5.16.2007

Polemik Seputar Keabsahan Saheh Bukhari II

Mukaddimah

Diskusi yang menarik septutar keabsahan Saheh Bukhari masih berlanjut, berikut ini kelanjutan diskusi tersebut (vol II).

selamat menikmati dan mengambil pelajaran berharga.

chaled.

>>>Muhammad Mawhiburrahman wrote:
> dear Mas Nidhol dan Alfitri yang bijak bestari serta akhi JT
> terhormat, Mohon waktu untuk break sebentar guna mempersiapkan
> ujian. Terima kasih atas tanggapannya.
> salam,
> Mawhib>>>

Tanggapan
Sama-sama, Mas Mawhib.

Biar tidak nggantung, di bawah ini saya lengkapi jawaban yang kemarin.
Kali ini ringkas-ringkas saja.
Silakan Antum telaah atau tanggapi kapan saja..

Bagi kawan-kawan yang terganggu atau kurang berminat untuk membaca,
cukup langsung didelete atau dilewati saja..

Dan buat semuanya:
Selamat belajar, persiapan, dan menempuh ujian.
Semoga sukses dan berkah selalu.

>>> Ketiga; Yang aneh bagi saya, jika upaya-upaya kritis selalu
diposisikan sebagai syubhat. Saya juga heran, kenapa harus ada
doktrin al-shahabat kulluhum 'udul? Sinyalemen saya, kemunculan
doktrin ini lebih karena faktor ketidakmampuan (tepatnya,
ketidakberanian) melakukan pengujian terhadap figur-figur shahabat.
Mari kita cermati. Akibat dari jargon tersebut, satu generasi dalam
mata rantai periwayatan hadits menjadi terjamin kredibilitasnya. Ini
kan tidak fair! Apakah semua shahabat termasuk dalam kategori "anak
penurut"? Kan tidak!
>
> Ini yang sebenarnya merupakan pangkal dari kesemrawutan. Saya
menjadi tidak yakin, dengan adanya doktrin di atas, model semacam
naqd wa tamhish al-ruwat yang dipopulerkan oleh Abu Bakar dapat
diterapkan secara efektif terhadap shahabat. Anda tentu ingat,
bagaimana figur Abu Bakar dalam melakukan seleksi dan ujian terhadap
kredibilitas dan kapabilitas perawi. Budaya yang dikembangkan oleh
Abu Bakar ini kok, ujug-ujug, menjadi tidak ada! Maaf, kalau saya
menilainya sudah punah.
>
> Jargon al-shahabat kulluhum 'udul, dalam otak saya adalah sebuah
jargon yang politis. Kalau sebagian dari shahabat, saya bisa
menerimanya. Kalau benar jargon tersebut adalah sesuatu yang al-
muttafaq `alaih, bisakah Anda bayangkan, bagaimana kuantitas shahabat
akan tidak sebanding dengan kualitasnya. Realitas ini ditunjang oleh
batasan-batasan definitif shahabat yang tidak begitu ketat.>>>


Tanggapan
1. Tidak semua upaya kritis diposisikan sebagai syubuhat. Sebuah
upaya kritik akan diposisikan sebagai syubuhat jika setelah ikaji
ternyata kritik itu hanya sekedar lohtaran atau gugatan lepas yang
tidak berakar pada argumentasi yang kuat. Apalagi jika dibarengi
dengan motif untuk menyebarkan keragu-raguan dalam ajaran Islam. Yang
seperti inilah yang akan diposisikan sebagai syubuhat. Adapun yang
betul-betul ilmiah dan membangun, kritik-kritik itu telah, sedang,
dan akan diterima sebagai sebuah kajian intelektual yang layak
diterima atau diberikan apresiasi yang tinggi.

2. Seperti tampak dalam paparan Antum di atas, penolakan atau keberatan Antum
terhadap kaedah ash-shahaabah kulluhum 'uduul ternyata hanya berlandaskan pada
"sinyalemen", "dugaan", "asumsi", dan "fantasi dalam otak". Mas Mawhib, Antum
tentu meyadari bahwa landasan-landasan
itu sama sekali bukanlah landasan ilmiah ataupun argumentasi
intelektual. Landasan-landasan yang Antum pakai dalam keberatan Antum
ini hanyalah sebuah sikap "buruk sangka" yang prematur. Apalagi
kemudian Antum mengiringinya dengan klaim aprioris bahwa kaedah ini
adalah "jargon politis" dan "akibat ketidakberanian". Antum
mengabaikan begitu saja argumentasi-argumentasi ilmiah yang mendasari
para Ulama menetapkan kaedah penting ini. Padahal argumentasi-
argumentasi itu sudah banyak tertuang dalam buku-buku Ilmu Hadits.

3. `Adaalah Shahabat itu sudah ditandaskan sendiri oleh Allah dalam
Al-Quran di banyak tempat (seperti ayat "wassaabiquunal awwaluuna
minal muhaajiriina wal anshaari walladziinattabi'uuhum bi ihsaanin
radliyallaahu `anhum wa radluu `anhu", ayat "muhammadun rasuulullaah,
walladziina ma`ahu asyiddaa'u `alal kufaari ruhamaa'u bainahum", dan
ayat "laakinnar rasuulu walladziina aamanuu ma`ahu jaahaduu bi
amwaalihim wa anfusihim wa'ulaaika lahumul khairaat, wa'ulaaika humul
muflihuun". Rasulullah saw. juga menandaskan hal yang sama dalam
banyak kesempatan seperti dalam hadits muttafaq 'alaih: "khairun
naasi qarnii tsummalladziina yaluunahum", dan hadits muttafaq 'alaih
lainnya: "laa tasubbuu ashhaabii". Bahkan kalau Anda sedikit jeli,
kredibilitas para Shahabat itu sendiri adalah lebih tinggi dibanding
para aimmah yang memiliki otoritas Jarah wa Ta'dil semisal Imam
Ahmad, Abu Hatim, Abu Zur'ah, Yahya Al-Qaththan, Ibnu Ma'in, Ibnul
Madiny, dll. Dan tidak fair seorang al-adnaa mentajrih al-a'laa!

4. Darimana Antum mendapat ide bahwa tidak semua Shahabat termasuk "anak
penurut" ?! Apa pula yang Antum maksudkan dengan "anak penurut"? Dan siapa
contohnya nama-nama Shahabat yang "tidak termasuk anak penurut" itu menurut
asumsi Antum? Serta apa alasan-alasan riilnya? Antum dan saya sama sekali
bukanlah termasuk imam Jarah wa Ta'dil.
Karenanya, tanpa argumen kongkret apapun, klaim Antum di atas akan
terbang begitu saja dari dunia intelektual yang ilmiah. Sebab hanya
sekedar klaim semata.

5. Kesimpulan "ash-shahaabatu kulluhum 'uduul" bukan sekedar doktrin
aprioris, akan tetapi juga sekaligus merupakan konklusi posterioris.
Kaedah ini tidak sekedar berangkat dari argumentasi deduktif, akan
tetapi juga dihasilkan oleh kesimpulan induktif hasil observasi yang
menyeluruh. Kalau jeli, Antumpun tidak akan lupa bahwa ada dua
kategori untuk komunitas yang segenerasi dan selingkungan dengan
Shahabat ini dalam Dunia Kajian Hadits, yaitu "Shahabat+Mukhdlarimun"
dan "Munaafiquun+Murtadduun". Yang terakhir inilah yang tidak
kredibel. Dan di antara atau di samping kedua kategori ini, ada nama-
nama yang masih diperselisihkan. Nah, merekalah yang kemudian
membutuhkan "naqd dan tamhiish ulang". Tapi bukan karena mereka
itu "Shahabat", melainkan karena mereka masih diragukan "status ke-
shahabatannya".

6. Abu Bakar ra. tidak pernah melakukan "seleksi dan ujian terhadap
kredibilitas dan kapabilitas perawi" untuk seorang Shahabat. Apalagi
menjadikannya sebagai budaya. Antum mungkin tergesa-tesa menangkap
isi cerita. Atau percaya begitu saja dengan syubuhat tanpa bersikap
kritis. Yang dilakukan oleh Abu Bakr dan Umar ra. adalah
mencari "sumber penguat" sebelum menjadikan informasi hadits dari
salah satu Shahabat tersebut sebagai "landasan putusan pengadilan".
Jadi sama sekali bukan karena meragukan kejujuran dan `adalah seorang
sahabat tersebut. Yang dilakukan Abu Bakar dan Umar adalah "mencari
penguat" agar keputusan hukumnya semakin meyakinkan. Dan tidak pernah
ada cerita Abu Bakar menolak informasi dari seorang sahabat dengan
melakukan apa yang Antum sebut sebagai "naqd wa tamhish" itu. Anas
bin Malik ra. sendiri menandaskan: "LAM YAHUN YUKADZDZIBU BA'DLUNAA
BA'DLAN". Begitu juga dengan Umar ra. ketika berkata kepada Abu
Musa: "AMAA INNII LAA ATTAHIMUK. WA LAAKINNAHUL HADIITSU AN
RASUULILLAH". Yang dilakukan oleh Abu Bakr dan Umar ini
adalah "tatsabbut". Dan "tatsabut" itu terkait dengan "dlabt"
(sebagaimana yang pernah diterapkan oleh Aisyah), dan bukan terkait
dengan "`adaalah". Budaya yang dikembangkan oleh Abu bakr dan Umar
itupun masih terus berlangsung sampai sekarang. Antum kalau pernah
mempelajari Ilmu Hadits tentunya masih ingat dengan tradisi
mencarian "mutaa'bi'aat" dan "syawaahid" dalam Kajian Hadits.
Pencarian "syawaahid" itu sendiri adalah mencari jalur sanad yang
lain untuk satu substansi atau redaksi hadits yang sama. Ini persis
dengan yang dilakukan oleh Abu Bakr dan Umar ra. tadi. Lantas mananya
yang kemudian dianggap "sudah punah"..?! Sekedar klaim memang mudah.

7. Definisi Shahabat memang singkat. Tapi sama sekali bukan berarti
tidak "ketat". Kriteria "aslama" dan "maata musliman" itu menentukan
keterpenuhan syarat paling mendasar dalam 'adaalah. Sedangkan
kriteria "laqiya Rasuulillaah" itu menentukan keterpenuhan
syarat "ittshaal". Himpunan kedua kriteria ini membuahkan
keterpenuhan syarat "`adaalah" bahwa para Shahabat itu tidak
mungkin "berdusta". "al-`adl" memang tidak berarti "tanpa dosa"
dan "bebas dari segala kesalahan". Akan tetapi, `adaalah merupakah
jaminan bahwa ia tidak mungkin sengaja berdusta ataupun asal bicara.
Dan poin itulah yang dibutuhkan dalam sebuah Kritik Informasi. Yang
dibutuhkan oleh nilai otentisitas sebuah informasi adalah
kesinambungan, kejujuran, dan kecermatan. Tidak lebih. Dan satu hal
yang perlu saya pertegas di sini: Jumlah Shahabat yang memiliki
rekaman riwayat hadits melalui jalur shahih dalm buku-buku hadits itu
hanyalah sekian persen dari seluruh jumlah Shahabat yang ada. Jadi
gugatan Antum atas bayangan akan kuantitas Shahabat yang banyak
tersebut tidaklah punya efek yang kongkret dalam wilayah aplikatif
Kajian Hadits ini di Dunia Nyata. Apalagi, Ibnu Sirin menandaskan
bahwa dari sekitar sepuluh ribu Shahabat yang masih hidup ketika itu,
yang terlibat dalam konflik politik bersaudara tidak lebih dari 30
orang. Ibnu `Abbas, Abu Hurairah, dan Ibnu Umar yang banyak sekali
meriwayatkan hadits itu, tidaklah termasuk dalam barisan mereka.

>>> Keempat; Buku Sejarah yang seperti apa? Buku sejarah macam Tarikh
Thabari-kah yang terkadang masih suka menyelipkan nuansa-nuansa
Israiliyyat? Membaca sejarah dengan nuansa meliorisme ataukah
membacanya dengan nuansa berani? Saya tidak kebayang, jika sejarah
kodifikasi hadits dibaca dengan pendekatan critical history-nya
Joseph Schact. Pasti kesimpulan yang ada antara saya dengan Anda kian
menganga.
>
> Titik tekan saya di sini, saya mengamini tesa G. H. A. Juynboll
bahwa model verifikasi ala sarjana hadits klasik yang diyakini
sebagai sesuatu yang measurable dan reliable, nyatanya rontok
diterjang badai politik-kekuasaan.
>
> Ini mungkin yang membedakan saya dan Irwan dengan Anda dan teman-
teman lainnya. Kalau saya disarankan untuk membaca buku al-Qardhawi
etc, kenapa mereka tidak mencoba lebih terbuka terhadap buku seminal-
nya Muhammad al-Ghazali atau Abu Rayyah. Saya pikir, ini akan
menghasilkan sebuah diskursus yang dialogis. Bukan ideologis. Sampai
di sini, saya kagum dan respek pada Anda dalam bertukar ide dan
gagasan. Tidak ndeso! >>>

Tanggapan
Mas Mawhib,
Tentu saja yang saya maksud adalah semua buku sejarah yang bernilai.
Bukunya Ath-Thabari, Ibnul Jawzi, Ibnul Atsir, Adz-Dzahaby, Ibnu
Katsir, Ibnu Khaldun, serta As-Suyuthy dll. semuanya punya nilai
lebih serta stressing fokus dan angle masing-masing. Sebagian buku-
buku ini lebih didominasi oleh "pengumpulan aneka materi", dan
sebagian yang lain dipenuhi juga dengan "analisa dan investiasi".
Antara satu segmen pembahasan dengan segemn yang lain dalam sebuah
buku juga berjenjang-jenjang prosentase antara "informasi"
dengan "analisa"-nya.

Ath-Thabari sendiri menjelaskan secara gamblang bahwa buku tarikh-nya
itu lebih memfokuskan pada pengumpulan materi informasi dari berbagai
sumber yang beraneka ragam dengan sanadnya masing-masing secara
jelas. Beliau juga menjelaskan bahwa porsi dari segmen materi
yang "udrika bi hujajil `uquul wastunbitha bifikrin nufuus"
hanyalah "al-yasiirul qaliilu minhu" (Meskipun "qaliil"-nya Ath-
Thabari ini bagi kita masihlah "lumayan katsiir").
Maka salah kaprah kalau kita kemudian memperlakukan Tarikhnya Ath-
Thabary itu sebagai "buku doktrin" yang dbaca secara 'teologis'.
Karena justru Imam Thabari sendiri menjelaskan bahwa materi bukunya
ini didominasi oleh riwayat-riwayat dari berbagai sumber yang
tentunya tidak bisa diterima begitu saja sebelum dilakukan upaya
Kritik Informasi. Ath-Thabari sejak dini sudah menandaskan secara
jelas :

"fa maa yakun fii kitaabii haadzaa min khabarin dzakarnaahu `an
ba`dlil maadliin mimmaa yastakiruhu qaari'uhu aw yastasyni`uhu
saami`uhu - min ajli annahu lam ya`rif lahu wajhan fish shihhah wa
laa ma`nan fil haqiiqah - FAL YA`LAM ANNAHU LAM YU'TA DZAALIKA MIN
QIBALINAA, wa innamaa uutiya min qibali ba`dla naaqiliihi ilainaa. wa
annaa innamaa addainaa dzaalika `alaa nahwi aa uddiya ilainaa".

Jadi kualitas membaca dan memahami sebuah buku beserta isinya, tidak
ditentukan oleh cara pandang yang "berani" ataukah "tidak berani".
Akan tetapi ditentukan oleh pemahaman mendasar kita terhadap
karakteristik dan manhaj buku tersebut terlebih dahulu, kemudian
diiringi dengan pembacaan yang sadar dan tetap kritis. Kritis itu
sendiri artinya dalam konteks ini adalah tidak menelan mentah-mentah,
dan tidak juga menolak mentah-mentah. Tapi menerima atau menolak
setelah melakukan kajian yang memadai. Tanpa prinsip ini, Antum
mungkin akan terheran-heran.. mengapa banyak sekali informasi-
informasi ala Syiah melalui para akhbaary (informan)-nya semisal Abu
Mikhnaf (Luth bin Yahya) dalam buku tarikhnya Ath-Thabari ini?
Sementara substansi dari informasi-informasi itu sangatlah
bertentangan dengan keilmuan sang Penulis..? Jawabannya tidak lain
adalah karena memang Ath-Thabari tidak menulis buku ini
sebagai "analisa Sejarah", akan tetapi lebih sebagai "bank informasi".

Mengenai metode pembacaan peristiwa Sejarahnya, Antu bebas mau
nginduk ke critical history-ny Schact, Margolouth, Goldzhiher, Gibb,
Fazlurrahman, atau siapapun. Sebab yang terpenting dalam tataran ini
adalah "ketajaman analisa" dan "kekuatan argumentasi"-nya.
Bukan "gaya" dan "model"-nya. Metode pembacaan sejarah secara
substansial memang berbeda dengan pembacaan secara kronologis. Akan
tetapi titik perbedaannya terletak pada gaya, sistematika, dan alur
pandang. Bukan pada hakekat kesimpulan. Jadi mau dibaca dari sisi
manapun, substansi dan narasi Sejarah tidak akan berubah. Maka salah
besar kalau Antum mengira bahwa jeda kesimpulan antara Antum dengan
saya dalam hal ini adalah karena perbedaan corak. Jeda kesimpulan itu
hanya bisa diakibatkan oleh "perbedaan informasi" dan "perbedaan
interpretasi". Dan keduanya tentu saja bisa diuji tingkat
kebenarannya melalui "Kritik Informasi" dan "Kritik Interpretasi".

Jangan pernah mengira bahwa Dunia Ulama Islam ini kosong dari kritik
historis. Para pakar Hadits dan para pakar Tarikh itu adalah orang-
orang brilian yang sangat kritis dan mumpuni. Antum kalau
memperhatikan analisa-analisa dari tokoh-tokoh semisal Ibnu Katsir,
Ad-Dzahabi, Ibnu Taimiyyah, dan Ibnu Hajar akan tahu persis bahwa
yang saya kemukakan ini bukanlah omong kosong. Asumsi-asumsi
Goldziher, Schact, Juynboll, Ahmad Amin, Abu rayah, dll. itulah yang
justru telah "rontok diterjang oleh badai kritik ilmiah" dalam "medan
intelektual". Pembicaraan lebih detail mengenai masalah ini akan
semakin menunjang fakta yang saya singgung tersebut. Tesanya Gauthier
Juynboll yang hanya dibangun atas asumsi prematur dan kecurigaan
tanpa dasar terhadap rawi "commnon link" (madaarul isnaad) itu juga
sama sekali tidak ada dayanya kalau kita benturkan secara vis a vis
dengan metodologi penelusuran riwayat yang disajikan oleh disiplin
Kritik Hadits para Pakar `Ilal beserta aransemen-aransemen ilmunya.

Silakan baca bukunya M. Ghazali dan Abu Rayah. Tapi Antum tidak boleh
lupa untuk membandingkan isinya juga dengan buku-buku konternya. Baik
oleh Al-Mu`allimy, As-Siba`i, Abu Syuhbah, `Ajjaj Khathib, Al-
A`dhamy, Salman Al-`Audah, maupun dosen kami Dr. Abdul Muhdi dan yang
lainnya. Saya sendiri, pernah bersama kawan-kawan FATIHA mengulas
bukunya Syekh Ghazali yang pernah direstui Maktabah Al-Usrah dan
dipromosikan oleh Jaizah malik Faishal itu - ma`a maa fiihi mimmaa
fiihi. Di milis ini juga setahu saya ada Mas Arif Muna yang seinget
saya pernah secara intensif mengkaji tesanya Juynboll dkk.
Diskusi itu penting. Tapi tergesa-gesa untuk mengambil kesimpulan
yang tidak populer serta mempromosikan wacana yang ganjil sebelum
melakukan studi komparatif dan kajian kritis, adalah sesuatu yang
tidak begitu layak untuk kalangan civitas akademika. Apalagi Antum
sendiri sudah menyatakan bahwa lontaran Antum ini bukan atas
dasar "khaalif tu`raf" (ataupun juga "khaalif tunkar!"). Jadi tidak
ada alasan untuk tidak kembali mereview ulang asumsi-asumsi yang
telah Antum prmoskan tadi.

Ya, pesan ini tentu saja bukan hanya berlaku untuk Antum dan Mas
Irwan. Tapi juga untuk saya, Mas Alfitri, dan siapa saja yang
berbicara dalam persoalan seperti ini. Saya cukup menghargai
kesediaan Antum untuk mau berdiskusi dan bertukar fikiran. Saya juga
akan lebih menghargai lagi jika hasil diskusi itu Antum iringi dengan
mempertimbangkan ulang lagi shubuhat-syubuhat itu secara kritis.


>>> Kelima; Di sini, saya jadi terngiang-ngiang kembali dengan sebuah
ucapan Abduh. "Idealnya, bagi seeorang untuk mendaya gunakan nalarnya
ketika berhadapan dengan peninggalan leluhur. Jika terdapat
kebenaran, ambillah. Jika ada kejanggalan, campakkan lah." Semangat
norma ini yang seharusnya kita terapkan ketika mengupas dan
menelanjangi kutub al-sittah. Sejak dari awal saya tidak menafikan
adanya kebenaran yang diusung oleh Bukhari dalam Shahih-nya. Sama
sekali tidak!
>
> Titik tolak saya bukan sebagaimana yang disinggung oleh pepatah
Arab, "Kencingilah sumur Zam-zam, maka Kamu akan terkenal!" >>>

Tanggapan
Mendayagunakan nalar memang sesuatu yang penting dalam berhadapan dengan
peninggalan leluhur. Bahkan kita ga bakalan bisa menelaah atau memahami (apalagi
mengkritisi) Turats tanpa pendayagunaan nalar. Ini sudah sesuatu yang jelas dan
sudah dipraktekkan oleh para pengkaji muslim peninat Turats semenjak dulu sampai
sekarang.

Mengenai statemen kedua: "Jika terdapat kebenaran, ambillah. Jika ada
kejanggalan, campakkan lah", itu tentu saja kurang tepat. Kalimat yang pertama
memang betul, bahwa jika ada kebenaran maka harus kita ambil (bukan malah
ditentang). Tapi kalimat yang kedua tidak tepat. Mestinya, ketika kita merasakan
sebuah kejanggalan, sikap ilmiah yang seharusnya ditempuh adalah mengkajinya
kembali secara kritis untuk sampai pada kesimpulan ilmiah, apakah kita akan
terima ataukah tidak. Bukan serta merta "mencampakkannya"!

Mengapa?
Karena bisa jadi kejanggalan itu sebetulnya timbul gara-gara "pemahaman awal"
kita sendiri yang ternyata keliru. Jadi ada kemungkinan besar, bahwa justru
peniggalan leluhur itulah yang benar dan asumsi awal kita yang justru keliru.
Dalam kondisi demikian, kedua hal tersebut ("pemahaman awal kita" dan
"peniggalan leluhur yang kita anggap janggal") harus sama-sama dikaji ulang
secara komparatif dengan menganalisa arguentasi-argumentasinya. Baru kemudian
kita bisa mengambil keputusan, apakah yang benar itu yang ini ataukah yang itu.
Norma kritis yang konsisten seperti inilah yang seharusnya dikembangkan dalam
kajian-kajian kita terhadap literatur-literatur yang otoritatif.

Hal itu pulalah yang telah ditempuh oleh para Ulama terhadap al-kutubus sittah.
Bahkan juga terhadap Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Mereka berkonsensus pada
penerimaan atas otentisitas Shahih Bukhari bukan karena "asal terima". Tapi hal
itu merupakan kesimpulan hasil analisa ilmiah kritis yang cermat dan teliti.
Merekapun tidak hanya sampai pada "tidak menafikan adanya kebenaran yang diusung
oleh Bukhari dalam Shahih-nya", akan tetapi sampai pada statemen argumentatif
bahwa "otentisitas hadits-hadits Shahih Bukhari itu sangat valid".

>>> Terakhir; Seorang member milist ini (sayang, saya tidak tertarik
untuk sharing ide dengannya) menjelaskan bahwa hadits tersebut
dimaksudkan sebagai berikut. "Konteks hadis ini adalah mengenai
perintah agar seorang laki-laki jika melihat seorang wanita (yang
dapat menaikkan gairah seksnya) hendaknya dia segera mendatangi
istrinya (untuk melakukan seks). Oleh sebab itu pengertian yang pas
dari hadis itu adalah seorang wanita disejajarkan،¯ dengan setan
dalam hal dapat menggoda kaum adam untuk terjerembab pada sebuah
kemaksiatan. Dengan kata lain, secara fitrah gairah seks laki-laki
sering sekali bangkit dengan hanya sekedar pandangan kepada wanita,
lain halnya dengan wanita."
>
> Saya melihat, hadits ini malah memposisikan wanita sebagai sumber
birahi. Ini yang tidak saya kehendaki! Tentang hadits Musa, saya
hanya ingin berkomentar singkat, saya mencium bau Israiliyyat yang
demikian kental.>>>

> Salam,
> Mawhib >>>

Tanggapan
Artinya, yang menjadi permasalahan di sini sebetulnya adalah "pemahaman", bukan
"otentisitas informasi". Kedua Hadits tersebut jelas-jelas otentik berasal dari
ucapan Rasulullah saw. Tidak ada yang bisa menyangkal hal ini. Permasalahannya
tinggal bagaimana pemahaman yang tepat terhadap kedua hadits tersebut secara
obyektif. Kalau hanya gara-gara "salah paham" atau "tidak sesuai dengan
kehendak", seseorang bisa menolak dan menentang ucapan Rasulullah saw, tentunya
Sistem Epistemologi Agama ini akan berubah total. Firman Allah dan tuntunan
Rasul-Nya beserta konsensus Umat tidak akan lagi menempati otoritas pertama
dalam agama ini. Sebab setiap orang justru akan menjadikan ambisi dan opini
pribadinya sebagai dasar Agama yang menjadi "hakim penentu" untuk bisa diterima
atau tidaknya sebuah ayat, sebuah hadits, dan sebuah ijma' ulama (anehnya,
"opini pribadi" ini sering dipoles dengan sebutan "akal"). Yang akan timbul
tidak lain tidak bukan adalah "kesemrawutan epistemologi", "pembolak-balikan
fakta", dan "pendirian agama baru", serta "penempatan pandangan pribadi sebagai
Kitab Suci".

"tuqbilu fii shuurati syaithaan, wa tudbiru fii shuurati syaithaan". Coba
perhatikan dengan seksama, di mana "shuuratu syaithaan" itu muncul? Jawabannya
tentu saja: "di mata lelaki yang memandangnya". Artinya hadits ini sama sekali
tidak menempatkan wanita sederajat dengan syetan. Akan tetapi menunjukkan bahwa
wanita cantik itu merupakan senjata yang dipakai Syetan untuk menggoda
laki-laki. Lanjutan hadits ini semakin memperjelas hal tersebut: "fa idzaa ra'aa
ahadukum min -imra'atin maa yu`jibuhu, falya'ti ahlahu, fa inna dzaalika YARUDDU
MAA FII NAFSIH". Jelas sekali bahwa hadits ini menyatakan bahwa momen munculnya
seorang wanita itu dalam pandangan seorang lelaki adalah momen munculnya Syetan
untuk menggodanya melalui pandangan terhadap wanita itu sehingga menimbulkan
"godaan" dalam dirinya. Lalu Rasulullah menunjukkan bagaimana cara menangkal
godaan itu bagi para suami. Dulu, Nabiyyullah Yusuf as., juga pernah menjadi
"godaan" bagi Zulaikha dan para wanita negeri Mesir. Apakah kemudian Antum akan
mengatakan juga akan mengatakan bahwa "Nabi Yusuf itu sejajar dengan Syetan"?
gara-gara beliau telah menjadi "sumber birahi" mereka?! Tidak ada yang
dipersalahkan oleh Rasulullah saw. dalam hadits tersebut. Bahkan hadits itu
sendiri disampaikan setelah pengalaman beliau yang pernah kebetulan melihat
seorang wanita cantik, kemudian segera berpaling dan pulang ke Zainab istri
beliau untuk menghilangkan sisa godaan.

Mengenai kisah Musa as. di atas, sama sekali tidak ada poin kelemahan signifikan
yang membuat hadits itu menjadi tertolak. Apalagi hanya bersadarkan pada
"penciuman" akan "bau Israiliyyat" (dan ternyata pembauan itu keliru). Setiap
nabi memang diberi kesempatan untuk setuju atau tidak setuju ketika Malaikat
Pencabut Nyawa datang (sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah saw. dalam hadits
yang lain). Perintah yang diberikan oleh Allah terhadap Malaikat itu untuk
seorang nabi bukanlah vonis "cabut nyawanya!" akan tetapi perintah untuk
menawarkan kesediannya terlebih dahulu. Dan itulah yang dilakukan oleh Sang
Malaikat kepada Nabi Musa as. Banyak Ulama (seperti Ibnu Khuzaimah dll.) yang
menjelaskan bahwa saat penawaran pertama itu Nabi Musa as. tidak mengenalinya
sebagai Malaikat, sehingga beliaupun mengiranya sebagai orang lain yang ingin
membunuhnya. Dan hal ini mengingatkan kita pada ketegasan, sifat keras, dan
kekuatan fisik Nabi Musa as. yang pernah secara tidak sengaja membunuh seorang
warga negaranya, melemparkan lembaran kitab sucinya, serta menarik jenggot Nabi
Harun as. saudaranya dan tidak sabar melihat tindakan Nabi Khidhir as. Hal itu
adalah sisi-sisi manusiawi Nabi Musa as. yang tidak membatalkan nilai
kebaniannya. Sebagaimana Nabi Muhammad saw. juga pernah bermuka masam terhadap
Ibnu Ummi Maktum dan pernah menolak makan madu demi menuruti keinginan istri
beliau.

Hal-hal seperti di atas sudah pernah dijelaskan oleh para ulama dalam buku-buku
turats secara gamblang. Pernahkah Antum mempertimbangkannya?

Sekian saja komentar saya. Mohon maaf kalau kepanjangan. Tadinya saya pingin
singkat-singkat saja. Tapi ternyata poin-poin yang Antum singgung dan harus saya
perjelas memang lumayan banyak.

Wallaahu a`laa wa a`lam.
Walhamdu lillaahi rabbil `aalamiin.

Salam,
Nidhol

No comments: