7.15.2009

PEACE-BUILDING (2)


Film documenter yang berjudul "al-Imam and Pastor" (Sang Imam dan Pastor") dan berdurasi 39 menit ini ingin menandaskan:

Pertama: Bahwa, cinta kasih dan kasih sayang merupakan ajaran utama dan inti dari ajaran Agama (baik dalam Islam maupun dalam Kristen. Dalam Islam ajaran yang bernuansa keras hanya ada dalam dua hal: Pertama, Jihad dalam mempertahankan hak, negeri, dan untuk menegakkan keadilan dan menumbangkan kedzaliman yang menjadi penyebab kerusakan dalam masyarakat, kedua dalam hal penerapan hudud (sangsi hukum pidana) (hukum qishas bagi pembunuh, potong tangan bagi pencuri, rajam bagi pezina bersuami atau beristri, hirabah bagi pembuat kerusakan besar dalam masyarakat, dan cambuk bagi pelaku zina yang masih gadis atau lajang). Dalam penerapan sangsi hukum pidana ini bahkan tidak diperkenankan secara berlebihan menggunakan emosi sehingga mengakibatkan adanya belas kasihan yang menyebabkan penghapusan sangsi datau pemberian keringanan. Karena penerapan sangsi hukum pidana secara konsisten akan membawa kepada ketentraman dan berjalannya hidup bermasyarakat secara teratur. Demikian pula jihad, yang merupakan salah satu instrument untuk menjaga keseimbangan alam semesta sebaga hukum power of balance bagi tindak kedzaliman. Kaidah ini di dalam al-quran di kenal dengan kaidah sunnatuttadafu. Seperti yang disebutkan dalam al-Quran:

"Sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah Telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid- masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa, (Al-Hajj: 40)

"Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian umat manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam. (al-Baqarah: 251)

Selain dua tempat diatas, ajaran Islam menghendaki agar hubungan antar individu dan kelompok di masyarakat di penuhi dengan suasana kasih sayang, hormat menghormati, toleransi dan saling tolong menolong dalam kebaikan dan kebenaran, bukan tolong menolong dalam hal kejelekan dan permusuhan.

Masalahnya, sebagai akibat reaksi atas kedzaliman yang dialami oleh Umat Islam di berbagai belahan dunia, muncul penafsiran "ekstrem" tentang makna jihad, dengan meluaskan maknanya, jangkaunya serta sasarannya. Dengan berlandaskan beberapa ayat al-Quran seperti (at-taubah: 36)

"Dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan Ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa".

Bagi mereka, cukup peperangan negara barat telah mencukupi syarat bagi umat Islam untuk mengobarkan peperangan secara terbuka dan meluas, tanpa pilih kasih dan pandang bulu.

Padahal ayat ini harus difahami dalam konteksnya dan dalam kerangka bagian dari ayat-ayat lainya yang tidak bisa dipisah satu sama lain. Ibnu Katsir berkomentar tentang ayat ini:

وأما قوله تعالى (وقاتلوا المشركين كافة كما يقاتلونكم كافة) فيحتمل أنه منقطع عما قبله وأنه مستأنف ويكون من باب التهييج والتحضيض أي كما يجتمعون لحربكم إذا حاربوكم فاجتمعوا أنتم أيضا لهم إذا حاربتموهم وقاتلتموهم بنظير ما يفعلون ويحتمل أنه إذن للمؤمنين بقتال المشركين في الشهر الحرام إذا كانت البداءة منهم كما قال تعالى (الشهر الحرام بالشهر الحرام والحرمات قصاص) وقال تعالى (ولا تقاتلوهم عند المسجد الحرام حتى يقاتلوكم فيه فإن قاتلوكم فاقتلوهم) الآية هكذا الجواب عن حصار رسول الله صلى الله عليه وسلم أهل الطائف واستصحابه الحصار إلى أن دخل الشهر الحرام فإنه من تتمة قتال هوازن وأحلافها من ثقيف فإنهم هم الذين ابتدءوا القتال وجمعوا الرجال ودعوا إلى الحرب والنزال فعندما قصدهم رسول الله صلى الله عليه وسلم كما تقدم فلما تحصنوا بالطائف ذهب إليهم لينزلهم من حصونهم فنالوا من المسلمين وقتلوا جماعة واستمر الحصار بالمجانيق وغيرها قريبا من أربعين يوما وكان ابتدؤه في شهر حلال ودخل الشهر الحرام فاستمر فيه أياما ثم قفل عنهم لأنه يغتفر في الدوام مالايغتفر في الابتداء وهذا أمر مقرر وله نظائر كثيرة والله أعلم ولنذكر الأحاديث الواردة في ذلك وقد حررنا ذلك في السيرة والله أعلم.

Sebab lain, yang melatarbelakangi timbulnya bertikaian dalam masyarakat selain masalah penafsiran teks-teks keagamaan adalah pertentang kepentingan pragmatisme, ketimpangan dan keadilan social, keserakahan serta ketamakan untuk menguasai orang lain atau hak milik orang lain.

Kedua: Bahwa keberagaman (pluralitas) yang ada dalam sebuah masyarakat akan menjadi sumber kekayaan dan pengayaan, bila dapat dikelola dengan bak, dan menjadi sumber pertikaian seperti yang terjadi di daerah konflik karena tidak mampu dikelola dengan baik.

Ketiga: kunci dari perdamaian adalah ajakan untuk hidup berdampingan secara damai (at-ta'ayusy as-silmi), bukan peleburan secara total menjadi satu (al-indimaj), karena pada kenyataannya tidak mungkin sebuah entitas dipaksakan untuk menjadi yang lain, demikian pula sebuah kepercayaan agama, madzhab dan kerangka berfikir yang mendasar, tidak mugnkin dapat dipaksakan kepada pemeluknya atau penganutnya agar ditinggalkan demi untuk menganut yang lain. Barangkali proses peleburan bisa saja terjadi dalam sebuah masarakat tapi itu tidak mungkin terjadi kecuali dalam kurun waktu yang cukup lama.

Dan salah satu dari upaya hidup berdampingan secara damai adalah membudayakan tradisi "permohonan maaf" dari yang berbuat dhalim kepada yang didzalimi, disisi lain membudayakan tradisi "memberikan maaf", kepada pihak yang dengan jujur telah mengakui kesalahannya.

Budaya ini sangat penting artinya bagi berlanjutnya kehidupan secara damai, karena hidup ini tidak mungkin berjalan secara monoton adan lancer terus menerus, terkadang mesti ada gelombang yang akan mengguncang masyarakat (kesalah fahaman, kekeliruhan baik disengaja maupun tidak, dst), budaya minta maaf dan memaafkan ini akan menjadi antisipasi dan penawar dalam kondisi yang tidak diharapkan tersebut.

Keempat: agar seorang individu atau kelompok dapat hidup berdampingan secara damai, harus diciptakan satu payung untuk bernaung bersama, payung bersama yang paling memadai adalah citizenships atau "al-muwathanah" atau kewarga negaraan (semua elemen harus merasa hidup bersama sebagai warga negara). Sebagai warganegara semua elemen masyarakat dan entitas di dalamnya memiliki hak dan kwajiban yang sama, mereka duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi. Namun demikian kecuali hak-hak yang mendasar (sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan) hak dan kwajiban tidak mungkin didapat secara sama dan merata, supaya kaidah reward dan punishment dapat diterapkan.

Agar tidak terjadi konflik yang dipicu oleh factor-faktor yang telah disebut diatas, disini perlu diletakkan sebuah role of the game (aturan main), yang diwujudkan dalam system pemerintahan, undang-undang dasar dan undang-undang lainnya, serta keputusan pemerintah.

Dalam memilih system pemerintahan, dan meletakkan undang-undang harus dicari sebuah system yang memenuhi standar sistematika (sitematis), berkeadilan sosial, kebebasan dan mampu menandatangkan kesejahteraan bagi warga Negara secara bersama dan merata, Melalui sebuah mekanisme musyawarah mufakat. System dan undang-undang ini dapat diambil dari mana saja, termasuk dari basis tradisi, budaya nasional maupun local, bahkan ajaran dan syariah agama-agama. Selama dapat memenuhi standar diatas, tidak perlu ada sensitifitas dari masing-masing kelompok dalam pengambilan referensi role of the game tersebut.

Dari titik tolak ini Dr. Saifuddin Abd. Fatah (dalam komentarnya) memandang bahwa tidak ada kontradiksi antara muwathanah dan syariah apalagi dalam lingkungan masyarakat yang mayoritas Muslim. Selama umat Islam mampu mengetengahkan syariah dan penafsirannya secara ilmiah sebagai basis nilai yang dapat merealisasikan makna keadilan, ketentraman dan kesejahteraan dalam masyarakat kepada umat lainnya.

Contoh: Penafsiran dan pemahaman klasik yang menyatakan bahwa istri harus mendapatkan izin suami tatkala menuntut khulu', beberapa waktu teraljor di Mesir mulai ditinjau ulang, karena dinilai tidak lagi dapat merealisasikan keadilan bagi kedua belah fihak secara balance (seimbang), akhir dari kajian tersebut membawa kepada kesepakatan dihapuskannya undung-undang yang mengharuskan istri mendapat izin dari suami saat menuntut khulu'. Upaya penafsiran ulang seperti ini sah-sah saja serta tidak menjadi masalah selama masih dalam koredor mutaghayyirat, dan untuk merealisasikan keadilan yang juga merupakan bagian dari maqoshid syariah itu sendiri.

Jadi pada intinya, syariah selalu memuat dan merealisasikan nilai keadilan, sementara bagian syariah yang bukan provan (tsawabit) penafsirannya masih terus bisa disesuaikan dengan kondisi dan sejauh mana dapat merealisasikan keadilan, sesuai dengan zaman dan tuntutannya. Untuk itu Jika dalam beberapa kesempatan syariah dimunculkan oleh beberapa pihak ke permukaan sebagai dua komponen yang kontradiksi –menurut Dr. Saifuddin Abd. Fatah- itu lebih karena isu tersebut mushtana'ah (dibuat-buat) dan mufta'alah (disulut-sulut dan dikipas-kipasi) oleh kelompok tertentu, agar terjadi kondisi caos dan ketidak setabilan di tengah masyarakat. Dalam kondisi seperti itu kelompok ini ingin memancing di air keruh guna meraup keuntungan pragmatis sebesar-besarnya.

Contoh kasus di Mesir, walaupun secara resmi negara ini berdasarkan Islam, tapi tidak menganggap warga kristen coptic sebagai warga kelas dua, mereka bisa mendapatkan pendidikan, sarana-prasarana, pekerjaan yang sama dengn warga muslim, selain itu warga coptic tidak merasa risih ketika sebagian dari mereka menggunakan hukum waris yang ada dalam islam. Masalah-masalah diatas menjadi problem manakala ada sekelompok yang terus menerus mengobarkan sikap kecurigaan dan perasaan tertindas dengan mengambarkan warga Coptic sebagai warga kelas dua di mesir.

Kelima: harus secara terus menerus dikampanyekan internalisasi budaya dialog, dan kesiapan untuk menerima dan hidup berdampingan dengan orang lain yang berbeda secara etnik, budaya, agama dan keyakinan, dst. Menghidupkan budaya saling percara trust Serta menghilangkan budaya saling curiga-mencurigai.

Hal ini juga menuntut munculnya para penggagas dan penggerak di bidang ini (dialog) dan berkumpulnya mereka dalam sebuah lembaga. Mereka inilah yang nantinya diharapkan menjadi motor bagai proses taayusy silmi (hidup berdampingan secara damai) tersebut, serta diharapkan menjadi mediasi bagi berbagai komponen dan entitas tersebut, mana kala terjadi pertikaian dan konflik di tengah masyarakat, seperti apa yang telah dilakukan oleh sang Imam dan pastor tersebut.

Hal lain yang nantinya menjadi garapan lembaga ini diantaranya adalah turut membudayakan dalam membangun komunikasi efektif yang efektif dalam berbagai level: antar individu, antar anggota keluarga, dan antar keluarga, antar anggota masyarakat, antar suku dan etnik, antar jenis kelamin, antar kelompok profesi, antar penganut agama, antar penganut madzhab dalam agama, antar lintas generasi dan seterusnya. Yang dengan demikian gap-gap dalam masyarakat yang seringkali dipicu oleh beberapa faktor penting seperti: Perbedaan dalam Emosi atau perasaan, perebutan Sumber Daya dan kepentingan pragmatis, ambisi politik, serta beberapa perbedaan dalam nilai-nilai/doktrin ajaran agama/madzhab dapat tereduksi secara natural dan berlahan, demi tercapainya peradaban tinggi yang dipenuhi dengan sikap toleransi, cinta kasih, keadilan, damai, sejahtera, jauh dari konflik, pertikaian, serta peperangan yang memusnahkan manusia dan alam semesta.

Namun sebagai manusia terkadang wajar sebagian merasa pesimis terhadap fenomema yang terjadi, dimana kesadaran dan upaya mulia, untuk menciptakan perdamaian seperti diatas, harus menghadapi realita pahit, dimana bangunan masyarakat indonesia yang masih dianggap rawan konflik itu justru disulut oleh sebagian kelompok yang terus mengobarkan rasa permusuhan, mengadu domba dan kebencian serta kesaling curigaan diantara anak bangsa, seperti yang dilakukan oleh para penyusun buku Ilusi Negara Islam; Ekspansi gerakan Transnasional di Indonesia" wala haula wala quwwata illa billahil aliyyi al-adhim.

Tapi sebagai genasi muda yang akan mewarisi bumi pertiwi ini, selayaknya terus tidak boleh menyerah seraya tetap menjadikan fenomena kecil ini hanya batu kerikil kecil yang menjadi bagian dari tatangan masa depan. Wallahu a'la wa a'lam.

No comments: