, yakni “a series of check point” yang dijaga oleh para gatekeeper (para redaktur rubrik). Sebuah berita harus melalui ”gate” tersebut sebelum sampai ke publik. Artinya, lolos-tidaknya sebuah peristiwa diberitakan (menjadi berita) bergantung pada hasil pengecekan tersebut, belum lagi ditambah “selera” redaktur yang subjektif.
Secara teroritis, setiap media memiliki “agenda-media” yang disetting sejak awal. Agenda dan gatekeeping itulah yang “mengendalikan akses kita terhadap berita, informasi, dan hiburan” (Wilson).
Dalam perspektif teori komunikasi (massa) dikenal dengan “agenda-media setting theory” (Maxwell McCombs and Donald L. Shaw [1973]): “The Agenda-Setting Theory says the media (mainly the news media) aren’t always successful at telling us what to think, but they are quite successful at telling us what to think about”.
Agenda Setting juga didefinisikan sebagai proses di mana media massa menentukan apa yang kita pikirkan dan cemaskan (the process whereby the mass media determine what we think and worry about). Walter Lippmann (1922) menegaskannya: the media dominates over the creation of pictures in our head; the public reacts not to actual events but to the pictures in our head.
Secara praktis, Agenda-Setting menentukan apa yang harus diberitakan sehingga menjadi “agenda publik” (public agendas), yakni isu utama yang menjadi bahan pembicaraan; diharapkan agenda publik nantinya menjadi “agenda kebijakan” (policy agenda) atau mempengaruhi “agenda politik” (political agenda) para pembuat kebijakan, yang pada akhirnya menentukan kebijakan publik (public policy). Sebagai contoh, disinyalir, gencarnya pemberitaan kasus kekerasaan di IPDN karena media massa punya agenda: pembubaran IPDN!
The Media agenda is the set of issues addressed by media sources and the public agenda is the issues the public consider important (Miller, 2005).
Demikianlah, semua pemberitaan media melalui proses tertentu yang “dibingkai” (framing) berdasaran agenda-media, sehingga menimbulkan pengaruh dan interpretasi tertentu dan menciptakan “opini publik” (public opinion). Opini publik itulah yang mengendalikan pemikiran dan sikap masyarakat terhadap isu tertentu.
Maka, sadarlah, kita sudah dibohongi media massa, minimal oleh kebohongan yang “forgivable”! Karenanya, jangan terlalu percaya atau sepenunya yakin pada pemberitaan media, minimal jadilah “pembaca kritis”. Lebih jelas tentang kebohongan media, jadilah penulis, wartawan, atau pengelola media massa. Idealnya, berpihaklah pada kebenaran dan publik. Dalam kamus media massa, parameter utama kebenaran adalah faktual –sesuai dengan fakta atau kenyataan—dan “doktrin kejujuran” (fairness doctrine). Maka, junjunglah kebenaran dan kejujuran itu, minimal dengan tidak memelintir fakta. “Fact is sacre!” menjadi pedoman baku para jurnalis profesional. Wallahu a'lam. (http://www.romeltea.co.nr).*/