12.01.2008

MENCERMATI SUMBER KEDUA DALAM WANACA SYI'AH


AL-SUNNAH AL-MUTHAHHARAH;
Mencermati Sumber Hukum Kedua dalam Wacana Pemikiran Syi’ah Imamiah al-Itsna al-asyariah.

Jika kita berbicara tentang sumber-sumber hukum, berarti kita akan berbicara tentang al-Qur’an, sunnah Nabawiah, Ijma’ dan Qiyas (bagi sunnah) atau akal (bagi Syi’ah). Pembahasan tentang sumber pertama, ketiga dan keempat dapat kita bicarakan pada pembahasan yang lain, kini kita akan menfokuskan kajian pada sumber kedua, karena pada sumber inilah akan terlihat jelas perbedaan mendasar antara Syi’ah dan Ahli Sunnah, ini akan menjadikan kajian kita dalam bab ini lebih hidup dan menarik.
Telah maklum bersama bahwa Hadits Nabawi merupakan sumber hukum kedua setelah al-Qur’an baik dalam perpektif Sunnah maupun Syi’ah, ada perbedaan mendasar disini antara sunnah dan syi’ah mengenai sumber dikeluarkannya hadits itu, bagi sunnah sumber ini hanya datang dari Nabi Muhammad Saw saja, sementara menurut syi’ah selain Rasul para Imam juga merupakan sumber hadits itu, karenanya definisi as-sunnah bagi mereka tidak saja mencakup : “perkataan, perbuatan, dan keputusan Rasulullah Saw, tapi telah meluas dan mencakup; “seluruh perbuatan, perkataan, dan keputusan para maksum yang dalam perspektif mereka masuk ke dalamnya (Nabi dan para Imam).
Kepercayaan ini muncul kerena bagi mereka, para Imam menduduki posisi sama dengan Rasul, hanya saja para Imam tidak mendapat wahyu seperti Rasul, mereka hanya mendapatkan ilham, walaupun sebagian mengatakan bahwa yang turun kepada para Imam tetap merupakan wahyu dan bukan ilham, walaupun itu tidak berarti harus membawa al-Qur’an baru.
Dalam wacana pemikiran SI, hadits –seperti halnya dalam sunnah- dibagi menjadi dua macam; Mutawatir dan Ahad, sementara Ahad terbagi kepada empat bagian; shohih, hasan, muwats-tsaq, dan dhoif.
Mutawatir, bagi mereka harus memenuhi syarat; “tidak adanya kemungkinan akal pendengar tercampur dengan syubhat taqlid yang menyebabkan hadits dan dalalahnya tertolak”([i]). Dengan syarat ini, Sayyid Dhiya’ ad-din, lalu berkesimpulan bahwa: “dengan jelas alasan-alasan para penentang kita (syi’ah) yang mengatakan bahwa tidak ada Nash bagi Amir Mu’minin (Ali Ra) untuk memangku Imamah tertolak dengan sendirinya([ii]). Dengan kata lain, jika ada seseorang yang mengatakan bahwa Rasul tidak mewasiatkan kepada Imam Ali untuk menduduki kursi Imamah sedang hadits ini sudah diriwayatkan dengan mutawatir, -maka dalam pandangan mereka- nada tuduhan harus diarahkan kepada pendengar bukan pada Hadits mutawatir itu.
Sedangkan shohih, bagi mereka adalah; “mâ ittashala sanaduhu ilâ al-maksum binaqlin al-adl al-Imâmi ‘an mitslihi fî jami’ al-thabaqôt haitsu takunu al-mutaddidah”([iii]) (yang sanadnya tersambung kepada Al-Maksum, dengan perantara penyambung (perawi) yang adil dari kalangan syi’ah Imamiah, dari yang semisalnya dalam semua tingkatan, sehingga menjadi beragam).
Dengan demikian untuk mencapai hadits shohih, syarat yang perlu dipenuhi adalah;
tersambungnya sanad kepada maksum tanpa ada keterputusan.
para perawinya berasal dari kalangan SI, dalam semua tingkatannya.
mempunyai sifat “ ’adalah” dan hafalan yang kuat.

Dari sini, kita dapat menilai bahwa pengaruh aqidah Imamiah dalam periwayatan hadits sangat kental, dimana saat mereka menganggap bahwa keimanan merupakan syarat mutlaq dalam diri perawi, yang secara otomatis selain pengikut SII, dalam pandangan mereka termasuk kafir atau setidaknya fasik([iv]).
Sedangkan Hasan, menurut mereka dalah: “Mâ ittashola sanaduhu ilâ al-maksûm bi imâmiyyin mamduh maqbulan, mu’taddan bihî, ghoiru mu’aradhin bi-dzammin, min ghoiri nas-shin ‘ala ‘adâlatihi, ma’a tahaqquqi dzalika fi jami’I marâtib ruwwati tharîqihi, au fi ba’dhihi”([v]).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa untuk mencaai derajat hadits Hasan harus memenuhi beberapa kreteria yang diantaranya;
tersambungnya sanad kepada al-maksum tanpa ada keterputusan, b. para perawi dalam semua tingkatannya adalah IMAMI/JA’FARI, c. termasuk yang dipuji dengan pujian yang layak dan wajar, tdiak terkena celaan yang tidak bisa diterima dan tidak wajar, d. tidak harus disyaratkan adanya ‘adalah pada setiap tingkatan perawi, tapi bisa pada sebagiannya saja.
pengaruh aqidah IMAMIYAH disini sangat terasa, yaitu tatkala mereka mensyaratkan seorang Imami bagi perawi dan diterimanya sebagian perawi dari kalangan SI walaupun tidak memiliki kapasitas ‘adalah dan hafalan yang kuat, sementara disini lain mereka menolak denganmentah-mentah seluruh perawi selain SI walaupun mencapai derajat keimanan dan ketaqwaan yang sangat hebat.
Al-muwats-tsaq, berarti “ma ittashola sanaduhu ila al-maksum biman nas-sho al-ash-hab ‘ala tautsiqihi, ma’a fasad ‘aqidatihi, bian kana ahad al-firaq al-mukholifah lil-imamah, wain kana min as-syi’ah, ma’a tahqiq dzalika fi jami’ ruwat thoriqihi au ba’dhuhum ma’a kauni al-baqin min rijal al-shohih” (miqbas al-Hidayah, hal. 35 dan dhiya’ al-Dirayah, hal 24-25).
Syarat muwats-tsaq –seperti termaktub diatas meliputi :
a)-Tersambungnya sanad kepada al-maksum, b)-Para perawinya bukan dari SI, tapi mendapatkan tautsiq (pengakuan/penguatan) dari ulama’ SI, c)- kualifikasi perawi semacam ini bukan pada seluruh tingkatannya, boleh jadi sebagiannya diriwayatkan oleh para perawi shohih, sehingga tidak dimasuki oleh kelemahan lain-lainnya lagi.
Pengaruh aqidah Imamiah disini sangat kental : a)- Muwats-tsaq ditaruh dalam urutan ketiga setelah shohih dan Hasan karena ada perawi selain dari kalangan SI, b)- Penguatan atau pengakuan tidak datang dari kalangan SI, oleh karena itu Dyia’uddin berkesimpulan : “bahwa pengakuan yang datang dari penentang tidak cukup, yang telah dikuatkan oleh mereka, lemah bagi kita. Standar dalam pengakuan adalah pengakuan sahabat-sahabat kita”. (Dhiya’ ad-dirayah).
Untuk mengetahui apa saja ciri-ciri yang dianggap oleh kalangan SI dapat mendatangkan pengakuan dari kalangan SI, al-Mamâqôni (ulama’ ilmu jarah dan ta’dil SI ternama) dengan gamblang menjelaskannya : “ciri-ciri selain kalangan SI yang mendapat pengakuan, dapat kita ketahui misalnya : “jika seorang Imam telah memilihnya untuk membawa atau menjadi saksi (tahammul syahadah au adaiha), dalam wasiat, atau wakaf, atau talaq, atau pengadilan, dan sejenisnya, atau seorang Imam telah mendo’akan rahmat baginya, atau meridlainya, atau mengutus seorang utusan kepada penentang atau selain penentangnya, atau seorang Imam tadi telah mempercayakan untuk mengurusi sesuatu wakaf atau wilayah misalnya, atau menjadikannya wakil, atau pembantu yang selalu menyertainya, atau penulisnya, atau diizinkan untuk mengeluarkan farwa atau keputusan atau untuk menjadi syiekh al-Ijazah, atau telah diberi kehormatan untuk melihat Imam ke 12, al-hujjah yang tengah di tunggu-tunggu, dan seterusnya … “ (lihat tankih al-maqol, abdullah al-Mamaqoni, matbaah al-murtadlawiyah, Najf, tahun 1352 H, hal 210-211 H). kualifikasi tautsiq (pengakuan) seperti dijelaskan diatas sebenarnya telah masuk ke dalam kreteria para perawi hadits Shohih, walaupun demikian ia tetap berada dalam urutan ketiga, tak lain karena pribadinya yang bukan kalangan SI.
Urutan terakhir dari hadits ahad adalah Dhoif, yaitu: “(ma la yajtami’u fihi syart ahad al-aqsam as-sabiqoh, bian isytamala ‘ala majruh bi al-fisq, wanahwihi, au ‘ala majhul al-hal, au ma duna dzalika kal-wadh-dha’) “yang tidak memenuhi syarat ketiga hadits ahad diatas, seperti jika terdapat di dalamnya perawi yang cacat disebabkan kefasikan, atau semisalnya atau perawi yang tidak diketahui kondisinya, atau yang lebih rendah dari itu semua, seperti para peletak hadits hadits palsu misalnya :. (miqbas al-Hidayah, hal 35, dan dhiya’ al-dirayah, hal 25).
Telah disinggung dimuka bahwa dalam pengkataqorian fasik, kalangan SI tidak saja beranggapan bahwa kefasikan ini berkaitan dengan pelanggaran terdapat perintah Allah, tapi menganggap mereka yang tidak beraqidah SI termasuk dalam kategori ini, bahkan sebagian –seperti yang telah disinggung dimuka- menganggapnya sebagai kafir, kecuali yang mendapat pengakuan dari kalangan SI, sepertiyang dijelaskan oleh Al-Mamaqoni dimuka. Inilah rahasia dibalik penolakan mereka hadits-hadits yang diriwayatkan oleh para Sahabat utama seperti Abu Bakar as-Shiddiq, Umar bin Khottab, Utsman, (ketiga khulafa’ ar-Rasyidah), para sahabat-sahabat utama, para tabi’in serta para fuqoha’ lainnya. Jika memang tidak meyakini Imamah sebagai aqidah bagi mereka.
Telah muncul memang gerakan yang dalam jarh dan ta’dil tidak lagi melihat sosok perowi dari sisi madzhab, tapi kualifikasi ‘adalah dan kekuatan hafalannya, namun demikian mereka masih belum mampu merubah sesuatu, rawasib itu masih terlalu kental dan mengakar.
Dari sini lalu, bisa disimpulkan bahwa kedua madrasah (khulafa’) dan (ahlu Bait) sebagaimana yang diistilahkan oleh para penulis SI kontemporer seperti Murtadha al-‘Askari –misalnya-, merupakan dua madrasah yang mempunyai dua sumber dan jalan yang berbeda, ini mengakibatkan perbedaan Hadits-hadits dari kedua belah fihak. Seperti jika dalam wacana ahli sunnah terkenal dengan kutub Sittah, dalam madrasah ahlu bait, (SI) dikenal dengan kutub al-Arba’ah (al-Kafi, karya al-Kulaini wafat th 329, Faqih man la yahdhuruhu al-Faqih, karya M. bin Babawe al-Kummi, lebih dikenal dengan al-Shoduq wafat tahun 381, Al-Tahdhib dan al-Istibshor, keduanya karya al-Thusi wafat tahun 460), yang jalan penerimaan dan kodifikasinya diterangkan oleh murtadha al-Askari dalam Ma’alim al-Madrasatain nya –sebagai tergambar dalam diagram di bawah ini :

مدرسة أهل البيت
Madrasah ahlu al-Bait
إملاء خاتم الأنبياء
Pendektean Nabi kepada Imam Ali Ra

جامعة الإمام على
Jami’ah Imam Ali Ra.

روايات الأئمة الإثنى عشر من أهل البيت
Riwayat kedua belas Imam.

الأصول والمدونات الحديثية الصغيرة
Asas dan Kodifikasi Hadits (kecil).
الكافى
Al-Kâfi
الفقيه التهذيب الاستبصار
Al-Istibshor At-Tahdhib Al-Faqîh


رسائل فقهاء مدرسة أهل البيت
Risalah para fuqoha Madrasah Ahlu Bait.

Al-Jarh wa Ta’dil.
Dari penjelasan diatas dapat digambarkan dengan jelas bahwa pola jarh dan ta’dil versi SI sangat dipengaruhi oleh aqidah Imamiah. Ini dapat kita lacak dari dua sisi : pertama : semua yang menjadikan Imamah sebagai aqidah –kecuali yang mendapatkan pengkuan kalangan SI- haditsnya di tolak, walaupun dari sudut kualifikasi ‘adalah dan kuatnya hafalan tidak diragukan. Disinipun Sahabat tidak saja ditolak haditsnya, tapi menjadi bahan perolokan, penghinaan serta penginjak-injakan martabat kedua : anggapan mereka kepada para Imam sebagai sosok yang maksum tidak lagi dipandang –dari sisi periwayatan hadits- sebagai perawi hadits yang tsiqoh, tapi dijadikan salah satu sumber-sumber tasyri’.
Ada lima buku rijal hadits ternama di kalangan SI, : Rijal al-Barqi, Rijal al-Kisy-syi, Rijal Al-Thusi, dan Fihrisnya, serta Rijal al-Najasyi. Kebanyakan para penulis buku rijal setelahnya –terutama al-Mamaqoni- dalam tankih al-Maqol fi Ilmi al-rijal, merupakan buku terpenting dan terbesar dalam ilmu rijal dalam SI, juga merujuk kepda lima buku diatas. oleh karenanya Al-Mamaqoni juga dikenal dengan sebutan al-‘Allamah at-tsani ayatullah, sedang al-‘Allamah al-Awwal disandang oleh Ibn al-Muthahhar al-hilli.

Berikut gambaran singkat jarh dan ta’dil yang mereka lakukan :
Ali bin Abi Tholib : Adalah Amir Mukmini alaihi afdholu as-sholat wa as-salam, kelebihan dan fadhilahnya tidak mungkin dapat dilukiskan dan dihitung olehmanusia, “Qul lau kana al-bahru midadan likalimati Rabbi lanafidza al-Bahru qobla an-tanfadza kalimatu Rabbi”. Diriwayatkan bahwa jika laut dijadikan tinta, pepohonan dijadikan pena serta dedaunan dijadikan kertas, jin dan manusia sebagai penulis, maka tak akan mampu mereka menghitung kelebihan dan kehebatannya. (tankih al-maqol, 2/264).
Muhammad bin Abu Bakar bin Abu Kuhafah : adalah orang besar punya manzilah yang tinggi, pendukung Imam Ali as, kecerdasannya datang dari ibunya Asma binti ‘Umais bukan datang dari bapaknya. Termasuk orang-orang cerdas dari golongan orang-orang cerdas, tapi dia dilahirkan dari keluarga yang jelek (bobrok). Dia membaiat amir Mukminin Ali untuk berlepas diri dari bapaknya dan dari kholifah kedua, seraya berkata kepadanya (Ali) : aku bersaksi bahwa anda adalah Imam yang wajib di taati dan sesungguhnya bapakku berada di Neraka ……
Abullah bin Amru bin Ash : dalampemikiran dan kemunafikannya seperti bapaknya. Demikian juga dalam kedustaan kepada Allah dan RasulNya. Dimana bersama Muawiyah sama-sama memberontak (kepada Imam Ali), dalam kasus Shiffin, ini sudah cukup untuk menjadikannya tertajrih (2/200).
Kholid binWalid : bersama Abu Bakar merancang untuk membunuh Ali as, lalu Abu Bakar menyesal karena takut terjadi fitnah, dia sering disebut sebagai pendang allah, padahal yang lebih tepat adalah sebutan pedang syetan, ia termasuk zindiq (murtad) yang kekufurannya lebih dari kekufuran iblis dalam memerangi Ahlu Bait. (1/394).
Jika demikian adanya tak terlalu salah –misalnya- jika Ust Muhibbudin al-Khotib berkesimpulan –seperti yang termaktub dalam judul bukunya : al-khututh al-Aridhah ……… bahwa SI merupakan agama tersendiri yang mempunyai pijakan danlandasan yang sangat berbeda dengan Ahlu Sunnah, sehingga iapun berkesimpulan bahwa keduanya sangat mustahil untuk diketemukan.
Wallahu a’lam bis-showab.[vi]
([i] )- Dhiya’ ad-dirayah, Sayyid shiya’ ad-din al-allamah, matba’ah al-hukm, Qom 1378 H, hal 23).
([ii] )- Ibid, hal 18.
([iii] )- Miqbas al-hidayah fi ilm al-dirayah, hal 33, Dhiya’ al-dirayah, hal 21.
([iv] )-(lihat Tahdhib al-wusul ila ilm ushul, Hasan bin Yusuf ‘Ali bin al-Mutahhar al-Hilli, Dar-khilafah, Taheran tahun 1308 H, hal 77-78).
([v] )- Miqbas Hidayah, hal 34, dan Dhiya’ add0rayahm hal 23.
[vi]

No comments: