11.19.2008

SERIAL PARA PIONER UMAT (1)

ABU HANIFAH AL-NU'MAN
[mencusuar Ilmu pengetahuan dan Fikih ternama]

Pendahuluan
Diantara sikap toleransi agama kita –Islam yang lurus- adalah bahwa standar kemulian dan ketakwaan bukan terletak pada garis keturunan, negeri asal atau pangkatnya, tetapi pada kualitas ketaqwaan, rasa takut kepada Allah, serta pelaksanaan terhadap ajaran-ajarannya. "Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu”. (Al-Hujarat; 13), "wahai Fatimah; putri Muhammad, berbuatlah kamu, karena sesungguhnya aku tidak dapat menyelematkanmu kelak dihadapan Allah".
Atas dasar ketakwaan dan amal saleh inilah Allah menganugerahkan kepada hambanya ilmu pengetahuan, serta memberinya kepercayaan untuk menjaga agama dan Qur'an Nya –sesuai yang Ia kehendaki-. Untuk itu Ia mememilih diantara hamba Nya seorang pioner, diberikan kepada mereka Ilmu pengetahuan serta Taufiq, sehingga mereka tampil sebagai teladan serta obor penerang yang akan menyinari jalan hidup kita, menggugah kesadaran kita dengan baik terhadap seluruh ajaran-ajaran agama.
Mereka; para ulama' agung itu, menjelaskan hal-hal yang belum kita ketahui tentang ajaran agama, memberikan penyelesaian terhadap problematika besar yang terjadi di masyarakat. Dengan gamblang mereka menjelaskan kepada kita masalah-masalah aqidah, ibadah, perintah-perintah yang seharusnya diikuti, larang-larangan yang semestinya ditinggalkan, serta batasan-batasan yang telah diletakkan oleh Allah. Dengan demikian mayoritas umat mengikuti apa yang diajarkan dan difatwakan mereka.
Diantara pioner umat yang akan kita bicarakan secara rinci dalam pembahasan kita kali ini adalah Imam Abu Hanifah.
Imam Abu Hanifah merupakan ulama' paling tahu tentang masalah-masalah agama, menguasai masalah-masalah kehidupan, serta berwawasan luas tentang sejarah umat-umat sebelum dan semasanya. Disamping itu Ia merupakan teladan bagi para ulama' dan tokoh yang datang setelahnya.
Semoga Allah memberikan kepadanya sebaik-baik ganjaran atas jasa yang ia berikan kepada umat.

Kelahiran dan nasab
Ia bernama Abu Hanifah an-Nu'man bin Tsabit bin an-nu'man bin al-Marziban, dilahirkan di Kufah tahun 80 H., di Kufah-Iraq ini pula ia tumbuh dan dibesarkan, serta menghabiskan sebagian besar kehidupannya. Kota Kufah saat itu merupakan kota besar, penuh dengan para ulama' dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan; bidang fiqh, hadits, filsafat, aqidah dalam berbagai aliran yang beragam serta cabang-cabang ilmu lainnya. Abu Hanifah kecil sering mendampingi ayahnya berdagang kain sutra, yang kelak iapun melanjutkan profesi bapaknya itu. Namun demikian tidak seperti layaknya para pedagang lainnya, ada sesuatu yang berbeda dari diri Abu Hanifah, yaitu kebisaaan pergi ke Masjid Kufah. Karena kecerdasannya yang gemilang ia mampu menghafal al-Qur'an serta ratusan bahkan ribuan hadits, yang saat itu merupakan ciri khas orang-orang beragama. Hobi utamanya adalah memperbanyak membaca al-Qur'an, sehingga para perawi secara berlebihan menyebutkan bahwa ia terbisaa mengkhatamkan al-Qu'ran sebanyak enam puluh kali di bulan Ramadhan. Perkataan mereka ini sebenarnya tidak hanya usapan jempol, namun didasarkan atas kwalitas keberagamaan dan perhatiannya yang cukup besar terhadap ilmu agama yang saat itu telah menjadi buah bibir.
Sebagai layaknya putra seorang pedagang, Abu Hanifahpun kemudian berprofesi sebagai pedagang seperti bapaknya. Ia mendapatkan banyak keuntungan dari profesi ini, di sisi lain ia memiliki wawasan yang sangat luas, terpancar diwajahnya tanda-tanda kecerdasan yang luar bisaa, serta hafalan yang sangat kuat, ini dapat diamati oleh siapapun saat menyaksikannya sedang berdialoq atau berdebat dengan lawannya, dan dapat dipastikan bahwa mereka pasti terkagum-kagum.
Beberapa ulama' dapat menangkap fenomena ini, sehingga mereka menganjurkannya untuk pergi berguru kepada para ulama' sebagaimana ia pergi ke pasar tiap hari.
Di masa Abu Hanifah menuntut ilmu, Iraq; termasuk di dalamnya kota Kufah, disibukkan oleh tiga halaqah keilmuan:
Pertama : Halaqah yang membahas pokok-pokok aqidah
Kedua : Halaqah yang membahas tentang hadits Rasulullah Saw, methode dan proses pengumpulannya dari berbagai negara, serta pembahasan tentang para perawi dan kemungkinan diterima atau tidaknya pribadi dan riwayat mereka.
Ketiga : Halaqah yang membahas masalah fikih dari al-Qur'an dan as-Sunnah, termasuk membahas fatwa untuk menjawab masalah-masalah baru yang muncul saat itu, yang belum pernah muncul sebelumnya. Masalah-masalah seperti ini tentu saja sangat membutuhkan para ulama' yang mengajarkan dan memahamkan mereka, berlandaskan al-Qur'an dan as-sunnah serta ijtihad para ulama' sebelumnya.
Abu Hanifah berkenalan/berinteraksi dengan beragam disiplin ilmu seperti ini dengan menggunakan kecerdasannya yang sangat gemilang, pemikiran yang luas serta akal yang sangat tercerahkan. Ia melibatkan diri dalam dialoq tentang ilmu kalam, tauhid dan methafisika. Menghadiri kajian hadits dan periwayatannya, sehingga ia mempunyai andil yang besar dalam bidang ini.
Setelah Abu Hanifah menjelajahi bidang-bidang keilmuan lainnya secara mendalam, ia memilih bidang fikih sebagai kosentrasi kajian. Ia mulai mempelajari beragam permasalahan fikih dengan cara berguru kepada salah satu syaikh ternama di kota Kufah, ia terus menimba ilmu darinya hingga rampung. Sementara kota Kufah saat itu menjadi tempat domisili bagi ulama' fikih Iraq.
Menurut Abu Hanifat, seorang penuntut ilmu fikih seharusnya berguru kepada berbagai syaikh, tinggal dilingkungan mereka, namun secara terus menerus ia harus menemani seorang faqih ternama, sehingga ia bisa menimba ilmu secara tuntas termasuk masalah-masalah yang pelik dan rumit. Dalam hal ini Abu Hanifah berkata: "Aku berada di dalam pusat ilmu dan fikih, maka aku pergauli pakarnya, dan aku selalu menemani seorang faqih diantara mereka".

Syaikh (Guru) Abu Hanifah
Dalam mempelajari fikih, Abu Hanifah memilih seorang syaikh. Yang merupakan syaikh paling ternama di kota Kufah bahkan di seluruh Irak. Pertama kali ia datang kepada syaikhnya, terlihat sang syaikh belum siap untuk menyampaikan pelajaran.
Abu Hanifah segera menyapanya: Assalamu'alaikum wahai syaikh Hammad !.
Sang syaikh segera menjawab salamnya, lalu memintanya untuk duduk, tidak lama setelah itu, ia kelihatan telah terlibat dalam pembicaran dengannya. Setelah berdialoq, sang faqih Hammad berkata: katakan terlebih dahulu padaku, siapa namamu?
Abu Hanifah :"Nama saya Abu Hanifah an-nukman"
Syaikh:"Apa ada keperluan tertentu ?"
Abu Hanifah:"Benar ya syaikh, saya ingin belajar fikih kepada anda".
Syaikh:"Dengan senang hati wahai Abu Hanifah, engkau bisa belajar kepadaku tiga masalah fikih tiap hari.
Abu Hanifah sangat antusias dalam menghadiri dan menyertai gurunya, hanya saja ia terkenal sebagai murid yang banyak bertanya dan berdebat, serta bersikeras dalam mempertahankan pendapatnya, terkadang menjadikan syaikh kesal kepadanya, namun karena kecintaannya kepada sang murid –yang merupakan buah dari kecerdasannya- ia selalu mencari tahu tentang kondisi perkembangannya. Dari informasi yang diperoleh, akhirnya sang syaikh tahu bahwa ia selalu bangun malam, menghidupkannya dengan shalat dan tilawah al-Qu'an. Karena banyaknya informasi yang ia dengar maka syaikh menamakannya: al-watad.
Selama 18 tahun penuh, Abu Hanifah menimba ilmu dari gurunya; syaikh Hammad bin Abi Sulaiman, saat itu ia masih berusia 22 tahun. Karena telah dianggap cukup, ia mencari waktu yang tepat untuk bisa mandiri, namun anehnya setiap kali ia mencoba lepas dari gurunya, di waktu yang sama ia merasakan bahwa ia masih membutuhkannya.
Sampai akhirnya datang kabar buruk dari Bashrah untuk gurunya Syaikh Hammad, seorang keluarga dekat gurunya telah wafat, sementara ia menjadi salah satu ahli warisnya. Ketika ia memutuskan untuk pergi ke Bashrah ia meminta Abu Hanifah untuk menggantikan posisinya sebagai pengajar, pemberi fatwa dan pengarah dialoq. Syaikh melihat bahwa Abu Hanifah sangat layak untuk menduduki posisi ini. Begitu ia mengantikan posisi gurunya, segera diberondong (di hujani) oleh pertanyaan-pertanyaan dalam jumlah yang sangat banyak, sebagian belum pernah ia dengar sebelumnya, maka sebagian ia jawab dan sebagian lain ia tangguhkan. Ketika syaikh datang dari Bashrah ia segera mengajukan pertanyaan-pertanyaan tersebut -yang tidak kurang dari 60 pertanyaan-; 40 diantaranya sama dengan jawaban Abu Hanifah, dan berbeda pendapat dalam 20 jawaban. Dari peristiwa ini ia merasa bahwa masih banyak kekurangan yang ia rasakan, maka ia memutuskan untuk menunggu sang guru di halaqah ilmu, sehingga ia dapat mengoreksikan kepadanya ilmu yang telah ia dapatkan, serta menpelajari permasalahan yang belum ia ketahui.
Dalam (pengembaraannya) pelancongannya ke daerah sekitar kota Kufah, ia sering ditanya tentang banyak permasalahan, namun ia belum merasa tenang (yakin) untuk menjawabnya, maka ia memutuskan untuk menunda kepergiannya.
Ketika umurnya menginjak 40 tahun, dimana kapabelitas untuk mandiri telah sempurna, di sisi lain gurunya syaikh Hammad telah wafat, maka ia segera menduduki posisi gurunya, disini ia menampakkan kemampuan yang luar bisaa dalam menyampaikan pengajaran dan fatwa.
Perlu diketahui bahwa Abu Hanifah tidak hanya mengambil ilmu dari gurunya; Syaikh Hammad saja, tetapi mengambil dari banyak ulama' selama dalam perjalannya ke Baitullah al-Haram Makkah dan Madinah, ia mengkaji berbagai masalah dengan mereka, mengambil ilmu dari mereka, diantara ulama'-ulama' tersebut adalah: al-Imam Malik bin Anas, ketika ia bertemu dan banyak mendiskusikan banyak permasalahan dengan Imam Malik, beliau sangat kagum kepadanya.
Ia juga telah bertemu dengan Zaid bin Ali bin Zainal Abidin, dan Ja'far al-shadiq, dan beberapa ulama' lainnya yang mempunyai konsen besar terhadap masalah fikih dan Hadits.

Konsep fikih Abu Hanifah
Abu Hanifah bisa disebut sebagai ulama' pertama penulis ilmu fikih. Para ulama' dan fuqaha' yang datang setelahnya mengikuti methode dan cara yang ia gariskan, sebab para sahabat dan tabi'in belum menulis kajian fikih dalam bab per bab, atau dalam buku yang tersusun secara sistematis, mereka hanya mengandalkan kekuatan pemahaman mereka. Setelah Abu Hanifah muncul, ia melihat bahwa kajian fikih tersebar dimana-mana, sementara mayoritas umat sibuk untuk mempelajari disiplin ilmu lain, seperti: tafsir, al-hadits dan periwayatannya. Dilain sisi telah kedunia Islam ilmu-ilmu dari luar, seperti filsafat dengan segala jenisnya; filsafat persia maupun yunani, ia takut fikih akan dilupakan atau dimasuki oleh kajian-kajian luar yang bukan bagian dari fikih, ini sesuai dengan dengan hadits Rasulullah Saw: "sesungguhnya ketika Allah ingin menarik ilmu, tidak menarik dengan begitu saja dari manusia, namun dengan cara mewafatkan ulama'……" (H.R. al-Bukhari; 1/36), Muslim, Bab Ilmu no: 13).
Untuk itu Abu Hanifah mulai menulis fikih dan menyusunnya dalam bab-bab yang sistematis, methode ini kemudian diikuti oleh para ulama' yang datang setelahnya, mereka kemudian menulis buku mereka dengan sistematis.
Dalam buku yang ia diktekan kepada para muridnya dan telah ia koreksi, Abu Hanifah memulai tulisannya dengan pembahasan taharah, terutama bab air, wudhu' lalu tentang mandi, dan tayammum. Setelah itu ia pindah kepada pembahasan shalat; syarat sahnya, dan macam-macamnya baik wajib maupun sunnat; seperti shalat janazah, lalu pindah ke pembahasan zakat, dan jenisnya, lalu puasa, kemudian haji. Setelah ini pindah ke pembahasan mu'amalat, hudud (hukum pidana), dan di tutup dengan pembahasan warisan.
Sampai sekarang belum ditemukan satu buku yang langsung ditulis oleh Abu Hanifah, adapun yang dimaksud dengan buku-buku karangan beliau adalah apa yang ditulis oleh murid-muridnya lalu mereka membacakannya di hadapan Abu Hanifah, lalu ia memberikan catatan dan pengarahan serta persetujuan. Bisaanya ketika ia menyampaikan pelajaran para murid menulisnya, lalu mereka menunjukkan hasil tulisan mereka kepadanya, jika ia menyetujui maka mereka segera mencatat dan menasabkan tulisan tersebut kepadanya. Dengan cara inilah madzhab Abu Hanifah di tulis, Abu Yusuf yang merupakan murid kesayangan Abu Hanifah mempunyai andil besar dalam perumusan konsep madzhab fikih Abu Hanifah secara menyeluruh.
Al-Imam Abu Hanifah an-nu'man merupakan ulama' besar yang hafal banyak hadits Rasulullah Saw, ia mengambil hadits dari tabi'in yang ia temui, sementara para tabi'in telah mengambil dari para sahabat sebelum mereka. Dari hadits-hadits yang ia kumpulkan, memungkinkan baginya untuk mengambil intisari permaslahan fikih, dengan demikian ia merupakan ulama' pertama yang mengambil intisari hukum dari hadits. Beberapa ulama seperti: Ibnu Mu'in, Ibnu al-madani, dan Yazid bin Harun, mengakui kualitas hafalan dan wawasannya tetang hadits, karenanya seringkali memujinya.
Ibnu Yunus berkata tentang Abu Hanifah: "sebaik-baik orang adalah Abu Hanifah; ia banyak menghafal menghafal hadits, di setiap hadits yang ia hafal selalu disertai pemahaman, sangat ketat dalam meneliti hadits".
Abu Yusuf berkata: "Abu Hanifah lebih tahu tentang hadits daripada saya, ia sangat menguasai kelemahan-kelemahan yang ada dalam hadits ... maka dalam bidang ini ia dapat diterima".
Para perawi meriwayatkan banyak hadits dari Abu Hanifah, dan mengumpulkannya dalam satu musnad (buku), yang kemudian dinisbatkan kepadanya, sehingga dinamakan musnad Abu Hanifah. Buku ini disusun sesuai dengan sistematika penulisan fikih.
Dalam menyusun masalah-masalah fikih, Beberapa sahabat Abu Hanifah menggunakan metode tersebut, salah satunya adalah Al-hafidz Abu Muhammad al-Haritsi, ia punya perhatian besar terhadap hadits-hadits Abu Hanifah, lalu mengumpulkannya dalam satu jilid buku, yang di klasifikasikan sesuai dengan nama syaikh Abu Hanifah. Metode ini kemudian diikuti oleh Abi al-Hasan bin al-Mudhafar dalam "musnad Abu Hanifahnya".

Kecerdasan Abu Hanifah
Abu hanifah merupakan simbol kepintaran dan kecerdasan, jika dihadapkan kepadanya pertanyaan-pertanyaan yang sulit, serta ibarat yang rumit difahami, ia mampu menjawabnya dengan jawaban yang memuaskan penanya dan pendengar, lantas memujinya. ia yakin bahwa Allah telah menganugerahkan kepadanya kemampuan yang luar bisaa, serta wawasan keilmuan yang bisa menjadikannya istimewa dibanding banyak orang. Dengan modal itu ia mampu keluar dari keterplesetan, selamat dari mara bahaya, serta menjaga kedudukannya yang agung, menempatkannya dalam posisi dihormati oleh semua orang yang mengenalnya dan menghargainya, maka mereka menempatkannya dalam posisi yang layak.
Beberapa kisah bisa menjadi bukti sesimpulan kita diatas.
Muhammad bin Muqatil berkata: "Seorang laik-laki tak tak dikenal datang menemui Abu Hanifah, untuk menguji kekuatan pemahaman dan kecerdasannya, seraya berujar: "Hai Abu Hanifah!", Abu Hanifah menjawab: "labbaik wahai saudaraku".
Laki-laki itu berkata: "apa pendapatmu tentang seorang laki-laki, yang tidak mengharapkan sorga, tidak takut neraka, tidak takut Allah Saw, memakan bangkai, shalat tanpa ruku' dan sujud, ia menjadi saksi atas apa-apa yang tidak ia lihat, membenci kebenaran, senang terhadap fitnah, lari dari rahmah, serta mempercayai Yahudi dan Nasrani?".
Abu Hanifah: "Hai fulan, engkau bertanya tentang masalah ini, apa engkau tahu jawabannya?"
Laki-laki: tidak, saya tidak tahu.
Abu Hanifah berkata kepada sahabat-sahabatnya: "apa pendapatmu tentang orang ini?".
Sahabat Abu Hanifah: "ia dalah sejelek-jelek manusia, sifat-sifat yang ia sebutkan telah cukup untuk mensifatinya demikian". Abu Hanifah tersenyum dengan jawaban ini, lalu berkata: "orang itu benar-benar termasuk Waliyullah, insya Allah". Lalu berkata kepada lak-laki itu: "jika saya memberitahukan kepadamu bahwa anda adalah waliyullah Swt, apa engkau mau untuk mencegah lisannmu dari perkataan yang jelek?". Laki-laki itu berkata: "baik, saya akan menahan lidahku untuk tidak menyakiti orang lain dengan lidahku ini". Abu Hanifah lalu berkata: adapun perkataanmu: "bahwa ia tidak mengharapkan sorga, dan tidak takut kepada neraka, itu karena ia mengharapkan pemilik sorga serta takut kepada pemilik neraka. Adapun perkataanmu: bahwa ia tidak takut kepada Allah, itu karena ia tidak takut bahwa Allah akan berbuat tidak adil kepadanya, sebagaimana dinyatakan oleh Allah: "sesungguhnya Tuhanmu tidak akan berbuat dzalim sedikitpun kepada hambanya". (Fussilat: 46). Adapun perkataanmu bahwa ia makan bangkai, itu karena ia makan ikan. Adapun perkataanmu bahwa ia shalat tanpa ruku' dan sujud, itu artinya ia mengucapkan shalawat kepada Nabi Saw, atau shalat janazah. Perkataanmu bahwa ia bersaksi terhadap apa yang ia tidak lihat, itu artinya ia bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad itu Hamba dan RasulNya. Adapun perkataanmu bahwa ia membenci kebenaran (al-haq), itu artinya ia membenci kematian, karena kematian merupakan kebenaran (al-haq), ia juga mencintai keabadian sehingga ia bisa mentaati Allah Swt, sebagai mana yang difirmankan: "Telah datang sakarat maut dengan kebenaran (al-haq)" (Qaf: 19). Adapun perkataanmu bahwa bahwa ia menyukai fitnah, itu artinya ia mencintai harta dan anak, sebagaimana yang difirmankan oleh Allah: "sesungguhnya harta dan anak-anak kamu merupakan fitnah". (Taghabun: 15). Adapun perkataanmu bahwa ia lari dari rahmat, maksudnya adalah lari dari hujan (yang merupakan gerimis dan rahmat). Perkataanmu bahwa ia mempercayai yahudi dan nasrani, maksudnya adalah sebagaimana yang difirmankan oleh Allah (orang-orang Yahudi berkata bahwa orang-orang nasrani itu tidak ada artinya apa-apa, orang orang nasranipun berkata bahwa orang-orang yahudi itu tidak ada artinya".
Laki-laki itu kemudian berdiri, lalu mencium kening Abu Hanifah, seraya berkata: "aku bersaksi bahwa apa yang engkau ucapkan itu adalah benar".

Ilustrasi tetang adanya Allah
Terkadang Abu Hanifah memberikan ilustrasi-ilustrasi (permisalah) jika ia melihat hal itu dibutuhkan oleh pendengar. Banyak contoh nyata tentang hal ini:
Di zaman Abu Hanifah banyak muncul kelompok-kelompok ateis, suatu hari ia pergi menemui mereka yang sedang berkumpul, seraya berkata: "Wahai saudaraku, aku melihat sebuah kapal yang dipenuhi sesak oleh penumpang (laki-laki atau perempuan) dan barang, perahu itu berjalan dengan tenang ditengah deburan ombak yang menggunung dan tiupan angin yang kencang, anehnya kapal tersebut berjalan tanpa nahkoda, yang mengendalikannya". Salah seorang diantara mereka menjawab: "Apa kisah itu masuk akal?". Sementara orang kedua berkata: "Kisah itu jelas, tidak mungkin bisa diterima oleh akal". Orang ketigapun berkata: "Bagaimana anda bisa mengatakan bahwa ada sebuah kapal bisa berjalan diatas lautan dengan tenang tanpa nahkoda?". Abu Hanifah menjawa: "Ya Subhanallah, jika sekiranya, tidak mungkin ada sebuah kapal yang berjalan diatas lautan dengan tenang tanpa nahkoda, lalu bagaimana mungkin dunia dengan segala keberagaman, perkerjaan dan masalah yang selalu berubah-ubah, ujung yang sangat luas, serta sisi yang sangat berbeda, bisa terwujud tanpa pencipta dan penjaga ?.
"Allahlah satu-satunya pencipta dunia ini beserta seluruh isinya, Dia berkuasa atas segala sesuatu, mengetahui apa yang ada di dalamnya secara detail, Dia Maha tinggi (Agung) dan Mampu mencipta segalanya (Dia (Allah) tidak serupa dengan apapun, dan Dia Maha mendengar lagi Maha melihat)". (As-Syura: 11).

Bakti kepada Ibunda
Abu Hanifah sangat mencitai ibunda, ia selalu taat dan berbakti kepadanya, serta tidak pernah sedikitpun menolak seluruh perintahnya, walaupun yang diperintahkan itu sangat berat dan tidak mudah dikerjakan. Ia berpendapat bahwa ketaatannya kepada idunda, merupakan bagian dari ketaatan kepada Allah.
Suatu hari ibunda Abu Hanifah bersumpah, lalu sang Ibu menemui anaknya untuk menanyakan perihal sumpah tersebut sekaligus ingin meminta fatwa kepada anaknya; apakah sumpah tersebut harus dilaksanakan atau tidak?, dan apakah ia harus membayar kafarat yamin atau tidak?, maka tatkala ibunda datang kepada anaknya, dan Abu Hanifah telah menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, ibunda tidak puas dengan jawaban itu. Bahkan bersikeras untuk menanyakan masalah ini kepada seorang waidz (seorang yang berprofesi sebagai penceramah). Abu Hanifah dengan senang hati mengantarkan ibunda ke rumah waidz dan menanyakan perihal masalah diatas.
Sang waidz lalu berkata: "apa pantas saya memberikan fatwa sementara Faqih Kufah dan ulama'nya ada di sini bersamamu?".
Abu Hanifah juga membawa ibunya setiap malam ramadlan ke Dar Umar bin Dzar, sekitar tiga mil dari rumahnya, untuk menunaikan shalat tarawih, mendengarkan pelajaran dan ceramah, serta untuk bermunajat kepada Allah Swt.
Setiap kali mendapatkan ujian karena dakwah, dan disiksa karenanya, Ia selalu berkata: "Wallahi, bukan pukulan cambuk yang menyakitkanku, namun cucuran air mata ibundaku yang membuat hatiku terluka"

Teladan dalam bertetangga
Abu Hanifah juga sangat baik dalam bertetangga, dalam hal ini ia selalu menteladani Rasulullah Saw dalam berinteaksi dengan tetangga-tetangga beliau; seperti memperlakukan mereka dengan baik, dan selalu memaafkan mereka yang berbuat jelak kepadanya.
Salah seorang tetangga Abu Hanifah adalah peminum khamar, selalu menyanyi dengan suara keras di tengah malam, sehingga mengganggu kenyamanan masyarakat dalam beristirahat. Diantara bait-bait syair yang banyak ia nyanyikan tatkala mabuk adalah sebagai berikut:
"Mereka telah menelantarkanku, pemuda mana yang mereka terlantarkan
Untuk sebuah hari yang dipenuhi kebencian dan untuk menambal kekosongan
Sepertinya aku tidak bisa menjadi perantara
Sementara nisbatku tidak kepada keluarga Umar.
Karena seringnya ia melantunkan dua bait diatas, Abu Hanifah menjadi sangat hafal. Suatu hari polisi negara menangkapnya tatkala ia mabuk, lalu memasukkan dalam penjara, tiba-tiba saja Abu Hanifah kehilangan suara tengah malam itu, lalu ia mencari tahu tentang tetangganya itu: "apa kabar tetangga kita? Kok saya tidak lagi mendengar suaranya?". Di jawab: "ia ditangkap polisi negara". Abu Hanifah berkata: "mari kita pergi ke kantor polisi, untuk membebaskannya.". lalu Abu Hanifah mendatangi majlis gubernur, tatkala ia melihat kedatangan Abu Hanifah, sang amir segera menyambut tangan Abu Hanifah lalu mempersilahkan duduk di dekatnya, lalu berkata: "tanpaknya ada keperluan penting yang mendorong al-Imam untuk datang kemari?". Abu Hanifah menjawab: "Aku datang untuk seorang tetangga yang dipenjara, ia ditangkap oleh polisi tadi malam, aku meminta kepada anda untuk membebaskannya, dan aku yang akan membayar denda yang dikenakan kepadanya". Sang amir berkata: "segera aku bebaskan, Tapi katakan kepadaku wahai imam, apa tidak ada orang lain yang bisa anda utus kemari, sehingga anda harus datang sendiri kemari, untuk aku penuhi hak dan permintaan anda?".
Abu Hanifah lantas mengucapkan terima kasih kepada amir, lalu mengandeng tangan tetangganya seraya berkata: "apakah kami menelantarkanmu hai anak muda?".
"tidak tuan", jawab anak itu. "mulai sekarang anda tidak akan melihatku lagi berbuat sesuatu yang menyebabkan anda terganggu". Lalu Abu Hanifah mengeluarkan uang sebanyak 10 dinar, dan memberikannya kepada tetangga itu, seraya berkata: "pergunakan ini untuk mengganti kerugianmu selama kamu berada di perjara, kapan saja kamu membutuhkan, utus kepada kami, kami –al hamdulillah- akan membantumu".
Laki-laki itu langsung berdiri, sembari masuk rumah ia mengecup kening Abu Hanifah. Karena jasa Abu Hanifah inilah mulai saat itu sang tetangga bertaubat dan kembali kepada Allah, serta tidak pernah mabuk.

Kelembutan kepada murid
Ternyata Abu Hanifah juga sangat mencintai murid-muridnya, berlemah lembut, membantu mereka sejauh yang ia mampu, sampai-sampai dalam seminggu beliau menyediakan satu hari khusus yaitu hari jum’at untuk mereka. Pada hari itu beliau selalu mengumpulkan mereka, memasak makanan untuk mereka, serta melayani mereka hanya karena ingin mendapatkan ridla Allah ta’ala semata.
Beliau sering begadang untuk menyelesaikan urusan mereka, mengunjungi yang sakit, membantu yang fakir, serta memberikan kepada mereka santunan dengan penuh derma.
Jika beliau mendapatkan hadiah dari siapapun, segera dibagikan kepada para murid-muridnya, tetangga serta para sahabat.
Suatu hari ia mendapatkan hadiah sebanyak 1000 pasang sepatu dari seorang yang bermaksud menyambung tali silaturrahmi dengannya, ternyata ia membagikan kembali seluruh sepatu tersebut kepada orang yang ia kenal, sehingga tidak tersisa satupun untuknya dan anak-anaknya.
Dua hari setelah kajian itu, terlihat Abu Hanifah pergi membelikan sepatu untuk anaknya. Dengan penuh keheranan salah seorang berkata kepadanya: “mengapa tidak anda sisikan –dari hadiah itu- untuk anak anda?”. Abu Hanifah menjawab: “madzhabku adalah membagikan hadiah kepada teman-temanku, jika aku menghadiahkan kepada salah satu diantara mereka, maka aku harus menghadiahkan kepada seluruhnya, karena teman-teman mereka merupakan saudaraku juga, saudara-saudaraku adalah teman-teman dekatku, maka aku tidak mau menyendiri tanpa mereka, bahkan semestinya aku memberikan bagianku kepada mereka.
Diriwayatkan bahwa salah satu dari muridnya terkena musibah yang menghabiskan seluruh hartanya, sehingga tidak tersisa lagi sesuatu apapun dirumahnya untuk dimakan dan dijual. Ia keluar kesana kemari untuk mencari pinjaman namun tidak berhasil mendapatkannya. Ketika jam pelajaran telah tiba, ia pergi untuk menghadiri pelajaran. Disaat Abu Hanifah menyampaikan pelajaran ia memperhatikan murid yang bersangkutan. Dari gelagatnya ia mengetahui kepedihan yang sedang meninpanya.
Tatkala pelajaran usai, ia kembali kerumah membawa seluruh kesedihan yang menggelanyut dipundak dan dadanya. Kesedihannya semakin diperparah oleh kondisi anak-anaknya yang berusaha untuk tidur dalam kondisi lapar yang tak tertahankan lagi. Menjelang tengah malam, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu; siapa ? Tanya tuan rumah. “Aku datang untuk menyampaikan amanat, sebagai hadiah untuk anda dan orang-orang yang bersama anda, aku letakkan didepan pintu”, sahut pengetuk di balik pintu, seraya bergegas meninggalkan rumah itu tanpa jejak. Setelah tuan rumah membuka pintu, ia mendapati sekantong uang sebanyak 15.000 dirham, serta secarik kertas tertuliskan: “uang ini berasal dari Abu Hanifah, di dapat dari jalan yang halal, dengan harapan dapat dipergunakan untuk menutupi kebutuhanmu dan orang-orang yang menjadi tanggunganmu”.
Inilah gambaran sesungguhnya dari akhlak Islam yang dianjurkan dan diwasiatkan kepada umat Islam, sehingga mereka menjadi bagunan yang menguatkan satu sama lain.

Teladan dalam bisnis
Dalam membagi waktu antara ilmu dan bisnis, ternyata Abu Hanifah melakukannya dengan sangat proporsional. Walaupun ia mempunyai kolega dalam bisnis yang dikelola dengan menggunakan sistem syarikah yaitu Hafsh bin Abdu al-Rahman, namun demikian ia sering kali harus turun ke lapangan untuk mengontrol perkembangan bisnisnya.
Abu Hanifah telah memberikan teladan bagaimana seharusnya menjadi seorang pedagang, ia juga telah menjelaskan bahwa kejujuran merupakan barang dagangan para pedagang yang utama. Sekaligus menjadi sarana untuk mendapatkan yang halal, jauh dari sifat oportunis, dan keuntungan yang haram.
Suatu hari Abu Hanifah didatangi oleh seorang perempuan yang menawarkan kain sutra. Apakah anda berkenan membelinya? Kata perempuan itu. Berapa harganya? Tanya Abu Hanifah. 100 dirham, jawab perempuan itu. Pakaian seperti ini bisa dijual lebih tinggi dari 100 dirham, sela Abu Hanifah. Perempuan itu akhirnya menambah 100 dirham lagi, sehingga menjadi 200 dirham. Namun anehnya Abu Hanifah berkata bahwa harga barang itu masih layak untuk dinaikkan lagi. Akhirnya perempuan itu menambah hingga 400 dirham. Namun sekali lagi Abu Hanifah berkata: masih ada harga yang lebih baik dari itu. Anda pasti menghinaku; jawab perempuan itu. Cobalah anda mencari seorang yang ahli dalam menaksir harga barang ini, saya tidak ingi mendhalimi anda, jawab Abu Hanifah. Akhirnya perenpuan itu mendatangkan seorang ahli menaksir harga barang, Abu Hanifah segera memintanya untuk menaksir harga barang yang ditawarkan oleh perempuan sehingga ia tidak mendlaliminya. Penaksir itu kemudian menaksir barang tersebut dengan harga 500 dirham. Akhirnya Abu Hanifah membelinya.
Ada contoh lain yang menunjukkan kejujurannya dalam berbisnis; suatu hari datang seorang perempuan lain kepada Abu Hanifah seraya berkata: “saya sedang dalam kondisi susah, maka saya mengharap anda tidak mengambil laba dari barang ini, jika anda berkenan juallah pakaian ini dengan harga pokok (beli)”. Ambillah barang ini dengan harga 4 dirham, jawab Abu Hanifah. Anda bilang apa?, apa anda sedang menghina saya?, saya ini telah tua mengapa anda menghinaku?. (Wallahi) Demi Allah saya tidak menghina anda wahai ibu, anda bilang juallah pakaian ini dengan harga pokok kan dan jangan mengambil laba?, saya telah menjalankan apa yang anda pinta. Saya membeli dua pakaian, yang satu saya jual dengan harga dengan harga pokok yaitu 4 dirham, sementara sisanya yaitu baju ini, saya harus menjualnya dengan harga 4 dirham pula.
Terlihat wajah ibu itu sangat berseri-seri, ia lalu mendo’akan Abu Hanifah agar mendapatkan keuntungan yang melimpah serta barakah dari Allah.
Ketia Abu Hanifah ingin kembali pulang, ia berpesan kepada koleganya (Hafsh) bahwa pakaian ini ada cacatnya, maka jika engkau menjualnya, sebutkan cacat itu kepada pembeli, tetapi Hafs lupa menyebutkan cacat dalam pakaian tersebut, ketika Abu Hanifah datang ke toko ia menanyakan perihal pakaian yang cacat tersebut. Kebetulan saya telah memjualnya, namun saya lupa menyebutkan cacatnya; kata Hafs. Apa yang diperbuat oleh Abu Hanifah?.
Ia mensedakahkan seluruh harga pakaian tersebut (hanya karena mengharapkan ridha Allah), dan takut memakan harta yang mengandung syubhat haram.

Akhlak Abu Hanifah
Abu Hanifah tidak hanya menjadi Imam dalam bidang keilmuan dan fikih saja, namun ia juga Imam dalam akhlaknya.
Al-Jauhari meriwayatkan (menceritakan): “tatkala aku bersama Amir al-mukminin Harun ar-Rasyid, Abu Yusuf murid dari Abu Hanifah masuk, maka Rasyid berkata: “wahai Abu Yusuf tolong ceritakan kepadaku, tentang Akhlak Abu Hanifah !”. Abu Yusuf kemudian berkata: sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman: “Tiada suatu ucapanpun yang diucapkan melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir. (QS. (Qaaf) 50:18), masuk dalam ayat ini seluruh lisan setiap pembicara. Manurut kami Abu Hanifah merupakan orang yang sangat gigih dalam membela hurumat Allah Swt, jika di datangi, sangat wara’, tidak berbicara –tentang masalah agama- kecuali berdasarkan ilmu, sangat suka jika Allah dita’ati, dan tidak di langgar, menjauhkan ahli dunia dalam pekerjaannya, selalu diam, terus menerus berfikir, punya wawasan yang sangat luas, serta tidak banyak bicara, jika ditanya tentang satu masalah maka ia merupakan ilmu yang sedang berbicara, menjawab sesuai yang ia dengar, jika tidak ia mengkiaskan dengan kebenaran dengan menjaga dirinya dan agamanya, sangat dermawan dalam ilmu dan harta, sangat mandiri dan bergantung kepada diri sendiri, tidak tama, jauh dari perbuatan ghibah, dan tidak menyebutkan seseorang kecuali kebaikannya.
Rasyid berkata: “Ini merupakan akhlak para shalihin yang sebenarnya”.
Ibnu Imran al-Mushili berkata: “Di dalam diri Abu Hanifah terdapat sepuluh sifat, jika salah satunya ada pada seseorang, pasti ia akan menjadi tokoh di tengah kaumnya yaitu: wara’, jujur, fikih, mengikuti (melayani) kemauan masyarakat, menjaga harga diri, selalu mengerjakan hal-hal yang bermanfaat, selalu diam, selalu berkata benar, membantu yang sedang kesusahan; baik teman maupun lawan”.

Pujian para ulama’
Banyak sekali pujian para ulama’ terhadap Abu Hanifah. Diantaranya seperti yang diriwatkan oleh Imam Syafi’I: suatu hari dikatakan kepada Imam Malik: “apakah anda telah bertemu dengan Abu Hanifah?”. Imam Malik menjawab: “sudah …… Subhanallah, aku belum melihat sosok seperti dia, Wallahi, jika Abu Hanifah berpendapat (berkata) bahwa ustuwanah ini terbuat dari emas, pasti dia akan mengetengahkan kiyas atas kebenaran perkataannya itu”
Diriwayatkan dari Imam Syafi’I bahwa beliau berkata: “barang siapa ingin memperdalam fikih, maka ia menjadi anah asuh bagi Abu Hanifah, Abu Hanifah merupakan orang yang diberi taufik oleh Allah dalam bidang fikih”. Beliau juga berkata: “barangsiapa yang belum melihat buku-buku Abu Hanifah maka, ia belum memperdalam ilmu, juga belum belajar fikih”.
Imam Ahmad bin Hambal juga becerita tentang Abu Hanifah: “Subhanallah … ia berada dalam posisi; keilmuan, wara’, dan zuhud, mementingkan akhirat, yang tidak dilihat oleh seorangpun”.
Ibnu Sirin juga berkata: “ketika saya mendatangi Safyan Tsauri, ia berkata: “Anda datang dari mana?”. “Dari Abu Hanifah, jawabku”. “Anda telah datang dari seorang paling faqih se dunia”.
Bisyr juga berkata: “saya pergi haji bersama Abu Hanifah dan Sufyan Tsauri; -Sufyan merupakan orang yang paling tahu tentang hadits Rasulullah Saw, serta mempunyai kedudukan yang besar-, setiap kali mereka berdua turun di suatu tempat, orang-orang berkumpul di sekeliling mereka, Sufyan selalu mempersilahkan (memperkenalkan) Abu Hanifah, ia juga selalu berjalan di belakangnya, apabila di Tanya tentang satu masalah sementara Abu Hanifah ada di situ, ia tidak segera menjawab hingga Abu Hanifalah yang menjawabnya”.
Adapun Ibnu Juraij, dia berkata: “Aku telah mendengar bahwa al-nu’man; –faqih kota Kufah- orang yang paling wara’, menjaga agamanya dan ilmunya, tidak mengedepankan pecinta dunia atas pecinta akherat, saya berkeyakinan bahwa dalam bidang keilmuan dia akan memiliki prestasi yang menakjubkan”. Selain itu Ibnu Juraij juga sangat cinta kepada Abu Hanifah, dan sering menyebut-nyebutnya.
Yahya bin Mu’in berkata: “Saya memakai bacaan Hamzah, sementara dalam fikih, memakai fikih Abu Hanifah, atas dasar ini aku bisa mengejar manusia. Sementara fuqoha’ ada empat: Abu Hanifah, Sufyan, Malik, dan al-Auza’i.
Ketika ditanya: “apakah Sufyan telah berbicara tentang Abu Hanifah?, dia menjawab: “benar, Abu Hanifah merupakan orang yang dapat dipercaya, jujur dalam bidang hadits dan fikih, terjamin dalam masalah agama Allah, Ta’ala,
Pujian terhadap kredibelitas keilmuan dan kepribadiannya datang dari banyak tokoh, semuanya sepakat atas penilaian tersebut.
Perlu kita sebutkan juga di sini pendapat ulama’ yang hidup semasa dengan Abu Haifah; yaitu al-Fudhail bin ‘Iyadh, yang sangat terkenal dengan kewara’annya. Ia berkata: “Abu Hanifah merupakan pribadi faqih yang terkenal dengan kefaqihannya, kekayaannya cukup luas, terkenal dengan kebaikan terhadap setiap orang yang mengganggunya, sangat sabar dalam menuntut ilmu; baik siang maupun malam, selalu diam, sedikit berbicara hingga datang kepadanya masalah-masalah halal dan haram, sangat cermat dalam menunjukkan kebenaran, selalu lari dari harta penguasa”.
Ja’far bin al-Rabi’ berkata: “saya tinggal bersama Abu Hanifah selama lima tahun, saya tidak melihat orang yang lebih pendiam darinya, apabila ditanya tentang masalah-masalah fikih ia sangat terbuka, mengalir bagaikan lembah, terdengar suara yang lantang”.
Malih bin Waki’; orang yang hidup semasa dengannya juga berkata: “Abu Hanifah itu merupakan pribadi yang besar amanatnya, Wallahi di dalam hatinya –Wallahi- sesuatu yang sangat besar dan agung, dia mendahulukan ridha Tuhannya dari segala sesuatu, bila diancam dengan pedang karena membala agama Allah, ia akan tetap tabah bertahan, Semoga dia mendapat rahmat, ridha sebagaimana orang-orang baik, karena ia merupakan bagian dari mereka.

Wasiat emas
Abu Hanifah memiliki murid bernama Yusuf bin Khalid as-Simani, ketika merasa cukup dalam menuntut ilmu kepada Abu Hanifah, ia bermaksud kembali ke al-Basrah. Abu Hanifah berkata kepadanya: “Jangan kembali dahulu sebelum aku membekali kamu dengan wasiat yang akan kamu butuhkan dalam berinteraksi dengan masyarakat, (tingkatan ulama’), membina pribadi dan memanege masyarakat, (riyadhah al-khasah wa al-ulama’), (watafaqqadu amri al-amah), sehingga jika kamu keluar dengan ilmu yang kamu miliki, kamu membawa alat yang sesuai dengan ilmu tersebut, kamu menimbangnya dan tidak mencelanya”. Berikut ini wasiat emas sebagai pembekalan tersebut, para ulama’ menamakannya “Wasiat emas”.
“Jika kamu salah dalam berinteraksi dengan masyarakat, mereka akan menjadi musuhmu, sekalipun mereka bapak dan ibumu, tapi jika kamu berinteraksi dengan baik sekalipun mereka bukan kerabatmu akan menjadi bapak dan ibumu.
Jika kamu telah masuk Al-Basrah, orang akan menjemput, mengunjungi serta mengetahui dengan persis hak-hak kamu, maka posisikan tiap-tiap individu sesuai dengan kedudukan mereka, hormatilah orang-orang terhomat, muliakan para ulama’, hormati orang-orang tua, bersahabatlah dengan (latif ma’a al-ahdats), dekatilah orang-orang bawah (awam), pergauilah orang-orang baik, jangan menghina siapapun, dan jangan membuka rahasia kamu kepada siapapun, jangan mempercayai siapapun sebelum mengujinya, jangan menerima hadiah, sebaiknya kamu mengikuti kemauan masyarakat, sabar, baik budi pekerti, lapang dada, berpenampilan baik, perbanyak memakai minyak wangi, berlemah lembut, tidak banyak mencela sehingga sulit untuk berbuat adil, peliharalah shalatmu, shadakahkan makananmu, karena orang bakhil tidak akan bisa dijadikan pemimpin, kunjungi orang yang mengunjungi kamu, berbuatlah baik terhadap orang yang berbuat baik bahkan terhadap orang yang berlaku jelek padamu, carilah ilmu, beramar makruf, tinggalkan seluruh orang yang menyakitimu, jenguklah sendiri temanmu yang sakit, cerilah tahu tentang temanmu yang lama tidak kamu jumpai, terhadap kawan yang tidak mau tahu tentang kamu jangan sampai kamu tidak mau tahu tentang dia, sambunglah silaturrahmi terhadap orang yang memutuskannya, hormati siapapun yang datang kepadamu, ucapkan selamat kepada kawanmu yang sedang memdapatkan kebahagiaan, ikutlah berbela sungkawa terhadap yang sedang ditimpa musibah, dan terhadap yang tertimpa musibah kamu ikut merasakan sakit bersamanya.
Siapapun yang mendorongmu untuk bangkit maka bangkitlah bersamanya, dan siapa saja yang meminta pertolonganmu tolonglah, tunjukkan empatimu terhadap masyarakat sebisa yang kamu mampu, tebarkan salam, jika kamu bertemu dengan dengan mereka dalam tempat yang berbeda, atau dalam satu masjid, lalu dilontarkan masalah dan ternyata apa yang disampaikan itu berbeda dengan pendapatmu, jangan berkomentar, tapi jika kamu ditanya lalu kamu mendiskripsikan apa yang diketahui mereka lalu kamu berpendapat selain itu, dengan mengatakan masalah ini begini, dengan alasan begini, jika mereka mendengarkan apa yang kamu sampaikan itu mereka akan segera menilai kedudukan dan kredebilitasmu.
Perlakukan manusia sebagaimana engkau memperlakukan diri sendiri, ridhalah seperti kamu ridha terhadap dirimu sendiri, mintalah pertolongan kepada dirimu dengan menjaganya dan mengontrol kondisinya, janganlah membebani manusia sesuatu apa yang tidak mereka bebankan kepadamu, kedepankan niat baik kepada mereka, pakailah kejujuran, buanglah kecongkakan jauh-jauh, jangan sekali-kali kamu berkhinat walaupun mereka mengkhianati kamu, pegang teguhlah kesetiaan dan taqwa, Allah akan selalu bersamamu”.

Penolakan sebagai Hakim
Khalifah Abu Ja’far al-mansur –dari dinasti Abbasiah-, berkata kapada menterinya: “Aku sedang membutuhkan seorang hamim yang bisa menegakkan keadilan di negara kita ini, dengan kualifikasi dia tidak takut kepada siapapun dalam menegakkan kebenaran, paling memahami Al-Quran dan Sunnah Rasulullah Sallahu ‘alaihi wa sallam. Menurutmu siapa yang layak menduduki posisi ini?”.
Menteri: “sejauh pengetahuan saya, ulama’ paling tepat untuk menduduki posisi ini adalah Abu Hanifah an-Nu’man, betapa bahagianya kita jika ia menerima tawaran sebagai hakim ini !”.
Khalifah: “apa mungkin seseorang bisa menolak jika kita yang memintanya?”
Menteri: “Sejauh yang kami tahu, dia tidak pernah tunduk kepada perkataan siapapun, tanpaknya dia tidak suka untuk menduduki posisi sebagai hakim, maka utuslah seseorang utusan mudah-mudahan hatinya terbuka, dan menerima tawaran ini”.
Khalifah kemudian mengutus seorang utusan memintanya untuk menghadap seraya menawarkan posisi sebagai hakim. Abu Hanifah menjawab: “Aku akan istikharah terlebih dahulu, shalat dua rekaat meminta pertimbangan kepada Allah, jika hatiku dibuka maka akan aku terima, jika tidak maka masih banyak fukaha’ lain yang bisa dipilih salah satu diantara mereka oleh Amir al-Mukminin.
Waktupun berjalan, ternyata Abu Hanifah belum juga menghadap khalifah, maka ia mengutus seorang utusan memintanya menghadap, Abu Hanifah segera pergi menghadap, sementara ia telah bertekad untuk tidak menerima tawaran sebagai hakim, karena dia tahu bahwa posisi ini tidak mudah, sementara seorang hakim biasanya seringkali melampaui batas dalam menghukumi sesuatu. Bahkan terkadang seorang khalifah meminta kepadanya satu hal, maka apa peduli dia dengan jabatan seperti ini?. Apalagi setelah dia beristikharah dengan melakukan shalat dua rekaat, sementara hatinya belum tenteram untuk menerima jabatan tersebut.
Abu Hanifah kemudian pergi menghadap khalifah, ketika menghadap, dia telah bertekad untuk menolak jabatan yang ditawarkan kepadanya.
Ternyata khalifah tidak menyerah begitu saja, ia bersumpah agar Abu Hanifah menerima jabatan sebagai hakim yang ditawarkan, akan tetapi dengan segala keberanian Abu Hanifah menolaknya, seraya berkata kepada khalifah: “Wahai Amir Mukminin, sesungguhnya aku tidak pantas untuk menduduki jabatan sebagai hakim”.
Khalifah: “engkau dusta”.
Abu Hanifah: “sekiranya anda telah menghukumi saya sebagai pembohong, maka sesungguhngnya para pembohong tidak layak untuk menduduki jabatan sebagai hakim, dan sebaiknya anda jangan mengangkat diantara rakyat anda yang tidak memenuhi kualifikasi untuk menduduki jabatan yang strategis seperti ini. Wahai Amir mukminin, takutlah kepada Allah, dan janganlah anda delegasikan amanat anda kecuali kepada mereka yang takut kepada Allah, jika saya tidak dapat mendapat jaminan keredhaan, bagaimana saya akan mendapatkan jaminan terhindar dari murka”.
Khalifah lalu memerintahkan untuk mencambuknya seratus cambukan, lalu menjebloskan dalam penjara.
Selang beberapa hari, khalifah mendapatkan teguran dari seorang kerabatnya: “Wahai amirul mukminin … dia merupakan faqih Irak bahkan faqih masyarakat timur secara keseluruhan, sesungguhnya anda telah mencambuk diri anda dengan seratus ribu pukulan pedang”.
Maka khalifah segera memerintahkan untuk membayar 30.000 dirham kepada Abu Hanifah sebagai ganti atas yang dideritanya, lelu mengeluarkannya dari penjara, serta mengembalikan kerumahnya.
Ternyata setelah harta tersebut di taruh dihadapannya, ia menolaknya. Maka khalifah memerintahkan untuk menjebloskan kembali ke penjara. Hanya saja sebegian menteri mengusulkan agar Abu Hanifah segera dikeluarkan dari penjara, dan cukup dengan penjara rumah, serta melarangnya untuk duduk bersama masyarakat atau keluar dari rumah.

Kepergian Al-Imam
Semenjak Abu Hanifah masih dalam tawanan rumah, kehidupannya tidak berlanjut lama, selang beberapa hari, dia diserang penyakit, semakin hari semakin bertambah, ini merupakan tanda bahwa akhir kehidupannya tanpaknya semakin dekat. Pada Saat usianya telah menginjak 70 tahun, ruhnya yang suci dipanggil Oleh Allah. Berita kematiannya lalu segera menyebar, ketika Al-Mansur mendengar berita itu, dia berkata: “man ya`dzuruni minka hayyan wa maitan” Siapa yang bisa memaafkanku .
Salah seorang ulama’ Kufah berkata: “Cahaya keilmuan telah dimatikan dari kota Kufah, sungguh mereka tidak pernah melihat ulama’ sekaliber dia selamanya”.
Yang lain berkata: “Kini mufti dan faqih Irak telah pergi”.
Jasad Abu Hanifah dikeluarkan dipanggul diatas diatas punggung kelima muridnya, hingga sampai ke tempat pemandian, lalu dimandikan oleh Al-Hasan bin Imarah (Hakim), sementara Al-Harawi (al-alim) yang mengguyurkan air ke tubuhnya, setelah proses pemandian selesai al-Hasan bin Imarah berkata: “Semoga engkau dirahmati oleh Allah, engkau belum berbuka selama tiga puluh tahun, belum pernah tidur dimalam hari semenjak empat puluh tahun, engkau paling faqih diantara kita, paling abid (banyak beribadah), paling zuhud, paling banyak mengumpulkan sifat-sifat kebaikan diantara kita, sementara sekarang engkau dikubur, yang artinya engkau dikubur kepada kebaikan dan sunnah, dengan demikian engkau akan menjadikan orang setelahmu payah”.
Dari penduduk Baghdad saja berkumpul jumlah yang tidak terhitung lagi kecuali oleh pencipta mereka, seakan-akan mereka dipanggil dengan kematiannya. Dia dishalatkan oleh jumlah yang sangat banyak sekali lebih dari 50.000 orang. Dalam enam kali putaran yang ditutup dengan shalat anaknya Hammad, karena ia tidak memiliki anak selain Hammad. Tidak bisa dikebumikan kecuali setelah ashar karena sesak, dan banyaknya tangis.
Abu Hanifah telah mewasiatkan agar jasadnya dikebumikan di kuburan al-khairazan; karena merupakan kuburan yang baik bukan tanah ghasab (curian), diantara syair yang dibuat untuk kematiannya adalah karya salah seorang muridnya sebagai berikut:
Kini fikih telah pergi, sementara fikih tidak engkau miliki
Maka takutlah kepada Allah, dengan menjadi penganti
Nukman telah meninggal, lalu siapa
Yang akan menghidupkan malam jika telah
Semoga Allah merahmati dan meridhainya.

No comments: