5.14.2007

Psolemik Seputar Keabsahan Saheh Bukhari I

Muqaddimah
Berpolemik dengan cara terbaik (wa jaadilhum billati hiwa ahsan) tidak semudah dan seindah mengucapkannya. berikut ini saya petikkan, proses polemik (oleh akh Nidhal Masyhud) yang ilmiah metodologis dan santun, layak untuk dicontoh oleh para pengemban dakwah, agar (laallahum yahdzarun).

selamat menikmati.

chaled_ms


Dear all,
Banyak kalangan mulai sadar bahwa memang sekarang sudah waktunya untuk berkata "TIDAK" kepada sebagian hadits-hadits Bukhari. Zakaria Ouzon, dalam Jinayah al-Bukhari, dan Subhi Mnsur, dalam al-Quran wa Kafa, menulis bahwa Bukhari justru telah merusak reputasi dan nama baik Rasulullah saw.

Bukhari sering meriwayatkan hadits yang tidak bisa dipertanggungjawabkan, antara lain: 1) hadits yang "memperbolehkan zina" selama tiga hari bagi pasangan muda-muda yang saling mencintai; 2) hadits bahwa Rasul suka mengencani wanita ajnabiyyah, salah satunya adalah Umm Haram, istri Ubadah bin Shamit, saat ditinggal keluar oleh suamninya; 3) hadits tentang perilaku nabi yang pernah berkhalwat dengan wanita ajnabiyyah; 4) hadits tentang pengalaman seks nabi; 5) nabi memiliki kekuatan seks tiga puluh kali lipat dibanding lelaki lainnya: 5) nabi berhubungan biologis dengan istrinya yang sedang menstruasi; 6) dan lain-lain.

Dengan adanya hadits yang gila-gilaan itu, banyak kalangan yang menganggap absurd doktrin bahwa Kitab Bukhari adalah kitab tervalid setelah al-Quran. Bukhari hanya manusia biasa yang sering melakukan kesalahan. Makanya nggak perlu disakralkan. Untuk melihat hadits-hadits Bukhari yang "katrok" dan "ndeso" tersebut (meminjam bahasanya Tukul Arwana), temen2 bisa merujuk dua buku yang saya sebut di atas.

Salam
Irwan Masduqi

Tanggapan Akh Nidhal Ms

Mas Irwan,
> Dear all,
> Banyak kalangan mulai sadar bahwa memang sekarang sudah waktunya
untuk berkata "TIDAK" kepada sebagian hadits-hadits Bukhari. Zakaria
Ouzon, dalam Jinayah al-Bukhari, dan Subhi Mnsur, dalam al-Quran wa
Kafa, menulis bahwa Bukhari justru telah merusak reputasi dan nama
baik Rasulullah saw.>>>

Komentar
Saya rasa sangat berlebihan kalau itu disebut "mulai sadar". "mulai
sadar" hanya layak disematkan untuk gejala "wawasan baru" yang muncul
dari hasil penelisikan terhadap "wawasan populer" yang dilakukan
secara ilmiah atau dibuktikan secara faktual. Sementara, apa yang
ditulis oleh Ozon dan Mansur dalam kedua buku itu, sangat jauh dari
kriteria yang saya sebutkan ini. Semestinya, sebelum melontarkan klaim
ini, Mas Irwan terlebih dahulu menelusuri, membaca, mengkaji, dan
menganalisa secara komparatif buku-buku dan artikel-artikal yang
memuat sanggahan terhadap klaim-klaim yang dilontarkan Zakaria Ozon
(yamng entah nama asli atau bukan) dan Subhi Mansur (yang pernah
diusir oleh Al-Azhar) ini.

>>> Bukhari sering meriwayatkan hadits yang tidak bisa
dipertanggungjawabkan, antara lain: 1) hadits yang "memperbolehkan
zina" selama tiga hari bagi pasangan muda-muda yang saling mencintai;
2) hadits bahwa Rasul suka mengencani wanita ajnabiyyah, salah satunya
adalah Umm Haram, istri Ubadah bin Shamit, saat ditinggal keluar oleh
suamninya; 3) hadits tentang perilaku nabi yang pernah berkhalwat
dengan wanita ajnabiyyah; 4) hadits tentang pengalaman seks nabi; 5)
nabi memiliki kekuatan seks tiga puluh kali lipat dibanding lelaki
lainnya: 5) nabi berhubungan biologis dengan istrinya yang sedang
menstruasi; 6) dan lain-lain. >>>

Komentar
"Bukhari sering meriwayatkan hadits yang tidak bisa
dipertanggungjawabkan" ?!
Sekedar membual, semua orang juga bisa.

Semua poin yang Mas Irwan sebut sebagai "contoh" itu sama sekali jauh
panggang dari api. Fa yaa as-hala 'da'waa.. wa yaa a'azza 'l-barhanah!

>>> Dengan adanya hadits yang gila-gilaan itu, banyak kalangan yang
menganggap absurd doktrin bahwa Kitab Bukhari adalah kitab tervalid
setelah al-Quran. Bukhari hanya manusia biasa yang sering melakukan
kesalahan. Makanya nggak perlu disakralkan. Untuk melihat
hadits-hadits Bukhari yang "katrok" dan "ndeso" tersebut (meminjam
bahasanya Tukul Arwana), temen2 bisa merujuk dua buku yang saya sebut
di atas.>>>

Komentar
Melihat hadits Bukhari kok di bukunya Ozon dan Mansur?! Melihat hadits
Bukhari ya di bukunya Bukhari. Dibaca baik-baik dulu di referensi
aslinya. Telaah keterangan para pensyarahnya. Baru setelah itu
bandingkan dengan apa yang diucapkan oleh Ozon maupun Mansur dalam
kedua bukunya itu. Juga bandingkan dengan yang telah didedahkan oleh
para pengkritik Mansur dalam essay-essay mereka. Setelah begini dan
dengan kajian yang analitris, baru hasil akhirnya menjadi layak
disebut "kesadaran". Degan ini, Mas Irwan pun kemudian bisa
menyebutkan sendiri, mana yang sejatinya "katrok": hadits-hadits Imam
Bukhari, ataukan dongengan-dongengan Subhi Mansur.

Sebetulnya, ini wacana lama.. sudah sangat lama sekali. Hanya saja,
sering kali "kekurangan informasi" yang disikapi dengan mental "mudah
kaget + miskin telaah" atau "ngenyel + metutup mata" akan membuahkan
hasil yang juga tidak jauh dengan karakteristik munthalawq-nya.

Semoga, tidak ada kata terlambat untuk melakukan otokoreksi.

Salam,
Nidhol


Tanggapan terhadap M. Mauhiburrahman

Salam, Mas Mawhib.
Sedikit komentar untuk yang anda lontarkan:

--- In infopmik@yahoogroups.com, Muhammad Mawhiburrahman
wrote:

> Ustadz Hasan,
>
> Saya meyakini kalau beberapa hadits yang termuat dalam al-shihhah
al-sittah cenderung bermasalah. Jadi tidak hanya buku Shahih Bukhari
saja yang menyisakan problematika.Yang menggelikan, sekalipun banyak
kandungan al-shihhah al-sittah layak untuk "dikatrokkan", anehnya oleh
banyak kalangan masih didewakan sebagai rujukan otoritatif kedua
setelah al-Qur'an. Keabsahannya adalah mutlak dan kita selama ini
selalu saja dipaksa untuk mendakunya sebagai gambaran paling genuine
bagi Islam.>>>

Komentar akh Nidhal
Anda bisa yakin bahwa beberapa hadits yang anda maksudkan itu
"bermasalah" tentu ada dasarnya. Apa kira-kira dasarnya bahwa hadits
itu bermasalah? Lantas, yang anda maksud dengan hadits-hadits itu
semuanya apa yang cacat dan yang palsu?
Yang sesungguhnya menggelikan adalah penggunaan vonis-vonis general
untuk hal-hal yang beragam dan benjenjang-jenjang. Dan yang lebih
menggelikan lagi: pencatutan satu titik angle dari sebuah keyakinan
spesifik yang untuk dilebarkan kepada hal-hal di lusr keyakinan itu,
lalu selanjutnya disalahkan atas dasar pencatutan yang tidak sesuai
itu. Umat Islam meyakini bahwa bahwa Sunnah Rasulullah saw. adalah
sumber hukum otoritatif yang kedua (sebagaimana dinyatakan sendiri
oleh Al-Quran yang merupakan sumber otoritatif yang pertama). Nah,
sunnah-sunnah Rasul itu kemudian direkam dalam buku-buku hadits. Tapi
ada pencampuran antara riwayat yang otentik dengan yang tidak,
beberapa Ulama kemudian menulis buku-buku yang spesifik mengkhususkan
pencauntuman riwayat-riwayat yang otentik. Yang terbaik di antara
buku-buku hadits itu adalah Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Karena
seleksi riwayatnya sudah menggunakan kriteria (syuruth) yang ketat
yang bisa disaksikan oleh siapapun yang mau mengkajinya. Jadi jelas,
bahwa dengan latar belakang ini, tidak ada "pendewaan", "pemutlakan",
ataupun "mendakuan" yang tidak pada temnpatnya. Semuanya sudah punya
posisi yang sesuai dengan proporsinya masing-masing. Lantas kenapa
harus dikesankan sebagai yang Mas Mawhib ucapkan ini: "Keabsahannya
adalah mutlak dan kita selama ini selalu saja dipaksa untuk mendakunya
sebagai gambaran paling genuine bagi Islam" ?!

>>> Coba anda tengok paparan Ahmad Amin dalam buku fenomenalnya, Fajrul
Islam. Telah sedari dini, Ahmad Amin mencoba menjejalkan kesadaran
perlunya mengamati faktor sosio-historis kodifikasi buku-buku hadits
yang kemudian diyakinkan kepada publik sebagai buku otoritatif.
Carut-marutnya sosial politik pada akhir abad pertama hijriah yang
punya signifikansi luar biasa dengan silang-sengketanya periwayatan
hadits inilah yang menjadikan Husayn Haikal menafikan eksistensi
hadits (juga buku-buku sejarah)sebagai rujukan utamanya dalam
menuliskan bukunya yang terkenal itu, Hayat Muhammad. >>>

Komentar
Asumsi-asumsi dan ide-ide seperti yang dinyatakan oleh Ahmad Amin dan
Husein itu sejak dini sudah banyak diulas secara kritis oleh para
pengkaji. Kitapun dengan mudah untuk menganalisanya sendiri melalui
komparasi dengan buku-buku turats yang sudah ratusan tahun ditulis
oleh para ulama secara mendetail. Syubuhat-syubuhat yang ada sudah
banyak dijawab dengan ilmiah dan memuaskan. Sesuatu yang sudah
terfalsifikasi dan tidak verified, mengapa masih terus-terusan
dipromosikan? Ini kan aneh!

>>> Di sini, saya sepakat dengan Irwan yang dengan lugas menyatakan,
"Intinya, naqd riwayat telah terjerembab dalam konflik
sektarianistik." Poin ini juga yang yang diaujkan oleh Husayn Haikal
saat menolak otoritas hadits yang terlalu berlebihan. Katanya,
"Bayangkan, kondisi sosial politik yang penuh konflik secara nyata
telah memunculkan banyaknya perbedaan dalam periwayatan hadits. Adapun
hadits, baru dikodifikasikan semasa akhir dinasti Umayah, yakni sebuah
masa dimana hadits-hadits palsu telah menjelma sebagai hadits-hadits
yang shahih.">>>

Komentar
Semua orang yang pernah mempelajari sejarah kodifikasi hadits akan
sangat heran, tertawa, atau prihatin dengan klaim absurd tanpa pondasi
ilmiah ini. Cobalah untuk sedikit lebih kritis!

>>> Irwan Sang Calon Sarjana Besar dan Intelektual Terkemuka,
> Saya sedih ketika ada sebagian pihak yang terlalu terbuai oleh
capaian Bukhari dan juga para pakar hadits masa silam. Di saat
semestinya kita bisa melampaui capaian-capaian Bukhari dkk., kita
malah masih sibuk melakukan pembelaan-pembelaan tidak perlu bagi
kredibilitas dan validitas al-shihah al-sittah.>>>

Komentar
Justru Anda layak sedih dengan sementara kalangan yang terbuai oleh
buku-buku minor yang dibangun di atas asuymsi-asumsi prematur plus
sikap tutup mata terhadap kajian ilmiah yang komparatif. Kemudian
disibukkan dengan promosi-promosi yang tidak perlu yang justru menjadi
bahan keprihatinan Umat.

>>> Di sini, saya tidak akan menyorot hadits yang menjelaskan praktek
seks Nabi. Saya juga tidak akan mengusung Zakaria Ouzon. Coba kamu
perhatikan salah satu hadits dalam buku Muslim bab Nikah. Di situ
digambarkan wanita sejajar dengan setan. Atau coba kamu tengok buku
yang sama bab al-Fadhail. Kamu bisa simak, bagaimana dialog antara
Musa dengan malaikat pencabut nyawa. Di situ digambarkan, Musa "kurang
berkenan" dicabut nyawanya.>>>

Komentar
Saya heran, mengapa syubuhat ini masih saja terus menerus
didendangkan.. padahal sudah sangat usang dan sejak semula memang
tidak disajikan secara proporsional.

>>> Bagi saya, adanya hadits yang memandang wanita sejajar dengan setan
dan cerita khayalan Musa berdebat dengan malaikat dengan sendirinya
kian meyakinkan saya untuk tidak terlalu gegabah menelan bulat-bulat
hadits yang termuat dalam al-shihha al-sittah.>>>

Komentar
Ini vonis yang dibangun di atas asumsi dalam fantasi pemikiran. Sampai
kapanpun, hal ini tidak menemukan titik terang jika memang akar
pertumbuhannya dibiarkan seperti demikian dan tidak diperbaharui
secara proporsional. Hadits itu tidak berisi pensejajaran antara
wanita dengan syetan, tapi berisi faktor apa saja yang bisa memutus
shalat. Hadits Musa as. itu juga sudah banyak dijelaskan oleh para
pengkajinya. Atas dasar apa Anda menyebutnya sebagai "khayalan"? Tidak
gegabah itu baik. Tapi Anda juga tidak boleh gegabah untuk menyebutnya
sebagai khayalan. Anda tidak perlu menjalani perahu paradoksial dan
menyalahi konsep yang Anda bangun sendiri. Sehingga orang lain pun
tidak perlu tergeleng-geleng kepala.

Salam,
Nidhol

Tanggapan Irwan Lagi serta Jawaban akh Nidhal

Salam semua..
--- In infopmik@yahoogroups.com, irwan berhati nyaman
wrote:

> Ass.
>>> Hadits-hadits katrok dan ndeso tersebut bisa Anda jumpai dalam buku
Jinayah al-Bukhari racikan Zakaria Ouzon (Terbitan Riad El-Reyes
Press) dan al-Quran wa Kafa karya Subhi Mansur (cetakan Al-Intisyar
al-Arabi).
> Maaf mas Hasan saya nggak bisa menyebutkan hadits itu secara detail
seperti yang anda minta. Maklum lagi sibuk persiapan ujian. Tetapi di
bawah ini ada sedikit tulisan saya yg beberapa waktu lalu saya posting
di mailing list JIL untuk menjawab pertanyaan yang mirip dengan
pertanyaan Anda.>>>.

Komentar
Mas Irwan,
Saya hargai kerja Anda untuk melontarkan wacana ini.
Tapi tentunya, sebuah tanggungjawab bagi Anda (jika memang Anda ingin
menjadi jantan seperti yang diatributi oleh Mas Mawhib) untuk menjawab
klarifikasi-klarifikasi yang disampaikan kawan-kawan. Tanpa kesiapan
untuk itu, tentunya kegiatan ini akan lebih layak untuk disimpan
terlebih dahulu di Recycle Bin, baru kemudian didaur ulang
pelontarannya ketika sudah siap dipertanggungjawabkan. Yang begitu
baru layak dipandang.

>>> "Dua buku ini (karya Ouzon dan Mansur) memiliki kemiripan dalam
metode kritik substansi hadits (naqd al-matan).
Metode tersebut adalah sebuah bentuk verifikasi dan falsivikasi
(tashih wa ibthal) dengan cara mengkomparasikan hadits dengan
al-Quran. Jika substansi sebuah hadits cocok dengan al-Quran, maka
hadits itu ditetapkan sebagai sahih. Begitu pula sebaliknya. Adalah
merupakan hal aksiomatis, bahwa metode kritik substansi matan berbeda
kritik transmisi (naqd al-riwayah). Munculnya metode kritik matan
merupakan transformasi dari metode kritik transmisi, sebab metode
kritik transmisi sudah dianggap usang dan problematis. Saya sebut
problematis karena --berdasarkan telaah sosio-historis-- metode naqd
riwayat telah terbukti terpengaruh oleh kepentingan politik pasca
arbitrasi (tahkim). Para perawi dan pakar hadits Sunni pasca arbitrasi
bersikap apatis terhadap hadits-hadits riwayat sekte Syiah. Begitu
pula sebaliknya. Intinya, naqd riwayat telah terjerembab dalam konflik
sektarianistik>>>.

Komentar
Secara konseptual, statemen di atas jelas keliru. Sebab "Kritik Matan"
dalam Dunia Kajian Hadits adalah salah satu faktor bahasan dalam tajuk
besar "Kritik Riwayat".

Kenapa bisa disebut "usang"?
Kenapa bisa disebut "problematis"?
Kenapa bisa disebut "terpengaruh oleh kepentingan politik pasca tahkim"?
Kenapa para rawi dan pakar hadits Sunni bisa disebut "apatis terhadap
riwayat sekte Syiah"?
Kenapa naqd riwayat disebut "telah terjerembab dalam konflik
sektarianistik"

Di atas, anda sama sekali tidak memberikan "telaah sosio-historis"
itu. Jadi ya hanya sekedar klaim hampa. Dan seperti saya singgung,
sekedar melontar klaim hampa, semua orang juga bisa. Termasuk
orang-orang yang tidak tahu apa itu hadits, apa itu riwayat, apa itu
sanad, apa itu matan, dan apa itu Kritik Riwayat dan Kritik Matan.

>> Mari kita perhatikan sample dekonstruksi hadits versi Subhi Mansur
di bawah ini:
> Dalam al-Baqarah: 222 Tuhan berfirman: "Mereka bertanya kepadamu
tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran." Oleh
sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh;
dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci...
> Tetapi anehnya, al-Bukhari meriwayatkan dari `Aisyah dan Maimunah
beberapa hadits yang mengatakan bahwa Nabi melakukan hubungan biologis
dengan istri-istrinya yang sedang menstruasi. Bagi Subhi Mansur,
hadits ini bertentangan dengan ayat di atas sehingga harus
didha'ifkan. (Pandangan Mansur ini, seingat saya berbeda dengan
penafsiran para sarjana fikih dan ushul fikih klasik. Para sarjana
klasik menafsirkan kata "mubasyarah" dengan hanya bersetubuh tanpa
memasukkan penis ke vagina, sementara menurut Mansur adalah dengan
memasukkan penis ke vagina).>>>

Komentar
Semakin dirinci, semakin kelihatanlah absurditas dari wacana yang Anda
lontarkan atau yang Anda promosikan dari Subhi Mansur ini. Jelas-jelas
pemahamannya terhadap ayat yang di Al-Baqarah itu tidak analitis. Dan
jelas-jelas dalam hadits itu disebutkan bahwa Rasul kala itu
memerintahkan istri beliau untuk menutupi diri dengan sarung. Jadi
apanya di sini ini yang bertentangan..?

wa kam min 'aa'ibin qawlan shahiihan *
wa aafaatuhu minal fahmi's saqiimin !

>>> Sample kedua, banyak ayat-ayat yang menegaskan bahwa nabi beribadah
di malam hari selama 1/3, 2/3, ½ malam. Dan, seperti dalam sejarah,
pada siang hari nabi sibuk dakwah dan aktivitas lain yang sangat
menyita waktu nabi. Ironisnya, al-Bukhari meriwayatkan hadits dari
sahabat Anas, bahwa "Nabi melakukan hubungan biologis secara giliran
dengan istrinya yang berjumlah 11 hanya dalam waktu 1 jam tiap siang
dan malam". Audiens pun takjub dan bertanya kepada Anas; "Apakah nabi
kuat melakukan hubungan seks sebelas kali dalam durasi 1 jam?" Jawab
Anas; "jelas dong!!! Kan udah pernah kubilang kalau nabi punya
kekuatan seksual 30 kali lipat dibandingkan laki-laki lainnya". (Dalam
batin saya, padahal pada saat itu pabrik obat kuat seperti Irex belum
dibangun, hehehe) >>>.

Komentar
Poin ini semakin menambah absurditas itu. Betul bahwa Nabi saw.
senantiasa rajin untuk beribadah di waktu malam. Betul bahwa
Rasulullah saw. selalu gemar melakukan aktivitas dakwah. Tapi juga
betul bahwa Rasulullah saw. juga sangat perhatian dengan keluarganya.
Dan betul bahwa Rasulullah saw. juga pernah memberikan 'nafkah' untuk
kesembilan atau kesebelas Ummul Mukminin dalam satu malam. Dan juga
betul bahwa beliau saw. juga --menurut para Sahabat-- memiliki
kekuatan fisik yang melebihi banyak orang.

Semua fakta itu tidak ada yang salah. Dan tidak ada yang bertentangan
satu sama lain. Memangnya apa yang bermasalah? Kelilingnya Rasulullah
dalam satu malam itu juga tidak terjadi setiap hari. Dan ungkapan Anas
ra. "fi's saa'ati'l waahidah mina'l layli wa'n nahaar" itu juga tidak
berarti "durasi satu jam" seperti yang Mas Irwan pahami.

Semestinya, kita perlu cermat dalam berbicara mengenai hal-hal yang
menyangkut sum'ah pribadi Rasulullah. Sehingga tidak asal bicara. Kita
juga mestinya berbicara dengan kesantunan. Dan meluruskan
persepsi-persepsi yang keliru mengenai pribadi beliau secara ilmiah.

>>> Sample ketiga, nabi sering melarang "khalwat antara pria dan wanita
ajnabiyyah tanpa ada mahramnya". Tetapi al-Bukhari meriwayatkan dari
Anas: "Jaat imra`atan min al-anshar ila al-nabi fa khala biha"
(Artinya, perumpuan anshar datang kepada nabi, kemudian nabi kencan
berduaan atau khalwat dengannya). Tentunya hadits ini adalah hadits
katrok alias ndeso!>>>

Komentar
Semakin lama semakin absurd.
Hadits itu disebutkan oleh Imam Bukhori dalam Bab yang judulnya "Maa
Yajuuzu an Yakhluwa'r Rajulu bi'l Mar'ati 'Inda'n Naas". Artinya:
"Hadits-hadits Mengenai Bolehnya Seorang Laki-laki Menyendiri dengan
Perempuan di Tengah-tengah Orang Banyak". Saya jadi heran, Anda ini
pernah merujuk langsung tidak hadits tersebut di Shahih Bukhari?
Padahal di hadits itu juga jelas-jelas disebutkan bahwa Anas ada di
antara mereka dan ia mendengar salah satu perkataan Rasulullah saw.
kepada wanita tersebut.

Lantas mananya yang katrok alias ndeso..?!
Banyak orang akan mengerti, bahwa justru pehamanan yang serampangan
terhadap hadits ini itulah yang layak untuk dikatrok-katrokkan atau
di-ndeso-ndesokan.

>>> Cara kritik Mansur di atas mirip dengan Ouzon. Dalam Jinayah
Bukhari, Ouzon memberikan banyak sekali contoh, salah satunya adalah
Tuhan telah berfirman; "Wa jadilhum billati hiya ahsan" " Ud'u ila
sabili rabbika bi al-hikmah wa mau'idhah al-hasanah" ("Debatlah mereka
orang Yahudi dengan cara sebaik-baiknya"/ "Ajaklah mereka ke jalan
Tuhanmu dengan hikmah dan wejangan yang bagus). Namun, al-Bukhari,
dalam hadits no. 64, bab Perang, meriwayatkan hadits bahwa: "Rasul
menyuruh sahabat untuk membunuh Ka'b bin al-Asyraf hanya karena
terjadi perbedaan pendapat". Hadits ini tentu bertentangan dengan
perilaku nabi yang senantiasa menghargai pluralitas dan kebebasan
beriktikat, berpendapat, dll.>>>

Komentar
Al-Quran tidak hanya memerintahakan Rasulullah saw. untuk berdakwah
(dengan hikmah dan mau'idhah hasanah). Al-Quran juga tidak hanya
memerintahakan Rasulullah saw. untuk berdebat dengan allati hiya
ahsan. Tapi Al-Quran juga memerintahkan Rasulullah saw. untuk
berperang jika memang perlu untuk berperang. Al-Quran juga
memerintahkan Rasulullah saw. untuk membunuh beberapa orang yang
memang perlu untuk dibunuh. Tiap salah satu dari poin ini betul dan
digunakan dalam sikonnya masing-masing. Rasulullah saw. sendiri,
selain menyebut diri beliau sebagai "nabiyyu'r rahmah" (Nabi Kasih
Sayah), juga menyebut diri beliau sebagai "nabiyyu'l malhamah" (Nabi
Pertempuran). Semua hal ini betul dan saling selaras. Lantas yang
mananya yang bertentangan..?!

Mengenai "pluralitas", "kebebasan beriktikad", "kebebasan
berpendapat", ini hanya asumsi prematur Anda. Bukan ajaran Al-Quran.
Jadi betul kalau Anda mengatakan bahwa sikap Rasulullah saw. ketika
hidup dulu memang bertentangan dengan konsep-konsep yang Anda sebutkan
itu. Tapi jauh panggang dari api kalau dikatakan bahwa sunnah
Rasulullah saw. itu bertentangan dengan ajaran Al-Quran. Jadi ini
sebetulnya kritik yang dibangun di atas fantasi personal, bukan di
atas komparasi antara isi Hadits dengan ajaran Al-Quran.

>>> Cara kritik seperti di atas sebetulnya bukan barang baru dalam
wacana Islam kontemporer. Muhammad Sahrour, dalam Nahwa Ushul Jadid,
dan Gammal al-Banna, dalam Nahwa Fiqh Jadid, sebenarnya juga sudah
menggunakan metode yang sama." >>>

Komentar
Tentu saja paradigma-paradigma seperti itu sama sekali bukan sebuah
barang baru. Bahkan sudah sangat usang sekali beradab-abad lamanya.
Yang aneh adalah jika barang usang yang sudah berkali-kali dibantahi
secara analitik dan argumentatis ini masih terus saja dipromosikan
tanpa sedikitpun kritik dan malah dinyatakan dalam embel "banyak
kalangan yang mulai sadar".

>>>Jadi begitu, silahkan Anda nilai sendiri pendapat Ouzon dan Mansur
di atas. Kalau cocok boleh diterima dan kalau tidak setuju silahkan
buat buku untuk men-counter mereka berdua. Hehehehe >>>

Komentar
Essay-essay yang membantah pendapat-pendapat seperti itu sudah banyak
ditulis. Andalah yang seharusnya menelaah dan melakukan komparasi.
Kemudian Anda putuskan sendiri mana yang lebih layak untuk disebut
"kajian" dan "ilmiah" serta mana yang "ngawur" dan "kontradiktif".

Salam,
Nidhol


Tanggapan Balik Irwan dan Jawaban akh Nidhal atas tanggapan tersebut

Salam, Mas Irwan.
Terimakasih respon baliknya..
--- In infopmik@yahoogroups.com, irwan berhati nyaman
wrote:
>>> Dear mas Nidhol
> Tanggapan Anda bagus sekali. Silahkan Anda mengkritik Ouzon dan
Mansur sepuas-puasnya. Itu sepenuhnya hak Anda sebagai seorang
muslim yang masih memiliki kritisisme.>>>

Jawaban
Sebetulnya, saya tidak berminat untuk mengkritik Ouzon dan Mansur.
Pertama, karena kekeliruan ilmiahnya sudah sangat kentara. Kedua,
karena wacana yang dibawanya sudah banyak dikritisi dengan cermat
oleh sekian banyak peneliti. Ketiga, karena dengan memunculkan
kritik berarti secara tidak langsung ikut serta mempopulerkannya
(sementara saya tahu pasti bahwa isi kedua buku mereka tidak layak
dipopulerkan di kalangan akademis). Dan keempat, masalah prioritas:
Medan telaah kajian hadits ini amatlah luas dan mendalam serta
selalu saja muncul pembahasan dan konsep-konsep segar yang
disuarakan oleh para pakar hadits sendiri semisal Hamzah Malibary,
Amru Abdul Lathif, dan Syarif Hatim Al-Auny, yang merupakan gerakan
elaborasi sekaligus revivalisi ulang ilmu-ilmu hadits secara ilmiah
di mana sekarang ramai menjadi bahasan di banyak tempat.

Akan tetapi, ketika wacana Ozon (atau: Awzan?) dan Mansur ini
digulirkan dalam forum umum di mana saya juga mengikutinya (milis
infopmik), maka mau tidak mau saya juga tertuntut untuk turut
menanggapi. Terutama karena sebelumnya belum banyak ditanggapi
secara substansial. Sekarang sudah ada Mas Alfitri yang menanggapi
secara lebih detail. Dzimmah saya dan members yang lain tentu saja
menjadi berkurang.

>>>Saya ingin menggaris bawahi sedikit. Anda menulis; "Kritik Matan"
dalam dunia kajian Hadits adalah salah satu bahasan dalam tajuk
besar "Kritik Riwayat".
>> Mas, saya setuju dengan pandangan ini. Tetapi Ahmad Amin, dalam
Fajr Islam, mengatakan bahwa kebanyakan energi pakar hadits klasik
lebih tercurahkan dalam kirtik transmisi. Pada era klasik dan
skolastik, kritik matan hanya berada dalam posisi marginal
dibandingkan dengan intensitas kririk transmisi yang dominan. Hal
ini wajar, lantaran pada era itu tradisi transmisi lebih hegemonik
dibandingkan dengan paradigma rasionalistik dalam mengukur validitas
hadits. Sehingga tak pelak jika era belakangan muncul mentor-mentor
reformatif yang mencoba memperluas porsi rasionalistik untuk sekadar
memberi balance atas paradigma transmisi. Mereka ingin memperluas
wilayah bedah analisis kritik matan yang selama ini dipandang
terhimpit dalam sebuah area yang marginal.>>>

Jawaban
Mas Irwan, sekedar statemen Ahmad Amin dalam Fajrul Islam tidaklah
bisa menjadi patokan ilmiah. Sekedar lontaran-lontaran asumtif
beberapa mentor, tidaklah akan mengubah kenyataan yang sudah terjadi
dalam Sejarah. Siapa bilang kritik matan adalah sesuatu yang
termarjinalkan dalam Dunia Kajian Hadits Klasik? Antum kalau
mempelajari "Ilmul 'Ilal", Antum akan bisa mengakui sendiri bahwa
asumsi Ahmad Amin itu adalah ahistoris. Dengan mempelajari ilmu yang
merupakan ilmu paling rumit dalam kajian Ilmu Hadits ini, Antum akan
bisa tahu dengan jelas bahwa analisa terhadap Matan Hadits sejak
dulu adalah merupakan sesuatu yang sangat fundamental yang justru
malah merupakan salah satu pilar berdirinya Ilmu Jarh wa Ta'dil.
Jadi justru Ilmu Ilal ini merupakan fundamen historis sekaligus
laboratorium terakhir dari apa yang kita kenal sebagai Kritik
Riwayat.

Dalam dunia hadits, ada tiga laboratorium besar yang harus dilewati
sebuah hadits sehingga bisa dinyatakan "valid". Yaitu Ilmul Marasil,
Ilmu Jarah wa Ta'dil, dan Ilmul Ilal. Yang pertama berbicara
mengenai kesinambungan rantai sanad. Yang kedua berbicara mengenai
kualifikasi para rawi. Dan yang ketiga berbicara mengenai titik-
titik rawan dalam sanad maupun matan yang bisa mempengaruhi
otentisitas hadits (meskipun sebelumnya sudah dinyatakan valid dalam
2 lab yang pertama). Posisi "Kritik Matan" itu sendiri, berada di
laboratorium yang ketiga, dan sekaligus menjadi pilar penting untuk
laboratorium yang kedua. Dan karena saking rumit dan cermatnya
kajian-kajian dalam segmen ini, tidak ada yang mampu melakukannya
kecuali paka pakar jahabidzah yang sangat brilian dan berpengalaman
semisal Imam Ahmad, Ibnu Ma'in, Abu Hatim, Abu Zur'ah, Al-Bukhari,
Ad-Daraquthny, dan At-Tirmidzi. Di kalangan mutaakhkhirin adalah
semisal Imam An-Nawawi, Ibnu Taimiyyah, Ibnu Rajab, dan Ibnu Hajar.

Nah, kenapa di zaman kita modern sampai sekarang kita sekarang
(bukan Zaman Klasik) Kritik Matan dan Ilmu Ilal ini berkurang kadar
kajiannya?
Jawabannya jelas. Pertama, karena mayoritas hadits-hadits yang ada
sudah terseleksi semuanya secara sanad maupun matan dengan sangat
cermat oleh para pakar tersebut. Dan kedua, karena untuk
menghasilkan kajian yang verified dalam bidang ini, dibutuhkan
penenuhan kriteria dan parameter-perameter yang cukup berat.

Jadi sebuah utopia besar kalau kita menyebut kedua buku lugu yang
ditulis oleh Ouzon dan Mansur itu sebagai "Kritik Matan". Kritik
Matan bukanlah Kritik absurd yang sesimpel itu. Bahkan sama sekali
tidaklah berlebihan kalau saya katakan bahwa isi buku tersebut tidak
layak untuk disebut sebagai "Kritik Hadits". Apalagi, justru isi
buku tersebut sangatlah bermasalah secara ilmiah baik dilihat dari
sudut metodologinya, amanah ilmiahnya, maupun dari sudut argumentasi
dan logika-logikanya.

>>> Anda menyatakan bahwa klaim keterjerembapan kritik tansmisi dalam
konflik sektarianistik adalah klaim yang ahistoris dan absurd.
> Menurut saya, pandangan Anda ini kurang tepat. Berdasarkan
analisis sosio-historis yang dilakukan oleh sejarawan disiplin ilmu
pengetahuan Islam, kritik transmisi memang telah terperosok dalam
problem sekratianistik pasca arbitrasi. Dan hampir mayoritas
sejarawan Islam sepakat atas hal itu. Keterjerembapan itu rasanya
sudah menjadi fakta sejarah. Saya sarankan Anda untuk banyak membaca
buku2 sejarah. >>>

Jawaban
Sampai sekarang, Mas Irwan tetap saja masih belum memberikan apa
yang Antum maksud dengan "analisa sosio-historis" itu secara
kongkret. Antum hanya mengatakan: "Berdasarkan analisis sosio-
historis yang dilakukan oleh sejarawan disiplin ilmu pengetahuan
Islam". Lantas mana analisisnya itu..?! Antum juga mengatakan: "Dan
hampir mayoritas sejarawan Islam sepakat atas hal itu". Saya
bertanya: "Mana kesepakatan maoritas sejarawan Islam itu?!". Buku-
buku para sejarawan ini ada di antara kita semua dan bisa dengan
mudah kita rujuk. Bisakah Antum menunjukkan (sampelnya saja juga
tidak apa-apa) di buku sejarawan siapa ada klaim bahwa "kritik
transmisi telah terperosok dalam problem sektarianistik..?!"
Kalau verifikasi ini tidak bisa Antum tunjukkan, maka tentunya semua
orang akan bisa menilai bahwa klaim itu adalah klaim fiktif yang
tidak ada dasarnya.. apalagi dianggap sebagai "fakta Sejarah".

Tapi sebelum itu, saya ingin bertanya lebih lanjut, apa yang Antum
maksud dengan "terperosok dalam problem sektarianistik"?
Kalau yang Antum maksud adalah para pakar hadits tidak menerima
riwayat dari kalangan Syiah dan Khawarij, maka jelas klaim ini
fiktif. Pertama, karena justru mayoritas hadits-hadits Khawarij
diterima oleh para Aimmah sebagai hadits shahih (padahal Rasulullah
jelas-jelas menyebut Khawarij sebagai "yamruquuna minad-diini kamaa
yamruqus sahmi minar ramiyyah"). Kedua, karena banyak juga hadits-
hadits rawi mutasyayi' maupun syiah yang diterima sebagai hadits
shahih. Dan ketiga, karena penolakan para Ulama terhadap hadits-
hadits para pentolan Syiah itu adalah lantaran mereka
menghalalkan "dusta" dan "taqiyyah" serta bahkan menganggapnya
sebagai ajaran agama. Sudah ma'ruf, bahwa Ilmu Kritik Hadits adalah
Kritik Informasi. Dan bagaimana mungkin kita bisa menerima begitu
saja informasi-informasi dari orang-orang yang menghalalkan "dusta"
serta "pura-pura"?! Menganggap valid informasi yang berasal dari
sumber yang sering berbohong, adalah tindakan yang sangat tidak
ilmiah.

Jadi kalau mau mengkaji serta menelisiki cermat konsep-konsep dan
metodologi para Pakar Hadits tersebut, Antum akan bisa tahu bahwa
bangunannya adalah bangunan "ilmiah", dan bukan "konflik sektarian"
ataupun "kepentingan politik". Hal ini saya rasa sudah jangan jelas
asalkan kita mau jujur dalam memberikan penilaian.

Bahkan, saya harus bertanya: Mengapa justru bukan Ozon dan Subhi
Mansur yang Mas Irwan anggap sebagai "terperosok oleh konflik
sektarian" dan "kepentingan politik"? Bukankah warna itu sangat
tampak dalam tulisan mereka berdua..?! Apalagi berdasarkan
background Subhi Mansur yang seperrti diungkapkan Fahmi Huwaidi dll.
sangat sarat oleh konflik dan problem politik. Ia pernah disidang
lalu dikeluarkan oleh Al-Azhar tahun 1978, mengungsi ke Amerika dan
mencari suaka politik tahun 2000/2001, menjadi orang paling penting
di Markaz Ibnu Khaldun yang kontroversial itu, serta berbicara dan
menulis banyak artikel tentang hal-hal yang berbau politik.

>>> Mas Nidhol yang kritis,
> tolong elaborasikan essay-essay yang menolak argumen Ouzon dan
Mansur. Saya ingin mengambil ilmu dari essay-essay tersebut.>>>

Jawaban
Mas Irwan yang penuh semangat,
Untuk sekarang, silakan Antum telaah sendiri kritik-kritik itu. Dan
biar praktis, saya akan berikan beberapa bahannya yang saat ini
tersedia di internet. Setelah postingan yang ini..

>>> Mas Nidhol, saya sangat berharap temen2 milis ini bisa mencontoh
cara dan etika dialog Anda yang bersahabat dan tak ada nuansa
terornya. Semoga temen2 milis ini bisa berdialog dengan bahasa
akademis, bukan dengan retorika fundamentalis atau retorika Islam
galak.
>
> Untuk temen2 milis yang lain, saya ingin sedikit klarifikasi,
bahwa kata2 "katrok" dan "ndeso" yang saya gunakan kemarin adalah
dalam konteks just kidding atau humor, bukan dalam konteks menghina
hadits. Sekadar berapologi, kata2 "katrok" dan "ndeso" relatif lebih
sopan dibandingkan kata-kata yang sering digunakan oleh kalangan
fundamentalis, seperti kafir, murtad, dll, atau seperti qaul syadz,
dhalal, kafir, dll yang sering digunakan oleh sebagian ulama ekstrim
klasik>>>.

Jawaban
Mas Irwan,
saya memahami perasaan Antum yang menjadi tidak nyaman dengan
tanggapan kawan-kawan yang mungkin terasa memiliki nuansa "teror".
Tapi Antum juga tentunya bisa menyadari, bahwa asap itu tidak akan
ada tanpa adanya api atau bara. Lontaran wacana dan klaim yang Antum
sampaikan adalah sebuah permasalahan serius dan membuat panas.
Ketika Antum menyampaikannya 'dengan mantab' seperti dalam postingan
Antum yang pertama dulu.. yang di dalamnya juag terdapat kata-kata
yang bernada melecehkan Imam Bukhori, tentunya Antum juga harus siap
menerima tanggapan yang tidak bersahabat. Sebab Antum terlebih
dahulu memancing nuansa pertentangan, penghinaan, dan
ketidakbersahabatan itu. Andai saja Antum dulu memulai pelontaran
wacana dengan sekedar menyatakan bahwa ada buku 'baru' karya Ouzon
dan Mansur yang menurut Antum perlu dibaca dan Antum melihat isinya
bagus, serta kemudian Antum mengajak kawan-kawan members di milis
ini untuk mendiskusikannya secara obyektif... Saya rasa kalau cara
akademik seperti itu yang Antum lakukan, tanggapan kawan-kawan tidak
akan lagi bernuansa teror.

Antum mungkin bisa berapologi dengan menyatakan bahwa
ungkapan 'katrok' dan 'ndeso' itu hanyalah sekedar humor --Meskipun
Antum ternyata mengulang lagi ungkapan ini dalam postingan
berikutnya (http://groups.yahoo.com/group/infopmik/message/4268)
sebagai pembuka yang tidak bernada gurau-- Akan tetapi bisakah Antum
juga menyatakan bahwa ungkapan Antum di paragraf sebelumnya ini
adalah juga "homur"?:
- "Bukhari sering meriwayatkan hadits yang tidak bisa
dipertanggungjawabkan"
- "hadits yang 'memperbolehkan zina' selama tiga hari"
- "hadits bahwa Rasul suka mengencani wanita ajnabiyyah"
- "Dengan adanya hadits yang gila-gilaan itu"

Ungkapan 'katrok' atau 'ndeso' untuk hadits-hadits yang telah
diterima oleh seluruh Ulama dan Umat Islam sebagai hadits shahih -
bahkan paling shahih, tentu adalah ungkapan yang sangat tidak sopan.
Apalagi ungkapan-ungkapan itu bernada menyudutkan dan menjelekkan
bagi orang-orang yang berasal dari "desa". Jadi saya rasa tidak
perlu ada apologi lagi di titik ini. Adapun mengenai ungkapan
bernada vonis seperti yang Antum sitir di atas: "kafir, murtad, dll,
atau seperti qaul syadz, dhalal, kafir, dll", itu adalah ungkapan-
ungkapan terminologis yang sudah memiliki pengertian yang jelas dan
secara inheren tidak terkait dengan sopan ataupun tidak
sopan. "kafir" berarti "menentang" atau "di luar Islam", "murtad"
berarti "keluar dari Islam", "qoul syadz" berarti "pendapat yang
tidak populer", dan "dhalal" berarti "sesat" serta "tidak lurus"
atau "tidak sesuai". Istilah-istilah ini adalah istilah-istilah
serius yang pengertiannya jelas dan bukan bernada gurau serta secara
inheren tidak terkait dengan "sopan" atau "bukan sopan".

Mas Irwan yang baik,
Saya rasa, otoralat dan otokoreksi adalah sebuah sikap yang ilmiah
dan tidak perlu malu-malu untuk itu. Kiranya, tidak pernah ada kata
terlambat untuk sebuah perbaikan. Kecil maupun besar.

Semoga tanggapan ini sedikit banyak ada manfaatnya...

Salam,
Nidhol.

Pertanyaan dari Erwin Umar Dukomalamo

--- In infopmik@yahoogroups.com, erwin umar dukomalamo
wrote:
>
> salamu alaikum
> wahh diskusinya kerena bangat, ana hanya bisa menikmati blm mampu
ikut diskusi.
> Mo nanya nih sama sapa aja yg lagi berdiskusi.
> kemaren saya baca "Fathul Baari", dimukaddimahnya fashlul awwal fi
bayan sababi albaa'its li alBukhari..
> Di akhir-akhir barisan mukaddimah itu saya menemukan,
> petikannya:
> "berkata abu Ja'far Mahmud bin Amru al A'qiliy, ketika imam Bukhari
menyusun kitab shahih, beliau menyerhakan kepada Ahmad bin Hanbal dan
Yahya bin Mu'iin dan A'li bin Almadanii dan lain-lannya dan mereka
menbaguskannya dan mengakui kesahehannya kecuali pada 4(empat hadits),
berkata al-Aqiili dan yg berkata demikian adalah Imam Bukhari sendiri.
> Maaf kalo salah menerjemahkan
>
> saya hanya pengen tau hadits yg 4(empat) itu yg katakanlah gak
diakui kesahehannya oleh imam Ahmad bin Hanbal Dll.., apakah itu
Hadits yg sedang didiskusikan ataukah hadits yg lain?
> kalau hadits yg lain minta tolong ywah kalau ada yg tau 4(empat)
hadits itu
> dan ataukan hadits itu tidak lagi dimuat oleh Imam Bukhari dalam
Sahehnya.
>> A'fwan wa syukran>>> wa Jazaakallah>>>

Jawaban Akh Nidhal atas Pertanyaan Erwin
'Alaikumussalam, Mas Erwin, warahmatullahi wabarakaatuh.
Langsung saja,
Setahu saya hadits-hadits yang dikritik itu tidak termasuk
hadits-hadit yang sedang kita bicarakan. Anda bisa melanjutkan sndiri
bacaan terhadap Hadyus-Sari (Muqaddimah Fathul Bari) itu sampai di
bagian terakhir, Di situ, Ibnu Hajar menyebutkan hadits-hadits Bukhari
yang dikritik oleh para Aimmah dan memberikan jawabannya satu persatu.
Antum bisa check sendiri, apakah hadits-hadits yang sedang kita
bixarakan ini masuk di situ apakah tidak. Terutama pada bagian-bagian
yang menyebutkan nama-nama Ibnul Madiny dll. sebagaimana yang pernah
menjadi tempat konsultasi Imam Bukhari dalam teks yang Antum kutip
tersebut.

Ada beberapa hal yang perlu saya tandaskan di sini:
1. Ada dua buku besar yang pernah dikarang oleh para Ulama dalam
mengkritisi riwayat-riayat Bukhari, yang paling penting dan populer
adalah "At-Tatabbu'" karya Ad-Daraquthny dan Abu 'Ali Al-Ghassani
dalam "Taqyiidul Muhmal".

2. Banyak ulama yang kemudian menganalisa ulang kritik Ad-Daraquthny
dll. tersebut. Yang paling populer adalah Abu Mas'ud Ad-Dimasyqy
(membahas 24 hadits), Imam An-Nawawi (dalam Syarah Shahih Muslim-nya),
dan Ibnu Hajar (dalam Hadyus-Sari itu). Analisa yang paling bagus
adalah yang ditulis oleh Ibnu Hajar. Di situ disebutkan 110 hadits
secara berurutan sesuai dengan sitematika penyusunan Shahih Bukhari.

3. Kritik-kritik Ad-Daraquthny dll. itu bukanlah kritik yang membuat
hadits-hadits tersebut menjadi "tidak shahih", akan tetapi kritik yang
ditujukan untuk menjelaskan bahwa kualifikasi riwayat hadits-hadits
tersebut tidak sesuai dengan "syarat" (kriteria) Imam Bukhari dalam
bukunya. Atau yang menjelaskan bahwa salah satu redaksi dalam riwayat
hadits tersebut tidak bisa diterima.

4. Yang bisa diterima dari ktirik-kritik ini jumlanya tidak sampai
satu persen. Sebab selebihnya, pendapat Imam Bukhari lebih "rajih"
karena kekuatan argumentasinya.

5. Ada yang keliru dalam terjemahan Antum untuk teksnya Al-'Uqaily
tersebut. Antum menerjemahkan:

"berkata abu Ja'far Mahmud bin Amru al A'qiliy, ketika imam Bukhari
menyusun kitab shahih, beliau menyerahkan kepada Ahmad bin Hanbal dan
Yahya bin Mu'iin dan A'li bin Almadanii dan lain-lannya dan mereka
membaguskannya dan mengakui kesahehannya kecuali pada 4(empat hadits),
berkata al-Aqiili dan yg berkata demikian adalah Imam Bukhari sendiri."

Ungkapan terakhir itu semestinya bukan diterjemahkan "dan yang berkata
demikian adalah Imam Bukhari sendiri". Sebab teks aslinya berbunyi:

"wal Qawl fiihaa qawlul Bukhaarii, wa hiya shahiihah".

Harusnya diterjemahkan seperti ini:

"Dan pendapat yang betul adalah pendapat Bukhari. (bahwa)
hadits-hadits (yang dikrtitik) itu shahih."

Dan seperti dijelaskan oleh para peneliti, cerita ini ternyata dha'if,
baik secara sanad maupun secara ktirik ekstrinsik.

Terakhir, saya kutip ucapan Al-Hafidl Ibnu Hajar selepas melakukan
penelitian yang sedemikian cermat dalam Hadyus Sari itu:

Semoga ada manfaatnya.

Salam,
Nidhol Ms.
Komentar Abdorrabbeh (menambahkan buku-bukku yang mengkritisi Shaheh Bukhari)

--- In infopmik@yahoogroups.com, "abdorabbeh" wrote:
>
> Ada lagi kitab2 karya Aimmah yang berusaha untuk tidak mensakralkan
> karya Bukhari, diantaranya:
>
> 1) Al-Awham Al-Waqi'ah fi Shahih Bukhary, karya Al-Jayyani.
> 2) Al-Ajwibah Al-Murghibah 'anol Masail Al-Mustaghraban minal Bukhary,
> karya Ibnu Abdil Barr.
> 3) Al-Ifham bima waqa'a fil Bukhary minal Ibham, karya Al-Balqiny.
> 4) At-Ta'dil wat Tajrih li Rijalil Bukhary, karya Ibnu Khalf.
> 5) Al-Kasykul, karya Al-'Amily.
>
> Dan di Kasykul disebutkan bahwa Al'Amily pernah berdiskusi dengan
> seorang ulama tentang sebuah pembahasan. Lalu ia mengambil hujjah dari
> hadits Bukhary. Rekan diskusinya pun berkata bahwa, tidak semua hadits
> Bukhari bisa dipercaya (albukhary la yuutsaqu bikulli maa fihi minal
> ahadits). Lalu Al-Amily malah menambahkan; Hadits2 Dhaif yang ada di
> Bukhary sekitar 60 buah. Begitulah kedua ulama tersebut sepakat.
> (Al-Kasykul hal 311).
>
> Saya belum merujuk ke kitab2 tersebut secara langsung. Tapi saya
> mendapatkannya dari sumber sekunder (tangan kedua), yaitu dalam
> Mausu'ah Tarikh Islamy nya Ahmad Syalaby pada pembahasan tentang Isra'
> Mi'raj yang menurutnya, ada banyak susupan2 Israiliyat (dari hadits
> Bukhary) dalam kisah tersebut, salah satunya; naik turunnya Rasul
> setelah menerima perintah shalat sebanyak 50 kali, lalu pertemuannya
> dengan Nabi Musa hingga mendapatkan dispensasi hingga 5 kali saja
> dalam sehari, dll.
>
> Saya hanya ingin mengakidkan kedudukan Kitab Bukhary, apakah
> benar-benar telah diakui oleh konsensus ulama (ijma') mengingat banyak
> juga kitab2 yang telah mengkritiknya, walau untuuk beberapa hadits
> (bukan secara keseluruhan kitab)?
>
> Salam,
> Abdurabbeh
> (sambil menunggu jawaban dari para spesialis hadits, dan ujian maddah
> Quran.)

Komentar akh Nidhal terhadap Komentar diatas

Hayyakumullah, Mas Abdurabbeh.
Zaadakallaahu hirshan wa hamaasah..

Kedudukan Shahih Bukhari itu memang sudah diakui oleh konsensus para
Ulama sebagai kitab sumber yang paling otentik setelah Al-Quran. Semua
materi dasar hadits-haditsnya juga diakui "shahih" dan kritik-kritik
yang ada hanya tertuju pada beberapa detail sisi sanad, beberapa
detail redaksi matan, beberapa hadits tambahan yang bukan merupakan
materi dasar, serta beberapa variasi dan awham rigan yang timbul
karena kekeliruan para perawi buku setelah Imam Bukhari (seperti
Al-Mustamly, Al-Baikandy, Al-Mirwazy, Al-Kasyhimy, Al-Farbary,
An-Nasafy, dll.)

Bukunya Ibnu Abdul Barr itu (mungkin yang Antum maksudkan adalah
"Al-Ajwibah Al-Mustau'ibah" atau "Al-Ajwibah Al-Muw'ibah" - bukan
"Al-Ajwibah Al-Murghibah") justru merupakan pembelaan atas Shahih
Bukhari dan jawaban ilmiah terhadap perbagai persoalan atau gugatan
detail yang sempat dipermasalahkan. Buku ini pernah ditahkik oleh
Syekh Ahmad Manshur Ali Sabalik (anggota Jabhah Ulama Azhar dan Dekan
Ma'had Ulumul Quran was Sunnah di Heliopolis). Bisa konsultasi
langsung ke orangnya.. Beliau tiap Jum'at ngisi khutbah di Masjid
Khazan (Madrasah - Hayy 'Asyir).

Al-Jayyani yang Antum sebutkan itu sendiri tidak lain tidak bukan
adalah Abu 'Ali Al-Ghssani yang saya sebutkan kemarin (beliau tidak
suka disebut "Al-Jayyani"). Tokoh yang merupakan muridnya Ibnu 'Abdil
Barr ini merupakan salah satu tokoh besar kritikus hadits. Dan setahu
saya, buku yang Antum sebutkan itu sendiri adalah merupakan bagian
(juz/salah satu bab) dari buku beliau yang berjudul "Taqyiidul Muhmal
wa Tamyiizul Musykil" (yang saya sebutkan kemarin) - Meskipun oleh
Penerbit, keempat bagian buku ini kemudian dicetak terpisah-pisah. Di
buku itu ada "Al-Mu'talaf wal Mukhtalaf .. wa manisytabahat asmaa'uhum
fii Rijaalish-Shahihain", ada "Al-Awhaam Al-Waaqi'ah fish-Shahiihayn",
ada "fii Syuyuukhil Bukhaarii Al-Muhmaliin", dan yang terakhir tentang
"Al-Alqaab". Atau kemungkinan Al-Ghassany juga menulis buku khusus
mengenai Shahih Bukhari dengan tema yang sama - Sebagaimana
Kementerian Wakaf Maroko juga pernah menerbitkan buku beliau yang
berjudul "At-Tanbih 'Alal Awhaam Al-Waaqi'ah fii Shahihi Muslim". Akan
tetapi, yang perlu digarisbawahi di sini adalah bahwa buku-buku itu
sama sekali bukanlah gugatan atas Shahih Bukhari, tapi justru
merupakan syarah serta penjelasan atas rijal dan sanad-sanad Shahih
Bukhari, serta koreksi atas beberapa kekeliruan transkrip yang terjadi
para para penukil Shahih Bukhari seperti yang saya sebutkan di atas.

Bukunya Ibnu Khalf (atau yang lebih dikenal sebagai Abul Walid
Al-Baji) yang Antum sebutkan itu juga merupakan buku yang mengkaji
kualifikasi personal dari rijal Shahih Bukhari. Bukan mengkritisi
hadits-hadits yang ada. Hal seperti ini sudah maklum, bahwa tidak
semua rijal Bukhari atau Muslim berada dalam level kualifikasi yang
tinggi. Sda beberapa rawi-rawi layyin atau khafifudl-dlabti yang
dipakai oleh Imam Bukhari untuk keperluan "mutaaba'ah" dan "syawahid"
atau "taqwiyatuth-thuruq". Jadi, buku itu tidaklah menyentuh
otentisitas hadits-hadits "yang ditetapkan" oleh Imam Bukhari dalam
Shahihnya.

Bukunya Al-Bulqiny juga demikian. Buku itu (sebagaimana juga jelas
dalam judulnya) adalah berbicara mengenai rawi-rawi yang mubham. Imam
Bukhari misalnya menyebut "haddatsana Ahmad", ini kemudian dijelaskan
apakah itu ahmad bin Hanbal atau yang lain. Ketika menyebut
"haddatsana Ali", dijelaskan apakah itu Ibnul Madiny ataukah yang
lain, ketika menyebut "Sufyan", dijelaskan apakah itu Ats-Tsaury
ataukah Ibnu 'Uyainah. Begitu juga dengan "rajulun", "imra'atun", dst.
Jadi sama sekali bukan merupakan "kritik" terhadap hadits-hadits
Shahih Bukhari.

Adapun mengenai bukunya Al-'Amily, ini saya perlu bertanya lebih
lanjut. Apakah itu Al-Amily (dengan hamzah) yang Haidar bin 'Ali
Al-Husainy (abad kedelapan hijriah) ataukah Al-Amily (dengan 'Ain)
yang Muhammad Bahauddin (abad ke-10 sampai ke-11)? Sebab dua-duanya
sama-sama punya "Kasykul". Buku-buku bertajuk "Kasykul" itu sendiri
rata-rata ditulis oleh orang-orang abad belakangan dari kalangan
Syi'ah. Dua orang yang saya sebut tadi juga sma-sama tokoh Syi'ah. Dan
saya belum pernah mendengar ada ulama terkemuka yang mengakui mereka
sebagai "pakar Hadits" (Apalagi kawan diskusinya yang Antum kutipkan
ceritanya itu). Ungkapan yang Antum kutip itu juga merupakan ungkapan
khas Syiah yang membagi hadits Ahlus Sunnah menjadi
"mautsuq/muwatstsaq" dan "ghairu mautsuq" (ala pembagian Ibnu Thawus:
"shahih-hasan-dla'if-muwatstsaq") berdasarkan tolok ukur kesesuaian
dengan doktrin ajaran mereka. Jadi sangat tidak layak lontaran
Al-'Amily dan kawan diskusinya ini disebut sebagai "kritik" atau
disejajarkan dengan karya Ibnu Abdil Barr dan Al-Ghassani - apalagi
disebut sebagai "kesepakatan dua ulama".

Intinya, buku Shahih Bukhari itu sudah jelas-jelas diakui oleh
konsensus Ulama sebagai buku yang sangat otentik. Memang ada beberapa
sisi sanad dan riwayat yang menjadi perdebatan kualifikasinya. Akan
tetapi hal itu sangatlah minim dan tidak membatalkan keshahihan
substansi haditsnya. Hal serupa (bahkan lebih) juga terjadi para
Shahih Muslim. Tapi perlu disadari, bahwa riwayat-riwayat yang rajih
itu juga terdapat di buku yang sama. Jadi ini tarjih antar variasi
riwayat. Bukan kritik terhadap asal-usul hadits ataupun substansi
utamanya. Memang tidak akan ada yang sesempurna dan separipurna
Kitabullah. Tapi juga tidak ada Dawawin Sunnah yang otentitasnya
sesempurna Shahih Bukhari rahimahullah.

Ini saja. Semoga cukup bisa memberikan gambaran yang jelas.

'Allamanallaahu maa yanfa'unaa..
fanafa'anaa bimaa 'allamanaa..
Wahuwal 'aliyyul 'aliim.

Salam hangat,
Nidhol Ms.

Selesai-akhukum chaled_ms

No comments: